Dinda keheranan malam itu karena tidak biasanya Bram tidak pulang. Ditambah lagi keadaan rumah juga lebih hening. Tak ada suara musik hingar bingar dari kamar Lina, juga teriakan teriakan ibu mertua yang bagi Dinda terkadang memekakkan telinganya. Saat dia pulang sore tadi, ibu Mertua dan adik-adik iparnya itu juga tak terlihat sedang duduk-duduk bergerombol dan melontarkan kata-kata yang tak mengenakkan untuknya seperti biasa saat melihatnya. Benar-benar sangat mengherankan. Dinda bertambah bertanya-tanya saat melihat jam sudah menunjuk pukul 12 malam, tapi mobil Bram belum juga terdengar memasuki halaman rumah. Perlahan Dinda keluar dari kamar anaknya. Dilihatnya tiga pintu kamar para wanita di rumah itu sudah tertutup, kamar Lina bahkan sudah terlihat sangat gelap dari celahnya. Namun kemudian Dinda agak tergelitik saat mendengar ada suara-suara sedikit berisik dari kamar ibu mertuanya. Dengan langkah hati-hati Dinda pun menghampiri pintu yang ternyata tidak sepenuhnya tertutup
Aku baru saja kembali ke ruanganku dari ruang HRD saat mendengar ponsel di atas mejaku berbunyi. Nama mas Bram yang muncul di layar itu. Ada apa? Apa suamiku itu sudah pulang? "Assalamu'alaikum, Mas," sapaku datar. "Din, kamu dimana? Bilang!" "Lhoh aku kerja, Mas. Ada apa sih?" "Sudah bilang saja kamu kerja dimana? Aku jemput sekarang," ujarnya dengan nada memerintah. "Jemput sekarang? Memangnya mas nggak kerja?" tanyaku keheranan. "Kok malah kamu balik nanya? Tinggal bilang aja kau dimana sekarang. Cepat bilang!" "Nggak bisa, Mas. Aku masih kerja. Aku ngga bisa keluar seenaknya." "Din! Jangan bikin aku marah ya. Aku sudah banyak banget masalah sekarang. Jangan kamu nambah-nambahin lagi. Buruan ngomong kamu dimana!" "Maaf mas, aku ngga bisa." Tak menunggu lama, aku pun segera menutup sambungan telepon di ponselku. "Kenapa, Din?" Aku kaget saat tiba-tiba saja pakdhe sudah ada di belakangku saat aku sedang meletakkan kembali ponselku di meja. "Eh, maaf, sampai nggak tau kalau
Usai menjemput Icha sore itu aku mampir sebentar ke sebuah rumah makan membeli beberapa bungkus makanan untuk orang-orang di rumah. Tak apalah sekali-kali biar mereka sadar wanita seperti apa yang sering mereka anggap sampah di rumah mereka ini. Saat menginjakkan kaki di halaman rumah, masih belum kulihat juga mobil mas Bram di sana. Refleks kuambil ponsel dari dalam tasku. Pesan terakhirku padanya pun ternyata masih checklist satu. Berarti ponsel mas Bram belum aktif sampai saat ini. Kemana sebenarnya suamiku itu? "Bawa apa kamu?" tanya ibu mertua saat melihatku meletakkan plastik belanjaanku di atas meja makan. "Nasi Padang. Makan aja kalau ibu dan anak-anak ibu lapar," kataku cuek sambil berlalu meninggalkan ruang makan. "Tumben," celetuk ibu masih bisa kudengar meskipun aku sudah hampir mencapai kamar Icha. Hmmm, memang bener-bener orang yang keterlaluan, batinku. Setelah membersihkan diri, aku pun mengajak Icha keluar kamar dan langsung menuju ruang makan untuk makan malam
Meskipun mas Bram semalam bilang dia tetap tidak setuju aku bekerja, namun entah kenapa pagi ini dia justru berangkat sangat awal. Bahkan saat aku baru membuka mata, dia terlihat sudah bersiap-siap untuk berangkat. "Kok udah siap jam segini, Mas? Mau kemana?" tanyaku penasaran. "Mau nyari orang," sahutnya cepat sambil merapatkan jaket ke tubuhnya. "Nyari orang?" Dahiku sontak berkerut. "Kamu nggak tau? Si Denny pergi gitu aja ninggalin Dira? Kurang ajar orang itu!" katanya geram. Tatapan matanya memandangku jengah seolah sedang menuduhku tak peduli dengan keluarganya. "Aku sudah tanya ke adik-adikmu apa yang terjadi, tapi mereka sepertinya nggak suka aku tanya-tanya, Mas. Malah aku dibilang kepo katanya," protesku menanggapi ketidaksukaannya dengan sikap cuekku. Lalu terdengar helaan nafas beratnya. "Nggak sarapan dulu, Mas?" tanyaku sebelum melihatnya keluar kamar. "Nggak usah," jawabnya cepat. Lalu berlalu begitu saja meninggalkanku tanpa pamit. Begitulah mas Bram. Ter
Bu Lis begitu keheranan saat melihat Dira pulang siang itu dengan muka ditekuk dan langsung menghempaskan dirinya ke sofa ruang tamu dengan kesal. "Gimana, Dir? Gagal ya?" tebak wanita tua itu. "Enggak sih, Bu. Cuma nyebelin banget itu perusahaan. Masa' hanya gara-gara aku pernah nolak saat ditawarin interview sekarang aku dikasih kesempatan training dulu jadi office girl," gerutunya kesal. "Hah? Office girl? Yang tukang bantu-bantu gitu?" Bu Lis menautkan alisnya, kaget sekaligus jengkel. "Iya, Bu, itu. Mana tiga bulan lagi, lamaaa," ucap Dira bertambah kesal. "Lhoh, kamu terima tawaran itu, Dir?" Bu Lis nampak mendelik ke arah anak gadisnya. "Ya iya lah, Bu. Mo gimana lagi? Aku butuh banget kerjaan, Bu. Lagian setelah tiga bulan nanti kalau aku berhasil melewati masa training, aku langsung bisa ditempatkan ke bagian administrasi kok." "Iya, Dir. Ibu tau kamu lagi butuh kerjaan. Tapi nggak terus jadi pesuruh gitu juga dong. Buat apa ibu sekolahin kamu tinggi-tinggi kalau c
"Gimana, Bram? Ketemu nggak si Denny?" Kudengar tanya Ibu pada suamiku saat aku ingin melangkah ke arah dapur dari kamar anakku. Mas Bram baru saja pulang kerja malam itu dan langsung mendudukkan diri dengan lelah di sofa ruang tengah. "Belum, Bu. Tapi Rifat akan kejar dia sampai ketemu," jelas mas Bram dengan yakin. Setahuku, Rifat adalah sahabat mas Bram dari SMA yang sekarang berprofesi sebagai polisi. Mungkin mas Bram saat ini meminta bantuan dia untuk mencari keberadaan calon suami Dira yang melarikan diri itu. "Tapi Bram, kata Dira, kamu nanti akan menghabis-habiskan uang saja kalau ngejar-ngejar si Denny itu. Belum tentu juga uangnya masih ada di dia. Palingan juga udah habis," ujar ibu mertuaku. "Halah Dira itu tau apa sih, Bu. Dia kan yang bikin semua masalah ini. Percaya saja sama orang nggak yang nggak jelas kayak gitu. Kenalan sama orang nggak pakai diselidiki dulu dia itu siapa. Jangan-jangan dia cuma kenal lewat sosmed lagi," gerutu mas Bram kesal. "Sudah, Bram. Jan
"Hai, Dir," sapa Dinda sambil tersenyum manis dan melambaikan tangannya. Tak bisa disembunyikan lagi bagaimana terkejutnya gadis itu melihat kakak iparnya ternyata juga sedang berada di ruangan itu bersamanya. "Mbak Dinda." Mulutnya berucap tapi nyaris tak terdengar suara. Matanya membelalak seolah tak percaya bahwa dia saat ini berada di sebuah tempat dan sedang melayani kakak ipar yang selama ini bahkan selalu dia anggap seperti pembantu di rumahnya. Dira sampai mengerjapkan matanya beberapa kali untuk memastikan bahwa orang yang dilihat di depannya itu adalah benar Dinda, istri dari kakaknya. "Kok malah bengong? Taruh kopinya di meja Bu Dinda, Dir," kata Hanif tiba-tiba membuyarkan keterkejutan Dira. "Eh, ee iya," ucapnya gugup. Tak menunggu lama, Dira pun segera meletakkan kopi terakhirnya di meja Dinda. Kemudian tanpa permisi lagi, gadis itu segera meninggalkan ruangan dengan langkah cepat hingga membuat beberapa karyawan di ruang marketing yang melihat itu menggeleng-gele
"Kenapa? Kamu nggak setuju sama ibu?" Bu Lis mulai melotot ke arahnya. "Enggak juga, santai aja Bu. Kalau ibu memang mau bilang sama mas Bram ya tinggal bilang aja. Mas Bram juga sudah bilang ke aku kok kalau dia lebih seneng aku kerja sekarang," ujar Dinda cuek dan kembali menoleh pada anaknya. "Ayo, Sayang, kita ke kamar," ajaknya kemudian. Sekarang, tinggallah Dira dan ibunya yang melihat sepasang ibu dan anak itu berjalan santai memasuki rumah dengan kesal. . . . Dua hari berikutnya di kantor, Dinda memang tak terlalu mengusik Dira. Namun sifat jail Hanif tentu tak bisa dicegah oleh Dinda. Kakak iparnya itu justru yang lebih bersemangat mengerjai Dira selama mereka di kantor. Apalagi setelah Hanif mendengar langsung cerita-cerita dari Santi, istrinya, tentang bagaimana perlakuan Bram dan keluarganya terhadap Dinda selama ini. "Kenapa selama ini kalian nggak pernah cerita sih sama aku soal itu?" protes Hanif malam itu saat sedang mengobrol dengan sang istri. Lelaki itu me