Suara nada panggilan ponsel mengagetkanku saat keluar dari kamar mandi di rumah Ema. Kulirik sejenak layarnya sambil mengusapkan handuk kecil di rambutku yang masih basah. Mba Santi? Mataku membulat lebar. Lalu buru-buru kuraih ponsel dan kujawab panggilan telepon itu. "Assalamu'alaikum ..." sapaku dengan suara sedikit bergetar. Entah sudah berapa lama tak kudengar suara kakakku itu sejak dia mengusirku dari rumah ibu. "Din ....' Suara lembut yang memanggilku dari seberang sana membuat hatiku bagai disiram sejuknya air es. "Ya, Mbak?" sahutku dengan hati berdebar menunggu apa yang akan dikatakannya. "Kamu sehat kan? Mbak mau ke situ jemput kamu." Lalu terdengar isakan lembut dari sana. Mbak Santi menangis. "Alhamdulillah sehat. Mbak Santi mau ke sini?" tanyaku dengan suara ceria, hanya agar kakakku di sana tahu bahwa aku sedang baik-baik saja sekarang dan senang dia menghubungi. "Iya, Din. Maafin mbak ya? Mbak egois. Mbak mau kamu tinggal di sini. Ini mbak sama mas Hanif sud
"Mas! Mas Bram! Mau kemana, Mas? Tunggu, Mas!" Aku terus mengejar langkah cepatnya yang seperti orang kesetanan mencari-cari dan memanggil nama Icha. Beberapa kali aku berhasil meraih lengan kokohnya, tapi dia menghempaskanku dengan mudahnya. Hingga akhirnya dia pun menemukan Icha di salah satu ruang bermain bersama beberapa anak yang masih terjaga dan pengasuhnya. Melihat Icha, wajah Mas Bram nampak melembut dan berhias senyum. Aku segera tahu apa maksudnya. Dia ingin Icha berlari ke arahnya tanpa rasa takut, karena biasanya dulu Icha tak akan pernah mau mendekat saat mas Bram dalam keadaan marah. Sadar apa yang akan dilakukannya aku segera berlari menuju Icha. Namun terlambat, mas Bram ternyata lebih cepat dariku. Sebelum aku mencapai Icha, Mas Bram lebih dulu menggendong anak itu dan berlalu pergi dari ruangan. Icha pun kulihat tak memberontak dalam gendongan sang ayahnya. Dia justru beberapa kali menengok ke belakang dan tersenyum melihatku mengejar keduanya, seolah dia sedang
Beberapa jam yang lalu Rifat menerima telepon dari Ema yang menceritakan kejadian yang menimpa sahabatnya. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Ema waktu itu, Rifat memang tak lagi berusaha menemui Dinda. Namun permintaan Ema untuk membantu mengurus laporan Dinda untuk kekerasan suaminya ke pihak berwajib sudah langsung menjadi prioritasnya. Rifat pun sudah meluangkan waktu untuk sidang perceraian Dinda dan Bram berikutnya. Rifat ingin lebih bijak bersikap. Meskipun dia merasa sudah tertarik dengan wanita bernama Dinda itu, namun dia tidak ingin mempengaruhi proses perceraian antara Dinda dengan suaminya. Dia sudah bertekad untuk bersabar menungu sampai keputusan sidang cerai diantara mereka. Bahkan nomer kontak Dinda yang sudah tersimpan cukup lama di ponselnya pun tak pernah dia lihat, apalagi bermaksud untuk menghubunginya. Namun ternyata cerita Ema tentang Dinda hari ini begitu mengganggunya. Dari sehabis sholat isya, lelaki yang sudah pulang dari kantornya sejak sore hari itu
"Jadi kamu dipecat akhirnya?" geram Bu Lis melihat anak gadisnya pulang dengan wajah ditekuk tak karuan. "Benci aku, Bu. Dendam banget aku sama si Dinda." Gadis itu menghempaskan diri di sofa. Sementara Icha yang sedari tadi memperhatikan dan mendengar nama ibunya disebut-sebut perlahan beringsut dari tempat duduknya ke pojok sofa. Anak itu nampak ketakutan dengan wajah tantenya yang seram karena dipenuhi amarah. "Ibu bilang juga apa dari kemarin? Nggak usah lah lagi kamu kerja lagi di sana. Si Dinda hanya akan merendahkanmu saja akhirnya? Nggak dengerin ibu sih kamu," gerutu sang ibu. "Ya gimana lagi sih, Bu. Saat ini aku kan Masih punya tanggungan utang sama mas Bram. Ibu tau sendiri kan gimana mas Bram kalau marah?" "Ya sudahlah. Mendingan sekarang kamu cari kerjaan lain saja. Nanti Bram biar ibu yang beritahu. Harus hati-hati memang ngomong sama dia sekarang ini. Bram lagi banyak masalah. Semua ini gara-gara Dinda. Manusia kampungan nggak tau diri itu," sungut bu Lis. "Mem
Sampai hampir maghrib, Icha masih belum juga ditemukan. Bram, bu Lis, Dira, dan Lina sudah mulai panik. Pencarian mereka di sekitar kompleks rumah tak membuahkan hasil. Bahkan Bram juga sudah mencarinya sampai ke jalan raya tak jauh dari rumahnya, namun tak ada hasil juga. "Kita lapor polisi aja, Mas," usul Lina saat Bram menghentikan motornya di garasi. Lelaki itu menghentakkan kakinya dengan kesal ke lantai teras. Wajahnya benar-benar kacau membayangkan entah dimana anak semata wayangnya yang belum genap berusia 5 tahun itu berada saat ini. "Kalau hilangnya baru aja, lapor polisi juga percuma, Lin," timpal Dira. "Lalu gimana, Mbak? Ini udah mau malem lho. Makin susah nyarinya nanti kalau gelap." "Lina benar, Bram. Kita lapor polisi saja," kata Bu Lis. "Sekarang kalian baru bingung? Tadi waktu aku titipkan anakku di rumah kalian ngapain aja? Nggak ada yang peduli kan sama Icha?" Bram menendang kursi teras dengan kesal hingga benda itu nyaris terlempar ke halaman. Saat semua
"Kalian dimana sekarang?" Kalimat itu yang meluncur dari Rifat setelah Dinda menceritakan padanya soal Icha yang tiba-tiba hilang saat sedang berada di rumah Bram. "Aku sama mas Hanif masih berusaha mencari di sekitar tempat tinggal mas Bram," jawab Dinda masih dengan suaranya yang serak dan gemetar. "Oke, jangan panik, Din. Sekarang kamu kirim foto Icha ke aku sama ciri-cirinya ya. Setelah ini nanti aku susul kalian," ujar lelaki di seberang sana itu. "Aku kirim sekarang, Mas?" tanya Dinda. "Iya sekarang. Cepat ya, aku tunggu," sahut Rifat. "Baik. Terima kasih sebelumnya ya, Mas." "Nevermind." Sesuai perintah Rifat, Dinda segera mengirimkan beberapa foto Icha yang ada di galeri ponselnya berikut penjelasan ciri-ciri anaknya yang akan bisa membantu untuk pencarian. Malam itu benar-benar berlalu begitu lambat bagi Dinda. Hingga hampir tengah malam saat akhirnya Rifat menyusulnya dan Hanif, Icha masih belum juga ditemukan. Hanif sedang mengajak Dinda berhenti di depan sebuah
"Apa yang kalian lakukan di sini?" Bram mendekati ketiganya dengan tatapan tak suka. Dinda, Hanif, dan Rifat hanya saling berpandangan. "Kami lagi nyari Icha," jawab Hanif kemudian, karena baik Rifat maupun Dinda terlihat tak ada yang ingin bersuara. Apalagi Dinda, yang justru melengos malas dari suaminya. "Ayo Din, ikut aku!" kata Bram tiba-tiba sambil mengulurkan sebelah tangannya pada sang istri. Mendengar itu, Dinda baru menoleh ke arah lelaki itu. "Kemana?" tanyanya. Hatinya berharap Bram sudah menemukan keberadaan anaknya. "Ya nyari anak kita lah," sahut Bram. "Kalau cuma duduk-duduk di sini nggak bakal bisa ketemu," ketus lelaki itu. Kali ini tangannya mulai memegang pergelangan tangan Dinda. "Kami sedang istirahat sebentar, Bram. Dinda juga kelelahan," jelas Hanif. "Polisi juga sudah bergerak mencarinya, kamu tenang saja," timpal Rifat yang sedari tadi juga hanya terdiam. Teringat pertemuan terakhirnya dengan sahabatnya itu yang berlangsung saling ancam membuatnya
"Kita ke kantor polisi, Mas," kataku pada mas Bram setelah sambungan telepon dengan Rifat diputus. "Ada apa?" tanya mas Bram penasaran. "Mereka bilang Icha sudah ditemukan." "Oya? Gimana keadaannya? Anakku baik-baik saja kan?" "Aku nggak sempat nanya tadi. Ayo cepet kita ke sana," desakku. Lalu mas Bram pun segera menyelesaikan makanannya dan kami meluncur dengan roda empatnya menuju kantor Rifat. Saat mobil berhenti di pelataran parkir kantor polisi tempat Rifat bertugas, aku segera bergegas turun tanpa menunggu mas Bram. Segera kuberlari menuju ke lobby dimana kulihat dari jauh Rifat sedang berdiri di sana menyambut kami. "Dimana Icha? Dimana anakku, Mas?" cecarku padanya. "Tenang, Din. Dia di dalam sama mas Hanif." Lalu tanpa menunggu aba-aba lagi, aku pun segera berlari ke dalam. Rifat yang sedikit kaget melihatku berlari segera berjalan cepat mengikutiku. Disusul mas Bram yang juga mengikuti dibelakangnya. Dengan langkah cepat kususuri lorong sambil sesekali kulongokka