"Hai, Dir," sapa Dinda sambil tersenyum manis dan melambaikan tangannya. Tak bisa disembunyikan lagi bagaimana terkejutnya gadis itu melihat kakak iparnya ternyata juga sedang berada di ruangan itu bersamanya. "Mbak Dinda." Mulutnya berucap tapi nyaris tak terdengar suara. Matanya membelalak seolah tak percaya bahwa dia saat ini berada di sebuah tempat dan sedang melayani kakak ipar yang selama ini bahkan selalu dia anggap seperti pembantu di rumahnya. Dira sampai mengerjapkan matanya beberapa kali untuk memastikan bahwa orang yang dilihat di depannya itu adalah benar Dinda, istri dari kakaknya. "Kok malah bengong? Taruh kopinya di meja Bu Dinda, Dir," kata Hanif tiba-tiba membuyarkan keterkejutan Dira. "Eh, ee iya," ucapnya gugup. Tak menunggu lama, Dira pun segera meletakkan kopi terakhirnya di meja Dinda. Kemudian tanpa permisi lagi, gadis itu segera meninggalkan ruangan dengan langkah cepat hingga membuat beberapa karyawan di ruang marketing yang melihat itu menggeleng-gele
"Kenapa? Kamu nggak setuju sama ibu?" Bu Lis mulai melotot ke arahnya. "Enggak juga, santai aja Bu. Kalau ibu memang mau bilang sama mas Bram ya tinggal bilang aja. Mas Bram juga sudah bilang ke aku kok kalau dia lebih seneng aku kerja sekarang," ujar Dinda cuek dan kembali menoleh pada anaknya. "Ayo, Sayang, kita ke kamar," ajaknya kemudian. Sekarang, tinggallah Dira dan ibunya yang melihat sepasang ibu dan anak itu berjalan santai memasuki rumah dengan kesal. . . . Dua hari berikutnya di kantor, Dinda memang tak terlalu mengusik Dira. Namun sifat jail Hanif tentu tak bisa dicegah oleh Dinda. Kakak iparnya itu justru yang lebih bersemangat mengerjai Dira selama mereka di kantor. Apalagi setelah Hanif mendengar langsung cerita-cerita dari Santi, istrinya, tentang bagaimana perlakuan Bram dan keluarganya terhadap Dinda selama ini. "Kenapa selama ini kalian nggak pernah cerita sih sama aku soal itu?" protes Hanif malam itu saat sedang mengobrol dengan sang istri. Lelaki itu me
Dinda menginjakkan kaki di halaman rumah dan sedikit kaget karena melihat mobil suaminya ternyata sudah terparkir di garasi rumah. Hari ini dia memang pulang agak terlambat karena dari rumah Ema tadi Icha merengek mengajak mampir ke minimarket langganan mereka untuk membeli mainan dan makanan kesukaannya. Melihat sang ayah yang sedang berdiri di ambang pintu rumah, Icha bermaksud untuk menghambur ke arahnya. Namun karena melihat raut muka Bram yang tak enak dipandang mata, Dinda segera saja memegangi tangan kecil anaknya itu lebih erat membuat gadis cilik itu menoleh tak mengerti ke arah ibunya. "Jam segini terus ya kamu pulangnya?" tanya Bram nampak tak suka. Beberapa menit yang lalu, lelaki itu baru menerima laporan dari ibu dan adiknya tentang Dinda yang ternyata bekerja di kantor yang sama dengan Dira. Apa lagi tentunya kalau bukan adiknya itu menjelek-jelekkan kakak iparnya di depan suaminya. Sudah bukan hal yang aneh bagi Dinda. "Ada apa sih, Mas, baru datang kok diomelin?
"Kenapa sih, Din? Dari tadi kayak gak tenang gitu?" Mas Hanif menghentikan langkahku saat kami berdua sedang menaiki tangga menuju ruang meeting di lantai atas. Aku yang memang dari tadi merasa tidak tenang dan curiga dengan ulah adik iparku, Dira, berhenti dan menatapnya ragu. Ngomong nggak ya? batinku. "Ada apa?" tanya mas Hanif lagi. "Enggak, Mas. Aku kok lagi agak heran aja ya sama si Dira. Dari kemarin dia kayaknya ngikutin aja kemana kita pergi." "Dira? Ngikutin kita?" "Iyaa, nggak tau juga sih, Mas. Mungkin perasaanku aja kali ya?" Aku mengedikkan bahu. "Dah ah yuuk, buruan, meeting bentar lagi," kataku kemudian, mengajak mas Hanif segera melanjutkan langkah. "Memangnya ada masalah apa lagi sih kalian?" Sambil berjalan, mas Hanif rupanya belum puas dengan penjelasanku. "Nggak ada, Mas. Ya biasalah, di rumah dia ngadu ke ibunya, ke mas Bram. Trus mereka ngomelin aku. Gitu aja sih kayak biasanya." "Trus ngapain dia ngikutin kita?" "Ih mas Hanif nih. Kan aku juga ngga
(BEBERAPA JAM SEBELUMNYA DI KANTOR POLISI) "Lagi dimana, Bro?" Sebuah panggilan telepon dari Bram siang itu menyela pertemuan Rifat dengan beberapa anak buahnya. Mereka sedang membahas suatu kasus di sebuah ruang meeting di kantornya. "Aku di kantor, ada apa?" "Ibu sama adikku ada di kantormu. Tolong ya, aku nggak bisa nemenin soalnya," kata Bram. "Adikmu? Dira? Yang berkasus sama si Denny itu?" "Bukan. Si Lina. Ibu maksa pengen ketemu sama Denny hari ini. Katanya udah nggak sabar. Aku masih ada meeting di kantorku, jadi nggak bisa nemenin mereka." "Oh, kenapa bukan Dira aja yang ke sini? Kan bisa sekalian diminta keterangan." "Dia kerja, Bro. Mungkin dia nunggu surat penggilan aja biar bisa sekalian buat ijin ke kantornya." "Ya juga sih. Oke, oke, aku akan temui ibu dan adikmu kalau gitu. Kamu tenang aja, biar kuurus." "Oke, thanks ya, Bro." "Santai aja," ucap Rifat sebelum Bram mengakhiri panggilannya. Usai sambungan telepon di tutup, Rifat pun segera berpamitan pada a
"Dinda belum pulang, Bu?" tanya Bram saat sampai di ruang tengah. Dilihatnya ibu dan kedua adiknya tengah duduk dengan tegang di sofa masing-masing tanpa bicara. "Belum," jawab bu Lis singkat. "Ada apa sih?" Bram mulai mencurigai ada sesuatu yang sedang terjadi di rumah itu. "Ibu tadi jadi pergi ke kantor polisi kan?" tanyanya lagi sambil ikut mendudukkan diri di sofa untuk melepas alas kakinya. "Jadi, Bram. Dan ibu sudah ketemu sama laki-laki nggak tahu diri itu. Untung tadi ada teman kamu si Rifat. Kalau tidak, habis itu si Denny ibu pukulin," kata wanita tua itu antusias. "Hmmm, trus?" Bram menanggapi cerita ibunya setengah hati karena masih sibuk dengan sepatunya. "Yaa gitu. Kata Rifat, nanti Dira akan dipanggil juga sebagai saksi korban." "Iyaa, itu dia sudah bilang juga ke aku." Lalu sejenak suasana hening. Bram yang sekali lagi menyadari ada keanehan di sekitarnya, mulai mengerutkan dahi. "Ini ada apa sih? Tumben pada anteng?" tanyanya keheranan. Lalu terlihat ibu
Bukan pukulan mas Bram yang membuatku sangat kesakitan kali ini. Namun hatiku lebih sakit dengan tuduhan bahwa aku telah menyeleweng di belakangnya. Apalagi orang yang dituduhkannya padaku itu adalah mas Hanif, kakak iparku sendiri. Rasanya cukup sudah semua ini. Sampai di sini aku memutuskan untuk tidak akan lagi mau bertahan. Walaupun sebenarnya aku tak tahu menahu apa yang sebenarnya telah terjadi hingga mas Bram begitu tega menuduhku berselingkuh dengan mas Hanif, tapi tanpa perlu bertanya aku sangat yakin jika semua ini pastilah ulah adik iparku, Dira. Berarti kecurigaanku di kantor dari kemarin itu memang benar adanya, Dira sedang merencanakan sesuatu yang jahat padaku. Sepeninggal Rifat, nyatanya bukannya mendekatiku dan meminta maaf, mas Bram justru masuk begitu saja ke dalam rumah, diikuti oleh keluarganya yang lain. Lina dan ibu mertuaku sempat beberapa kali membujuk Icha untuk ikut masuk bersama mereka, namun anakku sepertinya masih terlihat trauma dengan perlakuan ayahn
(SIANG HARINYA DI RUMAH IBUNDA DINDA) "Pakeeet!" teriakan seseorang dari luar mengagetkan ibu Ranti, ibunda Dinda, yang sedang duduk-duduk santai menunggui dua cucu kembarnya bermain di teras rumah. Bergegas wanita itu menghampiri kurir paket yang telah berjalan mendekat ke arah teras. "Ada paket untuk ibu Santi," kata si kurir. "Oh iya, itu anak saya." "Baik, Bu. Silahkan," kata kurir itu menyerahkan sebuah amplop tanggung berwarna coklat yang dibawanya. Bu Ranti segera menerima amplop tersebut dan berjalan masuk ke dalam rumah saat sang kurir telah meninggalkan depan rumahnya. "San, ada paket nih untuk kamu," kata wanita tua itu pada anak sulungnya yang sedang menyiapkan makan siang untuk mereka di dapur. "Paket? Paket apa, Bu? Santi nggak beli apa-apa tuh," sahut wanita berusia tiga puluh tahunan itu sambil mengelapkan tangannya yang kotor ke apron. "Ibu nggak tau, nggak ada tulisan namanya. Ini." Bu Ranti mengulurkan amplop saat dilihatnya tangan anaknya sudah bers