Sore itu kami membawa ibu pulang ke rumah. Kondisi kesehatan ibu beberapa tahun belakangan memang semakin menurun hingga akhirnya mengharuskan mbak Santi dan suaminya, mas Hanif, kembali kembali tinggal bersama ibu demi bisa menjaga dan merawat beliau.
Awalnya semenjak menikah, kakakku itu rela mengikuti suaminya yang hanya bekerja serabutan mengontrak di sebuah rumah petak kecil untuk tempat tinggal mereka. Hingga akhirnya mereka memiliki sepasang anak kembar Rani dan Rino yang usianya sekarang sudah 5 tahun.
Meskipun pada saat menikah, ibu waktu itu menawari mereka untuk tinggal bersama beliau, tapi mas Hanif dan mbak Santi menolaknya dengan alasan tidak ingin merepotkan ibu setelah mereka menikah.
Lalu kemudian saat aku dipersunting mas Bram, yang status sosialnya di atas kami, ibu dan kakakku begitu bangga. Bukan karena mereka tipe orang yang suka mengharapkan belas kasih dari orang lain, namun karena membayangkan hidupku akan menjadi lebih baik di tangan suami yang mapan. Itu membuat mereka lebih tenang. Namun ternyata semua bayangan itu salah.
Dua bulan sebelum kelahiran Icha, anak semata wayang kami, aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku dan memilih untuk fokus mengurusi rumah tangga. Toh penghasilan suamiku sudah cukup besar untuk bisa menghidupi kami. Namun ternyata pilihanku itu keliru.
Tidak bekerjanya diriku malah membuat posisiku di rumah itu seperti tak ada harganya. Selain karena aku tidak pernah lagi memegang uang sendiri, nyatanya mas Bram juga bukan suami yang pengertian dengan kebutuhan istrinya. Kepentinganku justru selalu dikalahkan dengan kebutuhan ibu dan adik-adiknya.
"Din, kok malah bengong di sini sih malam-malam? Lagi mikirin apa?" Mas Santi ternyata sudah duduk di kursi sebelahku di serambi rumah ibu.
"Eh, mbak, enggak mikirin apa-apa kok," kilahku.
"Kamu mikirin suami kamu ya? Sifatnya masih belum berubah juga sampai sekarang?" tebaknya seperti biasa.
"Ssst, mbak, jangan keras-keras ngomongnya. Nanti ibu denger malah jadi kepikiran," ujarku memperingatkannya.
"Enggak, ibu baru aja tidur kok, Din. Habis minum obat tadi. Icha juga udah tidur sama Rino Rani. Masuk yuk, di luar dingin. Nanti kamu malah masuk angin," katanya.
Kuturuti kata-kata kakakku, segera saja aku berdiri dan mengikutinya masuk.
"Mas Hanif belum pulang ya mbak jam segini?" tanyaku saat kulihat motor kakak iparku belum ada di ruang tamu.
"Belum lah, Din. Sekarang dia narik. Biasanya di atas jam 9 malam pulangnya."
"Narik? Narik apaan, Mbak?" Dahiku berkerut penasaran, karena setahuku mas Hanif selama ini kerjaannya tidak menentu.
"Ngojek, Din. Sekarang mas Hanif ikutan ojek online. Meskipun penghasilannya ya sama aja tidak menentu tapi alhamdulillah lah Din bisa cukup untuk anak-anak dan biaya makan kami sehari-hari," ucap kakakku itu dengan senyum di wajahnya.
Mataku mendadak panas mendengar ucapan panjang lebar mbak Santi.
"Maafin Dinda ya mbak? Dinda nggak pernah bisa bantu apa-apa selama ini,. Padahal kalau dipikir-pikir suami Dinda jauh lebih mampu dibanding mas Hanif," kataku sedih sambil memeluk wanita yang umurnya 5 tahun lebih tua dariku itu.
"Ck! Sudaaah. Ngomong apa sih kamu ini, Din? Yang penting kamu dan keluargamu bahagia aja itu bagi ibu sama mbak sudah cukup," katanya membesarkan hati.
"Seandainya saja begitu, Mbak." Aku malah jadi sesenggukan dalam pelukannya mendengar kalimatnya barusan.
"Lah, malah pada peluk-pelukan ngapain?" Tiba-tiba suara mas Hanif mengagetkan kami yang langsung saling melepas pelukan sambil senyum malu-malu.
"Udah pulang, Mas? Kapan datengnya? Kok nggak kedengeran motornya sih?" tanya mba Santi sambil menghampiri suaminya lalu mengulurkan tangan bermaksud mencium punggung tangan suaminya.
"Bentar mas bersih bersih dulu, Dek. Habis dari jalanan," kata kakak iparku itu, lalu berjalan mengendap ke arah belakang rumah seperti takut membangunkan beberapa penghuni rumah yang sudah terlelap.
Mba Santi menghampiriku dan kami berdua kompak menahan tawa melihat tingkah mas Hanif yang berjalan seperti orang sedang berpantomim.
Seandainya saja rumah tanggaku dan mas Bram seharmonis ini juga. Aku mendesah pelan. Namun sepertinya semua itu hanya angan.
"Ke dapur yuk, Din. Aku mau angetin makan malam buat mas Hanif. Kamu makan lagi ya? Sekalian kusiapin," tawarnya.
"Ih makan mulu, nggak ah mbak, udah gemuk ini aku. Gimana kata mas Bram nanti kalau tubuhku makin gembrot?"
"Hah? Emang si Bram suka protes masalah berat badan kamu?" Mbak Santi membulatkan mata jenaka.
"Nggak cuma berat badan mbak, penampilan juga. Semuanya, selalu diprotes. Iya kalau segala sesuatuku diperhatikan sama dia. Ini mah enggak, tapi diprotes terus," gerutuku kesal mengingat kembali perlakuan-perlakuan mas Bram selama ini padaku. Terutama sejak kelahiran Icha.
"Ya udah, sabar Din. Semua pasti ada hikmahnya. Yuk kalau gitu bantuin mbak di dapur," ajaknya.
Aku baru saja ingin mengikuti langkah kakakku menuju dapur saat tiba-tiba ponsel di tanganku berbunyi.
Mba Santi menghentikan langkah sebentar, lalu melirikku.
"Siapa?" tanyanya berbisik.
"Mas Bram," jawabku singkat sambil mengedikkan bahu.
"Ya udah dijawab dulu. Siapa tau mau nanyain kabar ibu," katanya sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya ke dapur.
"Assalamu'alaikum, ya Mas?" sapaku.
"Din, kamu nginep ya? Kok nggak bilang sih?" cerocosnya bahkan tanpa menjawab salam dariku. Sudah kuduga, boro-boro nanyain kabar ibu. Eh, ini malah memprotes kenapa aku gak pulang.
"Iya, mas. Aku nginep di sini. Mau ngerawat ibu sebentar. Kasian kan ibu lagi sakit. Aku udah bawa beberapa baju kok tadi."
"Kok nginep sih? Icha juga kenapa harus dibawa kesitu? Ibumu kan lagi sakit, kalau Icha ketularan gimana? Dahlah besok pagi kamu pulang. Awas ya kalau enggak."
"Lah Mas, ini aku di rumah ibu. Bukan kemana-mana lho. Lagian ibu sakit juga bukan penyakit menular, Mas. Nggak usah terlalu khawatir gitu. Aku ijin nginep di sini beberapa hari aja kok, Mas. Paling enggak sampai ibu agak mendingan."
"Enggak. Nggak boleh! Pokoknya besok pagi kamu harus pulang, Din. Aku nggak mau tau. Rumah nggak ada yang ngurus kalau kamu nggak ada. Adik-adik lagi pada sibuk soalnya," ujarnya panjang lebar.
"Astaghfirullah, Maaaas. Aku ngurus ibu ini, Mas. Bukannya lagi maen." Sesak rasanya dada ini mendengar kalimat demi kalimat yang meluncur dari mulutnya. Dia mengharapkanku ada di rumah itu hanya untuk menngurusi rumah. Sedangkan ibunya? Adik-adiknya?
"Aku nggak mau tau, pokoknya besok pulang atau aku seret kamu pulang! Nggak nurut banget jadi istri!"
Dan .... KLIK!!
Belum sempat kujawab perkataannya, mas Bram sudah terlanjur menutup sambungan telepon kami.
Memang sungguh egois suamiku itu. Entah apa dia akan bisa berubah suatu hari nanti apa tidak, yang jelas aku sudah teramat lelah menghadapi semua hal tentangnya. Jika selama ini Icha menjadi alasanku bertahan dengannya, sekarang Icha akan jadi alasanku untuk berjuang.
Pagi itu usai sarapan, kami dikejutkan dengan kedatangan mobil mewah di halaman rumah ibu. Lalu seorang lelaki yang mungkin seusia mas Hanif keluar dan membukakan pintu belakang mobil untuk seseorang. "Oh, Pakdhe Arno!" pekik mba Santi. Mas Hanif yang sudah siap dengan seragam kerjanya dan sedang menyiapkan motornya pun sampai kaget dibuatnya. "Siapa, Dek?" tanyanya pada sang istri. "Pakdhe, Mas. Yang kemarin kuceritain itu." Dan kami bertiga pun segera menyambut kedatangan kakak sepupu ibu itu dengan antusias. Tak lupa tiga bocah cilik mengekor di belakang kami. "Gimana ibu kalian? Sudah sehat?" tanya lelaki tua yang masih terlihat sangat gagah itu setelah kami semua kembali masuk ke dalam rumah. "Alhamdulillah, Pakdhe. Berkat pertolongan Pakdhe ibu sudah membaik sekarang," kata mbak Santi. "Santi bawa ibu ke sini dulu ya, Pakdhe. Tunggu sebentar," kata mba Santi bermaksud untuk bangkit. Namun dengan cepat lelaki dengan penampilan berkelas itu mencegahnya. "Tidak perlu, S
"Icha, Din. Icha dibawa pulang paksa sama Bram," katanya sambil terbata. "Apa?" "Bram bilang kamu harus pulang sekarang, Din. Kalau tidak katanya kamu nggak akan pernah diperbolehkan ketemu sama Icha lagi," kata mba Santi masih sesenggukan. Tanpa pikir panjang lagi, aku pun segera berlari ke dalam rumah mengambil tas dari kamarku dan segera pergi menemui ibu di kamarnya. Mata ibu nampak masih sembab sepertinya habis menangis tadi. Kasihan sekali, dengan kejadian ini dia pasti sudah tahu bagaimana rumah tanggaku sebenarnya. "Bu, Dinda pamit dulu ya? Maaf nggak bisa nemenin ibu lama-lama di sini," ucapku dengan nada sesal. "Pulanglah, Din. Tempatmu memang di samping keluargamu. Anakmu lebih membutuhkanmu dibanding ibu. Pulanglah, Nak!" kata ibu dengan matanya yang mulai bening. Aku mengangguk, mencium tangannya, lalu segera keluar dari kamar itu karena tak ingin terlihat meneteskan air mata di depannya. Seandainya kamu tahu, Bu, Dinda sudah sangat lelah dengan mas Bram. Din
"Apa, Mas? Kamu mau pukul aku? Pukul saja, ayo!" tantangku. Tapi dia justru bergeming. "Kenapa diam? Biasanya juga begitu kan? Ayo pukul!" Sekali lagi kuberanikan diri untuk menantangnya. Aku bahkan sudah memejamkan mata. Hanya satu hal dalam pikiranku saat ini. Aku tidak akan diam saja saat nanti terjadi seperti sebelumnya. Kali ini semua perbuatannya akan kujadikan bukti untuk perjuanganku selanjutnya. Karena beberapa saat tak merasakan apa-apa, aku pun membuka mata dan kulihat mas Bram tetap tak bergerak di tempatnya. Namun matanya menatapku sangat tajam. Sepertinya bukan karena kasihan yang membuatnya jadi terdiam sekarang ini, mungkin lebih karena dia kaget, aku yang biasanya ketakutan menghadapinya, kini berbalik menantangnya. "Siapa yang membuatmu jadi seperti ini, hah!" tanyanya kemudian. "Kakakmu atau ibumu yang mengajarimu untuk menentang suami seperti ini? Jawaaabbb!" teriaknya. Aku sudah berniat untuk membalas teriakannya saat tiba-tiba kudengar Icha menangis keras di
"Jadi kamu mau kerja lagi, Din?" tanya Ema saat kemudian akhirnya kami bertemu di sebuah rumah yang yang terlihat sangat bersih dengan halaman lumayan besar di tepi jalan. Beberapa pengasuh nampak sedang sibuk dengan anak-anak di sudut sana sini. Tidak terlalu banyak jumlah anak-anak itu, tapi begitu aku mendudukkan diri di kursi teras dan mulai mengobrol dengan Ema, tak kusangka Icha segera saja berlari untuk berbaur bersama anak-anak yang rata-rata masih berusia di bawah umurnya itu. "Iya, Em. Aku terpaksa harus bekerja lagi karena sepertinya aku tidak akan punya harapan jika terus bergantung pada mas Bram," jelasku setelah menghela nafas berat. "Kamu lagi ada masalah ya sama suamimu?" Ema segera saja tahu apa yang terjadi. Begitulah sahabatku yang satu ini. Kami memang jarang bertemu dan berinteraksi, namun hanya dia satu-satunya sahabat dari SMA yang selalu mengerti keadaanku. Dia paling peka dengan kondisi teman-temannya. "Kamu bener, Em. Tapi maaf ya aku belum bisa cerita s
Bram membanting berkas di tangannya ke atas meja kerjanya dengan kesal. Laporan bulanannya ditolak oleh atasannya dengan alasan yang dia tak mengerti, padahal mati-matian dia sudah mengerjakannya beberapa hari ini dengan timnya. Kekesalannya lengkap sudah saat ditengoknya aplikasi perpesanannya banyak sekali pesan dari ibunya yang belum dia baca. Sewaktu meeting tadi Bram memang sengaja menolak panggilan wanita yang sudah melahirkannya itu berkali-kali sehingga mungkin kemudian bu Lis segera menghujaninya dengan banyak pesan. 'Pasti telah terjadi sesuatu di rumah,' batin Bram menggerutu. Masalah kantornya saja sudah membuatnya pusing hari ini. Mau ditambah apa lagi sekarang? Dihempaskannya tubuh penatnya ke kursi kerja dengan kesal tanpa berniat membaca pesan dari sang ibu. Namun baru saja dia memejamkan mata sejenak untuk menghilangkan kekesalannya, ponselnya tiba-tiba berbunyi lagi. Mata lelaki itu seketika membelalak lebar. "S*al," umpatnya kesal. Dia pikir atasannya yang
Meskipun sedikit kecewa karena ternyata Dira menolak untuk melakukan wawancara dengan perusahan tempatnya bekerja sekarang, namun entah kenapa Dinda begitu yakin bahwa Dira sebenarnya menyesal telah menolak tawaran itu. Saat jam menunjukkan pukul 4 sore, Dinda pun segera bersiap meninggalkan kantor. Hari ini begitu melelahkan baginya, namun tentu saja dia lebih senang berada di kantor ini daripada di rumah yang sudah membuatnya sangat tidak nyaman itu. Dinda juga begitu senang karena pakdhenya terlihat begitu bangga dengan bagaimana cepatnya dia belajar. Mungkin karena semangatnya yang tinggi hingga Dinda begitu rajin di hari pertamanya bekerja. Sebelum meninggalkan kantor, rupanya Dinda sudah punya rencana untuk menemui kakak iparnya. Hanif terlihat masih sibuk merapikan meja kerjanya di ruangan marketing. "Mas Hanif," sapanya sambil melongok di pintu ruangan. "Eh, Din. Udah mau pulang? Tunggu bentar ya aku selesaikan beres-beres dulu. Nanti kuantar pulang," cerocos Hanif mel
"Kalian jangan keterlaluan, aku ini kerja bukannya keluyuran seperti yang kalian tuduhkan itu," kata Dinda emosi. "Kerja apaan emangnya, Mbak? Mana ada sih orang kerja sambil bawa-bawa anak? Jangan ngibul deh," ejek Lina. "Percuma saja ngomong sama kalian. Kalian juga nggak akan ngerti," kata Dinda sambil berlalu meninggalkan tempat itu menuju ke kamar anaknya. Beruntung tadi Ema mengajaknya makan dulu sebelum mengijinkannya pulang. Jadi dia bisa langsung beristirahat menemani Icha setelah ini. Usai membersihkan diri, Dinda langsung menemani anaknya bermain sebentar sebelum akhirnya gadis kecil itu menguap tanda kelelahan dan mengantuk. Tak butuh waktu lama untuk membuat anak itu tidur dalam pelukannya. Karena sudah lama tidak bekerja di luar rumah, Dinda pun jadi ikut tertidur kecapekan di sampingnya. Rasanya baru beberapa menit dia memejamkan mata saat tiba-tiba pintu kamar anaknya diketuk dari luar. "Din, Dinda!" Suara ibu mertua dari luar. Dinda beranjak bangun lalu membuka
Siang itu Dira tiba-tiba panik luar biasa karena tiba-tiba calon suaminya, Denny, sepagian tidak bisa dihubungi. Berkali kali dia mondar-mandir gelisah berkeliling rumah, membuat Ibu dan adiknya yang kebetulan libur kuliah jadi ikut bingung dibuatnya. "Ada apa sih, Mbak?" tanya Lina menghampiri kakaknya. "Denny nih, kenapa ya kok dari pagi nggak bisa dihubungi?" jawab Dira dengan wajah bingung bercampur marah. "Masa sih? Memangnya nggak pamit gitu mau kemana?" "Makanya itu Lin, mbak bingung. Dia nggak ngomong apa-apa sebelumnya. Pesan terakhir yang mbak kirim semalem aja masih centang satu. HPnya nggak aktif sampai sekarang." "Coba hubungi nomer lainnya aja, Mbak." "Nggak ada Lin, nomer dia kan cuma satu." "Kalau gitu nomer keluarganya. Mbak Dira punya kan? Nyimpen kan?" desak sang adik. "Oh iya ya, kok mbak sampai nggak kepikiran sih." Dira menepuk dahinya sendiri karena tak bisa berpikir tenang sejak tadi. Perlahan wanita berambut lurus sebahu itu pun menghubungi satu pe