Katanya Bibi Lusi adalah istri Paman. Tetapi, setiap kali Paman berangkat bekerja keluar kota Bibi Lusi selalu didatangi oleh pria. Jika hanya satu saja maka aku pasti berpikir kalau orang yang datang adalah kenalan Paman yang diminta untuk menjaga kami berdua. Tidak salah, sebab kami berdua adalah perempuan. Namun, orang yang datang selalu saja berbeda-beda.
“Bi ....” Aku muncul tepat sebelum Bi Lusi menutup pintu depan.
Aku akan dikunci lagi tampaknya. Aku ingin tahu, tetapi takut. Aku hanya menumpang di rumah ini. Bagaimana kalau Bi Lusi kemudian malah mengusirku kalau banyak tanya? Mau ke mana aku setelah ini? Aku jelas tak bisa kembali ke kampung. Tidak ada siapapun lagi di sana.
“Kamu tunggu di rumah. Kunci pintu dari dalam, kalau ada orang yang panggil Bibi ... diam saja! Jangan disahuti!” tegas Bi Lusi padaku.
Ini masih pesan yang sama seperti pesan-pesan sebelumnya. Aku mengangguk paham dan menerima kunci rumah yang diberikan oleh Bi Lusi. Seperti yang diperintahkan, aku mengunci pintu dari dalam. Melalui jendela aku melihat Bi Lusi dirangkul pria yang mencarinya dari belakang. Sepanjang penglihatanku, istri pamanku itu selalu tertawa.
“Teman Bi Lusi mungkin?” gumamku sambil mengangkat bahu. Bukan karena tidak tahu, tapi pura-pura tak tahu.
Setelah sendirian saja, aku jadi mengantuk. Aku beringsut dan tidur di ruang tamu. Sebelumnya, aku mematikan lampu rumah.
Rasanya aku belum lama tertidur saat kemudian mendengar seseorang memanggil dari luar. Memang yang dipanggil bukan namaku, tetapi aku terganggu karena panggilan tersebut tidak hanya sekali dua kali saja.
Setengah sadar hampir saja aku menyahuti. Aku menutup mulut dengan kedua tangan untuk menahan suara. Lalu aku membiarkan tubuhnya melorot ke lantai sebab suara-suara itu menjadi bayangan di jendela.
“Apa kamu bisa melihat sesuatu di dalam?” tanya bayangan tersebut pada yang lainnya.
“Tidak! Lampunya dimatikan. Lusi mungkin sudah keluar lagi! Sial!” bayangannya yang lain menyahuti dan memaki.
Di dalam hati aku bertanya, Siapa ya?
“Kenapa sih susah sekali mendapatkan kesempatan untuk berjumpa dengan Lusi. Dia itu primadona di sini. Aku mau main dengannya sekali saja! Tetapi, dia malah selalu bersama dengan Darus kalau bajingan itu ada di kota ini!”
“Aku dengar dia bahkan sampai menitipkan keponakannya, kan, di sini?”
“Siapa? Si Darus itu?”
“Ya, para pria yang diizinkan Lusi main berkata kalau ada anak perempuan di dalam rumah ini. Kamu yakin tidak lihat siapapun di dalam?”
“Tidak!”
“Masa Lusi bawa anak kecil waktu main sih? Mau diajarin jadi pelacur juga?” Lalu kedua bayangan itu tertawa terbahak-bahak dan kemudian menjauh.
Aku mengetahuinya melalui suara tawa kedua bayangan yang mulai jauh dan kemudian hilang. Sekarang setelah merasa nyaman kembali. Aku ingin tahu apa yang baru saja dikatakan oleh orang-orang yang datang.
“Diajari jadi Pelacur? Memang ada pekerjaan yang seperti itu?” gumamku penasaran.
Kalau sudah sekolah lagi, aku akan bertanya apa itu pelacur pada guru. Aku yakin tidak akan bisa menjadi guru atau pun pekerjaan lainnya karena bodoh.
***
“Paman, kapan akan mendaftarkan aku sekolah?”
Aku jadi takut sekarang. Aku sudah sebulan di rumah paman, tetapi sama sekali tidak ada kabar soal pemindahan dari sekolah lama ke sekolah baru.
“Sabarlah! Soalnya sudah untuk memindahkanmu dari tempat yang lama ke sini!” Pamanku memijit-mijit dahinya. Tampaknya sangat letih.
Aku berpendapat kalau diriku pasti sudah menyusahkan sang paman. Aku mendengar dari bibi kalau hidup di kota sangat mahal. Mereka saat ini juga mengontrak dan tidak bisa memiliki rumah sendiri.
“Kalau begitu Paman, apa Ayu boleh membantu Bi Lusi kerja?” tanyaku yang lekas mendapatkan tatapan ingin tahu dari Paman.
Pamanku mengerjap. Ia kemudian melambai memanggilku. Kemudian disuruhnya aku berdiri tegap cukup lama di depannya. Selanjutnya aku disuruh berputar. Pada akhirnya sang paman tertawa terbahak-bahak. Padahal sama sekali tidak ada yang lucu di sana. “Memang apa yang kamu pikirkan? Kamu tidak akan bisa membantu bibimu! Sudahlah di rumah saja jadi anak baik. Kalau mau bantu kamu bersihkan rumah dan belajar memasak. Itu cukup!”
Aku mendadak merasa malu sendiri. Padahal aku merasa bisa melihat sendiri bagaimana bibiku bekerja. Dengan begitu suatu saat kalau melakoni hal yang sama aku tidak akan canggung.
“Baik, Paman!”
Oleh karena itu, yang aku lakukan selanjutnya adalah belajar mengurus rumah dengan sangat baik. Aku bangun pagi-pagi sekali untuk membuatkan sarapan. Membereskan pakaian kotor bibi dan menyiapkan apapun keperluan pamanku saat akan berangkat keluar kota.
Setiap bulan, Paman memberikan uang yang cukup untuk aku jajan. Hingga aku tak pernah terpikir lagi untuk sekolah. Rasanya sekolah hanya akan memberatkan sang paman saja. Sekarang aku sudah bisa membaca dan menulis. Seperti kata paman, itu cukup.
Semakin aku bertambah usia, aku semakin paham dengan pekerjaan yang dilakoni oleh bibi. Aku menjadi sangat malu setiap kali orang-orang bertanya apakah aku akan ikut jejak bibi.
Aku selalu berpikir ke mana harus pergi untuk dapat melarikan diri. Tetapi, menyadari kalau tidak ada tempat lain yang bisa dituju. Kalau begitu yang bisa kulakukan adalah mengumpulkan uang untuk hidup sendiri.
Aku tidak membenci pamannya. Tetapi, aku benci hidup di bawah bayang-bayang prostitusi.
BRAK! BRAK!
Aku terkejut bukan main. Bibinya tidak ada saat ini dan aku sendirian saja di rumah. Biasanya orang-orang yang datang untuk mengetuk pintu mencari Bibi. Tapi, setelah berumur 15 tahun aku bisa mendengar kalau orang-orang itu mencari diriku juga.
Aku meloncat ke pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Kalau-kalau orang-orang itu mendobrak masuk.
“AYU INI PAMAN!”
Lega perasaanku begitu mengetahui kalau orang yang memukul-mukul pintu adalah Paman. “YA PAMAN! AYU AKAN KE DEPAN SEKARANG!”
Aku mengambil paju lengan panjang yang agak longgar dan celana training panjang juga. Setelah berumur 15 tahun, aku lebih merasa aman jika memakai pakaian yang tertutup seperti ini.
Begitu pintu rumah kontrakan dibuka, pamanku langsung hampir jatuh ke lantai. “Kenapa kamu lama sekali membukakannya?” gerutuan pria itu.
Tapi, dengan cepat ekspresi kesal pamanku berubah menjadi seringaian bahagia. Aku kenal dengan itu semua. Aku kenal bagaimana paman berekspresi saat menerima uang dari suatu tempat.
“Setelah kamu datang ke sini, aku mendapatkan berkat! Sekarang aku juga mendapatkan berkat! Syukurlah aku tidak menjadikanmu seperti Lusi, kamu jadi terjual dengan sangat mahal sampai seperti ini. Ayu ... kamu itu benar-benar membuatku kaya!” katanya sambil menguncang-nguncang bahuku.
Tapi tunggu, apa yang sebenarnya Paman maksud?
Dari semua hal yang dikatakan oleh sang paman, aku hanya mengerti sedikit hal. Salah satunya adalah kata “dijual”. Badanku gemetar karena takut. Aku berdehem sedikit, menghilangkan apapun yang menghalangi rongga tenggorokan.
“Paman, apa maksudnya dijual? Apa yang dijual?” Suaraku gemetar, satu kalimat yang akan didengarnya selanjutnya akan membuatku mungkin menangis dengan keras.
Pamannya diam sebentar dan kini menarikku ke dalam pelukannya. “Ada seseorang yang mencari istri bayaran, aku mendengarnya dari temanku dan aku mengajukanmu! Dia sangat kaya ... apa kamu tahu? Dia sangat kaya!”
“Paman ... aku bukan barang!” Aku berbisik.
Tapi, jelas kalau pamanku tak akan mendengar. Sebab pria itu telah bernyanyi-nyanyi tak jelas saat ini sambil merangkul aku di dalam pelukannya.
“Pantas saja abangku tidak berniat membuangmu dan memperlakukanmu dengan sangat baik! Kamu memang membawa keberuntungan Ayu! Benar-benar beruntung!”
Aku menangis, bukan karena senang. Padahal aku sudah membuat cita-cita yang lain setelah tahu apa kata pelacur. Benar kata orang, perkataan itu adalah doa. Seharusnya aku mencari tahu dulu apa arti kata yang ingin diucapkan sebelum meyakininya sebagai cita-cita.
“Ayu, Lusi akan mendandani kamu yang cantik besok! Mereka akan datang menjemputmu!”
Pemberitahuan yang bagaikan ledakan granat itu membuatku nyaris tidak bisa berpikir. Seolah mendukung ledakan tersebut, petir menyambar dengan sangat hebat dan kemudian hujan mulai turun dengan lebat. Aku nyaris tidak tidur semalam. “Yu!” Aku mengangkat kepala, tidak tahu apa yang dirasakan kini. “Ya, Bi!” “Sana mandi! Kita harus mulai sekarang. Orang-orang itu akan datang sekitar tengah hari. Dan aku harus pergi ke suatu tempat juga sebelum itu!” Bibinya menyusun kuas, kotak-kotak pipih berisi riasan, juga beberapa pakaian di dekat lemari meja rias dalam kamar sempit milik Bibi. “Apa Ayu boleh nggak pergi, Bi! Ayu akan lakukan pekerjaan rumah dengan lebih baik!” Kali ini aku merasa seperti tercekik. Gerakan tangan bibiku berhenti. Ia tidak berbalik, tetapi menatapku dari pantulan di cermin. “Apa mengurusi rumah ini bisa menghasilkan uang? Jangan bercanda! Kalau kamu nggak mau dijual ke orang sembarangan, maka cepat mandi sekarang!” Nada suara wanita yang biasanya ramah itu dingi
“Siapa namamu?” Aku duduk tegang di samping bajingan yang telah membeliku. Orang itu pasti berpikir kalau aku akan mengatakan semua hal yang diinginkan. Tidak akan! Bahkan jika pria di sampingku ini memukuli aku seperti Ibu dulu, ia takkan mendapatkan apa-apa. Persetan dengan keselamatan yang telah diberikan. Siapa yang selamat? Jelas-jelas saat ini aku terperangkap! “Tidak mau jawab, ya?” Lalu pria itu terkekeh-kekeh tertawa. Aku merinding mendengarnya. Sementara sopir yang tadi menenangkan saat aku masuk ke dalam mobil hanya bisa melirik melalui kaca spion tengah. Harusnya pria tua itu membiarkan aku lari saja. Dengan begitu mereka tidak akan bertemu lagi. Dengan begitu sopir itu tidak akan membuat dosa. “Kamu bisu?” tanya pria itu padaku. “Tadi sepertinya kamu berteriak keras sekali!” Yang keluar dari mulut pria gagah itu hanyalah ejekan. “Biarkan aku pergi!” “Hah?” Setelah menyuarakan ketidakpercayaan pria yang membeliku itu tertawa terbahak-bahak lagi. Tampaknya aku semacam
“Bapak sama saja jahatnya sama pria tadi!” tudingku. Sopir tak dikenal yang tadi menyuruh aku masuk ke dalam mobil sedikit terkejut. “Maaf, ya Neng, saya cuma disuruh!” Ia tampak kebingungan karena tak tahu harus berbuat apa. “Tapi, Tuan bukan orang jahat kok Neng!” katanya menegaskan. Aku ingin sekali tertawa. “Mana ada orang baik-baik yang membeli manusia! Saya memang bukan orang berpendidikan, Pak, tapi saya juga tahu yang benar dan yang salah!” Aku bisa melihat si sopir itu mencengkram kemudi erat-erat. Ia melirik ke arah luar dan kemudian membuka sabuk pengamannya. “Percaya sama Bapak, dia bukan orang jahat! Sekarang kita turun dulu ya Neng!” ajak si bapak. Ingin sekali aku berteriak tidak mau. Tetapi, berada di dalam sini hanya akan memutus kesempatannya untuk melarikan diri. Pemilik mobil ini pasti mengunciku di dalam. Jika keluar aku juga akan mendapatkan informasi tentang apa yang terjadi sebenarnya. Pelan-pelan aku mengangguk setuju. “Nama Bapak, Prana. Kamu bisa panggi
Aku sudah mengutus Pak Prana untuk mengurus gadis yang baru dibawa. Aku yakin kalau sopir yang bekerja sudah lama di rumah ini akan melakukan tugas dengan baik. Semalam aku sudah meminta asistenku untuk menghubungi pengacara yang akan membuatkan surat kontrak untuk Ayu. Aku hanya membutuhkan gadis itu untuk mengandung anakku. Setelah anakku lahir, akan kukeluarkan dari rumah ini gadis itudan diberi fasilitas untuk hidup dengan nyaman. Syaratnya Ayu tidak boleh muncul di hadapan anakku nanti dan memberitahu tentang dirinya. “Pak, Tuan Erlan sudah ada di ruang tengah!” Asistenku memberitahu saat ia telah meminum kopiku sampai habis. “Terima kasih!” jawabku. Aku menarik serbet dan mengelap sedikit bibirku. Asistenku mundur memberi jalan. Aku berpapasan dengan nenekku di lorong. Wanita tua itu memalingkan wajah ke arah lain saat aku mendekat. Bagiku itu semua sesuatu yang luar biasa, karena dengan begitu aku tidak harus memikirkan apapun. Erlando Atmajaya adalah temanku sejak masih
Kontrak yang aku baca untuk kedua kalinya itu sudah terasa sempurna. Ini adalah penanganan yang tepat untuk seseorang yang akan memberiku dan Alina anak.Aku belum melihat Alina sejak pagi. semalaman aku memang berada di kantorku di lantai 1. Mungkin setelah pulang dari ulang tahun temannya Alina langsung naik ke kamar kami. Lagi pula keberadaannya di kantorku sama sekali tidak membantu.Gadis yang kusuruh panggil oleh Pak Prana rasanya begitu lama datang. Apakah seharusnya aku menempatkannya di kamar tamu yang dekat dengan segala ruang utama?Begitulah, saat aku memikirkan kemungkinan memindahkan gadis itu pintu ruang tengah ini diketuk. Pintu terbuka lebar, aku menoleh ke belakang begitu juga dengan Erlan.Lalu gadis itu muncul dengan cara yang biasa. Hanya saja tepat saat gadis itu berdiri dengan malu-malu dan canggung beberapa langkah dari pintu, seperti muncul cahaya di belakangnya. Seolah-olah Pak Prana menaruh lampu sorot untuk memperkuat esensi gadis itu.Aku terpana. Dan keti
Dokter yang menjemputku ke lobi menyuruhku untuk mengganti pakaian di ruang ganti. Seorang perawat masuk saat ia menutup pintu dan menyerahkan pakaian berwarna putih padaku. Perawat yang sama kemudian memasangkan gelang di tangan kiriku dan memintaku untuk mengikutinya.“Kita akan melakukan serangkaian tes, saya harap Anda mematuhi semua yang dikatakan perawat dan dokter yang bertugas!” dokter yang merupakan kenalan dari tuan memberikan instruksi yang cukup jelas.Hanya saja bukankah seharusnya mereka bertanya kepadaku Apakah aku mau atau tidak melakukan semua tes ini?“Mari lewat sini!” Si perawat menunggu di pintu selanjutnya yang harus kumasuki.Aku dengan sengaja berjalan lambat-lambat ke arah pintu. Tepat sebelum aku melewati pintu tersebut, seorang wanita muncul. Wanita tak dikenal itu sangat cantik.Rupanya hanya aku saja yang tak kenal dengan wanita itu. Dokter yang datang bersamaku menyalami wanita yang datang dengan ramah.“Nyonya Alina! Apakah Anda akan menemani Nona Ayudi
Alih-alih Pergi bersama ke ruang kerja, Alina berbelok di ruang tengah menuju tangga ke lantai dua. Aku menghentikannya.“Alina, tunggu!”Ia berdiri di bawah anak tangga sambil melipat tangannya di atas perut. Ia tampak tidak senang. padahal aku rasa ia cukup bergembira saat mengetahui ada seorang gadis yang mau menjadi ibu dari anak kami.“Ada apa? Gadis itu mengatakan sesuatu padamu?” Aku tahu kalau Ayu sangat polos. Ia adalah gadis bodoh yang dengan mudah percaya saja pada pamannya yang lebih mirip iblis. Manusia mana yang akan menjual keluarganya untuk mendapatkan uang?“Aku tidak tahu kalau gadis itu secantik itu!”“Siapa?”“Gadis bernama Ayu itu! Dia seorang gadis yang cantik dan sangat muda. Kamu memilihnya karena itu kan?” Alina menuduhku tanpa alasan.“Hanya dia saja yang bisa kita dapatkan! Kamu pikir ….”“Kamu bisa cari gadis lain, kan? Ada banyak wanita penghibur di luar sana! Mereka pasti akan bersedia mengandung anak kita dengan uang sebanyak itu!”Aku mundur dua langkah
Kepada siapa aku harus bertanya? Mataku terus saja mengeluarkan air mata sejak tadi. Aku tidak mengerti dan juga sangat ketakutan.Setalaht sampai di kamar yang aku lakukan hanyalah mondar-mandir saja. Itu berlangsung cukup lama hingga aku merasa sangat kelelahan.Pada akhirnya aku memutuskan untuk melarikan diri. Pasti ada caranya untuk bisa lari dari tempat ini. Tidak ada penjagaan yang sempurna di dunia ini.“Bagaimana caranya supaya bisa keluar dari rumah?”Rumah ini sangat besar hingga aku yakin langsung tersesat begitu keluar dari kamar. Jika bertanya pada Pak Prana yang selalu berada bersamaku di setiap kesempatan rasanya akan langsung ketahuan. Gerakku tidak boleh diketahui oleh Pak Tua itu.Aku bergegas untuk menengok keluar jendela besar yang ada di belakang kepala tempat tidur. Tirai-tirai besar berwarna jingga dan agak gemerlap itu diikat dengan pita-pita cantik yang rasanya begitu halus. Ada tirai putih nyari transparan yang terpasang di balik tirai besar. Dari sana bisa
Barusan aku dengar apa?Aku menatap Gatra yang memandangku balik tanpa keraguan. Aku tahu kalau Gatra bukanlah seorang pembohong. Tetapi, menceraikan Alina sepertinya bukan hal yang mungkin.Bagaimana pun masalah yang menampar kehidupanku bagaikan angin topan adalah karena pernyataan Alina yang dengan terang-terangan tidak mau memiliki anak. Pria di depanku ini kemudian “membeliku” untuk menjadi rahim istrinya.Aku tertawa, tetapi sama sekali tidak bahagia. “Ini sama sekali tidak lucu, Tuan Gatra!” kataku padanya.“Aku sama sekali tidak sedang bercanda tuh! Apa menurutmu tampak seperti ini bercanda?” Gatra benar-benar tak tersenyum sedikit pun kulihat.Aku mengeleng pelan. “Kamu bercanda dengan hidupku menggunakan tampang seperti itu. Apa kamu ingat? Apa perlu kupanggil Pak Prana supaya memberitahumu!”Gatra sama sekali tidak gentar. Tatapannya masih sama saja seperti sebelumnya, tanpa keraguan. Dilain pihak, aku yang mulai ragu pada diriku sendiri sekarang. Bagaimana aku merasa bahag
Ayu mencintai Anda, Tuan! Tetapi, dia penuh dengan ketakutan saat ini! Dia takut Anda akan membuangnya. Hubungan kalian tidak dimulai dengan cara yang bagus. Bahkan ketika itu saya berpikir kalau Anda akan merasa bosan dengannya dan kemudian mencampakkannya. Yah, lalu saya memang ingin membawanya jauh dari Anda saat tahu kalau dia adalah putri kandung saja!Benar. Aku paham betul semua yang dikatakan Pak Prana. Aku juga bisa merasakan perasaan Ayu. Tetapi, jalan hidup wanita itu telah membuatnya tak bisa mempercayai dengan mudah. Ia telah dikhianati beberapa kali sebelum kemudian bertemu denganku.“Bahkan dia menangis di dalam tidurnya!” kataku pelan.Aku memandang garis pantai yang hitam legam. Kemudian memutuskan untuk mempersiapkan semuanya dengan benar. Semuanya harus dimulai dari pertemuan yang bagus lagi. Aku harus melakukannya kalau ingin memperoleh rasa kepercayaan Ayu.“Pak, bisa aku minta nomor ponsel Anda?”Pak Prana sepertinya tengah berusaha mencari tahu apa yang kurencan
Apa aku melakukan kesalahan? Aku jelas pergi seperti yang diinginkan?Aku sangat terkejut begitu melihat Gatra di halaman. Tanpa mempedulikan apapun, aku berlari pergi. Tapi, aku bisa tahu kalau orang-orang itu berteriak-teriak mencegahku untuk berlari. Hal yang tidak kuhiraukan sama sekali.Namun, pada akhirnya aku tersandung dan tergolek di atas gundukan pasir pantai. Secubit pasir masuk ke dalam mulutku, rasanya tidak menyenangkan dan aku terbatuk-batk karena hal itu.“Apa yang terluka? Ada yang sakit?” Suara penuh kekhawatiran yang kemudian disusul dengan penampakan wajahnya hanya beberapa inci di depan wajahku terlihat.Sial!Dorongan untuk berteriak dan memaki mendesak keluar. Akan tetapi, yang lebih dulu terlaksana adalah menangis. Aku tahu. Sebab pandanganku menjadi kabur karena itu. Aku terisak.“Kita ke rumah sakit! Tidak. Aku melihat tempat praktek dokter saat dalam perjalanan kemari!” katanya sambil mengenggam kedua bahuku, menarikku untuk berdiri.Aku mendorongnya hingga
Aku segera kembali ke rumah, meninggalkan segala pekerjaan yang ada di kantor. Pencarian ini lebih penting. Dan aku benar-benar harus bersiap jika tidak ingin kehilangan Ayu lagi.Suara putraku terdengar begitu aku masuk ke dalam rumah. Tampaknya dia terbangun dari tidurnya atau sudah saatnya anak lelakiku itu makan malam. Beberapa pelayan berlarian dengan nampan. Dan tak lama Oma muncul dari kamar yang harusnya dihuni Ayu dan putraku.“Ada apa, Oma?” tanyaku sedikit binggung karena Oma tampaknya dalam keadaan marah.“Wanita itu … kenapa dia tidak pergi dari rumah ini setelah kamu ceraikan!” teriak Oma di depan wajahku.Aku tahu betul siapa yang Oma maksud. Aku juga tidak mengerti kenapa Alina bertahan di tempat ini setelah kami bercerai. Bahkan sikapnya menjadi lebih baik pada Oma dan aku. Tentu saja itu tidak berlaku pada putraku dan Ayu.“Apalagi yang dilakukannya?”“Aku tidak melakukan apapun!”Aku menoleh lekas ke arah suara yang kukenali sebagai milik Alina. Wanita itu berdiri d
Berapa lama waktu yang diperlukan manusia untuk melupakan hal yang ingin dilupakan?Selama apapun aku memikirkannya, aku sama sekali tidak memperoleh jawaban dari apa yang aku inginkan. Aku tidak bisa melupakan hal yang ingin kulupakan walau berusaha setiap hari sekuat tenaga.Bagaimana bisa orang-orang berkata dengan mudah kalau manusia harus melangkah maju?Sudah tiga bulan. Benar. Suah tiga bulan sejak aku meninggalkan rumah Gatra. Luka cesar sudah kering sepenuhnya. Kalau aku merenung masih akan tiba-tiba berdenyut, tetapi hanya itu saja. Tidak ada hal yang lebih lebih dari itu.Benarkah? Yah … aku hanya mengatakan sesuatu yang angkuh saja. Sebab setiap kali luka itu berdenyut aku jadi ingat wajah anakku yang mirip Gatra. Aku jadi ingat Oma. Dan saat sendirian, aku jadi ingat suamiku.Ah … apakah aku masih bisa menyebutnya sebagai suamiku sekarang? Aku kabur loh. Aku melarikan diri dari manusia yang aku sebut suamiku itu karena takut. Aku takut harus mendengar dari mulutnya sebuah
Aku tertidur selama perjalanan. Begitu aku bangun, tak ada satu pun pemandangan yang aku kenali. Semuanya begitu asing, tetapi juga tidak kubenci karena indah.“Ini di mana?” tanyaku pelan sambil menguap dan mengucek mata.Bekas operasi cesarku tiba-tiba saja terasa sedikit nyeri sekarang. Aku mengerang sedikit, menengadah menatap langit-langit mobil. Beberapa kali aku mengambil napas panjang, berusaha menepis rasa sakit yan datang. Lalu pada akhirnya aku berhasil bertahan sedikit.“Kamu baik-baik saja?”Aku berusaha tersenyum pada Pak Prana, tetapi yang berhasil tercipta di mulutku hanyalah seringaian. Perlahan aku beringsut keluar dari mobil. Sedikit pusing saat pertama kali kaki ini menginjak tanah.“Kemarilah, aku akan memapahmu!” kata Pak Prana masih dengan perhatian yang terlihat tulus di matanya.Aku mundur selangkah hingga punggungku terbentur badan mobil. Kehangatan dan perhatiannya mengangguku. Aku tidak terbiasa dengan kebaikan hati seperti yang dipancarkannya saat ini.“Ak
Keanehan yang kurasakan pada Gatra juga kurasakan pada Oma. Namun, setiap kali aku merasa begitu. Aku juga selalu memperingatkan diriku untuk tidak terlalu menerima semuanya.Aku tidak boleh terbiasa dengan sikap lembut orang-orang padaku.Aku habis menyusui bayi itu, anakku dan Gatra. Wajahnya semakin hari semakin mirip saja dengan Gatra. Saat menandangnya seperti ini muncul keinginan di dalam hatiku untuk membawanya bersamaku.Bolehkah aku dengan egois meminta anak ini pada Gatra.Aku segera tahu kalau jawabannya tidak. Aku tahu kalau keegoisanku hanya akan melukaiku jika kulakukan semakin dalam. Makanya setelah selesai menyusui, aku memberikan anak itu cepat-cepat pada perawat.“Nyonya tidak mau mengendongnya lebih lama?” Muni bertanya padaku.Aku mau, tapi aku tidak bisa melakukannya. Maka aku diam saja.“Aku boleh jalan-jalan, kan?” Aku bertanya pada Muni.“Boleh Nyonya. Saya mendapatkan perintah dari Dokter untuk mengawasi sesi terapi Anda. Luka operasinya masih belum kering, An
Aku memirigkan kepala sama sekali tidak mengerti kenapa Gatra tersenyum seperti orang bodoh di depanku begini. Aku yakin kalau sedang tidak bermimpi. Aku sangat sehat saat ini dan sudah terbebas dari pengaruh obat tidur.“Bunga itu untukku?”Gatra mengangguk. “Kamu tidak suka?” tanyanya.Tidak. Aku sangat suka dengan buket yang tampaknya dikerjakan dengan sepenuh hati oleh pembuatnya itu. Yang tidak akan mengerti adalah keberadaan buket bunga tersebut saat ini.Aku telah tenggelam dalam dugaan selama semalaman tentang kontrakku dengan Gatra. Anehnya aku sama sekali tidak gembira dengan fakta kalau sebentar lagi aku tidak akan bertemu dengan pria ini.Aku merasa sedih.“Apa aku salah memilih bunganya?” Gatra bergumam sendiri saat ini. Ancungan bunganya yang setinggi dadaku tadi mulai turun hingga ke pinggang dan wajahnya tidak berseri lagi kulihat.“Aku hanya terkejut!” kataku jujur.“Kenapa kamu terkejut?”Apa aku perlu bertanya padanya kapan ia memberiku bunga. Itu sudah lama sekali
“Aku tidak memiliki kesalahan! Aku hanya menyingkirkan penganggu di dalam rumah tangga kita!” Alina dengan tegas mengatakan hal itu padaku.Kalau saja ia mengatakan tentang penganggu yang berdenggung seperti lelat di telingaku dulu, yang menjelek-jelekan dirinya, dan tergabung dalam sebutan teman-teman Alina pasti aku sangat senang.“Dia bukan penganggu!” kata Alina dengan pasti.Aku tidak pernah mau mengakui di mana salahnya sehingga kehidupan rumah tangga bahagia yang berharap kujalani bersama Alina menjadi seperti ini. Namun, yang jelas semua tidak dimulai dengan kedatangan Ayu.Tidak. Semua tuduhan Alina pada Ayu sama sekali tidak benar.“Kamu hanya mencari kambing hitam saja!” kataku padanya.Aku menjauhinya. Pembicaraan ini sama sekali tidak pantas untuk dilakukan. Ayu sama sekali tidak menjadi masalah utama. Sejak awal masalahnya adalah Alina.“Kamu membelanya dengan terang-terangan?” Alina tertawa.Dulu tawa Alina sangat merdu di telingaku, bagaikan bidadari yang tengah berny