Aku masuk."Selamat pagi, Bu Cinta," seru seseorang mengenaliku membuat aku menoleh seketika. Perempuan berpakaian biru muda senada dengan suasana kantor, dengan bawahan hitam dan high heels itu langsung menghampiriku.Sepintas aku ingat, memang sepertinya aku pernah bertemu dengannya, tapi aku lupa dimana. Setelah melihat nametag di dadanya baru aku sepenuhnya tahu kalau ia adalah Clara, resepsionis di Rama Corps. Aku bertemu dengannya seminggu lalu saat aku dicekoki Brian dan Mei."Clara, apa kamu dipindah ke sini?" tanyaku."Benar, Bu. Karena ini perusahaan di bawah Rama Corps juga dan saya dimutasi. Ibu datang dengan Pak Rama?" "Clara, jangan bilang ke siapa pun kalau saya istri Pak Rama. Saya mau ngelamar kerja di sini. Hari ini mau wawancara dengan HRD."Mendengar permintaanku, kening Clara langsung mengernyit. "Maksudnya apa, Bu?""Saya mau, tidak ada karyawan yang memperlakukan saya berbeda. Saya mau belajar bekerja profesional, itu saja, Clara. Tolong ya."Clara mengangguk d
Cletak! Ponselku terpelanting ke lantai ketika ditabrak seorang wanita muda. Dari nametag yang tertulis di dadanya, aku tahu namanya adalah Dewi.Suara ketukan sepatu mendekatiku dan Dewi. Saat aku menolah ke belakang, rupanya Mas Rama yang datang dan memungut ponselku. Ia kemudian membantuku berdiri dan memberikan ponsel itu padaku."Lain kali hati-hati," ujar Mas Rama seraya meletakkan ponsel di tanganku. Ia kemudian berjalan menjauhi kami tampa sepatah kata lain.Ada perasaan aneh yang menyelimuti kalbuku saat melihat sikap dingin Mas Rama, karena selama ini ia selalu hangat dan romantis. Tak apa, ini semua ia lakukan karena di kantor aki tak mau dikenal sebagai istrinya. Tetaplah begitu, Mas."Pak Rama," tutur Dewi, "saya minta maaf."Mas Rama menoleh dan tersenyum tipis sekali. Lalu kembali berjalan menjauhi kami. Beberapa orang berlalu lalang ketika Dewi memunguti kertas yang masih berserakan."Ini semua gara-gara kamu. Saya jadi terlihat payah di depan direktur." Dewi berbicara
"Keadaan Ibu gimana?" Aku bertanya pada Rindu sesampainya di rumah Ibu. Sore itu setelah pulang kerja aku meminta Mas Rama untuk mengantarku. Kasih dan Mas Bagus sedang beristirahat di kamar mereka. Ibu juga tak mau keluar dari kamarnya sejak pagi."Masih susah makan, Mbak. Mbak Kasih aja baru pulang bawain makanan kesukaan Ibu tapi belum juga mau. Hari ini padahal Ibu nggak puasa. Masih depresi menjelang putusan sidang Papa Robert.""Hmm. Mbak mau ketemu Ibu."Rindu paham maksudku, dan mengantarku ke kamar Ibu.Ceklek. Rindu membukakan pintu kamar Ibu dan kami masuk. Ruangan itu dicat serba ungu pastel. Dua lemari dengan cermin besar berada di sudut. Jendela terbuka menampakkan sore yang mulai jingga.Kami mendekati ranjang dan Ibu yang terbaring di ranjang seketika bangun, langsung menatapku dengan pandangan menuding."Cinta?" panggilnya dengan suara bergetar.Aku hendak menyalaminya. Ia menepis tanganku dan, plak! Aku ditamparnya. Pelan memang, tapi ngilu di hati rasanya. Siapa ya
"Istri saya adalah, Lovarena Cinta, mahasiwa universitas Tunas Jingga yang di-drop out karena menampar dekan yang hendak melecehkannya.""Cin-ta?" Suara Solomon putus-putus. Ia menelan ludah.Mas Rama bergeming, berbalik dan cepat masuk ke mobil."Pak, tunggu!" jerit Solomon. Wajahnya pucat pasi. Ada ketakutan yang teramat sangat. Ia dekati mobil kami dan mengetuk-ngetuk kaca. Mas Rama tancap gas dan meninggalkannya begitu saja.Pukul 08.40. Kendaraan di sepanjang jalan Arif Rahman Hakim tak begitu ramai. Seratus meter seblum kantor Lovamedia Mas Rama menurunkanku. Bukan apa-apa, aku tak mau semua orang kantor curiga kalau aku turun dari mobil direktur. Cukup Kasih dan Clara yang tahu soal status asliku. Mereka pun sudah kuminta untuk tutup mulut rapat-rapat. Seratus meter aku berjalan kaki, baru sampai kantor. Sesampainya di meja kerjaku."Terlambat satu jam!" teriak atasanku di departemen keuangan menegur. Bu Sumi berdiri dengan pandangan menusuk serta sepatu diketuk-ketukkan ke la
Sore harinya. Menjelang berbuka puasa, semua karyawan sudah berkumpul di aula lantai tiga kantor Lovamedia.Aku sedang duduk berbincang-bincang dengan Kasih, sedikit bercerita soal pekerjaan baru kami."Cin, enak banget seharian di ruangan direktur, terus sekarang kamu duduk-duduk aja, gitu? Cepet bantuin hidang makanan." Dewi kembali memberi titah.Aku berdiri dan ikut menghidangkan makanan. Kasih juga membantu. Petinggi perusahaan sudah sedia duduk lesehan di tempat mereka masing-masing. Acara segera dimulai."Ini antar ke pak direktur, ya! Cepet, udah mau maghrib," titah Dewi."Siap!" Kuraih nampan berisi kue dan minuman dan kubawa menuju Mas Rama.Namun ketika aku berpapasan dengan Naren yang juga menghidangkan makanan, tiba-tiba kakinya menyenggol kakiku yang melangkah cepat. Kakiku tersandung dan aku terjatuh.Bruk!! Nampan berisi takjil dan es teh terlempar mengenai Mas Rama. "Apa ini?" Mas Rama mengusap wajah. Suasana tegang. Aku masih tertelungkup di lantai.Mas Rama beranja
“Jadi dimana rumah suami kamu?” ucap Mas Bagus di telepon. Ternyata ketika ia bilang mau membuktikan siapa sebenarnya Mas Rama itu serius.“Pura Mayang, Mas.”“Oke, malam ini juga pukul delapan kami ke sana.”“Ya, Mas.”Langit kota Jambi dipenuhi gemintang. Bulan menggantung separuh di ujung ufuk. Hiruk pikuk kendaraan malam masih ramai.Jam setengah delapan malam aku dan Mas Rama pulang dari kantor Lovamedia. Mengingat jam delapan Mas Bagus, Ibu dan Rindu akan berkunjung ke rumah. Kasih yang sekantor denganku juga sudah kuberi tahu. Ia menyetir mobilnya di belakang mobil kami, membuntuti sampai rumah.Jarak dari Lovamedia ke rumah kami di daerah Mayang hanya sepuluh menit perjalanan mobil.“Asslamualaikum, Bun.” Aku mengucap salam pada Bunda yang sedang membaca di teras malam itu, begitu kami sampai rumah.“Wa’alaikumsalam.”“Bun, ini Kasih.” Aku menunjuk dengan tangan terbuka ke arah saudariku.“Saudari kembar kamu itu?” sahut Bunda Syandi.“Iya, Bun.”Kasih lekas menyalami Bunda Sy
“Kemarin bukannya Mas Bagus yang mau ajari saya ilmu bisnis?” tanya Mas Rama setengah menggoda.“Ah, Mas Rama. Jangan gitu. Saya ini masih kecil banget dibandingkan Mas Rama, tolong lah Mas. Ajari saya.” Mas Bagus malah seperti merengek-rengek.“Saya hanya pekerja biasa, Mas Bagus. Sederhana.”“Jangan merendah begitu dong, Mas Rama. Saya tahu omzet-nya Mas itu ratusan milyar per bulan.”“Berlebihan itu.”“Nggak kok. Tolonglah Mas Rama, ajari saya.”Mas Rama hanya tertawa kecil.Percakapan terhenti ketika Ijah Munica dan beberapa ART lain membawakan minuman warna oranye dan beberapa piring kudapan. Lalu Bunda Syandi mempersilakan keluargaku untuk minum, serta mencicipi makanan yang diantar Ijah Munica.Ibu tak kuat minum dan makan. Ia hanya sibuk celingukan.“Saya pribadi mau minta maaf, saya sebagai Ibu kandung nggak bisa jadi Ibu yang baik untuk Cinta. Malah di keluarga ini Cinta diterima dengan baik. Saya minta maaf telah merendahkan Rama juga, sampai kemarin saya juga membuat Cinta
Dennis melaporkan pada Mas Rama bahwa Robert memang telah meloloskan diri dari penjara. Cara yang ia gunakan memang agak kurang masuk akal, tapi buktinya ia kabur. Sementara penampakan soal Brian masih diselidiki. Mei, salah satu rekan Brian pun belum ditemukan.Rendra dan Dennis sibuk mengirimkan orang-orang untuk memata-matai gerak semua orang yang berhubungan dengan mereka. Mas Rama tak tinggal diam. Tentu saja hal pertama yang harus diperiksa adalah dokter yang menyatakan bahwa Brian telah meninggal. “Aku ikut, Mas!” Aku menggamit tangan Mas Rama yang hendak berangkat memeriksa dokumen rumah sakit.“Kamu bilang nggak bisa jauh dariku, ‘kan?” alibiku.Mas Rama mengizinkan. Kami menuju Mayang Medical Center.“Kami minta file tentang sertifikat kematian dan rekam medis pasien bernama Brian Pratama sekitar seminggu lalu,” pinta Mas Rama pada petugas administrasi rumah sakit.“Maaf, Pak. Kami tidak bisa sembarang memberikan data pasien ke orang lain selain keluarganya. Maaf,” jawabny