"Lov!?" panggil Mas Rama.Jangan cuma panggil Mas. Nggak bakal aku toleh sampai suaramu kering pun. Kejar, Mas, kejar aku.Mas Rama mengejarku yang sudah lima meter di depannya. Seiring terus berjalan, mobil putih berlogo Honda itu pun berlalu, dan Ulya sempat menyapa Mas Rama pula dari dalam mobil."Lov? Kamu marah ya?"Aku diam saja dan terus berjalan di trotoar. Mas Rama meraih tanganku, kutepis. Aku duduk di sebuah bangku pinggir trotoar tepat dibawah pohon yang agak rindang. Beberapa kendaraan berseliweran di depanku.Mas Rama menghampiriku dan mencoba memegang tanganku lagi. Kutarik tanganku yang tadi kuletakkan di atas paha.Pandang kubuang jauh menerawang. Bibit kugigit."Hei, cewek?" goda Mas Rama sambio tersenyum. Rupanya ia sudah mengambil setangkai bunga yang mungkin ditanam di samping trotoar. Bunga daisy. Aku masih tak acuh pada Mas Rama. Kesalku bertalu-talu riuh dalam dada. Liar seperti genderang perang bangsa Troy melawan Spartan."Ya udah kalau gitu aku nyanyi," kat
"Ada apa lagi, Cinta?" tanya Ibu seperti sinis saat aku datang ke rumahnya. Ibu tak beranjak dari sofa saat aku masuk."Menjenguk Mbak Kasih, Bu. Sekalian silaturahim. Ini Cinta bawa makanan untuk buka." Aku mengangkat plastik berisi makanan takjil, dan lauk-pauk dari rumah makan padang paling terkenal.Sebelum sempat kemari, kami sengaja membeli makanan di toko kue dan mampir ke rumah makan Padang favorit Mas Rama. Mas Rama yang memintaku untuk membelikan banyak makanan agar bisa jadi santapan buka di rumah Ibu."Iya gitu dong, kalau kesini itu bawa makanan," lugas Ibu. Aku meraih tangan Ibu dan ia tak menepis seperti sebelumnya. Ia biarkan tangannya kucium."Rama, sebenarnya kamu kerja di mana sih? Kok penampilannya rapi sekarang, terus bawa mobil bagus lagi." Ibu melirik mobil Mercedes Mas Rama yang terparkir di samping mobilnya."Di kantor, Bu. Baru mau bekerja di Lovamedia." Mas Rama"Ooh, syukurlah kalau begitu. Jadi kamu nggak harus menyusahkan anak saya, Cinta.""Saya tidak ak
Robert menarik tanganku lalu menodongkan pistol itu tepat di kepalaku."Jangan macam-macam, Rama! Atau dia kutembak."Aku berteriak namun Robert lekas membentakku untuk diam. Seketika aku meredam suaraku karena ketakutan."Jangan sakiti Cinta kalau anda tidak mau menyesal seumur hidup.""Kalau begitu biarkan saya pergi. Jika tidak, malam ini anda tidak akan melihat istri anda lagi.""Perintahkan anak buah anda di depan untuk tidak melakukan tindakan apapun terhadapku kalau Cinta mau selamat," ancam Robert lagi."Licik anda!""Anda baru tahu ternyata. Jangan harap anda dapat mengalahkan kami. Ayah anda saja kami habisi. Apalagi anda yang masih bau kencur.""A-apa? Jadi kalian lah yang menyebabkan Papa kecelakaan?""Hahaha. Rama, Rama. Jangan terlalu polos, mana ada kecelakaan seperti itu tak sengaja. Semua sudah direncanakan oleh bos kami."Mata Mas Rama berubah nyalang dan tangannya menggenggam erat. Nafas Mas Rama kembang kempis, ada emosi super besar yang keluar dari auranya.Jantun
"Anti yang kuat, pasti Mas Rama nggak kenapa-kenapa. Habis teraweh ana sama Mas Zaky insyaAllah ke rumah sakit ya.""Syukran, Ai.""Ya udah, jangan banyak nangis. Nanti ana hubungi lagi. Assalamu'alaikum."Sedekah? Benar kata Aidhan. Bukankah sedekah dapat memperlambat ajal? Bukankah ada haditsnya tentang seorang pemuda yang akan dicabut nyawanya, namun malaikat Izrail menundanya hingga puluhan tahun ke depan, hanya karena orang itu bersedekah.Kubuka rekening, kutransfer tiga ratus juta ke rekening pesantren yatim piatu Al-Mahabbah. Beberapa ratus juta lainnya juga kutransfer ke yayasan lain. Rekeningku terkuras. Semoga dapat menjadi wasilah kesembuhan Mas Rama.Aku kembali ke depan ruang IGD dimana Bunda, Tara dan Rendra masih menunggu. Lima belas menit kemudian, seorang perawat menyeru."Keluarga Bapak Panorama Angkasa?"Bunda dan aku segera mendekati perawat itu."Saya istrinya, Sus.""Bapak Panorama akan segera dipindahkan ke ruang perawatan, silakan bagi keluarga untuk mengurus
Aku masuk."Selamat pagi, Bu Cinta," seru seseorang mengenaliku membuat aku menoleh seketika. Perempuan berpakaian biru muda senada dengan suasana kantor, dengan bawahan hitam dan high heels itu langsung menghampiriku.Sepintas aku ingat, memang sepertinya aku pernah bertemu dengannya, tapi aku lupa dimana. Setelah melihat nametag di dadanya baru aku sepenuhnya tahu kalau ia adalah Clara, resepsionis di Rama Corps. Aku bertemu dengannya seminggu lalu saat aku dicekoki Brian dan Mei."Clara, apa kamu dipindah ke sini?" tanyaku."Benar, Bu. Karena ini perusahaan di bawah Rama Corps juga dan saya dimutasi. Ibu datang dengan Pak Rama?" "Clara, jangan bilang ke siapa pun kalau saya istri Pak Rama. Saya mau ngelamar kerja di sini. Hari ini mau wawancara dengan HRD."Mendengar permintaanku, kening Clara langsung mengernyit. "Maksudnya apa, Bu?""Saya mau, tidak ada karyawan yang memperlakukan saya berbeda. Saya mau belajar bekerja profesional, itu saja, Clara. Tolong ya."Clara mengangguk d
Cletak! Ponselku terpelanting ke lantai ketika ditabrak seorang wanita muda. Dari nametag yang tertulis di dadanya, aku tahu namanya adalah Dewi.Suara ketukan sepatu mendekatiku dan Dewi. Saat aku menolah ke belakang, rupanya Mas Rama yang datang dan memungut ponselku. Ia kemudian membantuku berdiri dan memberikan ponsel itu padaku."Lain kali hati-hati," ujar Mas Rama seraya meletakkan ponsel di tanganku. Ia kemudian berjalan menjauhi kami tampa sepatah kata lain.Ada perasaan aneh yang menyelimuti kalbuku saat melihat sikap dingin Mas Rama, karena selama ini ia selalu hangat dan romantis. Tak apa, ini semua ia lakukan karena di kantor aki tak mau dikenal sebagai istrinya. Tetaplah begitu, Mas."Pak Rama," tutur Dewi, "saya minta maaf."Mas Rama menoleh dan tersenyum tipis sekali. Lalu kembali berjalan menjauhi kami. Beberapa orang berlalu lalang ketika Dewi memunguti kertas yang masih berserakan."Ini semua gara-gara kamu. Saya jadi terlihat payah di depan direktur." Dewi berbicara
"Keadaan Ibu gimana?" Aku bertanya pada Rindu sesampainya di rumah Ibu. Sore itu setelah pulang kerja aku meminta Mas Rama untuk mengantarku. Kasih dan Mas Bagus sedang beristirahat di kamar mereka. Ibu juga tak mau keluar dari kamarnya sejak pagi."Masih susah makan, Mbak. Mbak Kasih aja baru pulang bawain makanan kesukaan Ibu tapi belum juga mau. Hari ini padahal Ibu nggak puasa. Masih depresi menjelang putusan sidang Papa Robert.""Hmm. Mbak mau ketemu Ibu."Rindu paham maksudku, dan mengantarku ke kamar Ibu.Ceklek. Rindu membukakan pintu kamar Ibu dan kami masuk. Ruangan itu dicat serba ungu pastel. Dua lemari dengan cermin besar berada di sudut. Jendela terbuka menampakkan sore yang mulai jingga.Kami mendekati ranjang dan Ibu yang terbaring di ranjang seketika bangun, langsung menatapku dengan pandangan menuding."Cinta?" panggilnya dengan suara bergetar.Aku hendak menyalaminya. Ia menepis tanganku dan, plak! Aku ditamparnya. Pelan memang, tapi ngilu di hati rasanya. Siapa ya
"Istri saya adalah, Lovarena Cinta, mahasiwa universitas Tunas Jingga yang di-drop out karena menampar dekan yang hendak melecehkannya.""Cin-ta?" Suara Solomon putus-putus. Ia menelan ludah.Mas Rama bergeming, berbalik dan cepat masuk ke mobil."Pak, tunggu!" jerit Solomon. Wajahnya pucat pasi. Ada ketakutan yang teramat sangat. Ia dekati mobil kami dan mengetuk-ngetuk kaca. Mas Rama tancap gas dan meninggalkannya begitu saja.Pukul 08.40. Kendaraan di sepanjang jalan Arif Rahman Hakim tak begitu ramai. Seratus meter seblum kantor Lovamedia Mas Rama menurunkanku. Bukan apa-apa, aku tak mau semua orang kantor curiga kalau aku turun dari mobil direktur. Cukup Kasih dan Clara yang tahu soal status asliku. Mereka pun sudah kuminta untuk tutup mulut rapat-rapat. Seratus meter aku berjalan kaki, baru sampai kantor. Sesampainya di meja kerjaku."Terlambat satu jam!" teriak atasanku di departemen keuangan menegur. Bu Sumi berdiri dengan pandangan menusuk serta sepatu diketuk-ketukkan ke la