“Terus, adikmu, kakakmu ya, atau ibumu, Mas?”Aku menggeleng lagi.“Jadi siapa yang sedang ulang tahun, Mas? Ini hadiah ulang tahun, ‘kan?”Aku mengangguk. “Ini untuk aku sendiri, Lov.”“Hah? Aneh. Kok beri hadiah untuk dirimu sendiri sih, Mas? Emangnya nggak ada apa orang terdekat yang mau beri hadiah?”Entahlah, Lov. Sebelumnya aku merasa sepi dalam keramaian, makanya aku ingin memberikan sesuatu pada diriku sendiri, batinku. Namun sekarang semua agak berbeda. Sepiku seperti digusur paksa oleh gejolak yang entah apa dalam hati ini.“Kok nggak dijawab, Mas?” tanya Lov yang membuatku agak terkesiap.“Ya, begitulah. Tapi, hari ini aku sepertinya sudah mendapat hadiah langsung dari Tuhan, bukan hanya sekadar bunga. Namun sesuatu yang lain.”Kening Lov mengernyit. Aku beranjak meninggalkannya, “Assalamu’alaikum.” Lov terpaku.Aku beranjak keluar toko bunga itu. Tapi entah mengapa rasanya berat sekali. Rasanya ingin tinggal dan berlama-lama di sana. Ah, mengapa tadi tidak memilih-milih
TUBUHKU masih lemah dan tak dapat bergerak. Sendi-sendi masih terasa ngilu. Ingatanku terakhir kalinya, aku lompat dari jembatan Gentala Arasy ke sungai Batanghari. Aku berenang sekuat tenaga menuju tepi, namun tubuh ini tak kuat dan aku hanyut hingga tak sadarkan diri.Ketika aku bangun dari pingsanku, aku sudah berada di rumah yang asing bagiku ini. Seorang wanita yang sudah renta tiba-tiba menghampiriku. Ia berkata bahwa dirinya dan cucunya lah yang membawaku kemari dan mengobatiku.“Nama kamu siapa, Nak?” ujar Nenek itu dengan senyumnya.“Namaku Cinta, Nek,” timpalku pelan sekali.“Sejak kemarin kamu menggigau menyebut nama Rama. Rama itu siapa kamu?”“Suami.”Nenek itu mengangguk. “Perkenalkan, nama nenek Jum. Sebentar ya Nenek panggil cucu Nenek dulu.”Nenek itu beranjak keluar kamar. Tak sampai satu menit kemudian ia kembali lagi dengan seorang wanita yang kukira seumuran Tara. Wanita itu melepas cadarnya.“Namaku Lunar.”“Lunar?” Suaraku parau.“Aku lihat kamu sedang dicari-ca
Hari keempat aku terpisah dari Mas Rama karena kejadian di jembatan itu. Hari ini aku akan menemani Lunar ke kota. Nenek mengizinkan kami pergi berdua. Motor Lunar dititipkan di rumah tetangga terdekat yang karaknya 100 meter dari rumah Nenek. Dengan motor itu kami berboncengan menuju kota.“Aku mau antar titipan jamu nenek ke saudariku dulu ya, Cin.” Lunar menguatkan suaranya, karena di atas motor, suara kami disamarkan angin.“Iya. Saudarimu itu Sonar, ‘kan?”“Iya. Akut tahu dari dia kalau kamu itu dicari dimana-mana. Ternyata kamu emang orang penting. Istri bigboss ya.”“Hehe. Begitulah, Lun.”“Nanti kamu jangan bicara apa-apa saat aku ketemu Sonar di tempat kerjanya ya,” harap Lunar.“Iya. Aku akan diam biar mereka nggak tahu. Kalau udah pakai cadar sama kacamata hitam gini, dijamin mereka nggak bakal tahu. Berarti kita ke Lovamedia ya?”“Iya. Perusahaan suami kamu itu.”“Bukan. Punya aku itu sekarang.”Lunar menganggukkan kepala beberapa kali. Ia pacu motornya lebih kencang agar
LANGIT kota Jambi gemerlapan karena bintang-bintang. Suara jangkrik di sekitar taman depan rumah menjadi paduan suara yang harmoni. Daun-daun basah sehabis hujan sore tadi."Bunda setuju?" Malam itu kudatangi kamar Bunda untuk bercerita soal perasaanku pada Lov.Bunda menghela nafas dan menghembuskannya pelan. "Bunda setuju aja, Ram. Apapun yang membuat kamu bahagia, Bunda juga akan bahagia.""Tapi Bun, gimana kalau teman-teman Bunda ngeledekin?" Tanyaku sambil mengangkat tangan."Paling Bunda bales ledek." Wajah teduh itu tampak tenang, Bunda terkekeh. Ia meletakkan rajutannya di atas nakas."Serius bun? Anak Bunda ini suka sana anak tukang kebun bunda sendiri loh. Dijamin bakal banyak yang mencela. Paman, Tante, ibu-ibu Komplek, Pakde juga mungkin, rekan-rekan bisnis dan lain sebagainya, Bun." "Boleh kalau mereka mau nantangin, Bunda ladenin mereka." Bunda terkekeh lagi. Ia diam sebentar dan meletakkan tangan halusnya di bahuku. "Begini, Ram. Sebenarnya Bunda sengaja meminta Pak Te
Setelah pertemuanku dengan Cinta yang sudah semakin dewasa di toko bunga itu, dan kusadari ia berubah jadi bidadari cantik nan anggun, aku selalu melewati daerah Sungai Kambang. Kadang, kalau tidak buru-buru, aku sengaja berhenti di depan toko bunga Sunset Flowers. Buat menunggu Cinta kalau-kalau keluar, aku berpura-pura kebetulan lewat dan menawarkannya tumpangan.Namun, barangkali Tuhan belum mengizinkan. Aku tak pernah mendapatinya keluar berangkat kuliah atau kemana. Maka mulai hari ini aku beranikan diri untuk berkunjung sekedar melihat bunga-bunga, setiap hari, saat berangkat dan pulang kerja.Penjaga toko itu sudah hapal wajahku.“Bang, hari ini lihat-lihat lagi?” ujar salah satu penjaga toko itu dengan raut agak kesal.“Kali ini aku beli.” Sepertinya alasan melihat-lihat saja sudah tak mempan. Sejak hari itu aku beli bunga setiap hari.[Assalamu’alaikum. Mas Rama. Maaf Mas, jangan berlebihan. Nggak perlu beli bunga tiap hari juga, Mas] pesan masuk ke Whatsapp-ku dari orang ya
PENJUAL batagor itu bilang kalau Cinta sempat mampir dan membeli batagor sore tadi. Belum lama. Itu berarti Cinta berada di sekitar Kota Jambi. Ia selamat. Ia berhasil. Namun kenapa ia tak segera pulang?“Ke mana arah Cinta pergi, Bang?” Aku bertanya pada penjual batagor itu.“Ke sana.” Ia menunjukkan arah, “pake motor dengan temannya.”Tak buang waktu, aku dan Tara segera berangkat mencari Cinta ke arah perginya. Namun tentu saja jejaknya tak dapat kuterka kemana. Kota ini luas. Banyak jalan bercabang. Yang pertama teringat di kepalaku adalah sebuah tempat yang pernah kami kunjungi bersama. Tugu juang. Bisa jadi Cinta pergi ke arah itu. Mungkin saja memang ke situ. Aku mengemudikan mobilku menuju tempat tersebut.Karena agak macet, butuh waktu lima belas menit untuk sampai. Aku segera turun dari mobil diikuti Tara. Secepatnya aku berjalan menuju lokasi tugu juang. Pandanganku tak menangkap sosok Cinta sama-sekali, hanya seorang wanita bercadar yang berpapasan denganku di pintu masuk
“Kalian mau selamanya di situ?” pekik wanita teman Lov itu. Aku lalu melepaskan pelukanku pelan. Wanita bercadar itu bertepuk tangan sendiri sambil berdecak. Kami pun mendekatinya yang berteduh di teras depan sebuah ruko yang sudah tutup.“Kalian memang begini.” Wanita bercadar itu mengacungkan jempolnya. “Ini Lunar, Mas. Dia dan neneknya yang menyelamatkanku.”Lunar menangkupkan tangan di depan dada. Kubalas dengan gerakan yang sama.“Ini lah suamiku itu, Lun. Mas Rama.”“Anda lelaki hebat, Mas Rama. Cinta beruntung sekali mendapat lelaki seperti anda,” puji Lunar. “Untuk kamu Cinta, selamat ya. Kamu mendapat suami yang perjuangannya luar biasa. Aku bisa lihat dari keseriusan Mas Rama tadi. Bukan buatan pokoknya. Next time, tetap sering ke rumah nenek ya. Jangan lupakan kami.”“Aku yang terima kasih sama kamu dan Nenek, Lun.”“Nggak perlu. Itu sudah kewajiban sebagai sesame manusia, terlebih lagi sesame muslim.”“Terima kasih sudah menyelamatkan istri saya. Ini benar-benar keajaiban
APAKAH dengan jawaban itu aku berhenti mendekati Lov? Tidak. Tidak sama sekali. Aku terus berusaha mengambil hatinya.Sebisa mungkin tiap hari aku berkomunikasi dengannya meski hanya lewat pesan Whatsapp. Membangun kepercayaan dan keyakinannya memang tidak mudah. Tapi aku yakin ketika itu ia dapatkan, maka tidak mudah pula untuk digoyahkan.Setiap hari aku berdoa dalam shalatku agar Tuhan memberikan keyakinan kepadanya, meluluhkan hatinya, untuk mau menerimaku menjadi suaminya kelak. ***Padahal seminggu lalu, Tuhan seperti mendekatkannya padaku.“Mas Rama,” panggilnya pagi-pagi sudah berada di rumahku. Aku terkejut. Perasaan, tak pernah ia kuajak ke rumah. Mengapa tiba-tiba ia datang menemuiku?“Aku kerja di sini mulai hari ini, Mas. Bapak yang minta aku jadi asisten Bunda Syandi. Jadi kamu nggak usah ge-er.” Ia tersenyum sambil mengangkat alis dua kali.“Dih, siapa juga yang ge-er. Tapi bisa jadi emang Allah yang mendekatkan kita. Mungkin memang jodoh.”“Iih. Apaan sih, Mas. Janga