Pesawat Emirates yang kutumpangi mendarat sempurna di bandara Soekarno-Hatta, Tanggerang. Setelah lebih seminggu di Leads untuk menemui adikku–Tara, akhirnya aku kembali. Kesibukan setelah ini tentu saja seperti biasa: berjibaku dengan proyek-proyek baru yang ditangani PT. Panorama Aurora. Ah, aku lebih suka menyebutnya dengan nama internasionalnya, Aurora Corporation.Dari bandara Soekarno-Hatta aku terbang lagi ke kota kecilku, Jambi. Rendra menanti di pintu kedatangan. “Gimana perjalanan ke London-nya, Pak?” tanya Rendra basa-basi.“Hmmh, membosankan seperti biasa, Ren.”“Anda selalu merasa bosan akhir-akhir ini.”Aku tak menjawab. Sudah lama rasanya aku tak merasakan warna lagi dalam hidupku. Sejak menyelesaikan kuliah aku hanya sibuk bekerja saja. Tiada waktu untuk memikirkan kesenangan. Sebenarnya ada rasa rindu pada masa-masa yang selalu kuingat. Beberapa tahun lalu, di jalan itu. Di depan gang itu. Kuraba wajahku, tak terasa senyum mengembang. Aku ingat dulu wajah ini pernah
“Lov, aku cuma bercanda, jangan dibawa serius dong.”Lov mendesah panjang. “Bukan itu, Mas Paranormal.” Aku diam sebentar, memberikan waktu untuknya menyelesaikan tangis.“Ada apa, Lov?”“Sebenarnya, tadi,” kata Lov dengan suara bergetar. Air mata masih mengucur dari kelopak matanya.“Sebenarnya tadi itu ada tes wawancara untuk beasiswa kuliah, Mas. Ini,” Lov menyodorkan sebuah map warna coklat yang tadi ia letak di sampingnya. Aku segera meraih map coklat itu dan kubuka.“Yayasan Bimasakti? Universitas Tunas Jingga Jambi?” gumamku setelah membaca isi dari map yang terdiri dari biodata dan formulir beasiswa itu. Di situ juga tertulis hari dan jam tes wawancara. Itu tepat saat dia membantu ibu yang kecelakaan tadi.Pantas saja tadi ia ragu ketika melihat bus. Antara menyelamatkan ibu itu atau mengejar bus. Dan ia tetap memilih menyelamatkan sang ibu. Hatinya benar-benar lembut. Hatiku luluh mengingat kejadian tadi. Rupanya ia mengorbankan kesempatan mendapatkan beasiswa demi membantu
SETYA menemukan jejak Lov. Ternyata dirinya dibawa oleh dua orang. Satu tua, satu muda dan keduanya wanita. Ia terakhir kali terlihat tak jauh dari titik lokasi yang ditunjukkan peta digital. Kemungkinan pula ia dibawa ke salah satu rumah di sekitar situ.“Semua berkumpul dulu!” perintahku pada semua lelaki yang membantu mencari Lov sejak semalam. Mereka yang sedang tiduran di emperan masjid, terkesiap karena suaraku. Rendra, Dennis, dan para lelaki lain termasuk Zaky dan Bagus kuminta untuk berkoordinasi dulu sebelum melanjutkan pencarian.“Ini bulan Ramadhan. Istimewa. Perang badar terjadi di Ramadhan. Fathul Makkah juga bulan Ramadhan. Kemenangan Al-Fatih pun di bulan Ramadhan. Kali ini, insyaAllah kita akan berjuang dan meraih kemenangan termanis di bulan ini. Bismillah!”“Bismillah!” ucap mereka serentak seraya mengepal.“Kabar dari Setya bahwa kemungkinan Cinta dibawa oleh beberapa orang ke suatu tempat. Mungkin di selamatkan, kita tidak tahu. Jadi target kita hari ini adalah se
[Mang Rahmat. Semua hasil kebun sawit bulan ini tolong disedekahkan saja. Utamakan untuk fasilitas umum seperti masjid, jalan, lalu ke dhuafa dan anak yatim serta fakir miskin ya] pesanku pada salah satu pengelola kebun sawit kami di Sungai Bahar.Sembilan menit kemudian, Mang Rahmat, lelaki yang bertransmigrasi dari Jawa Barat itu membalas pesanku.[Tapi semuanya hampir lima ratus juta, Mas Rama. Termasuk bulan lalu hampir delapan ratus][Nggak apa-apa, Mang. Ikuti saja perintah saya][Baik, Mas Rama]Aku kembali berpikir. Aset mana lagi yang hasil bersihnya bisa disedekahkan bulan ini. Kuingat-ingat lagi semua harta benda baik yang kucapai sendiri maupun peninggalan Papa. Sejauh ini, profit terbesar masih dari Rama Corps. Aku mengontak Pakde Ande Andromeda, yang merupakan presiden direktur di Rama Corps di kantor pusatnya di ibukota. Tak diangkat. Kucoba beberapa kali, sama saja. Mungkin ia sedang sibuk dengan pekerjaan, jadi tak sempat mengangkap telepon dariku.Cukup dulu. Semoga
Oktober, 2020SEMUA berjalan seperti adanya. Setiap hari orang bekerja. Mahasiswa kuliah. Pelajar belajar. Setelah kepergian Papa karena kecelakaan lalu lintas, aku lebih sibuk dengan amanah di Rama Corporation, dan tetap mengelola Aurora Corporation sebagai komisaris. Tara baru pulang dari Leeds, kuprioritaskan untuk menjadi calon direktur selanjutnya.“Kita punya dua perusahaan yang menghabiskan iklan 4,24 milyar per tahunnya. Lalu mitra perusahaan kita memiliki sumber dana iklan dengan akumulasi 35,2 milyar per tahun. Usaha menengah yang sedang berkembang di kota ini juga menyerap 6,3 milyar budget iklan. Namun, belum ada jasa penyediaan layanan periklanan yang lengkap, mulai dari konsultasi dan eksekusi serta evaluasi. Karena itulah kita akan mendirikan perusahaan baru berbasis media dan advertising. Dengan nama Jet-Rama media.” Aku mempresentasikan proposal ke belasan calon investor.“Terima kasih, demikian presentasi saya pada hari ini.” Tepuk tangan riuh dari para konglomerat u
“Terus, adikmu, kakakmu ya, atau ibumu, Mas?”Aku menggeleng lagi.“Jadi siapa yang sedang ulang tahun, Mas? Ini hadiah ulang tahun, ‘kan?”Aku mengangguk. “Ini untuk aku sendiri, Lov.”“Hah? Aneh. Kok beri hadiah untuk dirimu sendiri sih, Mas? Emangnya nggak ada apa orang terdekat yang mau beri hadiah?”Entahlah, Lov. Sebelumnya aku merasa sepi dalam keramaian, makanya aku ingin memberikan sesuatu pada diriku sendiri, batinku. Namun sekarang semua agak berbeda. Sepiku seperti digusur paksa oleh gejolak yang entah apa dalam hati ini.“Kok nggak dijawab, Mas?” tanya Lov yang membuatku agak terkesiap.“Ya, begitulah. Tapi, hari ini aku sepertinya sudah mendapat hadiah langsung dari Tuhan, bukan hanya sekadar bunga. Namun sesuatu yang lain.”Kening Lov mengernyit. Aku beranjak meninggalkannya, “Assalamu’alaikum.” Lov terpaku.Aku beranjak keluar toko bunga itu. Tapi entah mengapa rasanya berat sekali. Rasanya ingin tinggal dan berlama-lama di sana. Ah, mengapa tadi tidak memilih-milih
TUBUHKU masih lemah dan tak dapat bergerak. Sendi-sendi masih terasa ngilu. Ingatanku terakhir kalinya, aku lompat dari jembatan Gentala Arasy ke sungai Batanghari. Aku berenang sekuat tenaga menuju tepi, namun tubuh ini tak kuat dan aku hanyut hingga tak sadarkan diri.Ketika aku bangun dari pingsanku, aku sudah berada di rumah yang asing bagiku ini. Seorang wanita yang sudah renta tiba-tiba menghampiriku. Ia berkata bahwa dirinya dan cucunya lah yang membawaku kemari dan mengobatiku.“Nama kamu siapa, Nak?” ujar Nenek itu dengan senyumnya.“Namaku Cinta, Nek,” timpalku pelan sekali.“Sejak kemarin kamu menggigau menyebut nama Rama. Rama itu siapa kamu?”“Suami.”Nenek itu mengangguk. “Perkenalkan, nama nenek Jum. Sebentar ya Nenek panggil cucu Nenek dulu.”Nenek itu beranjak keluar kamar. Tak sampai satu menit kemudian ia kembali lagi dengan seorang wanita yang kukira seumuran Tara. Wanita itu melepas cadarnya.“Namaku Lunar.”“Lunar?” Suaraku parau.“Aku lihat kamu sedang dicari-ca
Hari keempat aku terpisah dari Mas Rama karena kejadian di jembatan itu. Hari ini aku akan menemani Lunar ke kota. Nenek mengizinkan kami pergi berdua. Motor Lunar dititipkan di rumah tetangga terdekat yang karaknya 100 meter dari rumah Nenek. Dengan motor itu kami berboncengan menuju kota.“Aku mau antar titipan jamu nenek ke saudariku dulu ya, Cin.” Lunar menguatkan suaranya, karena di atas motor, suara kami disamarkan angin.“Iya. Saudarimu itu Sonar, ‘kan?”“Iya. Akut tahu dari dia kalau kamu itu dicari dimana-mana. Ternyata kamu emang orang penting. Istri bigboss ya.”“Hehe. Begitulah, Lun.”“Nanti kamu jangan bicara apa-apa saat aku ketemu Sonar di tempat kerjanya ya,” harap Lunar.“Iya. Aku akan diam biar mereka nggak tahu. Kalau udah pakai cadar sama kacamata hitam gini, dijamin mereka nggak bakal tahu. Berarti kita ke Lovamedia ya?”“Iya. Perusahaan suami kamu itu.”“Bukan. Punya aku itu sekarang.”Lunar menganggukkan kepala beberapa kali. Ia pacu motornya lebih kencang agar