"Kamu yakin itu Rifat, Dir?" Bu Lis, Bram, Dira, dan Lina masih duduk di kursinya masing-masing di ruang makan saat Dira kemudian bercerita tentang kedatangan Rifat hari ini ke kantornya. "Ya yakin lah, Mas. Mata Dira juga masih awas meskipun lihatnya dari jarak yang agak jauh," jelas Dira tambah bersemangat melihat kakaknya yang begitu kaget mendengar informasi itu. "Dari kapan dia mulai datang ke kantor kamu?" tanya Bram penasaran. "Dira sih nggak tau, Mas. Dira baru lihat hari ini tadi. Kayaknya temen mas itu juga akrab banget lho sama si Hanif," jelas Dira dengan nada penuh hasutan. "Aneh ya," gumam Bram sambil menempelkam jari-jarinya ke bibir. Nampak ada sesuatu yang coba dia ingat-ingat tentang Dinda dan Rifat. "Setauku Dinda itu nggak pernah kenal sama Rifat, sebelum kejadian malam itu," kata lelaki itu seperti sedang bergumam pada diri sendiri. "Maksud kamu kejadian waktu kamu hajar si Dinda di depan rumah itu, Bram?" tanya bu Lis ikut mengingat. "Iya, Bu. Sebelumny
Persidangan pertama hari itu benar-benar membuatku tak percaya. Dengan apa yang telah menimpaku waktu itu, harusnya aku tak punya hambatan yang berarti dengan sidangku perceraian ini. Meskipun pada kenyataannya, aku dan Ema sedikit keheranan saat melihat mas Bram ternyata datang untuk hadir dalam sidang cerai kami. Namun bukan kehadiran mas Bram yang membuatku begitu shock hari ini. Bukti-bukti yang dia bawa membuatku seketika terduduk lemas di kursi persidangan. Ema yang menemani di kursi belakangku pun sempat memegangi pundakku sesaat setelah aku mendudukkan diri lemas. Mas Bram rupanya tidak main-main dengan niatnya untuk tidak membiarkan Icha jatuh ke tanganku, hingga dia nekat melakukan hal-hal di luar nalar. Selain membawa foto-foto rekayasa Dira tentang kedekatanku dan mas Hanif waktu itu, ternyata mas Bram juga telah memiliki foto-fotoku dengan Rifat. Entah bagaimana dia bisa mendapatkan semua itu. Meskipun aku tau itu semua foto omong kosong belaka, namun tak ada yang bisa
"Aku mau cerai, Mas!" Wanita itu mendudukkan dirinya di kursi makan dengan kasar. Hanif tertegun, melepaskan sendok yang sejak tadi dipegangnya hingga terdengar bunyi berisik dari piringnya. Bu Ranti yang sedang berada di dapur dan tak sengaja mendengar perkataan anak sulungnya itu segera menghentikan aktifitasnya. Lalu perlahan beranjak menuju ruang makan. "San, istirahatlah di kamar. Kamu capek, Nak," kata wanita tua itu prihatin. "Enggak, Bu. Aku baik-baik saja. Seharian aku sudah tidur. Aku nggak capek kok," kata wanita itu sekilas menatap ibunya. Lalu beralih ke arah suaminya yang masih terdiam di kursinya dan sedang balik menatapnya dengan sorot tak percaya. "Kamu kenapa, Dek?" Hanif mencoba berlembut kata pada sang istri. Mungkin saja yang diucapkan ibu mertuanya tadi benar, bahwa istrinya saat ini sedang kecapekan hingga bicaranya jadi ngelantur seperti itu. "Aku mau kita cerai, Mas. Aku dan kamu," ulang Santi, menegaskan ucapannya. "Iyaa, tapi kenapa? Masalah foto-f
Ema mengalihkan perhatian dari ponselnya saat dilihatnya mobil sport hitam memasuki halaman restoran tempatnya melakukan janji bertemu dengan Rifat. Tak berapa lama, lelaki itu pun terlihat berjalan masuk dan menghampirinya. Tubuh gagah lelaki itu langsung mengingatkan Ema betapa sangat beruntungnya sahabatnya. Belum juga lepas dari suaminya, Bram, lelaki seganteng Rifat sudah mengantri untuk mendapatkan perhatiannya. "Hai, Ema. Sudah lama? Maaf ya, tadi mendadak ada tamu penting di kantor. Jadi nggak bisa cepat-cepat keluar," ucap lelaki itu dengan nada penyesalan saat mencapai meja yang sudah dipesan Ema sebelumnya. "It's okay. Aku belum lama kok. Silakan duduk, Pak. Mau pesan sesuatu?" tanya Ema. "Rifat saja. Tidak perlu pakai 'Pak'," kata lelaki itu sambil tertawa kecil. "Baiklah, Rifat. Mau pesan sendiri atau ...?" "Kopi saja. Aku sudah makan tadi di kantor." "Ooh okay, baiklah." Lalu Ema pun melambaikan tangannya pada seorang pelayan yang kebetulan sedang berdiri tak
"Diraaaaaa!" teriakan khas Bertha mengejutkan semua orang yang berada di pantry. Dira yang baru saja masuk ke ruangan berlari tergopoh-gopoh menghampiri kepala OB itu. "Ya, Bu," jawabnya sambil menunduk takut-takut. "Kamu liat nggak ini jam berapa? Sudah berapa kali aku bilang sama kalian kemarin kalau hari ini nggak boleh ada yang telat. Ngerti nggak sih kamuuu?" ucap Bertha dengan nafas naik turun. "Tapi ini cuma terlambat 5 menit, Bu," protes Dira. "Lima menit itu namanya juga terlambat. Pengen dipecat kamu? Hah?" "Enggak Bu, enggak." Dira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu tau nggak sih kalau hari ini ada acara penting di kantor ini, Dir? Bisa-bisanya ya kamu malah dateng telat?" "Maaf saya nggak tau, Bu. Acara apa ya?" tanya Dira yang sontak membuat Bertha semakin naik pitam. "Ya ampun, Diraaaaa! Kamu itu bener-bener ya. Udah telat, nggak tahu lagi kalau mau ada acara di kantor," dengus Bertha kesal. "Dah, ayo semua cepet! Yang kemarin sudah ditunjuk untuk ke ruan
Tak berapa lama kemudian, acara pelantikan pun berlangsung. Pak Arno Renggo Atmojo akhirnya mengumumkan Hanif sebagai pimpinan untuk kantor terbarunya dan Dinda sebagai wakil kepala cabang. Semua staf, karyawan, bahkan security menyambut baik berita gembira itu. Hanya ada satu orang saja yang terlihat sangat tidak bahagia di dalam ruangan yang mulai riuh rendah dengan senyum dan tepuk tangan meriah pagi itu, dialah Dira. Sejak MC membuka acara hingga akhirnya menutupnya dengan doa bersama, gadis itu terlihat pucat dan hanya tertunduk dengan pikiran tak karuan. Jika dia sampai kehilangan pekerjaannya sekarang, itu artinya dia bukan hanya akan menjadi gadis pengangguran lagi, namun dia juga akan berhadapan dengan sang kakak, Bram, yang pasti akan sangat marah besar padanya. Lalu bagaimana cara dia membayar hutang jika dia kehilangan pekerjaaannya? Setelah acara ditutup, satu per satu yang hadir segera mengikuti sang direktur utama perusahaan itu untuk meninggalkan ruangan. Senyum p
"Bu, mba Dira kenapa sih?" Lina bergegas lari menuju bu Lis dan Bram yang baru saja keluar dari mobil malam itu. Bu Lis dan Bram saling berpandangan. Seingat wanita tua itu, tadi sebelum dia meminta Bram untuk mengantarnya belanja ke supermarket, Dira belum pulang dari kantornya. "Memangnya kenapa kakakmu?" tanya Bu Lis. "Nggak tau. Pulang kerja tiba-tiba ngamuk-ngamuk di kamar trus nangis," jelas Lina, sang anak bungsu. Karena khawatir, bu Lis pun segera masuk ke dalam rumah di ikuti Bram dan Lina di belakangnya. Saat sampai di kamar sang anak gadis, betapa kagetnya orang tua itu karena kamar Dira sudah berantakan sekali. Sementara itu Dira sendiri terduduk di lantai menangis terisak sambil membantingi benda apa saja yang ada di dekatnya. "Diraaa, kamu kenapa?" bu Lis segera menghambur memeluk anaknya. "Kenapa kamu, Nak?" Melihat kondisi anaknya yang memprihatinkan, wanita tua itu pun ikut meneteskan air mata. Dira yang baru menyadari ibunya datang, buru-buru mengusap
Suara nada panggilan ponsel mengagetkanku saat keluar dari kamar mandi di rumah Ema. Kulirik sejenak layarnya sambil mengusapkan handuk kecil di rambutku yang masih basah. Mba Santi? Mataku membulat lebar. Lalu buru-buru kuraih ponsel dan kujawab panggilan telepon itu. "Assalamu'alaikum ..." sapaku dengan suara sedikit bergetar. Entah sudah berapa lama tak kudengar suara kakakku itu sejak dia mengusirku dari rumah ibu. "Din ....' Suara lembut yang memanggilku dari seberang sana membuat hatiku bagai disiram sejuknya air es. "Ya, Mbak?" sahutku dengan hati berdebar menunggu apa yang akan dikatakannya. "Kamu sehat kan? Mbak mau ke situ jemput kamu." Lalu terdengar isakan lembut dari sana. Mbak Santi menangis. "Alhamdulillah sehat. Mbak Santi mau ke sini?" tanyaku dengan suara ceria, hanya agar kakakku di sana tahu bahwa aku sedang baik-baik saja sekarang dan senang dia menghubungi. "Iya, Din. Maafin mbak ya? Mbak egois. Mbak mau kamu tinggal di sini. Ini mbak sama mas Hanif sud