Untuk pertama kalinya aku merasa senang bertemu dengan Gatra, sungguh. Hanya perkara ia menyediakan eskrim yang tidak pernah kucicipi. Semua orang bisa menyebutku anak kecil karena terbuai dengan pemberian yang tak seberapa. Tetapi, aku tidak dibesarkan dalam keluarga bahagia. Seumur hidup aku mengalami perundungan yang berasal dari ibuku sendiri.
“Kenapa?” Gatra bertanya kenapa wajahku yang awalnya tampak baik menjadi kusut kembali.
Aku membuang muka dan menarik mangkuk berisi eskrim yang baru saja diambilnya sesendok besar. Kalau dia mau memberi, seharusnya Gatra bertanya dulu padaku.
“Tidak ada!” Aku mulai merasakan eskrim yang tampak lezat di dalam mangkok tersebut dengan ujung sendok. Lezat adalah satu kata yang muncul langsung di otakku.
“Wah, ini pertama kalinya aku melihat kamu berekspresi begitu!” Gatra rupanya tidak menikmati eskrim atau membaca koran seperti yang dilakukannya waktu itu.
Aku kesal jadin
Aku sempat terbuai dengan kebaikan yang diperlihatkan oleh Oma dan Gatra. Walau Alina dengan terang-terangan memperlihatkan ketidasukaannya padaku, masih bisa kupahami. Karena aku adalah tamu tak dikenal yang berkunjung ke dalam rumahnya. Ia pasti telah sadar kalau yang dilakukan oleh suaminya salah.Namun, soal pernikahan sama sekali tidak kusangka-sangka. Padahal aku ingin membicarakan ulang soal kontrak yang kutandatangani dengan cara terpaksa. Mungkin saja setelah kejadian geger otak ringan yang kualami, pikiran Gatra akan berganti.Aku tidak mau jadi ibu dari anaknya.Namun, pesta pernikahan yang dibicarakan Gatra barusan telah mengubah semua. Yang ada di dalam pikiranku adalah rasa sedih, kekecewaan yang teramat dalam, dan kemarahan yang membakar diriku sendiri setelahnya.Tidak ada lagi waktu untuk terlena. Aku harus segera melarikan diri.“Aku mau tidur tidak usah ditemani!” Aku menghentikan Muni di depan pintu.Ia terkej
Intensitas pertemuanku dengan Pak Prana di luar kamar mendadak lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Biasanya Pak Prana hanya akan kutemui ketika pergi ke pintu depan saja, tetapi setelah ia memergokiku di pintu belakang, tidak ada tempat di mana kami tidak bertemu.Aku jadi seperti dihantui dan itu terasa sangat mengesalkan. Namun, aku juga tidak bisa marah padanya. Pak Prana bekerja dan salah satu pekerjaannya adalah mengawasiku.“Nona, apa Anda baik-baik saja? Anda terlihat kesal sepanjang hari ini!” Muni yang juga bertugas mengawasiku sembari memberikan apa yang aku inginkan bertanya keheranan.Aku tertawa kecil. “Apa aku terlihat begitu?”“Ya, Anda terus membuat kerutan di dahi. Dan biasanya Anda suka berjalan-jalan, tapi hari ini Anda sedikit sekali keluar.”Aku ingat pada Pak Prana yang beberapa menit lalu berdiri di lorong entah sengaja atau tidak. “Aku cuma lelah! Apa itu pengaruh obat?” tany
Oma memaksa Ayu untuk duduk di sampingnya. Hingga Alina bisa melihat dan menyaksikan betapa berbeda perlakukan Oma padanya dan Ayu. Aku tahu kalau ibu dari ayahku itu sengaja melakukannya.“Kamu nggak punya makanan yang bisa menyebabkan alergi, kan, Nak?” tanya Oma.Pertanyaan untuk menyindir Alina, istriku. Yah, sebab Alina hampir menolak semua makanan yang dihidangkan Oma dulu saat berkunjung pertama kali setelah lamaran. Ia hanya menyantap salad yang sengaja dibuatkan setelah mengatakan kalau ia tak bisa memakan apapun.Kulihat Ayu mengeleng. Ia jelas tidak tahu kalau reaksinya akan membuat Alina, istriku semakin marah. Aku ingin melihat sampai mana Alina bertahan di ruang makan jika terus dipanas-panasi.“Aku mendapatkan tiket ke dufan dari Erlan. Kamu sudah pernah ke sana?”Alina melotot padaku, protes. Namun, aku bersikap seolah-olah tidak melihat itu semua dan fokus dengan reaksi Ayu.“Dufan? Apa itu?&rdq
“Kenapa pakai gaun?” Aku bertanya pada Muni. Sebab Ayu jelas tidak tahu apa-apa tentang fashion. Ia hanya dengan pasrah mengenakan apa yang Muni, pelayannya siapkan.“Tuan dan Nona mau pergi berkencan, kan?” Muni menelengkan kepalanya.Seharusnya aku memberi liburan ke tempat wisata yang dekat dulu kepada para pegawai, bukannya mengirim mereka ke Labuan Bajo atau luar negeri sebagai hadiah. Padahal aku telah mengatakan akan pergi ke Dufan pada Muni.“Ini Dufan. Tempat itu taman bermain air. Yah, tidak semuanya air. Tapi, gaun bukan pilihan yang tepat!”Muni melonggo sebentar dan kemudian mengeluarkan ponselnya. Ia mengetikkan sesuatu, berkonsentrasi selama beberapa detik dan menepuk dahinya cukup keras.“Muni?” Ayu tampak khawatir pada pelayannya itu.“Ganti pakaiannya!” Aku kembali mengeluarkan perintah dengan maksud yang sama.Muni mengangkat tangannya, memberi hormat dan m
Bawa dia ke Istana Boneka! Ingat, Gatra! Karena itulah aku termenung di depan peta area saat ini. Aku sedang memperhitungkan rute yang akan diambil untuk bisa sampai ke tempat yang telah diwanti-wanti oleh Erlan kemarin saat pulang.“Kenapa?” tanyaku pada Ayu saat merasa ia sedikit gelisah.“Kita di sini ngapain?” tanya Ayu binggung. Ia melirik pada orang-orang yang bahkan tidak singgah di depan peta.Aku menoleh pada hal-hal yang dipandangi Ayu dan menyadari kalau terlalu banyak berpikir. Kulirik peta untuk terakhir kalinya sebelum kemudian membimbing Ayu mengikuti orang-orang. Kamu melewati atraksi menegangkan.“Kamu mau naik itu?” tanyaku padanya.Ia memandang para pemain yang ada di atas wahana terlempar ke atas dan ke bawah. Teriakan mereka sangat berisik dan kulihat Ayu mengelengkan kepalanya. “Nggak!”“Kalau itu?” tanyaku pada komedi putar yang tampak nyaman.
Apa seharusnya aku menarik juga gadis itu kemari? Aku bertanya pada diri sendiri saat telah sampai dikios minuman. Lalu aku menoleh ke belakang dan menemukan kalau Ayu masih duduk di sana. Aku merasa lega karena hal itu. Kemudian ikut dalam antrian kios minuman ini. Sambil mengantri kucek kembali ponsel untuk melihat pesan yang masuk. Nada dering ponsel telah aku matikan saat akan berangkat tadi, seperti yang disuruh Erlan.Aku sampai tak lama di depan sekali dan segera memesan jus buah untuk kami. Setelah menerima pesanan dan membayar, aku berbalik ke belakang. Dan Ayu tidak ada di tempat aku meninggalkannya.“Ayu! AYU!” panggilku.Bisa saja ia tertarik dengan atraksi lain sehingga meninggalkan tempat duduknya. Bisa juga ia ditarik oleh orang-orang jahat untuk dibawa pergi. Bagaimana pun Ayu terlihat seperti gadis cantik yang kaya dengan pakaiannya yang sekarang.Sesampainya di tempat Ayu terakhir kulihat, kuedarkan pandangan ke segala arah. Aku meminta diriku sendiri untuk tenang.
Aku mendengar kalau namaku dipanggil dua kali. Segera aku menoleh ke asal suara dan langsung terpana saat melihat bahwa ada Ayu di sana, di antara tiga lelaki yang tidak kukenal.“Hei ... kalian!” Aku memanggil ketiga orang itu, tetapi ketiganya sama sekali tidak berhenti.Mereka mendorong Ayu untuk bergerak terus. Aku memaki di dalam hati dan berusaha mengejar ketiga orang yang jaraknya sudah lumayan jauh. Napasku sesak saat mereka semua berhasil kususul.“BERHENTI!” Aku menarik pergelangan tangan Ayu.Namun, pria yang mendorrongnya dari belakang menendangku sekuat tenaga hingga terjengkang. Orang-orang yang berlalu lalang berhenti begitu melihatku jatuh. Dan pria itu yang sama sekali tidak pernah kulihat memaki.“Dasar Sial! Seharusnya kamu membiarkan saja kami!” katanya padaku.Dia mungkin gila. Atau IQ-nya jongkok memang jongkok. Karena tidak ada satu manusia pun yang akan membiarkan saja seseorang dal
“Bawa dia ke kamarnya!” Gatra langsung meminta pelayanku Muni untuk membawaku ke kamar.Muni menatap kami cukup lama sebelum kemudian membimbingku masuk ke dalam. Ruangan-ruangan yang kulewati terasa lebih besar dibandingkan sebelumnya. Bahkan lorong-lorong menuju kamar terasa tak ada ujungnya.“Nona ... Anda baik-baik saja?” tanya Muni terdengar khawatir.Aku menoleh padanya dengan mata berkaca-kaca. “Menurutmu aku tampak seperti apa, Muni?”Kami berhenti di lorong. Muni memastikan tidak ada siapapun di lorong sebelum kemudian menunduk dan berbisik padaku. “Anda sangat cantik Nona! Siapapun yang melihat Anda pasti jatuh cinta!”Dulu aku pasti akan dengan mudah percaya. Seperti saat ibuku mengatakan betapa ia mencintaiku saat perasaannya baik. Atau saat ayahku pulang membawakan aku eskrim dan berkata bahwa aku adalah putri cantik yang paling disayanginya.Kini semua itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Aku malah bingung kenapa orang-orang itu selalu saja mengatakan sebuah omong koso
Barusan aku dengar apa?Aku menatap Gatra yang memandangku balik tanpa keraguan. Aku tahu kalau Gatra bukanlah seorang pembohong. Tetapi, menceraikan Alina sepertinya bukan hal yang mungkin.Bagaimana pun masalah yang menampar kehidupanku bagaikan angin topan adalah karena pernyataan Alina yang dengan terang-terangan tidak mau memiliki anak. Pria di depanku ini kemudian “membeliku” untuk menjadi rahim istrinya.Aku tertawa, tetapi sama sekali tidak bahagia. “Ini sama sekali tidak lucu, Tuan Gatra!” kataku padanya.“Aku sama sekali tidak sedang bercanda tuh! Apa menurutmu tampak seperti ini bercanda?” Gatra benar-benar tak tersenyum sedikit pun kulihat.Aku mengeleng pelan. “Kamu bercanda dengan hidupku menggunakan tampang seperti itu. Apa kamu ingat? Apa perlu kupanggil Pak Prana supaya memberitahumu!”Gatra sama sekali tidak gentar. Tatapannya masih sama saja seperti sebelumnya, tanpa keraguan. Dilain pihak, aku yang mulai ragu pada diriku sendiri sekarang. Bagaimana aku merasa bahag
Ayu mencintai Anda, Tuan! Tetapi, dia penuh dengan ketakutan saat ini! Dia takut Anda akan membuangnya. Hubungan kalian tidak dimulai dengan cara yang bagus. Bahkan ketika itu saya berpikir kalau Anda akan merasa bosan dengannya dan kemudian mencampakkannya. Yah, lalu saya memang ingin membawanya jauh dari Anda saat tahu kalau dia adalah putri kandung saja!Benar. Aku paham betul semua yang dikatakan Pak Prana. Aku juga bisa merasakan perasaan Ayu. Tetapi, jalan hidup wanita itu telah membuatnya tak bisa mempercayai dengan mudah. Ia telah dikhianati beberapa kali sebelum kemudian bertemu denganku.“Bahkan dia menangis di dalam tidurnya!” kataku pelan.Aku memandang garis pantai yang hitam legam. Kemudian memutuskan untuk mempersiapkan semuanya dengan benar. Semuanya harus dimulai dari pertemuan yang bagus lagi. Aku harus melakukannya kalau ingin memperoleh rasa kepercayaan Ayu.“Pak, bisa aku minta nomor ponsel Anda?”Pak Prana sepertinya tengah berusaha mencari tahu apa yang kurencan
Apa aku melakukan kesalahan? Aku jelas pergi seperti yang diinginkan?Aku sangat terkejut begitu melihat Gatra di halaman. Tanpa mempedulikan apapun, aku berlari pergi. Tapi, aku bisa tahu kalau orang-orang itu berteriak-teriak mencegahku untuk berlari. Hal yang tidak kuhiraukan sama sekali.Namun, pada akhirnya aku tersandung dan tergolek di atas gundukan pasir pantai. Secubit pasir masuk ke dalam mulutku, rasanya tidak menyenangkan dan aku terbatuk-batk karena hal itu.“Apa yang terluka? Ada yang sakit?” Suara penuh kekhawatiran yang kemudian disusul dengan penampakan wajahnya hanya beberapa inci di depan wajahku terlihat.Sial!Dorongan untuk berteriak dan memaki mendesak keluar. Akan tetapi, yang lebih dulu terlaksana adalah menangis. Aku tahu. Sebab pandanganku menjadi kabur karena itu. Aku terisak.“Kita ke rumah sakit! Tidak. Aku melihat tempat praktek dokter saat dalam perjalanan kemari!” katanya sambil mengenggam kedua bahuku, menarikku untuk berdiri.Aku mendorongnya hingga
Aku segera kembali ke rumah, meninggalkan segala pekerjaan yang ada di kantor. Pencarian ini lebih penting. Dan aku benar-benar harus bersiap jika tidak ingin kehilangan Ayu lagi.Suara putraku terdengar begitu aku masuk ke dalam rumah. Tampaknya dia terbangun dari tidurnya atau sudah saatnya anak lelakiku itu makan malam. Beberapa pelayan berlarian dengan nampan. Dan tak lama Oma muncul dari kamar yang harusnya dihuni Ayu dan putraku.“Ada apa, Oma?” tanyaku sedikit binggung karena Oma tampaknya dalam keadaan marah.“Wanita itu … kenapa dia tidak pergi dari rumah ini setelah kamu ceraikan!” teriak Oma di depan wajahku.Aku tahu betul siapa yang Oma maksud. Aku juga tidak mengerti kenapa Alina bertahan di tempat ini setelah kami bercerai. Bahkan sikapnya menjadi lebih baik pada Oma dan aku. Tentu saja itu tidak berlaku pada putraku dan Ayu.“Apalagi yang dilakukannya?”“Aku tidak melakukan apapun!”Aku menoleh lekas ke arah suara yang kukenali sebagai milik Alina. Wanita itu berdiri d
Berapa lama waktu yang diperlukan manusia untuk melupakan hal yang ingin dilupakan?Selama apapun aku memikirkannya, aku sama sekali tidak memperoleh jawaban dari apa yang aku inginkan. Aku tidak bisa melupakan hal yang ingin kulupakan walau berusaha setiap hari sekuat tenaga.Bagaimana bisa orang-orang berkata dengan mudah kalau manusia harus melangkah maju?Sudah tiga bulan. Benar. Suah tiga bulan sejak aku meninggalkan rumah Gatra. Luka cesar sudah kering sepenuhnya. Kalau aku merenung masih akan tiba-tiba berdenyut, tetapi hanya itu saja. Tidak ada hal yang lebih lebih dari itu.Benarkah? Yah … aku hanya mengatakan sesuatu yang angkuh saja. Sebab setiap kali luka itu berdenyut aku jadi ingat wajah anakku yang mirip Gatra. Aku jadi ingat Oma. Dan saat sendirian, aku jadi ingat suamiku.Ah … apakah aku masih bisa menyebutnya sebagai suamiku sekarang? Aku kabur loh. Aku melarikan diri dari manusia yang aku sebut suamiku itu karena takut. Aku takut harus mendengar dari mulutnya sebuah
Aku tertidur selama perjalanan. Begitu aku bangun, tak ada satu pun pemandangan yang aku kenali. Semuanya begitu asing, tetapi juga tidak kubenci karena indah.“Ini di mana?” tanyaku pelan sambil menguap dan mengucek mata.Bekas operasi cesarku tiba-tiba saja terasa sedikit nyeri sekarang. Aku mengerang sedikit, menengadah menatap langit-langit mobil. Beberapa kali aku mengambil napas panjang, berusaha menepis rasa sakit yan datang. Lalu pada akhirnya aku berhasil bertahan sedikit.“Kamu baik-baik saja?”Aku berusaha tersenyum pada Pak Prana, tetapi yang berhasil tercipta di mulutku hanyalah seringaian. Perlahan aku beringsut keluar dari mobil. Sedikit pusing saat pertama kali kaki ini menginjak tanah.“Kemarilah, aku akan memapahmu!” kata Pak Prana masih dengan perhatian yang terlihat tulus di matanya.Aku mundur selangkah hingga punggungku terbentur badan mobil. Kehangatan dan perhatiannya mengangguku. Aku tidak terbiasa dengan kebaikan hati seperti yang dipancarkannya saat ini.“Ak
Keanehan yang kurasakan pada Gatra juga kurasakan pada Oma. Namun, setiap kali aku merasa begitu. Aku juga selalu memperingatkan diriku untuk tidak terlalu menerima semuanya.Aku tidak boleh terbiasa dengan sikap lembut orang-orang padaku.Aku habis menyusui bayi itu, anakku dan Gatra. Wajahnya semakin hari semakin mirip saja dengan Gatra. Saat menandangnya seperti ini muncul keinginan di dalam hatiku untuk membawanya bersamaku.Bolehkah aku dengan egois meminta anak ini pada Gatra.Aku segera tahu kalau jawabannya tidak. Aku tahu kalau keegoisanku hanya akan melukaiku jika kulakukan semakin dalam. Makanya setelah selesai menyusui, aku memberikan anak itu cepat-cepat pada perawat.“Nyonya tidak mau mengendongnya lebih lama?” Muni bertanya padaku.Aku mau, tapi aku tidak bisa melakukannya. Maka aku diam saja.“Aku boleh jalan-jalan, kan?” Aku bertanya pada Muni.“Boleh Nyonya. Saya mendapatkan perintah dari Dokter untuk mengawasi sesi terapi Anda. Luka operasinya masih belum kering, An
Aku memirigkan kepala sama sekali tidak mengerti kenapa Gatra tersenyum seperti orang bodoh di depanku begini. Aku yakin kalau sedang tidak bermimpi. Aku sangat sehat saat ini dan sudah terbebas dari pengaruh obat tidur.“Bunga itu untukku?”Gatra mengangguk. “Kamu tidak suka?” tanyanya.Tidak. Aku sangat suka dengan buket yang tampaknya dikerjakan dengan sepenuh hati oleh pembuatnya itu. Yang tidak akan mengerti adalah keberadaan buket bunga tersebut saat ini.Aku telah tenggelam dalam dugaan selama semalaman tentang kontrakku dengan Gatra. Anehnya aku sama sekali tidak gembira dengan fakta kalau sebentar lagi aku tidak akan bertemu dengan pria ini.Aku merasa sedih.“Apa aku salah memilih bunganya?” Gatra bergumam sendiri saat ini. Ancungan bunganya yang setinggi dadaku tadi mulai turun hingga ke pinggang dan wajahnya tidak berseri lagi kulihat.“Aku hanya terkejut!” kataku jujur.“Kenapa kamu terkejut?”Apa aku perlu bertanya padanya kapan ia memberiku bunga. Itu sudah lama sekali
“Aku tidak memiliki kesalahan! Aku hanya menyingkirkan penganggu di dalam rumah tangga kita!” Alina dengan tegas mengatakan hal itu padaku.Kalau saja ia mengatakan tentang penganggu yang berdenggung seperti lelat di telingaku dulu, yang menjelek-jelekan dirinya, dan tergabung dalam sebutan teman-teman Alina pasti aku sangat senang.“Dia bukan penganggu!” kata Alina dengan pasti.Aku tidak pernah mau mengakui di mana salahnya sehingga kehidupan rumah tangga bahagia yang berharap kujalani bersama Alina menjadi seperti ini. Namun, yang jelas semua tidak dimulai dengan kedatangan Ayu.Tidak. Semua tuduhan Alina pada Ayu sama sekali tidak benar.“Kamu hanya mencari kambing hitam saja!” kataku padanya.Aku menjauhinya. Pembicaraan ini sama sekali tidak pantas untuk dilakukan. Ayu sama sekali tidak menjadi masalah utama. Sejak awal masalahnya adalah Alina.“Kamu membelanya dengan terang-terangan?” Alina tertawa.Dulu tawa Alina sangat merdu di telingaku, bagaikan bidadari yang tengah berny