Bawa dia ke Istana Boneka! Ingat, Gatra!
Karena itulah aku termenung di depan peta area saat ini. Aku sedang memperhitungkan rute yang akan diambil untuk bisa sampai ke tempat yang telah diwanti-wanti oleh Erlan kemarin saat pulang.
“Kenapa?” tanyaku pada Ayu saat merasa ia sedikit gelisah.
“Kita di sini ngapain?” tanya Ayu binggung. Ia melirik pada orang-orang yang bahkan tidak singgah di depan peta.
Aku menoleh pada hal-hal yang dipandangi Ayu dan menyadari kalau terlalu banyak berpikir. Kulirik peta untuk terakhir kalinya sebelum kemudian membimbing Ayu mengikuti orang-orang. Kamu melewati atraksi menegangkan.
“Kamu mau naik itu?” tanyaku padanya.
Ia memandang para pemain yang ada di atas wahana terlempar ke atas dan ke bawah. Teriakan mereka sangat berisik dan kulihat Ayu mengelengkan kepalanya. “Nggak!”
“Kalau itu?” tanyaku pada komedi putar yang tampak nyaman.
Apa seharusnya aku menarik juga gadis itu kemari? Aku bertanya pada diri sendiri saat telah sampai dikios minuman. Lalu aku menoleh ke belakang dan menemukan kalau Ayu masih duduk di sana. Aku merasa lega karena hal itu. Kemudian ikut dalam antrian kios minuman ini. Sambil mengantri kucek kembali ponsel untuk melihat pesan yang masuk. Nada dering ponsel telah aku matikan saat akan berangkat tadi, seperti yang disuruh Erlan.Aku sampai tak lama di depan sekali dan segera memesan jus buah untuk kami. Setelah menerima pesanan dan membayar, aku berbalik ke belakang. Dan Ayu tidak ada di tempat aku meninggalkannya.“Ayu! AYU!” panggilku.Bisa saja ia tertarik dengan atraksi lain sehingga meninggalkan tempat duduknya. Bisa juga ia ditarik oleh orang-orang jahat untuk dibawa pergi. Bagaimana pun Ayu terlihat seperti gadis cantik yang kaya dengan pakaiannya yang sekarang.Sesampainya di tempat Ayu terakhir kulihat, kuedarkan pandangan ke segala arah. Aku meminta diriku sendiri untuk tenang.
Aku mendengar kalau namaku dipanggil dua kali. Segera aku menoleh ke asal suara dan langsung terpana saat melihat bahwa ada Ayu di sana, di antara tiga lelaki yang tidak kukenal.“Hei ... kalian!” Aku memanggil ketiga orang itu, tetapi ketiganya sama sekali tidak berhenti.Mereka mendorong Ayu untuk bergerak terus. Aku memaki di dalam hati dan berusaha mengejar ketiga orang yang jaraknya sudah lumayan jauh. Napasku sesak saat mereka semua berhasil kususul.“BERHENTI!” Aku menarik pergelangan tangan Ayu.Namun, pria yang mendorrongnya dari belakang menendangku sekuat tenaga hingga terjengkang. Orang-orang yang berlalu lalang berhenti begitu melihatku jatuh. Dan pria itu yang sama sekali tidak pernah kulihat memaki.“Dasar Sial! Seharusnya kamu membiarkan saja kami!” katanya padaku.Dia mungkin gila. Atau IQ-nya jongkok memang jongkok. Karena tidak ada satu manusia pun yang akan membiarkan saja seseorang dal
“Bawa dia ke kamarnya!” Gatra langsung meminta pelayanku Muni untuk membawaku ke kamar.Muni menatap kami cukup lama sebelum kemudian membimbingku masuk ke dalam. Ruangan-ruangan yang kulewati terasa lebih besar dibandingkan sebelumnya. Bahkan lorong-lorong menuju kamar terasa tak ada ujungnya.“Nona ... Anda baik-baik saja?” tanya Muni terdengar khawatir.Aku menoleh padanya dengan mata berkaca-kaca. “Menurutmu aku tampak seperti apa, Muni?”Kami berhenti di lorong. Muni memastikan tidak ada siapapun di lorong sebelum kemudian menunduk dan berbisik padaku. “Anda sangat cantik Nona! Siapapun yang melihat Anda pasti jatuh cinta!”Dulu aku pasti akan dengan mudah percaya. Seperti saat ibuku mengatakan betapa ia mencintaiku saat perasaannya baik. Atau saat ayahku pulang membawakan aku eskrim dan berkata bahwa aku adalah putri cantik yang paling disayanginya.Kini semua itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Aku malah bingung kenapa orang-orang itu selalu saja mengatakan sebuah omong koso
“Dia bilang apa?” tanyaku pada Muni.Sudah lewat makan malam dan seharusnya aku berada di kamarku sekarang, tetapi pelayan itu menghentikan aku di aula dan berkata kalau ada pesan dari Ayu untukku.“Nona Ayu bilang dia mau bicara sama Bapak!”Aku memang meminta Ayu untuk berpikir ulang. Aku telah mengatakan padanya hal-hal yang bisa dimiliki. Hal-hal yang akan terjadi padanya kalau menolak tawaranku dalam pernikahan kontrak ini.Aku memang tidak akan menuntut Ayu atas uang yang telah terlanjur aku keluarkan untuknya. Bagaimana memang caranya untuk membayar uang sebesar 150 juta itu?“Di mana dia?”“Di kamarnya, Pak!” jawab Muni.Aku mengangguk dan mengibaskan tangan pada Muni, memberi kode kalau aku akan pergi ke kamar Ayu sendiri. Muni menunduk dan pamit untuk pergi ke dapur.Kebanyakan pekerja di dalam rumah telah kembali ke kamarnya di belakang dekat dapur. Ada juga yang tidur dengan keluarga di pavilliun kecil di belakang rumah. Jadi, rumah terasa sepi dan kosong pada malam hari.
“Gaun ini cocok sekali denganmu!” Oma memelukku dari belakang.Aku terkejut mendapatkan pelukan dan antusiasme yang seperti itu hingga membeku seketika. Aku menahan napas karena takut melakukan kesalahan. Pandanganku sedikit berkunang-kunang saat Gatra menarik Oma dariku sehingga bisa bernapas dengan lega kembali.“Sepertinya bagian ekor itu dibuang saja. Tidak cocok dengannya!” Gatra memutariku bagaikan binatang buas yang tengah menandai mangsanya. Itu berlaku dengan cepat sampai aku sama sekali tidak merasa tegang sedikit pun.“Baiklah, seperti yang Anda inginkan, Tuan!” Para pelayan designer itu kemudian mengiringku kembali ke ruang ganti dan menanggalkan gaun yang kucoba dengan hati-hati. “Terima kasih atas bantuannya, Nona!” katanya begitu ramah padaku.Lalu aku diantar keluar ke tempat Oma dan Gatra berada kembali. Kedua orang itu tengah mengobrol serius. Tetapi, saat aku datang apapun yang mereka obrolkan berhenti begitu saja.Tahulah aku segera kalau apa yang aku obrolkan itu
Ayu selalu seperti orang yang akan menangis kapanpun aku melihatnya. Karena itu setelah mendengar kalau gadis yang dibawa dengan cara paksa ke rumahku itu bersedia menjadi ibu dari anaknya, aku tidak mau menemuinya lagi.Namun, aku terkejut dengan keberadaannya di taman bersama Oma. Aku memang memiliki janji dengan wanita tua, ibu dari ayah kandungku itu. Ah, rupanya Oma kembali ingin membuatku dan Ayu dekat. Jelas-jelas usaha pendekatan yang aku lakukan percuma saja.Kilatan kekagetan dan kegembiraan yang aku lihat di wajah Ayu, membuat darahku berdesir. Gadis itu tidak tersenyum, hanya menatap kaget. Ia bahkan sedikit ketakutan setelahnya, tetapi sama sekali tidak berdiri untuk melarikan diri.Makanya ketika Oma berkata membawa Ayu untuk mengepas pakaian pengantin yang sudah aku pesankan, aku setujui. Yah, sudah lama gadis itu sendirian saja di dalam rumah ini. Mungkin hanya Muni saja yang berbicara dengannya seharian.“Cantik!” Aku
Penata rias yang didatangkan Gatra itu dengan cepat mengubak kontur wajahku dengan berbagai tambahan makeup. Aku sampai tidak mengenali diriku sendiri sekarang.“Sudah selesai! Kamu cantik sekali, ya! Pantas saja Pak Gatra mau menikahimu padahal sudah punya Mbak Alina!”Aku langsung menoleh seketika. Bukan begitu ceritana. Kisah yang aku alami jelas tidak semanis itu. Walau aku memang memiliki mimpi yang manis semacam itu, tapi kenyataan tidak selalu mengikuti. Kisahku tak lebih bagaikan barang mewah yang dibeli di loak.Si penata rias menegakkan diri begitu mendengar pintu kamarku diketuk. Aku melihat pantulan bayangan Gatra di cermin di depanku. Pria itu mengenakan kemeja biru dengan celana hitam. Sepatu pantofelnya sewarna dengan celana yang digunakan.“Kamu sudah siap?” tanya Gatra sambil bersandar di dinding.Ia menatapku dari atas sampai bawah. Aku sama sekali tidak mengerti untuk alasan apa ia melakukan itu. Jelas sekali kalau ia tidak tertarik padaku.“Sudah dong, Pak! Gimana
Awalnya semua orang tertawa dan kemudian ketika melihat bahwa aku menjawab dengan sangat serius, tertawa semua orang lenyap bagaikan tersapu angin. Memang apa salahku? Aku mengatakan hal yang sebenarnya.Setelahnya, pria tua yang tadi bertanya padaku lebih banyak mengobrol dengan Gatra. Sesekali ia menoleh padaku tersenyum maklum. Aku tidak mengerrti kenapa ia melakukan hal demikian.“Di mana ijab kabulnya akan dilaksanakan nanti, Nak Gatra?”“Di rumah, Pak! Kami akan membuat pesta kecil sedikit.” Gatra tampak bangga saat mengatakannya. Emang apa yang salah dengan pesta kecil yang baru saja disebutkan.“Calon istrimu sangat polos. Kamu harus memahami keinginannya nanti, ya? Dia istri keduamu, kan? Harus adil sebagai suami. Jangan apa-apa kamu meminta salah satu istrimu mengalah!”Aku bisa mendengar kalau Gatra hanya membenarkan apa yang dikatakan oleh pria tua yang memberikan kami nasehat. Karena tidak diajak serta untuk bicara, aku terkantuk-kantuk di kursi.Aku baru kembali tersadar
Barusan aku dengar apa?Aku menatap Gatra yang memandangku balik tanpa keraguan. Aku tahu kalau Gatra bukanlah seorang pembohong. Tetapi, menceraikan Alina sepertinya bukan hal yang mungkin.Bagaimana pun masalah yang menampar kehidupanku bagaikan angin topan adalah karena pernyataan Alina yang dengan terang-terangan tidak mau memiliki anak. Pria di depanku ini kemudian “membeliku” untuk menjadi rahim istrinya.Aku tertawa, tetapi sama sekali tidak bahagia. “Ini sama sekali tidak lucu, Tuan Gatra!” kataku padanya.“Aku sama sekali tidak sedang bercanda tuh! Apa menurutmu tampak seperti ini bercanda?” Gatra benar-benar tak tersenyum sedikit pun kulihat.Aku mengeleng pelan. “Kamu bercanda dengan hidupku menggunakan tampang seperti itu. Apa kamu ingat? Apa perlu kupanggil Pak Prana supaya memberitahumu!”Gatra sama sekali tidak gentar. Tatapannya masih sama saja seperti sebelumnya, tanpa keraguan. Dilain pihak, aku yang mulai ragu pada diriku sendiri sekarang. Bagaimana aku merasa bahag
Ayu mencintai Anda, Tuan! Tetapi, dia penuh dengan ketakutan saat ini! Dia takut Anda akan membuangnya. Hubungan kalian tidak dimulai dengan cara yang bagus. Bahkan ketika itu saya berpikir kalau Anda akan merasa bosan dengannya dan kemudian mencampakkannya. Yah, lalu saya memang ingin membawanya jauh dari Anda saat tahu kalau dia adalah putri kandung saja!Benar. Aku paham betul semua yang dikatakan Pak Prana. Aku juga bisa merasakan perasaan Ayu. Tetapi, jalan hidup wanita itu telah membuatnya tak bisa mempercayai dengan mudah. Ia telah dikhianati beberapa kali sebelum kemudian bertemu denganku.“Bahkan dia menangis di dalam tidurnya!” kataku pelan.Aku memandang garis pantai yang hitam legam. Kemudian memutuskan untuk mempersiapkan semuanya dengan benar. Semuanya harus dimulai dari pertemuan yang bagus lagi. Aku harus melakukannya kalau ingin memperoleh rasa kepercayaan Ayu.“Pak, bisa aku minta nomor ponsel Anda?”Pak Prana sepertinya tengah berusaha mencari tahu apa yang kurencan
Apa aku melakukan kesalahan? Aku jelas pergi seperti yang diinginkan?Aku sangat terkejut begitu melihat Gatra di halaman. Tanpa mempedulikan apapun, aku berlari pergi. Tapi, aku bisa tahu kalau orang-orang itu berteriak-teriak mencegahku untuk berlari. Hal yang tidak kuhiraukan sama sekali.Namun, pada akhirnya aku tersandung dan tergolek di atas gundukan pasir pantai. Secubit pasir masuk ke dalam mulutku, rasanya tidak menyenangkan dan aku terbatuk-batk karena hal itu.“Apa yang terluka? Ada yang sakit?” Suara penuh kekhawatiran yang kemudian disusul dengan penampakan wajahnya hanya beberapa inci di depan wajahku terlihat.Sial!Dorongan untuk berteriak dan memaki mendesak keluar. Akan tetapi, yang lebih dulu terlaksana adalah menangis. Aku tahu. Sebab pandanganku menjadi kabur karena itu. Aku terisak.“Kita ke rumah sakit! Tidak. Aku melihat tempat praktek dokter saat dalam perjalanan kemari!” katanya sambil mengenggam kedua bahuku, menarikku untuk berdiri.Aku mendorongnya hingga
Aku segera kembali ke rumah, meninggalkan segala pekerjaan yang ada di kantor. Pencarian ini lebih penting. Dan aku benar-benar harus bersiap jika tidak ingin kehilangan Ayu lagi.Suara putraku terdengar begitu aku masuk ke dalam rumah. Tampaknya dia terbangun dari tidurnya atau sudah saatnya anak lelakiku itu makan malam. Beberapa pelayan berlarian dengan nampan. Dan tak lama Oma muncul dari kamar yang harusnya dihuni Ayu dan putraku.“Ada apa, Oma?” tanyaku sedikit binggung karena Oma tampaknya dalam keadaan marah.“Wanita itu … kenapa dia tidak pergi dari rumah ini setelah kamu ceraikan!” teriak Oma di depan wajahku.Aku tahu betul siapa yang Oma maksud. Aku juga tidak mengerti kenapa Alina bertahan di tempat ini setelah kami bercerai. Bahkan sikapnya menjadi lebih baik pada Oma dan aku. Tentu saja itu tidak berlaku pada putraku dan Ayu.“Apalagi yang dilakukannya?”“Aku tidak melakukan apapun!”Aku menoleh lekas ke arah suara yang kukenali sebagai milik Alina. Wanita itu berdiri d
Berapa lama waktu yang diperlukan manusia untuk melupakan hal yang ingin dilupakan?Selama apapun aku memikirkannya, aku sama sekali tidak memperoleh jawaban dari apa yang aku inginkan. Aku tidak bisa melupakan hal yang ingin kulupakan walau berusaha setiap hari sekuat tenaga.Bagaimana bisa orang-orang berkata dengan mudah kalau manusia harus melangkah maju?Sudah tiga bulan. Benar. Suah tiga bulan sejak aku meninggalkan rumah Gatra. Luka cesar sudah kering sepenuhnya. Kalau aku merenung masih akan tiba-tiba berdenyut, tetapi hanya itu saja. Tidak ada hal yang lebih lebih dari itu.Benarkah? Yah … aku hanya mengatakan sesuatu yang angkuh saja. Sebab setiap kali luka itu berdenyut aku jadi ingat wajah anakku yang mirip Gatra. Aku jadi ingat Oma. Dan saat sendirian, aku jadi ingat suamiku.Ah … apakah aku masih bisa menyebutnya sebagai suamiku sekarang? Aku kabur loh. Aku melarikan diri dari manusia yang aku sebut suamiku itu karena takut. Aku takut harus mendengar dari mulutnya sebuah
Aku tertidur selama perjalanan. Begitu aku bangun, tak ada satu pun pemandangan yang aku kenali. Semuanya begitu asing, tetapi juga tidak kubenci karena indah.“Ini di mana?” tanyaku pelan sambil menguap dan mengucek mata.Bekas operasi cesarku tiba-tiba saja terasa sedikit nyeri sekarang. Aku mengerang sedikit, menengadah menatap langit-langit mobil. Beberapa kali aku mengambil napas panjang, berusaha menepis rasa sakit yan datang. Lalu pada akhirnya aku berhasil bertahan sedikit.“Kamu baik-baik saja?”Aku berusaha tersenyum pada Pak Prana, tetapi yang berhasil tercipta di mulutku hanyalah seringaian. Perlahan aku beringsut keluar dari mobil. Sedikit pusing saat pertama kali kaki ini menginjak tanah.“Kemarilah, aku akan memapahmu!” kata Pak Prana masih dengan perhatian yang terlihat tulus di matanya.Aku mundur selangkah hingga punggungku terbentur badan mobil. Kehangatan dan perhatiannya mengangguku. Aku tidak terbiasa dengan kebaikan hati seperti yang dipancarkannya saat ini.“Ak
Keanehan yang kurasakan pada Gatra juga kurasakan pada Oma. Namun, setiap kali aku merasa begitu. Aku juga selalu memperingatkan diriku untuk tidak terlalu menerima semuanya.Aku tidak boleh terbiasa dengan sikap lembut orang-orang padaku.Aku habis menyusui bayi itu, anakku dan Gatra. Wajahnya semakin hari semakin mirip saja dengan Gatra. Saat menandangnya seperti ini muncul keinginan di dalam hatiku untuk membawanya bersamaku.Bolehkah aku dengan egois meminta anak ini pada Gatra.Aku segera tahu kalau jawabannya tidak. Aku tahu kalau keegoisanku hanya akan melukaiku jika kulakukan semakin dalam. Makanya setelah selesai menyusui, aku memberikan anak itu cepat-cepat pada perawat.“Nyonya tidak mau mengendongnya lebih lama?” Muni bertanya padaku.Aku mau, tapi aku tidak bisa melakukannya. Maka aku diam saja.“Aku boleh jalan-jalan, kan?” Aku bertanya pada Muni.“Boleh Nyonya. Saya mendapatkan perintah dari Dokter untuk mengawasi sesi terapi Anda. Luka operasinya masih belum kering, An
Aku memirigkan kepala sama sekali tidak mengerti kenapa Gatra tersenyum seperti orang bodoh di depanku begini. Aku yakin kalau sedang tidak bermimpi. Aku sangat sehat saat ini dan sudah terbebas dari pengaruh obat tidur.“Bunga itu untukku?”Gatra mengangguk. “Kamu tidak suka?” tanyanya.Tidak. Aku sangat suka dengan buket yang tampaknya dikerjakan dengan sepenuh hati oleh pembuatnya itu. Yang tidak akan mengerti adalah keberadaan buket bunga tersebut saat ini.Aku telah tenggelam dalam dugaan selama semalaman tentang kontrakku dengan Gatra. Anehnya aku sama sekali tidak gembira dengan fakta kalau sebentar lagi aku tidak akan bertemu dengan pria ini.Aku merasa sedih.“Apa aku salah memilih bunganya?” Gatra bergumam sendiri saat ini. Ancungan bunganya yang setinggi dadaku tadi mulai turun hingga ke pinggang dan wajahnya tidak berseri lagi kulihat.“Aku hanya terkejut!” kataku jujur.“Kenapa kamu terkejut?”Apa aku perlu bertanya padanya kapan ia memberiku bunga. Itu sudah lama sekali
“Aku tidak memiliki kesalahan! Aku hanya menyingkirkan penganggu di dalam rumah tangga kita!” Alina dengan tegas mengatakan hal itu padaku.Kalau saja ia mengatakan tentang penganggu yang berdenggung seperti lelat di telingaku dulu, yang menjelek-jelekan dirinya, dan tergabung dalam sebutan teman-teman Alina pasti aku sangat senang.“Dia bukan penganggu!” kata Alina dengan pasti.Aku tidak pernah mau mengakui di mana salahnya sehingga kehidupan rumah tangga bahagia yang berharap kujalani bersama Alina menjadi seperti ini. Namun, yang jelas semua tidak dimulai dengan kedatangan Ayu.Tidak. Semua tuduhan Alina pada Ayu sama sekali tidak benar.“Kamu hanya mencari kambing hitam saja!” kataku padanya.Aku menjauhinya. Pembicaraan ini sama sekali tidak pantas untuk dilakukan. Ayu sama sekali tidak menjadi masalah utama. Sejak awal masalahnya adalah Alina.“Kamu membelanya dengan terang-terangan?” Alina tertawa.Dulu tawa Alina sangat merdu di telingaku, bagaikan bidadari yang tengah berny