"Ibu sakit, Mas. Aku minta ijin pulang ya?" pintaku saat menghampiri tempat duduknya.
"Sakit apa?" tanya mas Bram yang sedang duduk-duduk di teras rumah bersama ibu dan dua adik perempuannya, bahkan tanpa menoleh sebentar pun ke arahku.
"Aku belum tau, Mas. Barusan mba Santi ngasih kabar katanya semalem ibu pingsan, tapi katanya udah dibawa ke klinik."
"Ooh, ya udah, pulang aja sana nggak apa-apa," katanya enteng.
Aku tercenung di tempatku berdiri. Heran dengan sikapnya yang begitu tak peduli dengan keadaan orang tuaku. Dia bahkan langsung melanjutkan obrolannya dengan ibu dan dua adiknya yang nampak serius.
Ini memang bukan pertama kalinya sikap suamiku seperti itu jika menyangkut aku dan keluargaku. Namun kali ini benar-benar sangat menyesakkan.
"Mas," panggilku lagi.
"Ada apa lagi sih?" Setelah menoleh padaku, dia pun langsung berdiri dengan gerutu kesalnya sambil berjalan menghampiriku.
"Bisa ngomong sebentar nggak? Ini penting, Mas," pintaku lagi.
"Ya udah, ayo!"
Dengan langkah cepat mas Bram menuju ke kamar kami, sedangkan aku mengikuti di belakangnya.
Sesampainya di kamar, kulihat dia segera mengambil dompet dari celana panjangnya, lalu mengulurkan selembar uang 100 ribuan padaku.
"Nih!" katanya sedikit kasar.
"Cuma segini, Mas?"
"Maunya berapa? Cuma buat ongkos jalan aja kan? Rumah ibumu juga nggak jauh-jauh amat."
"Bukan gitu, Mas. Ibu lagi sakit. Tadi mba Santi bilang butuh uang 1 juta buat bawa pulang ibu sore ini dari klinik. Boleh ya mas aku minta?"
"Apa? Satu juta? Gila kamu, Din. Kamu nggak denger apa tadi aku, ibu, Dira, sama Lina lagi ngobrolin apa? Minggu ini Lina waktunya bayar semesteran kuliahnya, trus Dira bulan depan mau nikah. Kamu tau berapa besar biaya yang harus aku keluarkan untuk itu semua?"
"Iya mas, aku tahu. Tapi ini mendesak buat ibu. Cuma satu juta lho, Mas," rengekku meminta belas kasihan.
"Cuma kok satu juta. Ya biar dipikir lah sama mbak Santimu itu. Masa' aku yang harus mikirin juga. Urusanku udah banyak, Dindaaa."
"Ya Allah, Mas, mbak Santi nggak ada uang. Tau sendiri kan mbak Santi dan suaminya hanya buruh kerjanya. Dia nggak punya mas uang segitu."
"Halah alasan saja mah itu. Makanya kalian itu jadi orang jangan miskin kenapa sih?"
"Mas! Keterlaluan banget sih ngomongnya? Ya sudah kalau aku nggak boleh minta uang buat biaya sakit ibuku, aku pinjem dulu nanti aku kembalikan, Mas."
Tiba-tiba terdengar suara tawa suamiku yang menggelegar di dalam kamar hingga membuat Icha, anak semata wayang tiga tahun kami yang masih pulas tertidur jadi bangun karena kaget.
"Apa? Pinjem kamu bilang? Kamu aja nggak kerja gimana caranya nanti mau balikinnya? Ada-ada aja kamu ini, Din."
"Mas, tapi aku serius. Aku bener-bener butuh uang untuk biaya ibu, Mas." Kali ini aku tak kuasa membendung air mata.
"Nggak bisa! Udahlah sana kalau kamu mau pulang nengokin ibu kamu, pulang aja. Nggak usah pake ikut mikirin biaya berobat dia atau apalah itu. Dah, aku mau nganterin ibu belanja keperluan pernikahan Dira dulu. Hati-hati nanti di jalan kalau mau berangkat," katanya kemudian.
"Ya Allah, Maass!" teriakku.
Namun percuma saja aku meneriakinya, karena lelaki itu tetap saja pergi meninggalkan kamar kami menuju ibu dan saudara-saudaranya.
Aku menghela nafas berat. Sesak rasanya dada ini. Selama ini mas Bram memang jarang memperhatikan keperluanku, apalagi keluargaku. Namun aku masih bertahan karena dia masih begitu perhatian dengan anak kami. Kali ini, kurasa sikapnya sudah benar-benar keterlaluan. Aku sudah tidak sanggup lagi rasanya.
Dengan gerakan cepat aku pun segera mengganti bajuku dan anakku. Mengisi tas dengan beberapa lembar pakaian kami dan bergegas meninggalkan rumah yang sudah nampak sepi karena sebagian penghuninya sudah meninggalkan rumah ini dengan roda empat milik mas Bram beberapa menit yang lalu.
.
.
.
Dengan angkutan umum, akhirnya aku dan anakku sampai juga di klinik tempat ibu di rawat. Mba Santi sudah menyambutku di depan pintu kamar perawatan ibu. Sadar bahwa aku datang tanpa membawa solusi untuk keluargaku, segera saja aku menubruknya dan menangis sesenggukan di dada kakakku itu.
"Maaf mba, aku nggak bawa uangnya. Mas Bram nggak mau memberikan uangnya padaku," kataku dengan terbata menahan tangis.
Mba Santi segera mengelus punggungku dengan lembut.
"Sudah nggak apa-apa, Din. Masalahnya sudah selesai kok. Pakdhe Arno tadi datang menjenguk ibu. Alhamdulillah semua biaya ibu sudah diselesaikan sama pakdhe."
Seketika kulepaskan pelukanku ke mbak Santi. Mataku membelalak lebar menatapnya.
"Pakdhe Arno?" Dahiku berkerut penasaran.
"Iya Pakdhe Arno, saudara jauh ibu, anaknya kakaknya kakek. Kamu inget nggak? Yang tinggal di jakarta itu."
"Ooh itu. Iya mbak aku ingat. Jadi pakdhe kesini dan membayar biaya pengobatan ibu?" tanyaku meyakinkan.
"Iya, Din. Semuanya sudah beres, tinggal bawa pulang ibu nanti sore."
"Alhamdulillah," ucap syukurku dengan senyuman lega. "Trus dimana mbak sekarang pakdhe?" Aku celingukan mencari-cari sosok pahlawan yang telah menyelesaikan masalah kami itu.
"Sudah pulang baru saja sebelum kamu datang tadi. Oiya, tadi pakdhe juga nanyain kamu lho kerja apa katanya. Dia mau menawarimu kerjaan, Din. Pakdhe kan lagi buka cabang perusahaan barunya di kota ini."
"Maksudnya? Pakdhe buka kantor cabang di sini, mbak?"
"Iya, Din. Dan dia nawarin kamu kerjaan kalau kamu mau. Kecuali kamu tetep mau jadi ibu rumah tangga aja."
"Aku mau mbak. Aku mau. Aku memang lagi butuh kerjaan sekarang. Aku lelah bergantung terus sama mas Bram kalau setiap saat cuma selalu direndahkan seperti ini."
Kutundukkan kepala lemas. Teringat kembali kata-kata menyakitkannya setiap kali kami bertengkar.
Seandainya saja mbak Santi tahu apa yang mas Bram katakan saat tadi aku meminta uang untuk biaya pengobatan ibu.
"Jangan terburu-buru. Pikirkan saja dulu matang-matang. Pakdhe rencananya juga akan tinggal lama kok di sini, Din. Jadi kamu bisa pikirkan dulu dan bicarakan dulu sama Bram."
"Nggak perlu, Mbak. Aku nggak perlu lagi ngomongin masalah ini sama mas Bram. Sudah kuputuskan, sudah waktunya aku mandiri. Aku lelah, aku yakin bisa sendiri kok tanpa dia."
Sore itu kami membawa ibu pulang ke rumah. Kondisi kesehatan ibu beberapa tahun belakangan memang semakin menurun hingga akhirnya mengharuskan mbak Santi dan suaminya, mas Hanif, kembali kembali tinggal bersama ibu demi bisa menjaga dan merawat beliau. Awalnya semenjak menikah, kakakku itu rela mengikuti suaminya yang hanya bekerja serabutan mengontrak di sebuah rumah petak kecil untuk tempat tinggal mereka. Hingga akhirnya mereka memiliki sepasang anak kembar Rani dan Rino yang usianya sekarang sudah 5 tahun. Meskipun pada saat menikah, ibu waktu itu menawari mereka untuk tinggal bersama beliau, tapi mas Hanif dan mbak Santi menolaknya dengan alasan tidak ingin merepotkan ibu setelah mereka menikah. Lalu kemudian saat aku dipersunting mas Bram, yang status sosialnya di atas kami, ibu dan kakakku begitu bangga. Bukan karena mereka tipe orang yang suka mengharapkan belas kasih dari orang lain, namun karena membayangkan hidupku akan menjadi lebih baik di tangan suami yang mapan.
Pagi itu usai sarapan, kami dikejutkan dengan kedatangan mobil mewah di halaman rumah ibu. Lalu seorang lelaki yang mungkin seusia mas Hanif keluar dan membukakan pintu belakang mobil untuk seseorang. "Oh, Pakdhe Arno!" pekik mba Santi. Mas Hanif yang sudah siap dengan seragam kerjanya dan sedang menyiapkan motornya pun sampai kaget dibuatnya. "Siapa, Dek?" tanyanya pada sang istri. "Pakdhe, Mas. Yang kemarin kuceritain itu." Dan kami bertiga pun segera menyambut kedatangan kakak sepupu ibu itu dengan antusias. Tak lupa tiga bocah cilik mengekor di belakang kami. "Gimana ibu kalian? Sudah sehat?" tanya lelaki tua yang masih terlihat sangat gagah itu setelah kami semua kembali masuk ke dalam rumah. "Alhamdulillah, Pakdhe. Berkat pertolongan Pakdhe ibu sudah membaik sekarang," kata mbak Santi. "Santi bawa ibu ke sini dulu ya, Pakdhe. Tunggu sebentar," kata mba Santi bermaksud untuk bangkit. Namun dengan cepat lelaki dengan penampilan berkelas itu mencegahnya. "Tidak perlu, S
"Icha, Din. Icha dibawa pulang paksa sama Bram," katanya sambil terbata. "Apa?" "Bram bilang kamu harus pulang sekarang, Din. Kalau tidak katanya kamu nggak akan pernah diperbolehkan ketemu sama Icha lagi," kata mba Santi masih sesenggukan. Tanpa pikir panjang lagi, aku pun segera berlari ke dalam rumah mengambil tas dari kamarku dan segera pergi menemui ibu di kamarnya. Mata ibu nampak masih sembab sepertinya habis menangis tadi. Kasihan sekali, dengan kejadian ini dia pasti sudah tahu bagaimana rumah tanggaku sebenarnya. "Bu, Dinda pamit dulu ya? Maaf nggak bisa nemenin ibu lama-lama di sini," ucapku dengan nada sesal. "Pulanglah, Din. Tempatmu memang di samping keluargamu. Anakmu lebih membutuhkanmu dibanding ibu. Pulanglah, Nak!" kata ibu dengan matanya yang mulai bening. Aku mengangguk, mencium tangannya, lalu segera keluar dari kamar itu karena tak ingin terlihat meneteskan air mata di depannya. Seandainya kamu tahu, Bu, Dinda sudah sangat lelah dengan mas Bram. Din
"Apa, Mas? Kamu mau pukul aku? Pukul saja, ayo!" tantangku. Tapi dia justru bergeming. "Kenapa diam? Biasanya juga begitu kan? Ayo pukul!" Sekali lagi kuberanikan diri untuk menantangnya. Aku bahkan sudah memejamkan mata. Hanya satu hal dalam pikiranku saat ini. Aku tidak akan diam saja saat nanti terjadi seperti sebelumnya. Kali ini semua perbuatannya akan kujadikan bukti untuk perjuanganku selanjutnya. Karena beberapa saat tak merasakan apa-apa, aku pun membuka mata dan kulihat mas Bram tetap tak bergerak di tempatnya. Namun matanya menatapku sangat tajam. Sepertinya bukan karena kasihan yang membuatnya jadi terdiam sekarang ini, mungkin lebih karena dia kaget, aku yang biasanya ketakutan menghadapinya, kini berbalik menantangnya. "Siapa yang membuatmu jadi seperti ini, hah!" tanyanya kemudian. "Kakakmu atau ibumu yang mengajarimu untuk menentang suami seperti ini? Jawaaabbb!" teriaknya. Aku sudah berniat untuk membalas teriakannya saat tiba-tiba kudengar Icha menangis keras di
"Jadi kamu mau kerja lagi, Din?" tanya Ema saat kemudian akhirnya kami bertemu di sebuah rumah yang yang terlihat sangat bersih dengan halaman lumayan besar di tepi jalan. Beberapa pengasuh nampak sedang sibuk dengan anak-anak di sudut sana sini. Tidak terlalu banyak jumlah anak-anak itu, tapi begitu aku mendudukkan diri di kursi teras dan mulai mengobrol dengan Ema, tak kusangka Icha segera saja berlari untuk berbaur bersama anak-anak yang rata-rata masih berusia di bawah umurnya itu. "Iya, Em. Aku terpaksa harus bekerja lagi karena sepertinya aku tidak akan punya harapan jika terus bergantung pada mas Bram," jelasku setelah menghela nafas berat. "Kamu lagi ada masalah ya sama suamimu?" Ema segera saja tahu apa yang terjadi. Begitulah sahabatku yang satu ini. Kami memang jarang bertemu dan berinteraksi, namun hanya dia satu-satunya sahabat dari SMA yang selalu mengerti keadaanku. Dia paling peka dengan kondisi teman-temannya. "Kamu bener, Em. Tapi maaf ya aku belum bisa cerita s
Bram membanting berkas di tangannya ke atas meja kerjanya dengan kesal. Laporan bulanannya ditolak oleh atasannya dengan alasan yang dia tak mengerti, padahal mati-matian dia sudah mengerjakannya beberapa hari ini dengan timnya. Kekesalannya lengkap sudah saat ditengoknya aplikasi perpesanannya banyak sekali pesan dari ibunya yang belum dia baca. Sewaktu meeting tadi Bram memang sengaja menolak panggilan wanita yang sudah melahirkannya itu berkali-kali sehingga mungkin kemudian bu Lis segera menghujaninya dengan banyak pesan. 'Pasti telah terjadi sesuatu di rumah,' batin Bram menggerutu. Masalah kantornya saja sudah membuatnya pusing hari ini. Mau ditambah apa lagi sekarang? Dihempaskannya tubuh penatnya ke kursi kerja dengan kesal tanpa berniat membaca pesan dari sang ibu. Namun baru saja dia memejamkan mata sejenak untuk menghilangkan kekesalannya, ponselnya tiba-tiba berbunyi lagi. Mata lelaki itu seketika membelalak lebar. "S*al," umpatnya kesal. Dia pikir atasannya yang
Meskipun sedikit kecewa karena ternyata Dira menolak untuk melakukan wawancara dengan perusahan tempatnya bekerja sekarang, namun entah kenapa Dinda begitu yakin bahwa Dira sebenarnya menyesal telah menolak tawaran itu. Saat jam menunjukkan pukul 4 sore, Dinda pun segera bersiap meninggalkan kantor. Hari ini begitu melelahkan baginya, namun tentu saja dia lebih senang berada di kantor ini daripada di rumah yang sudah membuatnya sangat tidak nyaman itu. Dinda juga begitu senang karena pakdhenya terlihat begitu bangga dengan bagaimana cepatnya dia belajar. Mungkin karena semangatnya yang tinggi hingga Dinda begitu rajin di hari pertamanya bekerja. Sebelum meninggalkan kantor, rupanya Dinda sudah punya rencana untuk menemui kakak iparnya. Hanif terlihat masih sibuk merapikan meja kerjanya di ruangan marketing. "Mas Hanif," sapanya sambil melongok di pintu ruangan. "Eh, Din. Udah mau pulang? Tunggu bentar ya aku selesaikan beres-beres dulu. Nanti kuantar pulang," cerocos Hanif mel
"Kalian jangan keterlaluan, aku ini kerja bukannya keluyuran seperti yang kalian tuduhkan itu," kata Dinda emosi. "Kerja apaan emangnya, Mbak? Mana ada sih orang kerja sambil bawa-bawa anak? Jangan ngibul deh," ejek Lina. "Percuma saja ngomong sama kalian. Kalian juga nggak akan ngerti," kata Dinda sambil berlalu meninggalkan tempat itu menuju ke kamar anaknya. Beruntung tadi Ema mengajaknya makan dulu sebelum mengijinkannya pulang. Jadi dia bisa langsung beristirahat menemani Icha setelah ini. Usai membersihkan diri, Dinda langsung menemani anaknya bermain sebentar sebelum akhirnya gadis kecil itu menguap tanda kelelahan dan mengantuk. Tak butuh waktu lama untuk membuat anak itu tidur dalam pelukannya. Karena sudah lama tidak bekerja di luar rumah, Dinda pun jadi ikut tertidur kecapekan di sampingnya. Rasanya baru beberapa menit dia memejamkan mata saat tiba-tiba pintu kamar anaknya diketuk dari luar. "Din, Dinda!" Suara ibu mertua dari luar. Dinda beranjak bangun lalu membuka