Pagi itu usai sarapan, kami dikejutkan dengan kedatangan mobil mewah di halaman rumah ibu. Lalu seorang lelaki yang mungkin seusia mas Hanif keluar dan membukakan pintu belakang mobil untuk seseorang.
"Oh, Pakdhe Arno!" pekik mba Santi.
Mas Hanif yang sudah siap dengan seragam kerjanya dan sedang menyiapkan motornya pun sampai kaget dibuatnya.
"Siapa, Dek?" tanyanya pada sang istri.
"Pakdhe, Mas. Yang kemarin kuceritain itu." Dan kami bertiga pun segera menyambut kedatangan kakak sepupu ibu itu dengan antusias. Tak lupa tiga bocah cilik mengekor di belakang kami.
"Gimana ibu kalian? Sudah sehat?" tanya lelaki tua yang masih terlihat sangat gagah itu setelah kami semua kembali masuk ke dalam rumah.
"Alhamdulillah, Pakdhe. Berkat pertolongan Pakdhe ibu sudah membaik sekarang," kata mbak Santi. "Santi bawa ibu ke sini dulu ya, Pakdhe. Tunggu sebentar," kata mba Santi bermaksud untuk bangkit. Namun dengan cepat lelaki dengan penampilan berkelas itu mencegahnya.
"Tidak perlu, San. Biarkan ibumu istirahat dulu. Biar nanti Pakdhe yang ke kamarnya. Ngomong-ngomong, Pakdhe mau ngobrol ini sama Dinda. Tawaran yang kemarin sudah kamu sampaikan ke adikmu kan, San?" tanyanya pada mbak Santi.
"Sudah, Pakdhe. Tuh anaknya, coba Pakdhe tanya sendiri," jawab mbak Santi sambil tersenyum menggodaku.
"Gimana, Din? Mbakyumu sudah cerita kan kalau pakdhemu ini lagi buka kantor cabang baru?"
"Iya Pakdhe, sudah. Saya seneng kalau tawaran itu benar adanya," kataku malu-malu.
"Ya bener to, masa' bohong? Kalau diantara kalian ada yang mau bantu pakdhe di kantor baru ini nanti, pakdhe akan sangat senang. Pakdhe inginnya nanti ada orang yang bisa dipercaya kalau kutinggal lagi balik ke Jakarta. Dan hanya kalian keluarga yang bisa pakdhe andalkan di kota ini," katanya menjelaskan.
"Mbak Santi memangnya nggak mau kerja di kantor Pakdhe?" tanyaku menggoda kakakku.
"Mbak bukannya nggak mau, Din. Masalahnya apa mbak mampu soalnya sudah lama banget nggak kerja. Lagipula, nanti si kembar sama Ibu siapa yang ngurus kalau mbak kerja. Ya kan, Pakdhe?"
"Iya, mbakmu benar, Din. Santi biar jagain ibu kalian saja sama anak-anaknya. Sekarang tinggal kamu. Keluarga kamu kira-kira mengijinkan tidak kalau kamu kerja?"
"Nggak ada masalah, Pakdhe. Lagipula Dinda memang butuh pekerjaan sekarang ini. Cuma yang jadi pikiran Dinda, Icha nanti gimana ya kalau aku tinggal kerja?" Dahiku sedikit berkerut kala teringat akan anakku.
"Kamu tenang saja, kalau masalah Icha, nanti biar sama mbak. Sekalian mbak urus Rani Rino. Kan malah makin ramai rumah ini banyak cucu. Ibu pasti juga senang. Sekarang kamu tinggal minta ijin aja sama Bram, Din."
"Nah betul itu. Kamu minta ijin dulu sama suamimu. Oya, atau sekalian aja kamu bisa langsung ikut pakdhe ke kantor dulu sekarang biar kamu ngerti, Din. Bareng sama Pakdhe sekalian habis ini."
"Sekarang, Pakdhe?"
"Iyaa, sekalian biar kamu paham. Kebetulan siang ini juga pas acara pembukaan. Pakdhe ke sini tadi kan niatnya mau minta doa ibu kalian agar semua acaranya lancar. Gimana, Din?"
"Mau, Pakdhe. Dinda mau. Aku titip Icha bentar nggak apa apa kan, Mbak?" tanyaku pada mbak Santi yang juga sangat antusias dengan pekerjaan baruku ini.
"Nggak apa-apa santai aja, Din," sahutnya.
"Ya udah kalau gitu aku ganti pakaian dulu ya?"
"Iya, sana. Nggak usah buru-buru juga. Pakdhe juga mau ngobrol sebentar sama ibu kalian dulu," kata Pakdhe sambil mulai beranjak bangkit dari kursi tamu.
"Oh iya sekalian saya juga mau pamit kalau begitu, Pakdhe," kata Mas Hanif yang sejak tadi hanya jadi pendengar diantara kami.
"Lho lha ini Hanif mau kemana?" tanya Pakdhe keheranan.
"Biasa Pakdhe, tugas negara. Mencari nafkah buat anak istri, hehe," tawa lelaki jenaka itu santai.
"Ngojek online ya kamu?" tanya pakdhe Arno.
"Iya Pakdhe." Nampak mas Hanif mengangguk membenarkan.
"Kalau gitu kenapa nggak sekalian aja Nif kamu ikut Pakdhe. Kerja di kantor pakdhe." Tawaran pakdhe Arno, yang spontan membuat aku, mbak Santi, dan mas Hanif saling pandang bahagia.
"Tapi Pakdhe ..." ucap mas Hanif nampak sungkan.
"Sudah. Anggap saja pakdhe ini sedang minta tolong kamu sama Dinda buat jagain perusahaan. Itung-itung kamu bantuin Pakdhe, sekalian kerja, ya kan?" kata pakdhe meminta dukungan.
"Ya udah yuk, Nif, sekalian aja kamu ke kantor sama Dinda habis ini," lanjut lelaki tua itu lagi.
Mas Hanif nampak masih kebingungan. Berkali-kali dia menoleh ke arah sang istri yang duduk di sampingnya.
"Ya udah nggak apa-apa, Mas. Rejeki, nggak boleh ditolak kan?" goda mbak Santi.
"Ya sudah kalau gitu. Terima kasih banyak ya, Pakdhe." Akhirnya mas Hanif pun mengembangkan senyum sumringahnya. Diciumnya punggung tangan lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu. Lalu kemudian dia pun bergegas menuju kamar untuk berganti pakaian.
.
.
.
Kantor yang kami tuju ternyata tak begitu jauh dari rumah ibu. Kami hanya perlu waktu setengah jam untuk menuju ruko cukup besar yang disewa kakak sepupu ibu itu untuk membuka kantor cabangnya, sebuah perusahaan jasa cargo yang rupanya sudah cukup ternama di negeri ini.
Saat kami datang, sudah ada banyak sekali karyawan yang bersiap melakukan opening untuk kantor cabang baru mereka. Sementara banyak karangan bunga ucapan selamat yang juga sudah memenuhi dinding dan pelataran ruko.
Pakdhe Arno memperkenalkan kami pada para karyawan lama yang kebetulan dipindah tugaskan sementara untuk menangani kantor cabang barunya. Ada Pak Thomas sebagai Kepala Cabang sementara yang bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan selama masa pembukaan.
"Kita masih butuh beberapa karyawan lagi untuk menempati beberapa posisi, jadi sambil jalan, perekrutan karyawan baru akan tetap dilaksanakan oleh HRD," kata Pakdhe Arno mengawali meeting perdananya siang itu setelah acara pembukaan selesai.
"Hanif, sebagai perwakilan dari keluarga besar saya, saya percayakan untuk berada di divisi marketing sambil belajar dibawah bimbingan Pak Susatya. Pak Susatya, mohon dibimbing anak saya ini, karena ke depannya, setelah kantor ini bisa berjalan, tim inti akan saya tarik kembali ke pusat. Dan Hanif, usahakan belajar dengan sungguh-sungguh agar nanti bisa memimpin divisi marketing dengan baik."
Tepuk tangan pun segera menggema di segenap ruangan setelah penjelasan panjang lebar pakdhe tadi.
"Sementara anak saya yang cantik ini, Dinda, sementara akan belajar di bawah pengawasan pak Thomas. Bagaimana Pak Thomas, siap?"
"Baik Pak. Siap laksanakan," ucap pak Thomas dengan sangat percaya diri.
.
.
.
Acara pembukaan berlangsung lumayan lama karena ternyata banyak juga pejabat-pejabat setempat yang datang untuk memberikan ucapan selamat.
Aku dan Mas Hanif sendiri sempat keheranan bahwa ternyata kami memiliki keluarga yang sedemikian sukses dan bahkan ibu saja tidak pernah menceritakannya pada kami selama ini.
Begitulah memang ibu, sosok sederhana yang cukup hidup bahagia bersama dua anak perempuannya tanpa mengandalkan uluran tangan orang lain. Dan aku selalu bangga memilikinya
Sore hari sekitar pukul 3, sopir pribadi pakdhe Arno menurunkan kami di jalan depan rumah ibu. Sementara pakdhe Arno sendiri masih ada acara dengan para klien pentingnya di kantor baru tadi.
Saat kami berdua baru saja turun dari mobil, tiba-tiba saja mbak Santi berlari sambil sesenggukan menghampiri kami.
"Ada apa?" tanyaku dan mas Hanif panik melihat mbak Santi seperti itu. Mbak Santi segera menghambur ke arahku dan memelukku erat.
"Icha, Din. Icha dibawa pulang paksa sama Bram," katanya sambil terbata.
"Apa?"
"Icha, Din. Icha dibawa pulang paksa sama Bram," katanya sambil terbata. "Apa?" "Bram bilang kamu harus pulang sekarang, Din. Kalau tidak katanya kamu nggak akan pernah diperbolehkan ketemu sama Icha lagi," kata mba Santi masih sesenggukan. Tanpa pikir panjang lagi, aku pun segera berlari ke dalam rumah mengambil tas dari kamarku dan segera pergi menemui ibu di kamarnya. Mata ibu nampak masih sembab sepertinya habis menangis tadi. Kasihan sekali, dengan kejadian ini dia pasti sudah tahu bagaimana rumah tanggaku sebenarnya. "Bu, Dinda pamit dulu ya? Maaf nggak bisa nemenin ibu lama-lama di sini," ucapku dengan nada sesal. "Pulanglah, Din. Tempatmu memang di samping keluargamu. Anakmu lebih membutuhkanmu dibanding ibu. Pulanglah, Nak!" kata ibu dengan matanya yang mulai bening. Aku mengangguk, mencium tangannya, lalu segera keluar dari kamar itu karena tak ingin terlihat meneteskan air mata di depannya. Seandainya kamu tahu, Bu, Dinda sudah sangat lelah dengan mas Bram. Din
"Apa, Mas? Kamu mau pukul aku? Pukul saja, ayo!" tantangku. Tapi dia justru bergeming. "Kenapa diam? Biasanya juga begitu kan? Ayo pukul!" Sekali lagi kuberanikan diri untuk menantangnya. Aku bahkan sudah memejamkan mata. Hanya satu hal dalam pikiranku saat ini. Aku tidak akan diam saja saat nanti terjadi seperti sebelumnya. Kali ini semua perbuatannya akan kujadikan bukti untuk perjuanganku selanjutnya. Karena beberapa saat tak merasakan apa-apa, aku pun membuka mata dan kulihat mas Bram tetap tak bergerak di tempatnya. Namun matanya menatapku sangat tajam. Sepertinya bukan karena kasihan yang membuatnya jadi terdiam sekarang ini, mungkin lebih karena dia kaget, aku yang biasanya ketakutan menghadapinya, kini berbalik menantangnya. "Siapa yang membuatmu jadi seperti ini, hah!" tanyanya kemudian. "Kakakmu atau ibumu yang mengajarimu untuk menentang suami seperti ini? Jawaaabbb!" teriaknya. Aku sudah berniat untuk membalas teriakannya saat tiba-tiba kudengar Icha menangis keras di
"Jadi kamu mau kerja lagi, Din?" tanya Ema saat kemudian akhirnya kami bertemu di sebuah rumah yang yang terlihat sangat bersih dengan halaman lumayan besar di tepi jalan. Beberapa pengasuh nampak sedang sibuk dengan anak-anak di sudut sana sini. Tidak terlalu banyak jumlah anak-anak itu, tapi begitu aku mendudukkan diri di kursi teras dan mulai mengobrol dengan Ema, tak kusangka Icha segera saja berlari untuk berbaur bersama anak-anak yang rata-rata masih berusia di bawah umurnya itu. "Iya, Em. Aku terpaksa harus bekerja lagi karena sepertinya aku tidak akan punya harapan jika terus bergantung pada mas Bram," jelasku setelah menghela nafas berat. "Kamu lagi ada masalah ya sama suamimu?" Ema segera saja tahu apa yang terjadi. Begitulah sahabatku yang satu ini. Kami memang jarang bertemu dan berinteraksi, namun hanya dia satu-satunya sahabat dari SMA yang selalu mengerti keadaanku. Dia paling peka dengan kondisi teman-temannya. "Kamu bener, Em. Tapi maaf ya aku belum bisa cerita s
Bram membanting berkas di tangannya ke atas meja kerjanya dengan kesal. Laporan bulanannya ditolak oleh atasannya dengan alasan yang dia tak mengerti, padahal mati-matian dia sudah mengerjakannya beberapa hari ini dengan timnya. Kekesalannya lengkap sudah saat ditengoknya aplikasi perpesanannya banyak sekali pesan dari ibunya yang belum dia baca. Sewaktu meeting tadi Bram memang sengaja menolak panggilan wanita yang sudah melahirkannya itu berkali-kali sehingga mungkin kemudian bu Lis segera menghujaninya dengan banyak pesan. 'Pasti telah terjadi sesuatu di rumah,' batin Bram menggerutu. Masalah kantornya saja sudah membuatnya pusing hari ini. Mau ditambah apa lagi sekarang? Dihempaskannya tubuh penatnya ke kursi kerja dengan kesal tanpa berniat membaca pesan dari sang ibu. Namun baru saja dia memejamkan mata sejenak untuk menghilangkan kekesalannya, ponselnya tiba-tiba berbunyi lagi. Mata lelaki itu seketika membelalak lebar. "S*al," umpatnya kesal. Dia pikir atasannya yang
Meskipun sedikit kecewa karena ternyata Dira menolak untuk melakukan wawancara dengan perusahan tempatnya bekerja sekarang, namun entah kenapa Dinda begitu yakin bahwa Dira sebenarnya menyesal telah menolak tawaran itu. Saat jam menunjukkan pukul 4 sore, Dinda pun segera bersiap meninggalkan kantor. Hari ini begitu melelahkan baginya, namun tentu saja dia lebih senang berada di kantor ini daripada di rumah yang sudah membuatnya sangat tidak nyaman itu. Dinda juga begitu senang karena pakdhenya terlihat begitu bangga dengan bagaimana cepatnya dia belajar. Mungkin karena semangatnya yang tinggi hingga Dinda begitu rajin di hari pertamanya bekerja. Sebelum meninggalkan kantor, rupanya Dinda sudah punya rencana untuk menemui kakak iparnya. Hanif terlihat masih sibuk merapikan meja kerjanya di ruangan marketing. "Mas Hanif," sapanya sambil melongok di pintu ruangan. "Eh, Din. Udah mau pulang? Tunggu bentar ya aku selesaikan beres-beres dulu. Nanti kuantar pulang," cerocos Hanif mel
"Kalian jangan keterlaluan, aku ini kerja bukannya keluyuran seperti yang kalian tuduhkan itu," kata Dinda emosi. "Kerja apaan emangnya, Mbak? Mana ada sih orang kerja sambil bawa-bawa anak? Jangan ngibul deh," ejek Lina. "Percuma saja ngomong sama kalian. Kalian juga nggak akan ngerti," kata Dinda sambil berlalu meninggalkan tempat itu menuju ke kamar anaknya. Beruntung tadi Ema mengajaknya makan dulu sebelum mengijinkannya pulang. Jadi dia bisa langsung beristirahat menemani Icha setelah ini. Usai membersihkan diri, Dinda langsung menemani anaknya bermain sebentar sebelum akhirnya gadis kecil itu menguap tanda kelelahan dan mengantuk. Tak butuh waktu lama untuk membuat anak itu tidur dalam pelukannya. Karena sudah lama tidak bekerja di luar rumah, Dinda pun jadi ikut tertidur kecapekan di sampingnya. Rasanya baru beberapa menit dia memejamkan mata saat tiba-tiba pintu kamar anaknya diketuk dari luar. "Din, Dinda!" Suara ibu mertua dari luar. Dinda beranjak bangun lalu membuka
Siang itu Dira tiba-tiba panik luar biasa karena tiba-tiba calon suaminya, Denny, sepagian tidak bisa dihubungi. Berkali kali dia mondar-mandir gelisah berkeliling rumah, membuat Ibu dan adiknya yang kebetulan libur kuliah jadi ikut bingung dibuatnya. "Ada apa sih, Mbak?" tanya Lina menghampiri kakaknya. "Denny nih, kenapa ya kok dari pagi nggak bisa dihubungi?" jawab Dira dengan wajah bingung bercampur marah. "Masa sih? Memangnya nggak pamit gitu mau kemana?" "Makanya itu Lin, mbak bingung. Dia nggak ngomong apa-apa sebelumnya. Pesan terakhir yang mbak kirim semalem aja masih centang satu. HPnya nggak aktif sampai sekarang." "Coba hubungi nomer lainnya aja, Mbak." "Nggak ada Lin, nomer dia kan cuma satu." "Kalau gitu nomer keluarganya. Mbak Dira punya kan? Nyimpen kan?" desak sang adik. "Oh iya ya, kok mbak sampai nggak kepikiran sih." Dira menepuk dahinya sendiri karena tak bisa berpikir tenang sejak tadi. Perlahan wanita berambut lurus sebahu itu pun menghubungi satu pe
Sore itu Bram sengaja pulang cepat karena ingin mencari tahu dimana sebenarnya istrinya itu bekerja. Namun saat sampai di rumah, betapa kagetnya lelaki itu karena melihat suasana rumahnya begitu kacau. Ibunya dan adik bungsunya hanya duduk terpaku di sofa ruang tengah tanpa ada yang bicara. Sementara Dira menangis meraung-raung di samping ibunya. "Kalian ini kenapa?" tanya Bram penasaran. Tidak biasanya rumahnya seperti ini saat dia datang. Melihat Bram datang, bu Lis segera menghambur ke anak lelakinya itu dan langsung bersimpuh memeluk kaki tegapnya. "Bram, maafkan adikmu Bram, jangan kamu marahin dia. Ibu juga minta maaf. Ibu benar-benar tidak tahu menahu soal ini," cerocos wanita tua itu penuh sesal sambil mulai sesenggukan. Bram yang kaget dengan tingkah ibunya, langsung saja menarik bahu wanita tua itu untuk diajaknya berdiri. "Ibu ini kenapa sih? Ada orang baru pulang kerja dibuat bingung kayak gini? Kalian ini kenapa sebenarnya?" Mata Bram beralih menatap dua adiknya.