Pemberitahuan yang bagaikan ledakan granat itu membuatku nyaris tidak bisa berpikir. Seolah mendukung ledakan tersebut, petir menyambar dengan sangat hebat dan kemudian hujan mulai turun dengan lebat.
Aku nyaris tidak tidur semalam.
“Yu!”
Aku mengangkat kepala, tidak tahu apa yang dirasakan kini. “Ya, Bi!”
“Sana mandi! Kita harus mulai sekarang. Orang-orang itu akan datang sekitar tengah hari. Dan aku harus pergi ke suatu tempat juga sebelum itu!” Bibinya menyusun kuas, kotak-kotak pipih berisi riasan, juga beberapa pakaian di dekat lemari meja rias dalam kamar sempit milik Bibi.
“Apa Ayu boleh nggak pergi, Bi! Ayu akan lakukan pekerjaan rumah dengan lebih baik!” Kali ini aku merasa seperti tercekik.
Gerakan tangan bibiku berhenti. Ia tidak berbalik, tetapi menatapku dari pantulan di cermin. “Apa mengurusi rumah ini bisa menghasilkan uang? Jangan bercanda! Kalau kamu nggak mau dijual ke orang sembarangan, maka cepat mandi sekarang!” Nada suara wanita yang biasanya ramah itu dingin.
“Baik, Bi!” Tidak ada yang bisa aku lakukan lagi. Setidaknya selama beberapa saat ini.
Aku mandi asal-asalan. Lalu keluar dengan melilitkan handuk di sekeliling tubuh. Rambutku setengah basah dan Bibi langsung menarik aku dengan kasar untuk duduk di depan cermin besar.
“Kenapa kamu tidak mengeringkan badan dengan benar? Sialan!”
Sebuah handuk lagi muncul dan dengan kasar digosokkan ke atas kepala. Setelah setengah kering, headdryer menyemburkan udara panas ke kepalaku. Aku memejamkan mata.
“Bibi apa yang ....” Aku protes saat handuk yang melilit tubuhku ditanggalkan.
“Apa memangnya? Tentu saja kita harus memberimu pakaian dalam yang baru!” Nada suara bibiku tinggi. Ia menyodorkan pakaian yang lumayan tranparan pada aku. “Pakai!”
“Ini pakaian dalam?” Aku tidak percaya.
“Kamu mau pakai sendiri atau aku yang pakaikan?” Bibiku membelalakan mata.
Ayu tersedak seketika. Aku meraih pakaian dalam yang tembus pandang itu dan memakainya dengan hati-hati karena takut robek. Setelah itu sang bibi memakaian gaun luar untukku.
“Bi, ini terlalu terbuka!” keluhku.
“Diam dan pakai saja!”
Aku direngut kembali, dipaksa untuk duduk di depan cermin dan dirias tanpa persetujuan. Tak lama aku telah selesai, tampak cantik dan siap dijual. Giliran bibinya yang berganti pakaian, menggunakan gaun yang sama dengan Ayu.
“Aku tidak mau mengirimmu ke sana, sungguh!” Pamanku memeluk pinggang sang bibi saat berada di ruang tamu. Aku melihat dari kamar tempat aku berada.
“Tapi, kamu tetap mengirimku, kan? Sialan! Bajingan!”
Suara klakson mobil terdengar. Kedua orang itu yang sedang berpelukan pergi keluar, mengintip siapa yang datang. “Jemputanmu!”
“Ini yang terakhir kan? Setelah anak itu terjual, kita akan pindah, kan?”
“Ya!”
***
Hujan di luar turun lebih lebat dibandingkan sebelumnya. Pamanku ada di ruang tamu, minum. Sementara itu aku tetap di kamar, menahan haus. Sesekali aku mengintip Paman dengan perasaan khawatir.
Saat aku mengintip untuk kesekian kalinya, pria yang sejak tadi minum itu tengah terkulai lemas karena mabuk. Dan aku memutuskan untuk keluar mengambil minum.
“Paman ... apa yang Paman lakukan? Lepas!” Gelas yang ada di tanganku jatuh. Aku berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan pelukan pamannya itu dari belakang.
“Kamu itu cantik, Yu, seperti ibumu. Kakakku beruntung sekali memiliki ibumu walau pun dia waktu itu sedang hamil. Kamu mau sama aku aja nggak Yu!”
Aku mual. Aku meronta dengan cepat melepaskan diri dan lari. Aku merasa jijik pada diriku, pada pikiran pamanku.
“YU! AYU!” Pria itu sempoyongan mengejar keluar.
Aku berhenti di pintu, memandang jalanan yang basah karena hujan. Aku tak kenal kota ini. Tempat terjauh yang kudatangi adalah ujung jalan tempat warung berada. Namun, Kali ini adalah satu-satunya kesempatanku untuk pergi. Aku harus melakukannya.
“Ayu! Kalau kamu pergi ... bisa saja kamu ditemukan ibumu!” Beberapa waktu sebelumnya pasti aku akan kembali masuk ke dalam, tapi sekarang tidak.
“Ayu nggak mau di sini lagi!” Aku melangkahkan kaki yang telanjang ke arah jalanan yang basah. Berlari sekuat tenaga. Aku tak akan tertangkap. Aku bukan lagi anak-anak.
Namun, pelarianku berhenti hanya berjarak 100 meter dari rumah. Sebuah mobil menyerempetku. Aku tak terluka parah, tapi kakiku sakit.
Dari pintu-pintu mobil keluar dua orang laki-laki. Satu memakai jas, yang satu lagi memakai kemeja putih.
“Ah, Anda sudah datang ya? Anak ini baru saja mau melarikan diri!” Suara pamanku terdengar di antara hujan. Layaknya setan yang berbisik dengan cara mengerikan.
“Sekarang dia sudah tidak bisa lari sepertinya!” Entah siapa yang saat ini bicara.
Hujan sudah membutakanku. Aku merasakan panas di mata dan leherku kembali tercekik.
“Uangnya sudah disiapkan, Pak?”
“Saya bukan barang!” Aku mendesis bagaikan ular berbisa yang mengancam.
Kepala-kepala itu tertunduk ingin tahu. Aku tidak bisa melihat jelas. Pandanganku masih kabur. Mungkin karena hujan, atau bisa saja karena rasa takut.
“Sayangnya kamu sudah dijual dengan harga yang pantas oleh pria ini. Kamu tidak bisa melarikan diri sekarang?”
Aku masih tidak tahu siapa yang bicara.
Aku berusaha berdiri, menyeret kakiku yang sakit untuk pergi dari tempat itu. Aku bukan barang, berkali-kali kukatakan hal yang sama pada diriku.
“Bisa bawa calon istri saya masuk ke dalam mobil, Pak?”
Segera tangan-tangan kekar mencengkeram bahuku, setelah menyelimutiku dengan jaket yang tak tahu dari mana. Aku berontak. “Lepas! Lepaskan saya!” Tapi, setiap kali berontak kakiku semakin sakit saja.
“Jangan melawan, Nak! Selama tidak melawan kamu akan baik-baik saja.” Suara pria yang bicara padaku lembut, begitu menenangkan, nyaris seperti mendiang Ayah.
“Tapi, saya nggak mau! Saya nggak mau!” Akh menangis, masih belum pasrah untuk masuk ke dalam mobil.
Dari tempatnya berdiri sekarang aku bisa melihat Paman menerima koper. Wajahnya sangat senang. “Ini cash, kan?”
“Tentu saja! Semuanya 150 juta rupiah, tunai! Terima kasih!”
Kepalaku ditekan ke bawah. Layaknya lubang hitam yang menyeramkan, pintu mobil menelanku seketika. Bertepatan dengan itu pria yang menyerahkan koper tadi masuk ke dalam mobil juga.
“Bajingan!” Aku memakinya.
Pria itu hanya memandangku sedikit. Tatapannya jelas meremehkan. “Bukannya kamu harus bersyukur karena aku yang membelimu?”
“Siapa namamu?” Aku duduk tegang di samping bajingan yang telah membeliku. Orang itu pasti berpikir kalau aku akan mengatakan semua hal yang diinginkan. Tidak akan! Bahkan jika pria di sampingku ini memukuli aku seperti Ibu dulu, ia takkan mendapatkan apa-apa. Persetan dengan keselamatan yang telah diberikan. Siapa yang selamat? Jelas-jelas saat ini aku terperangkap! “Tidak mau jawab, ya?” Lalu pria itu terkekeh-kekeh tertawa. Aku merinding mendengarnya. Sementara sopir yang tadi menenangkan saat aku masuk ke dalam mobil hanya bisa melirik melalui kaca spion tengah. Harusnya pria tua itu membiarkan aku lari saja. Dengan begitu mereka tidak akan bertemu lagi. Dengan begitu sopir itu tidak akan membuat dosa. “Kamu bisu?” tanya pria itu padaku. “Tadi sepertinya kamu berteriak keras sekali!” Yang keluar dari mulut pria gagah itu hanyalah ejekan. “Biarkan aku pergi!” “Hah?” Setelah menyuarakan ketidakpercayaan pria yang membeliku itu tertawa terbahak-bahak lagi. Tampaknya aku semacam
“Bapak sama saja jahatnya sama pria tadi!” tudingku. Sopir tak dikenal yang tadi menyuruh aku masuk ke dalam mobil sedikit terkejut. “Maaf, ya Neng, saya cuma disuruh!” Ia tampak kebingungan karena tak tahu harus berbuat apa. “Tapi, Tuan bukan orang jahat kok Neng!” katanya menegaskan. Aku ingin sekali tertawa. “Mana ada orang baik-baik yang membeli manusia! Saya memang bukan orang berpendidikan, Pak, tapi saya juga tahu yang benar dan yang salah!” Aku bisa melihat si sopir itu mencengkram kemudi erat-erat. Ia melirik ke arah luar dan kemudian membuka sabuk pengamannya. “Percaya sama Bapak, dia bukan orang jahat! Sekarang kita turun dulu ya Neng!” ajak si bapak. Ingin sekali aku berteriak tidak mau. Tetapi, berada di dalam sini hanya akan memutus kesempatannya untuk melarikan diri. Pemilik mobil ini pasti mengunciku di dalam. Jika keluar aku juga akan mendapatkan informasi tentang apa yang terjadi sebenarnya. Pelan-pelan aku mengangguk setuju. “Nama Bapak, Prana. Kamu bisa panggi
Aku sudah mengutus Pak Prana untuk mengurus gadis yang baru dibawa. Aku yakin kalau sopir yang bekerja sudah lama di rumah ini akan melakukan tugas dengan baik. Semalam aku sudah meminta asistenku untuk menghubungi pengacara yang akan membuatkan surat kontrak untuk Ayu. Aku hanya membutuhkan gadis itu untuk mengandung anakku. Setelah anakku lahir, akan kukeluarkan dari rumah ini gadis itudan diberi fasilitas untuk hidup dengan nyaman. Syaratnya Ayu tidak boleh muncul di hadapan anakku nanti dan memberitahu tentang dirinya. “Pak, Tuan Erlan sudah ada di ruang tengah!” Asistenku memberitahu saat ia telah meminum kopiku sampai habis. “Terima kasih!” jawabku. Aku menarik serbet dan mengelap sedikit bibirku. Asistenku mundur memberi jalan. Aku berpapasan dengan nenekku di lorong. Wanita tua itu memalingkan wajah ke arah lain saat aku mendekat. Bagiku itu semua sesuatu yang luar biasa, karena dengan begitu aku tidak harus memikirkan apapun. Erlando Atmajaya adalah temanku sejak masih
Kontrak yang aku baca untuk kedua kalinya itu sudah terasa sempurna. Ini adalah penanganan yang tepat untuk seseorang yang akan memberiku dan Alina anak.Aku belum melihat Alina sejak pagi. semalaman aku memang berada di kantorku di lantai 1. Mungkin setelah pulang dari ulang tahun temannya Alina langsung naik ke kamar kami. Lagi pula keberadaannya di kantorku sama sekali tidak membantu.Gadis yang kusuruh panggil oleh Pak Prana rasanya begitu lama datang. Apakah seharusnya aku menempatkannya di kamar tamu yang dekat dengan segala ruang utama?Begitulah, saat aku memikirkan kemungkinan memindahkan gadis itu pintu ruang tengah ini diketuk. Pintu terbuka lebar, aku menoleh ke belakang begitu juga dengan Erlan.Lalu gadis itu muncul dengan cara yang biasa. Hanya saja tepat saat gadis itu berdiri dengan malu-malu dan canggung beberapa langkah dari pintu, seperti muncul cahaya di belakangnya. Seolah-olah Pak Prana menaruh lampu sorot untuk memperkuat esensi gadis itu.Aku terpana. Dan keti
Dokter yang menjemputku ke lobi menyuruhku untuk mengganti pakaian di ruang ganti. Seorang perawat masuk saat ia menutup pintu dan menyerahkan pakaian berwarna putih padaku. Perawat yang sama kemudian memasangkan gelang di tangan kiriku dan memintaku untuk mengikutinya.“Kita akan melakukan serangkaian tes, saya harap Anda mematuhi semua yang dikatakan perawat dan dokter yang bertugas!” dokter yang merupakan kenalan dari tuan memberikan instruksi yang cukup jelas.Hanya saja bukankah seharusnya mereka bertanya kepadaku Apakah aku mau atau tidak melakukan semua tes ini?“Mari lewat sini!” Si perawat menunggu di pintu selanjutnya yang harus kumasuki.Aku dengan sengaja berjalan lambat-lambat ke arah pintu. Tepat sebelum aku melewati pintu tersebut, seorang wanita muncul. Wanita tak dikenal itu sangat cantik.Rupanya hanya aku saja yang tak kenal dengan wanita itu. Dokter yang datang bersamaku menyalami wanita yang datang dengan ramah.“Nyonya Alina! Apakah Anda akan menemani Nona Ayudi
Alih-alih Pergi bersama ke ruang kerja, Alina berbelok di ruang tengah menuju tangga ke lantai dua. Aku menghentikannya.“Alina, tunggu!”Ia berdiri di bawah anak tangga sambil melipat tangannya di atas perut. Ia tampak tidak senang. padahal aku rasa ia cukup bergembira saat mengetahui ada seorang gadis yang mau menjadi ibu dari anak kami.“Ada apa? Gadis itu mengatakan sesuatu padamu?” Aku tahu kalau Ayu sangat polos. Ia adalah gadis bodoh yang dengan mudah percaya saja pada pamannya yang lebih mirip iblis. Manusia mana yang akan menjual keluarganya untuk mendapatkan uang?“Aku tidak tahu kalau gadis itu secantik itu!”“Siapa?”“Gadis bernama Ayu itu! Dia seorang gadis yang cantik dan sangat muda. Kamu memilihnya karena itu kan?” Alina menuduhku tanpa alasan.“Hanya dia saja yang bisa kita dapatkan! Kamu pikir ….”“Kamu bisa cari gadis lain, kan? Ada banyak wanita penghibur di luar sana! Mereka pasti akan bersedia mengandung anak kita dengan uang sebanyak itu!”Aku mundur dua langkah
Kepada siapa aku harus bertanya? Mataku terus saja mengeluarkan air mata sejak tadi. Aku tidak mengerti dan juga sangat ketakutan.Setalaht sampai di kamar yang aku lakukan hanyalah mondar-mandir saja. Itu berlangsung cukup lama hingga aku merasa sangat kelelahan.Pada akhirnya aku memutuskan untuk melarikan diri. Pasti ada caranya untuk bisa lari dari tempat ini. Tidak ada penjagaan yang sempurna di dunia ini.“Bagaimana caranya supaya bisa keluar dari rumah?”Rumah ini sangat besar hingga aku yakin langsung tersesat begitu keluar dari kamar. Jika bertanya pada Pak Prana yang selalu berada bersamaku di setiap kesempatan rasanya akan langsung ketahuan. Gerakku tidak boleh diketahui oleh Pak Tua itu.Aku bergegas untuk menengok keluar jendela besar yang ada di belakang kepala tempat tidur. Tirai-tirai besar berwarna jingga dan agak gemerlap itu diikat dengan pita-pita cantik yang rasanya begitu halus. Ada tirai putih nyari transparan yang terpasang di balik tirai besar. Dari sana bisa
Alina muncul, membuat asistenku terlonjak kaget dengan sikapnya dan kemudian memilih mundur.Aku sendiri lekas menyimpan berkas yang sedang aku kerjakan. “Duduklah! Ada apa?” Alina jarang datang ke kantorku di rumah. Kalau muncul itu artinya ada sesuatu yang mau disampaikannya padaku. Tawaranku diterima tanpa banyak bicara dan dengan telepon kupanggil pelayan untuk membawak teh dan kopi untuk kami. Sampai teh datang, Alina belum mengatakan apapun. Aku juga tidak mengusiknya sama sekali. Namun, lama kelamaan akhirnya aku tak sabar lagi menunggu. “Ada apa, Alina? Kalau tidak ada apapun aku akan kembali mengurus pekerjaan. Kamu bisa minum tehnya di ruanganku sendirian!” Aku berdiri, bermaksud untuk kembali ke meja. Asistenku yang berdiri di luar juga bersiap untuk masuk ke dalam. “Dia sudah membuat masalah, kan?” tanya Alina padaku. Aku cukup paham tentang siapa Alina bicara sekarang. “Dia tidak berhasil! Erlan sudah sejak pertama menemukannya dan memanggilku!” “Aku sudah bi
Barusan aku dengar apa?Aku menatap Gatra yang memandangku balik tanpa keraguan. Aku tahu kalau Gatra bukanlah seorang pembohong. Tetapi, menceraikan Alina sepertinya bukan hal yang mungkin.Bagaimana pun masalah yang menampar kehidupanku bagaikan angin topan adalah karena pernyataan Alina yang dengan terang-terangan tidak mau memiliki anak. Pria di depanku ini kemudian “membeliku” untuk menjadi rahim istrinya.Aku tertawa, tetapi sama sekali tidak bahagia. “Ini sama sekali tidak lucu, Tuan Gatra!” kataku padanya.“Aku sama sekali tidak sedang bercanda tuh! Apa menurutmu tampak seperti ini bercanda?” Gatra benar-benar tak tersenyum sedikit pun kulihat.Aku mengeleng pelan. “Kamu bercanda dengan hidupku menggunakan tampang seperti itu. Apa kamu ingat? Apa perlu kupanggil Pak Prana supaya memberitahumu!”Gatra sama sekali tidak gentar. Tatapannya masih sama saja seperti sebelumnya, tanpa keraguan. Dilain pihak, aku yang mulai ragu pada diriku sendiri sekarang. Bagaimana aku merasa bahag
Ayu mencintai Anda, Tuan! Tetapi, dia penuh dengan ketakutan saat ini! Dia takut Anda akan membuangnya. Hubungan kalian tidak dimulai dengan cara yang bagus. Bahkan ketika itu saya berpikir kalau Anda akan merasa bosan dengannya dan kemudian mencampakkannya. Yah, lalu saya memang ingin membawanya jauh dari Anda saat tahu kalau dia adalah putri kandung saja!Benar. Aku paham betul semua yang dikatakan Pak Prana. Aku juga bisa merasakan perasaan Ayu. Tetapi, jalan hidup wanita itu telah membuatnya tak bisa mempercayai dengan mudah. Ia telah dikhianati beberapa kali sebelum kemudian bertemu denganku.“Bahkan dia menangis di dalam tidurnya!” kataku pelan.Aku memandang garis pantai yang hitam legam. Kemudian memutuskan untuk mempersiapkan semuanya dengan benar. Semuanya harus dimulai dari pertemuan yang bagus lagi. Aku harus melakukannya kalau ingin memperoleh rasa kepercayaan Ayu.“Pak, bisa aku minta nomor ponsel Anda?”Pak Prana sepertinya tengah berusaha mencari tahu apa yang kurencan
Apa aku melakukan kesalahan? Aku jelas pergi seperti yang diinginkan?Aku sangat terkejut begitu melihat Gatra di halaman. Tanpa mempedulikan apapun, aku berlari pergi. Tapi, aku bisa tahu kalau orang-orang itu berteriak-teriak mencegahku untuk berlari. Hal yang tidak kuhiraukan sama sekali.Namun, pada akhirnya aku tersandung dan tergolek di atas gundukan pasir pantai. Secubit pasir masuk ke dalam mulutku, rasanya tidak menyenangkan dan aku terbatuk-batk karena hal itu.“Apa yang terluka? Ada yang sakit?” Suara penuh kekhawatiran yang kemudian disusul dengan penampakan wajahnya hanya beberapa inci di depan wajahku terlihat.Sial!Dorongan untuk berteriak dan memaki mendesak keluar. Akan tetapi, yang lebih dulu terlaksana adalah menangis. Aku tahu. Sebab pandanganku menjadi kabur karena itu. Aku terisak.“Kita ke rumah sakit! Tidak. Aku melihat tempat praktek dokter saat dalam perjalanan kemari!” katanya sambil mengenggam kedua bahuku, menarikku untuk berdiri.Aku mendorongnya hingga
Aku segera kembali ke rumah, meninggalkan segala pekerjaan yang ada di kantor. Pencarian ini lebih penting. Dan aku benar-benar harus bersiap jika tidak ingin kehilangan Ayu lagi.Suara putraku terdengar begitu aku masuk ke dalam rumah. Tampaknya dia terbangun dari tidurnya atau sudah saatnya anak lelakiku itu makan malam. Beberapa pelayan berlarian dengan nampan. Dan tak lama Oma muncul dari kamar yang harusnya dihuni Ayu dan putraku.“Ada apa, Oma?” tanyaku sedikit binggung karena Oma tampaknya dalam keadaan marah.“Wanita itu … kenapa dia tidak pergi dari rumah ini setelah kamu ceraikan!” teriak Oma di depan wajahku.Aku tahu betul siapa yang Oma maksud. Aku juga tidak mengerti kenapa Alina bertahan di tempat ini setelah kami bercerai. Bahkan sikapnya menjadi lebih baik pada Oma dan aku. Tentu saja itu tidak berlaku pada putraku dan Ayu.“Apalagi yang dilakukannya?”“Aku tidak melakukan apapun!”Aku menoleh lekas ke arah suara yang kukenali sebagai milik Alina. Wanita itu berdiri d
Berapa lama waktu yang diperlukan manusia untuk melupakan hal yang ingin dilupakan?Selama apapun aku memikirkannya, aku sama sekali tidak memperoleh jawaban dari apa yang aku inginkan. Aku tidak bisa melupakan hal yang ingin kulupakan walau berusaha setiap hari sekuat tenaga.Bagaimana bisa orang-orang berkata dengan mudah kalau manusia harus melangkah maju?Sudah tiga bulan. Benar. Suah tiga bulan sejak aku meninggalkan rumah Gatra. Luka cesar sudah kering sepenuhnya. Kalau aku merenung masih akan tiba-tiba berdenyut, tetapi hanya itu saja. Tidak ada hal yang lebih lebih dari itu.Benarkah? Yah … aku hanya mengatakan sesuatu yang angkuh saja. Sebab setiap kali luka itu berdenyut aku jadi ingat wajah anakku yang mirip Gatra. Aku jadi ingat Oma. Dan saat sendirian, aku jadi ingat suamiku.Ah … apakah aku masih bisa menyebutnya sebagai suamiku sekarang? Aku kabur loh. Aku melarikan diri dari manusia yang aku sebut suamiku itu karena takut. Aku takut harus mendengar dari mulutnya sebuah
Aku tertidur selama perjalanan. Begitu aku bangun, tak ada satu pun pemandangan yang aku kenali. Semuanya begitu asing, tetapi juga tidak kubenci karena indah.“Ini di mana?” tanyaku pelan sambil menguap dan mengucek mata.Bekas operasi cesarku tiba-tiba saja terasa sedikit nyeri sekarang. Aku mengerang sedikit, menengadah menatap langit-langit mobil. Beberapa kali aku mengambil napas panjang, berusaha menepis rasa sakit yan datang. Lalu pada akhirnya aku berhasil bertahan sedikit.“Kamu baik-baik saja?”Aku berusaha tersenyum pada Pak Prana, tetapi yang berhasil tercipta di mulutku hanyalah seringaian. Perlahan aku beringsut keluar dari mobil. Sedikit pusing saat pertama kali kaki ini menginjak tanah.“Kemarilah, aku akan memapahmu!” kata Pak Prana masih dengan perhatian yang terlihat tulus di matanya.Aku mundur selangkah hingga punggungku terbentur badan mobil. Kehangatan dan perhatiannya mengangguku. Aku tidak terbiasa dengan kebaikan hati seperti yang dipancarkannya saat ini.“Ak
Keanehan yang kurasakan pada Gatra juga kurasakan pada Oma. Namun, setiap kali aku merasa begitu. Aku juga selalu memperingatkan diriku untuk tidak terlalu menerima semuanya.Aku tidak boleh terbiasa dengan sikap lembut orang-orang padaku.Aku habis menyusui bayi itu, anakku dan Gatra. Wajahnya semakin hari semakin mirip saja dengan Gatra. Saat menandangnya seperti ini muncul keinginan di dalam hatiku untuk membawanya bersamaku.Bolehkah aku dengan egois meminta anak ini pada Gatra.Aku segera tahu kalau jawabannya tidak. Aku tahu kalau keegoisanku hanya akan melukaiku jika kulakukan semakin dalam. Makanya setelah selesai menyusui, aku memberikan anak itu cepat-cepat pada perawat.“Nyonya tidak mau mengendongnya lebih lama?” Muni bertanya padaku.Aku mau, tapi aku tidak bisa melakukannya. Maka aku diam saja.“Aku boleh jalan-jalan, kan?” Aku bertanya pada Muni.“Boleh Nyonya. Saya mendapatkan perintah dari Dokter untuk mengawasi sesi terapi Anda. Luka operasinya masih belum kering, An
Aku memirigkan kepala sama sekali tidak mengerti kenapa Gatra tersenyum seperti orang bodoh di depanku begini. Aku yakin kalau sedang tidak bermimpi. Aku sangat sehat saat ini dan sudah terbebas dari pengaruh obat tidur.“Bunga itu untukku?”Gatra mengangguk. “Kamu tidak suka?” tanyanya.Tidak. Aku sangat suka dengan buket yang tampaknya dikerjakan dengan sepenuh hati oleh pembuatnya itu. Yang tidak akan mengerti adalah keberadaan buket bunga tersebut saat ini.Aku telah tenggelam dalam dugaan selama semalaman tentang kontrakku dengan Gatra. Anehnya aku sama sekali tidak gembira dengan fakta kalau sebentar lagi aku tidak akan bertemu dengan pria ini.Aku merasa sedih.“Apa aku salah memilih bunganya?” Gatra bergumam sendiri saat ini. Ancungan bunganya yang setinggi dadaku tadi mulai turun hingga ke pinggang dan wajahnya tidak berseri lagi kulihat.“Aku hanya terkejut!” kataku jujur.“Kenapa kamu terkejut?”Apa aku perlu bertanya padanya kapan ia memberiku bunga. Itu sudah lama sekali
“Aku tidak memiliki kesalahan! Aku hanya menyingkirkan penganggu di dalam rumah tangga kita!” Alina dengan tegas mengatakan hal itu padaku.Kalau saja ia mengatakan tentang penganggu yang berdenggung seperti lelat di telingaku dulu, yang menjelek-jelekan dirinya, dan tergabung dalam sebutan teman-teman Alina pasti aku sangat senang.“Dia bukan penganggu!” kata Alina dengan pasti.Aku tidak pernah mau mengakui di mana salahnya sehingga kehidupan rumah tangga bahagia yang berharap kujalani bersama Alina menjadi seperti ini. Namun, yang jelas semua tidak dimulai dengan kedatangan Ayu.Tidak. Semua tuduhan Alina pada Ayu sama sekali tidak benar.“Kamu hanya mencari kambing hitam saja!” kataku padanya.Aku menjauhinya. Pembicaraan ini sama sekali tidak pantas untuk dilakukan. Ayu sama sekali tidak menjadi masalah utama. Sejak awal masalahnya adalah Alina.“Kamu membelanya dengan terang-terangan?” Alina tertawa.Dulu tawa Alina sangat merdu di telingaku, bagaikan bidadari yang tengah berny