Sampai hampir maghrib, Icha masih belum juga ditemukan. Bram, bu Lis, Dira, dan Lina sudah mulai panik. Pencarian mereka di sekitar kompleks rumah tak membuahkan hasil. Bahkan Bram juga sudah mencarinya sampai ke jalan raya tak jauh dari rumahnya, namun tak ada hasil juga. "Kita lapor polisi aja, Mas," usul Lina saat Bram menghentikan motornya di garasi. Lelaki itu menghentakkan kakinya dengan kesal ke lantai teras. Wajahnya benar-benar kacau membayangkan entah dimana anak semata wayangnya yang belum genap berusia 5 tahun itu berada saat ini. "Kalau hilangnya baru aja, lapor polisi juga percuma, Lin," timpal Dira. "Lalu gimana, Mbak? Ini udah mau malem lho. Makin susah nyarinya nanti kalau gelap." "Lina benar, Bram. Kita lapor polisi saja," kata Bu Lis. "Sekarang kalian baru bingung? Tadi waktu aku titipkan anakku di rumah kalian ngapain aja? Nggak ada yang peduli kan sama Icha?" Bram menendang kursi teras dengan kesal hingga benda itu nyaris terlempar ke halaman. Saat semua
"Kalian dimana sekarang?" Kalimat itu yang meluncur dari Rifat setelah Dinda menceritakan padanya soal Icha yang tiba-tiba hilang saat sedang berada di rumah Bram. "Aku sama mas Hanif masih berusaha mencari di sekitar tempat tinggal mas Bram," jawab Dinda masih dengan suaranya yang serak dan gemetar. "Oke, jangan panik, Din. Sekarang kamu kirim foto Icha ke aku sama ciri-cirinya ya. Setelah ini nanti aku susul kalian," ujar lelaki di seberang sana itu. "Aku kirim sekarang, Mas?" tanya Dinda. "Iya sekarang. Cepat ya, aku tunggu," sahut Rifat. "Baik. Terima kasih sebelumnya ya, Mas." "Nevermind." Sesuai perintah Rifat, Dinda segera mengirimkan beberapa foto Icha yang ada di galeri ponselnya berikut penjelasan ciri-ciri anaknya yang akan bisa membantu untuk pencarian. Malam itu benar-benar berlalu begitu lambat bagi Dinda. Hingga hampir tengah malam saat akhirnya Rifat menyusulnya dan Hanif, Icha masih belum juga ditemukan. Hanif sedang mengajak Dinda berhenti di depan sebuah
"Apa yang kalian lakukan di sini?" Bram mendekati ketiganya dengan tatapan tak suka. Dinda, Hanif, dan Rifat hanya saling berpandangan. "Kami lagi nyari Icha," jawab Hanif kemudian, karena baik Rifat maupun Dinda terlihat tak ada yang ingin bersuara. Apalagi Dinda, yang justru melengos malas dari suaminya. "Ayo Din, ikut aku!" kata Bram tiba-tiba sambil mengulurkan sebelah tangannya pada sang istri. Mendengar itu, Dinda baru menoleh ke arah lelaki itu. "Kemana?" tanyanya. Hatinya berharap Bram sudah menemukan keberadaan anaknya. "Ya nyari anak kita lah," sahut Bram. "Kalau cuma duduk-duduk di sini nggak bakal bisa ketemu," ketus lelaki itu. Kali ini tangannya mulai memegang pergelangan tangan Dinda. "Kami sedang istirahat sebentar, Bram. Dinda juga kelelahan," jelas Hanif. "Polisi juga sudah bergerak mencarinya, kamu tenang saja," timpal Rifat yang sedari tadi juga hanya terdiam. Teringat pertemuan terakhirnya dengan sahabatnya itu yang berlangsung saling ancam membuatnya
"Kita ke kantor polisi, Mas," kataku pada mas Bram setelah sambungan telepon dengan Rifat diputus. "Ada apa?" tanya mas Bram penasaran. "Mereka bilang Icha sudah ditemukan." "Oya? Gimana keadaannya? Anakku baik-baik saja kan?" "Aku nggak sempat nanya tadi. Ayo cepet kita ke sana," desakku. Lalu mas Bram pun segera menyelesaikan makanannya dan kami meluncur dengan roda empatnya menuju kantor Rifat. Saat mobil berhenti di pelataran parkir kantor polisi tempat Rifat bertugas, aku segera bergegas turun tanpa menunggu mas Bram. Segera kuberlari menuju ke lobby dimana kulihat dari jauh Rifat sedang berdiri di sana menyambut kami. "Dimana Icha? Dimana anakku, Mas?" cecarku padanya. "Tenang, Din. Dia di dalam sama mas Hanif." Lalu tanpa menunggu aba-aba lagi, aku pun segera berlari ke dalam. Rifat yang sedikit kaget melihatku berlari segera berjalan cepat mengikutiku. Disusul mas Bram yang juga mengikuti dibelakangnya. Dengan langkah cepat kususuri lorong sambil sesekali kulongokka
Nyatanya bukan perasaan lega yang kurasakan saat akhirnya majelis hakim memutuskan bahwa tuntutan perceraianku dikabulkan. Bukti-bukti yang memberatkan mas Bram memang sangat cukup membuat hakim sulit untuk menolak permohonanku. Namun, ketidak-hadirannya di sidang kali ini dalam kondisi perubahan sikapnya semalam justru membuatku begitu gundah. Apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan mas Bram? Rifat, yang siang itu menyempatkan untuk hadir di persidangan juga nampak tak begitu berniat mendekatiku. Mungkin dia bisa melihat wajah tak cerahku sejak persidangan dimulai dan yang langsung keluar dari ruangan usai persidangan mendahului yang lain. Sementara Ema berjalan beriringan dengannya seperti sedang mengajaknya berbincang serius mengenai sesuatu. Namun jelas kulihat dari tempat dudukku jika pendangan lelaki itu sesekali menatapku penuh tanya. "Din, pulang sekarang kan?" tanya Ema saat mereka berdua telah mencapai tempatku duduk. Aku menganggukkan kepala pelan. "Mau kuantar?" t
Kelelahan berlari mengejar mobil mas Bram membuatku akhirnya menyerah saat teringat keadaan ibu, mba Santi, dan anak-anaknya yang tadi kutinggalkan di rumah. Beberapa tetangga yang sempat melihatku, mulai mendekat untuk menanyai apa yang terjadi. Hingga akhirnya kuceritakan semua pada mereka. Lalu dengan bantuan para tetangga, aku pun membawa keempatnya ke klinik terdekat setelah putus asa karena tak kunjung berhasil membangunkan mereka. Dalam Kondisi panik karena Icha dibawa lari lagi oleh mas Bram dan kondisi keluargaku yang masih belum tersadar, hanya mas Hanif yang ada di dalam pikiranku untuk kuhubungi saat ini. "Ka-kamu tenang dulu ya, Din. Aku segera datang. Kamu jangan panik ya, tenang ya, tenang," ucapnya dengan sedikit terbata setelah menerima teleponku dan kuceritakan semua yang baru saja kualami. Tak berselang lama setelah kuputuskan sambungan telepon dengan mas Hanif, dokter memanggilku ke ruangannya. Melihat wajahku yang begitu kalut, dokter wanita itu memberikanku
Rifat menyambutku dan mas Hanif di lobby kantornya saat kami datang. Aku langsung celingukan berusaha menemukan dimana mas Bram dan anakku berada. "Bram masih dalam pemeriksaan," kata Rifat menyadari kebingunganku. "Icha mana, Mas?" tanyaku kemudian. "Icha ..." Rifat nampak terdiam sejenak menatapku. Dahiku mengernyit saat dia beralih menatap ke mas Hanif nampak sedikit kebingungan untuk berkata. "Tunggu di sini dulu aja, Din. Icha sebentar lagi datang kok," katanya kemudian. Bukannya tenang dan menuruti kata-katanya yang penuh tanda tanya, aku justru menjadi cemas. Kurasa ada yang sedang disembunyikan mereka berdua dariku saat ini. "Ada apa sih, Mas? Icha kenapa? Anakku kenapa?" Aku mulai mendekat padanya untuk meminta penjelasan. Ucapanku bahkan sepertinya terdengar sedikit kasar. "Din ... tenang." Mas Hanif seperti biasa berusaha membuatku tenang. "Icha nggak apa-apa. Tadi hanya terjatuh dan luka sedikit. Sekarang sedang dibawa ke klinik sama anak buahku. Sebentar lagi
Satu minggu setelah permintaan maafku pada Rifat hari itu, aku pikir dia akan lebih sering menghubungiku. Tapi nyatanya dugaanku salah. Dia justru sama sekali tidak pernah muncul lagi. Bahkan dalam obrolan mas Hanif sekalipun, namanya tak pernah dia sebut. Lelaki itu seperti menghilang di telan bumi. Sementara itu, mau tak mau aku masih harus tetap mengikuti perkembangan kasus mas Bram karena bagaimanapun aku adalah salah satu yang terlibat dalam beberapa kasus yang dituntutkan kepadanya. Dua minggu berikutnya, saat aku dipanggil pihak kepolisian sebagai saksi korban kasus KDRT yang dilakukan oleh mantan suamiku itu, aku pun tetap tak melihat sosok lelaki itu di kantornya. Entahlah, namun tiba-tiba seperti ada yang hilang dari hidupku saat ini tanpa melihat kehadirannya lagi. Dan seperti siang ini, usai memenuhi panggilan guna memberikan saksi untuk kedua kalinya, aku berjalan dengan malas keluar dari lobby kantor Rifat. Meski langkahku sangat tak bersemangat, namun mataku mendad