"Ya Allah, Diiiin, apa yang terjadi? Kenapa jam segini bawa Icha keluar rumah?" Ema kaget saat salah satu asisten rumah tangganya membangunkannya dini hari itu karena kedatangan Dinda. Lalu diamatinya wanita di depannya dengan seksama, wajah lebam di beberapa bagian, lalu mata sembab. Sungguh memprihatinkan keadaan sahabatnya itu saat ini. "Ini ulah suamimu kan?" Ema segera bisa menebak apa yang terjadi. Dinda menggangguk. Lalu tak menunggu lama, Ema pun meminta asisten rumah tangganya untuk membawa Icha ke kamar agar bisa istirahat. Ema memeluk Dinda dengan erat. Hatinya begitu miris dengan keadaan sahabatnya. "Aku dari rumah ibuku, Em ...." Tiba-tiba terdengar suara Dinda yang serak dan wanita itu kembali menangis. Melihat sahabatnya meneteskan air mata, Ema melepaskan pelukannya. Sepertinya ada yang lebih membuat Dinda sedih daripada masalahnya dengan suaminya. "Kenapa dengan ibumu?" tanya Ema penasaran. "Kakak dan ibuku tidak mau menerimaku. Mereka marah padaku, Em."
Di rumahnya yang bergaya modern minimalis, Rifat nampak sudah siap dengan seragam dinasnya. Hari ini tak seperti biasanya, dia merasa enggan untuk sarapan. Biasanya dia selalu bangun pagi dan menyiapkan sarapannya sendiri. Menikmatinya dengan secangkir kopi sambil membaca berita pagi di situs-situs favoritnya. Namun entahlah pagi ini, rasanya seperti ada beban. Dia bahkan hampir tidak tidur semalaman. Ada semacam kegelisahan sejak dia pulang dari rumah Bram semalam. Dini hari sekitar jam 3 pagi, Rifat baru bisa memejamkan mata dan terbangun saat suara adzan subuh terdengar dari mushola kompleks dia tinggal. Dengan pekerjaan yang kadang membutuhkannya kapan saja tak kenal waktu, Rifat memang bukan orang yang punya waktu tidur teratur. Namun selama ini sebisa mungkin dia selalu menggunakan waktu istirahatnya dengan maksimal. Rasanya sudah sangat lama dia tidak mengalami kegelisahan seperti semalam. Kegelisahan yang membuatnya merasa sangat aneh. Bukan karena memikirkan sesuatu ten
Aku dan Ema akhirnya sampai di rumah menjelang sore hari. Selepas mengantarkanku berputar-putar ke sana ke mari mengurus semua kepentinganku, Ema memang sengaja mengajakku dan anakku untuk menghabiskan waktu memanjakan diri. Walaupun percuma saja sebenarnya buatku. Memanjakan diri dengan kondisi wajah dan tubuh yang masih lebam-lebam, aku juga tak bisa menikmati me-time kali ini. Tapi walau bagaimanapun, aku tetap berterima kasih pada usaha sahabatku itu untuk membuatku dan anakku bahagia. Apalagi Icha, yang terlihat sangat senang bisa menghabiskan waktu bersama dengan ibunya seharian ini. Saat mobil berhenti di depan rumah, Ema terlihat sedikit kaget melihat ada sebuah mobil lain sedang terparkir di pinggir jalan depan rumah. Sepertinya aku tidak asing dengan mobil itu, tapi milik siapa? Kucoba untuk mengingat-ingat, tapi tetap tak bisa. "Ada tamu ya, Pak?" tanya Ema saat satpam rumah menghampiri mobil yang kami tumpangi setelah selesai membukakan pintu gerbang. "Iya, Bu, baru
"Dir, kamu lagi dimana? Jangan pulang dulu!" Suara ibunya seperti orang sedang berbisik-bisik di telepon. Dira yang sedang berada di taksi online menuju rumah mengernyitkan dahi. "Memangnya kenapa, Bu?" tanyanya keheranan. "Temen kamu nunggu di rumah, mau nagih utang," jelas bu Lis dengan suara takut-takut. "Vina? Dia di rumah? Aduuh gimana dong, aku udah deket rumah nih, Bu. Aku lagi di taksi." Dira mulai panik. "Dah, kamu turun aja dulu dimana gitu. Sembunyi dulu, nanti kalau orangnya udah pergi, ibu kabarin kamu. Mana ini masmu belum pulang jam segini, Lina juga belum pulang. Ibu takut sebenarnya sendirian. Dia bawa teman laki-laki dua orang lho, Dir," jelas bu Lis. "Teman laki-laki? Maksudnya, Bu?" "Ya ibu nggak tau lah, Dir. Badannya gede-gede. Ibu takut. Udah hampir satu jam lho mereka nunggu di sini. Gimana ini, Dir?" Suara bu Lis terdengar sedikit bergetar. Dira yang gerak cepat menerima saran ibunya rupanya sudah turun dari taksi yang ditumpanginya. Lalu dia berjalan
"Mau apa pulang, Mas?" ketus wanita itu. Amarahnya rupanya belum hilang sepenuhnya. Hanif sudah menduga, kemarahan Santi kali ini memang tidak main-main. Maka dia pun sudah siap dengan apa yang akan ditemuinya di rumah hari ini. "San, jangan bicara begitu. Hanif kan masih suami kamu. Nggak apa apa kan dia pulang." Bu Ranti tiba-tiba muncul dari ruang tengah sebelum Hanif sempat menanggapi perkataan istrinya. Tanpa ingin berkata-kata lagi, Santi segera pergi meninggalkan ruang tamu untuk masuk ke dalam kamarnya. Wajahnya terlihat masih begitu kesal. "Baru pulang, Nif?" tanya bu Ranti sedikit kaku. "Iya, Bu. Hanif dan Dinda sudah tahu siapa pelakunya." Terdengar helaan nafas berat bu Ranti mendengar informasi dari menantunya. "Duduklah dulu, Nif. Ibu bikinkan minum untuk kamu," kata ibu mertuanya, merasa kasihan melihat menantunya pulang tanpa sambutan baik dari sang istri. "Tidak usah, Bu. Biar nanti Hanif bikin sendiri saja," tolak Hanif halus "Nggak apa-apa. Duduklah du
"Mbak Santi sakit, Mas?" Dinda menatap kakak iparnya dengan serius. "Masuk angin mungkin, Din. Semalam muntah-muntah. Tapi tadi aku sudah minta ibu untuk jagain dia dulu. Rencananya nanti sore aku mau periksakan ke dokter kalau belum baikan," jelas Hanif. "Kamu sendiri kenapa udah masuk, Din? Lihat tuh wajah kamu masih lebam gitu," ujar Hanif. "Udah nggak sakit kok, Mas. Lagipula hari ini kan ada meeting pagi. Nggak enak kalau ijin keterusan," ucap wanita itu sambil merapikan barang-barang di atas meja kerjanya. "Iya makanya itu, aku juga nggak bisa ngantar Santi ke dokter pagi ini. Oya, kemarin sudah ditelpon sama pakdhe kan, Din?" tanya Hanif. "Sudah, Mas." "Sudah diberitahu rencana untuk bulan depan?" "Sudah juga. Makanya itu aku nggak bisa ijin terus, Mas. Takut mengecewakan pakdhe nanti kalau kerjaanku nggak beres." "Aku juga gitu, Din. Aku merasa kok ini terlalu cepat ya. Aku takut nggak bisa menjalankan kantor ini sesuai harapan pakdhe. Masih kurang yakin aku sama kema
(SUATU SORE SEBELUM JAM KANTOR USAI) Dira yang sedang duduk di kursi ruang pantry terlihat manyun sambil mengamati ponselnya. Berkali-kali dia mendesah sambil membenarkan letak duduknya. Ada satu pesan di aplikasi hijaunya untuk seseorang yang membuatnya sangat resah dari semalam. Pesan itu sudah dikirimnya lebih dari dari 20 jam, namun tak kunjung dibaca oleh pemilik akun tersebut. Padahal, Dira melihat lelaki itu berulang kali online di aplikasi perpesanannya. 'Sombong banget,' gerutu Dira kesal. Tak berapa lama kemudian, di tengah rasa gundahnya, Dira dikagetkan dengan sebuah telepon masuk ke ponselnya dari kakak lelakinya. "Ya, Mas, ada apa?" sapanya menyambut sang kakak dengan tak bersemangat. "Nanti kamu pulang jam berapa, Dir?" tanya Bram dari seberang sana. "Seperti biasa, paling sebelum maghrib udah di rumah. Kenapa, Mas?" "Oooh, ya udah. Nggak apa-apa sih. Langsung pulang saja jangan kemana-mana ya? Oya, kamu hubungi teman kamu suruh ke rumah. Mas udah dapet uangnya
Rifat baru saja menurunkan Dinda di depan rumah Ema saat ponselnya tiba-tiba berdering. Sambil melajukan mobilnya pelan meninggalkan jalan depan rumah Ema, Rifat memasang headset ditelinganya setelah menjawab panggilan masuk dari nomer yang belum disimpannya itu. "Ya?" sapanya. "Mas Rifat ya?" tanya suara seorang wanita dari seberang sana. "Iya, dengan siapa?" tanya Rifat sambil pikirannya refleks mencoba menebak siapa wanita yang menelponnya itu. "Ini Dira, Mas. Adiknya mas Bram. Mas Rifat lagi dimana? Aku mau minta tolong," kata Dira dengan suara parau. "Dira? Ada apa, Dir?" "Mas, aku habis kecopetan. Aku nggak bisa pulang." Lalu mulai terdengar isakan halus Dira di telepon. "Kecopetan? Kok bisa? Dimana? Kamu dimana sekarang?" "Di deket mall Melati, Mas. Aku bingung gimana caranya pulang, Mas." "Ya udah kamu di situ dulu aja. Jangan kemana-mana. Tunggu sebentar lagi aku ke situ," kata Rifat. Lalu lelaki itu pun segera mematikan sambungan teleponnya dan fokus pada kem