“AYU! AYU!”Suara itu mengema di rumahku. Aku yang meringkuk di atas tempat tidur dengan seprai usang yang pada tepinya sedikit robek sejak tadi langsung meloncat sambil berdiri. Di wajahku segera muncul senyuman paling lebar. Aku bisa merasakan kalau pipiku sakit saat ini.“Ayah!” seruku sambil turun dari tempat tidur.Aku tersungkur karena kakiku tersangkut seprai yang sobek. Tapi secepat kilat pula aku bangun. Ayahku yang tampan berada di depan pintu masuk, sedikit kotor, dan tampak agak oleng.“Ada apa, Yah?” tanyaku ingin tahu.Salah satu tangan pria itu disembunyikan di belakang tubuhnya. Ia tersenyum-senyum dan kemudian menjatuhkan diri di kursi rotan reyot di ruang tamu.“Kemarilah! Lihat apa yang aku bawa untukmu!” katanya menyeringai.Ayah berbau asam. Matanya selalu merah kapan pun aku bertemu dengannya. Sesekali kalau ia sedikit saja tampak lebih baik, ia akan bersikap buruk pada ibuku.Setiap kali itu terjadi, aku akan bertanya kenapa. Dan Ayah akan menjawab sambil menaik
“Saat kami sampai di rumah hanya Mayat ayahnya Ayu saja yang ada di ruang tamu. Tapi ibunya sudah pergi! Parang yang digunakannya untuk menusuk ada di dapur, masih bersimbah darah!”Perkataan itu disampaikan secara bisik-bisik antara para bapak-bapak yang berkumpul. Maksudnya mungkin supaya aku tidak dengar. Tetapi sayang sekali, pendengaranku lebih tajam. Aku menarik kakiku sedikit lagi supaya bisa menyembunyikan kepalaku di sana. Aku bagaikana seekor kucing yang ketakutan saat ini.“Terus bagaimana?”“Aku sudah panggil kepala desa! Beliau sudah datang dengan polisi ke sana!” Mereka semua berhenti sebentar bicara dan menoleh padaku secara serempak. “Polisi sudah membawa mayatnya. Ayu jelas ndak mungkin kita suruh pulang ke sana!”Kalau pulang ke rumah dan seluruh polisi itu meninggalkan Ayu sendiri, bisa jadi ibunya kembali. Aku tak mau menyusul ayahnya seperti yang dikatakan Ibu. “Ayu boleh tidur di sini hari ini kan, Kak?” Aku menguncang tangan kakak perempuan temannya Wis, gadis i
“Kita tidak bisa terus-terusan menaruh Ayu di sini, kan? Bagaimana pun dia harus kembali ke rumahnya lagi!”Sudah sebulan penuh setelah Ayah dikuburkan dan Ibu ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan. Beberapa orang saksi mata memberitahu kalau Ibu terlihat di halte bus beberapa saat setelah menikam Ayah. Yang lainnya masih yakin kalau Ibu bersembunyi di sekitar rumah mereka dan akan muncul saat tidak lagi diperhatikan. Yang mana pun saat kasusnya ini kemudian perlahan lenyap, aku adalah orang pertama yang akan dicari oleh ibunya.Aku baru saja pulang sekolah dan menanggalkan sepatunya di bale-bale depan rumah. Wisnu temanku telah lebih dulu masuk dan aku sama sekali tidak tahu apakah boleh masuk ke dalam dan bergabung. Jelas-jelas pembahasan keluarga Wisnu adalah diriku yang menjadi beban.Di kampung ini tidak ada orang yang kaya, semuanya hidup pas-pasan dari bertani dan berladang. Kalau pun ada yang kaya mereka meninggalkan rumah dan membuat kediaman lain yang lebih bagus di pinggi
Katanya Bibi Lusi adalah istri Paman. Tetapi, setiap kali Paman berangkat bekerja keluar kota Bibi Lusi selalu didatangi oleh pria. Jika hanya satu saja maka aku pasti berpikir kalau orang yang datang adalah kenalan Paman yang diminta untuk menjaga kami berdua. Tidak salah, sebab kami berdua adalah perempuan. Namun, orang yang datang selalu saja berbeda-beda. “Bi ....” Aku muncul tepat sebelum Bi Lusi menutup pintu depan. Aku akan dikunci lagi tampaknya. Aku ingin tahu, tetapi takut. Aku hanya menumpang di rumah ini. Bagaimana kalau Bi Lusi kemudian malah mengusirku kalau banyak tanya? Mau ke mana aku setelah ini? Aku jelas tak bisa kembali ke kampung. Tidak ada siapapun lagi di sana. “Kamu tunggu di rumah. Kunci pintu dari dalam, kalau ada orang yang panggil Bibi ... diam saja! Jangan disahuti!” tegas Bi Lusi padaku. Ini masih pesan yang sama seperti pesan-pesan sebelumnya. Aku mengangguk paham dan menerima kunci rumah yang diberikan oleh Bi Lusi. Seperti yang diperintahkan, aku m
Pemberitahuan yang bagaikan ledakan granat itu membuatku nyaris tidak bisa berpikir. Seolah mendukung ledakan tersebut, petir menyambar dengan sangat hebat dan kemudian hujan mulai turun dengan lebat. Aku nyaris tidak tidur semalam. “Yu!” Aku mengangkat kepala, tidak tahu apa yang dirasakan kini. “Ya, Bi!” “Sana mandi! Kita harus mulai sekarang. Orang-orang itu akan datang sekitar tengah hari. Dan aku harus pergi ke suatu tempat juga sebelum itu!” Bibinya menyusun kuas, kotak-kotak pipih berisi riasan, juga beberapa pakaian di dekat lemari meja rias dalam kamar sempit milik Bibi. “Apa Ayu boleh nggak pergi, Bi! Ayu akan lakukan pekerjaan rumah dengan lebih baik!” Kali ini aku merasa seperti tercekik. Gerakan tangan bibiku berhenti. Ia tidak berbalik, tetapi menatapku dari pantulan di cermin. “Apa mengurusi rumah ini bisa menghasilkan uang? Jangan bercanda! Kalau kamu nggak mau dijual ke orang sembarangan, maka cepat mandi sekarang!” Nada suara wanita yang biasanya ramah itu dingi
“Siapa namamu?” Aku duduk tegang di samping bajingan yang telah membeliku. Orang itu pasti berpikir kalau aku akan mengatakan semua hal yang diinginkan. Tidak akan! Bahkan jika pria di sampingku ini memukuli aku seperti Ibu dulu, ia takkan mendapatkan apa-apa. Persetan dengan keselamatan yang telah diberikan. Siapa yang selamat? Jelas-jelas saat ini aku terperangkap! “Tidak mau jawab, ya?” Lalu pria itu terkekeh-kekeh tertawa. Aku merinding mendengarnya. Sementara sopir yang tadi menenangkan saat aku masuk ke dalam mobil hanya bisa melirik melalui kaca spion tengah. Harusnya pria tua itu membiarkan aku lari saja. Dengan begitu mereka tidak akan bertemu lagi. Dengan begitu sopir itu tidak akan membuat dosa. “Kamu bisu?” tanya pria itu padaku. “Tadi sepertinya kamu berteriak keras sekali!” Yang keluar dari mulut pria gagah itu hanyalah ejekan. “Biarkan aku pergi!” “Hah?” Setelah menyuarakan ketidakpercayaan pria yang membeliku itu tertawa terbahak-bahak lagi. Tampaknya aku semacam
“Bapak sama saja jahatnya sama pria tadi!” tudingku. Sopir tak dikenal yang tadi menyuruh aku masuk ke dalam mobil sedikit terkejut. “Maaf, ya Neng, saya cuma disuruh!” Ia tampak kebingungan karena tak tahu harus berbuat apa. “Tapi, Tuan bukan orang jahat kok Neng!” katanya menegaskan. Aku ingin sekali tertawa. “Mana ada orang baik-baik yang membeli manusia! Saya memang bukan orang berpendidikan, Pak, tapi saya juga tahu yang benar dan yang salah!” Aku bisa melihat si sopir itu mencengkram kemudi erat-erat. Ia melirik ke arah luar dan kemudian membuka sabuk pengamannya. “Percaya sama Bapak, dia bukan orang jahat! Sekarang kita turun dulu ya Neng!” ajak si bapak. Ingin sekali aku berteriak tidak mau. Tetapi, berada di dalam sini hanya akan memutus kesempatannya untuk melarikan diri. Pemilik mobil ini pasti mengunciku di dalam. Jika keluar aku juga akan mendapatkan informasi tentang apa yang terjadi sebenarnya. Pelan-pelan aku mengangguk setuju. “Nama Bapak, Prana. Kamu bisa panggi
Aku sudah mengutus Pak Prana untuk mengurus gadis yang baru dibawa. Aku yakin kalau sopir yang bekerja sudah lama di rumah ini akan melakukan tugas dengan baik. Semalam aku sudah meminta asistenku untuk menghubungi pengacara yang akan membuatkan surat kontrak untuk Ayu. Aku hanya membutuhkan gadis itu untuk mengandung anakku. Setelah anakku lahir, akan kukeluarkan dari rumah ini gadis itudan diberi fasilitas untuk hidup dengan nyaman. Syaratnya Ayu tidak boleh muncul di hadapan anakku nanti dan memberitahu tentang dirinya. “Pak, Tuan Erlan sudah ada di ruang tengah!” Asistenku memberitahu saat ia telah meminum kopiku sampai habis. “Terima kasih!” jawabku. Aku menarik serbet dan mengelap sedikit bibirku. Asistenku mundur memberi jalan. Aku berpapasan dengan nenekku di lorong. Wanita tua itu memalingkan wajah ke arah lain saat aku mendekat. Bagiku itu semua sesuatu yang luar biasa, karena dengan begitu aku tidak harus memikirkan apapun. Erlando Atmajaya adalah temanku sejak masih
Barusan aku dengar apa?Aku menatap Gatra yang memandangku balik tanpa keraguan. Aku tahu kalau Gatra bukanlah seorang pembohong. Tetapi, menceraikan Alina sepertinya bukan hal yang mungkin.Bagaimana pun masalah yang menampar kehidupanku bagaikan angin topan adalah karena pernyataan Alina yang dengan terang-terangan tidak mau memiliki anak. Pria di depanku ini kemudian “membeliku” untuk menjadi rahim istrinya.Aku tertawa, tetapi sama sekali tidak bahagia. “Ini sama sekali tidak lucu, Tuan Gatra!” kataku padanya.“Aku sama sekali tidak sedang bercanda tuh! Apa menurutmu tampak seperti ini bercanda?” Gatra benar-benar tak tersenyum sedikit pun kulihat.Aku mengeleng pelan. “Kamu bercanda dengan hidupku menggunakan tampang seperti itu. Apa kamu ingat? Apa perlu kupanggil Pak Prana supaya memberitahumu!”Gatra sama sekali tidak gentar. Tatapannya masih sama saja seperti sebelumnya, tanpa keraguan. Dilain pihak, aku yang mulai ragu pada diriku sendiri sekarang. Bagaimana aku merasa bahag
Ayu mencintai Anda, Tuan! Tetapi, dia penuh dengan ketakutan saat ini! Dia takut Anda akan membuangnya. Hubungan kalian tidak dimulai dengan cara yang bagus. Bahkan ketika itu saya berpikir kalau Anda akan merasa bosan dengannya dan kemudian mencampakkannya. Yah, lalu saya memang ingin membawanya jauh dari Anda saat tahu kalau dia adalah putri kandung saja!Benar. Aku paham betul semua yang dikatakan Pak Prana. Aku juga bisa merasakan perasaan Ayu. Tetapi, jalan hidup wanita itu telah membuatnya tak bisa mempercayai dengan mudah. Ia telah dikhianati beberapa kali sebelum kemudian bertemu denganku.“Bahkan dia menangis di dalam tidurnya!” kataku pelan.Aku memandang garis pantai yang hitam legam. Kemudian memutuskan untuk mempersiapkan semuanya dengan benar. Semuanya harus dimulai dari pertemuan yang bagus lagi. Aku harus melakukannya kalau ingin memperoleh rasa kepercayaan Ayu.“Pak, bisa aku minta nomor ponsel Anda?”Pak Prana sepertinya tengah berusaha mencari tahu apa yang kurencan
Apa aku melakukan kesalahan? Aku jelas pergi seperti yang diinginkan?Aku sangat terkejut begitu melihat Gatra di halaman. Tanpa mempedulikan apapun, aku berlari pergi. Tapi, aku bisa tahu kalau orang-orang itu berteriak-teriak mencegahku untuk berlari. Hal yang tidak kuhiraukan sama sekali.Namun, pada akhirnya aku tersandung dan tergolek di atas gundukan pasir pantai. Secubit pasir masuk ke dalam mulutku, rasanya tidak menyenangkan dan aku terbatuk-batk karena hal itu.“Apa yang terluka? Ada yang sakit?” Suara penuh kekhawatiran yang kemudian disusul dengan penampakan wajahnya hanya beberapa inci di depan wajahku terlihat.Sial!Dorongan untuk berteriak dan memaki mendesak keluar. Akan tetapi, yang lebih dulu terlaksana adalah menangis. Aku tahu. Sebab pandanganku menjadi kabur karena itu. Aku terisak.“Kita ke rumah sakit! Tidak. Aku melihat tempat praktek dokter saat dalam perjalanan kemari!” katanya sambil mengenggam kedua bahuku, menarikku untuk berdiri.Aku mendorongnya hingga
Aku segera kembali ke rumah, meninggalkan segala pekerjaan yang ada di kantor. Pencarian ini lebih penting. Dan aku benar-benar harus bersiap jika tidak ingin kehilangan Ayu lagi.Suara putraku terdengar begitu aku masuk ke dalam rumah. Tampaknya dia terbangun dari tidurnya atau sudah saatnya anak lelakiku itu makan malam. Beberapa pelayan berlarian dengan nampan. Dan tak lama Oma muncul dari kamar yang harusnya dihuni Ayu dan putraku.“Ada apa, Oma?” tanyaku sedikit binggung karena Oma tampaknya dalam keadaan marah.“Wanita itu … kenapa dia tidak pergi dari rumah ini setelah kamu ceraikan!” teriak Oma di depan wajahku.Aku tahu betul siapa yang Oma maksud. Aku juga tidak mengerti kenapa Alina bertahan di tempat ini setelah kami bercerai. Bahkan sikapnya menjadi lebih baik pada Oma dan aku. Tentu saja itu tidak berlaku pada putraku dan Ayu.“Apalagi yang dilakukannya?”“Aku tidak melakukan apapun!”Aku menoleh lekas ke arah suara yang kukenali sebagai milik Alina. Wanita itu berdiri d
Berapa lama waktu yang diperlukan manusia untuk melupakan hal yang ingin dilupakan?Selama apapun aku memikirkannya, aku sama sekali tidak memperoleh jawaban dari apa yang aku inginkan. Aku tidak bisa melupakan hal yang ingin kulupakan walau berusaha setiap hari sekuat tenaga.Bagaimana bisa orang-orang berkata dengan mudah kalau manusia harus melangkah maju?Sudah tiga bulan. Benar. Suah tiga bulan sejak aku meninggalkan rumah Gatra. Luka cesar sudah kering sepenuhnya. Kalau aku merenung masih akan tiba-tiba berdenyut, tetapi hanya itu saja. Tidak ada hal yang lebih lebih dari itu.Benarkah? Yah … aku hanya mengatakan sesuatu yang angkuh saja. Sebab setiap kali luka itu berdenyut aku jadi ingat wajah anakku yang mirip Gatra. Aku jadi ingat Oma. Dan saat sendirian, aku jadi ingat suamiku.Ah … apakah aku masih bisa menyebutnya sebagai suamiku sekarang? Aku kabur loh. Aku melarikan diri dari manusia yang aku sebut suamiku itu karena takut. Aku takut harus mendengar dari mulutnya sebuah
Aku tertidur selama perjalanan. Begitu aku bangun, tak ada satu pun pemandangan yang aku kenali. Semuanya begitu asing, tetapi juga tidak kubenci karena indah.“Ini di mana?” tanyaku pelan sambil menguap dan mengucek mata.Bekas operasi cesarku tiba-tiba saja terasa sedikit nyeri sekarang. Aku mengerang sedikit, menengadah menatap langit-langit mobil. Beberapa kali aku mengambil napas panjang, berusaha menepis rasa sakit yan datang. Lalu pada akhirnya aku berhasil bertahan sedikit.“Kamu baik-baik saja?”Aku berusaha tersenyum pada Pak Prana, tetapi yang berhasil tercipta di mulutku hanyalah seringaian. Perlahan aku beringsut keluar dari mobil. Sedikit pusing saat pertama kali kaki ini menginjak tanah.“Kemarilah, aku akan memapahmu!” kata Pak Prana masih dengan perhatian yang terlihat tulus di matanya.Aku mundur selangkah hingga punggungku terbentur badan mobil. Kehangatan dan perhatiannya mengangguku. Aku tidak terbiasa dengan kebaikan hati seperti yang dipancarkannya saat ini.“Ak
Keanehan yang kurasakan pada Gatra juga kurasakan pada Oma. Namun, setiap kali aku merasa begitu. Aku juga selalu memperingatkan diriku untuk tidak terlalu menerima semuanya.Aku tidak boleh terbiasa dengan sikap lembut orang-orang padaku.Aku habis menyusui bayi itu, anakku dan Gatra. Wajahnya semakin hari semakin mirip saja dengan Gatra. Saat menandangnya seperti ini muncul keinginan di dalam hatiku untuk membawanya bersamaku.Bolehkah aku dengan egois meminta anak ini pada Gatra.Aku segera tahu kalau jawabannya tidak. Aku tahu kalau keegoisanku hanya akan melukaiku jika kulakukan semakin dalam. Makanya setelah selesai menyusui, aku memberikan anak itu cepat-cepat pada perawat.“Nyonya tidak mau mengendongnya lebih lama?” Muni bertanya padaku.Aku mau, tapi aku tidak bisa melakukannya. Maka aku diam saja.“Aku boleh jalan-jalan, kan?” Aku bertanya pada Muni.“Boleh Nyonya. Saya mendapatkan perintah dari Dokter untuk mengawasi sesi terapi Anda. Luka operasinya masih belum kering, An
Aku memirigkan kepala sama sekali tidak mengerti kenapa Gatra tersenyum seperti orang bodoh di depanku begini. Aku yakin kalau sedang tidak bermimpi. Aku sangat sehat saat ini dan sudah terbebas dari pengaruh obat tidur.“Bunga itu untukku?”Gatra mengangguk. “Kamu tidak suka?” tanyanya.Tidak. Aku sangat suka dengan buket yang tampaknya dikerjakan dengan sepenuh hati oleh pembuatnya itu. Yang tidak akan mengerti adalah keberadaan buket bunga tersebut saat ini.Aku telah tenggelam dalam dugaan selama semalaman tentang kontrakku dengan Gatra. Anehnya aku sama sekali tidak gembira dengan fakta kalau sebentar lagi aku tidak akan bertemu dengan pria ini.Aku merasa sedih.“Apa aku salah memilih bunganya?” Gatra bergumam sendiri saat ini. Ancungan bunganya yang setinggi dadaku tadi mulai turun hingga ke pinggang dan wajahnya tidak berseri lagi kulihat.“Aku hanya terkejut!” kataku jujur.“Kenapa kamu terkejut?”Apa aku perlu bertanya padanya kapan ia memberiku bunga. Itu sudah lama sekali
“Aku tidak memiliki kesalahan! Aku hanya menyingkirkan penganggu di dalam rumah tangga kita!” Alina dengan tegas mengatakan hal itu padaku.Kalau saja ia mengatakan tentang penganggu yang berdenggung seperti lelat di telingaku dulu, yang menjelek-jelekan dirinya, dan tergabung dalam sebutan teman-teman Alina pasti aku sangat senang.“Dia bukan penganggu!” kata Alina dengan pasti.Aku tidak pernah mau mengakui di mana salahnya sehingga kehidupan rumah tangga bahagia yang berharap kujalani bersama Alina menjadi seperti ini. Namun, yang jelas semua tidak dimulai dengan kedatangan Ayu.Tidak. Semua tuduhan Alina pada Ayu sama sekali tidak benar.“Kamu hanya mencari kambing hitam saja!” kataku padanya.Aku menjauhinya. Pembicaraan ini sama sekali tidak pantas untuk dilakukan. Ayu sama sekali tidak menjadi masalah utama. Sejak awal masalahnya adalah Alina.“Kamu membelanya dengan terang-terangan?” Alina tertawa.Dulu tawa Alina sangat merdu di telingaku, bagaikan bidadari yang tengah berny