Rifat menyambutku dan mas Hanif di lobby kantornya saat kami datang. Aku langsung celingukan berusaha menemukan dimana mas Bram dan anakku berada. "Bram masih dalam pemeriksaan," kata Rifat menyadari kebingunganku. "Icha mana, Mas?" tanyaku kemudian. "Icha ..." Rifat nampak terdiam sejenak menatapku. Dahiku mengernyit saat dia beralih menatap ke mas Hanif nampak sedikit kebingungan untuk berkata. "Tunggu di sini dulu aja, Din. Icha sebentar lagi datang kok," katanya kemudian. Bukannya tenang dan menuruti kata-katanya yang penuh tanda tanya, aku justru menjadi cemas. Kurasa ada yang sedang disembunyikan mereka berdua dariku saat ini. "Ada apa sih, Mas? Icha kenapa? Anakku kenapa?" Aku mulai mendekat padanya untuk meminta penjelasan. Ucapanku bahkan sepertinya terdengar sedikit kasar. "Din ... tenang." Mas Hanif seperti biasa berusaha membuatku tenang. "Icha nggak apa-apa. Tadi hanya terjatuh dan luka sedikit. Sekarang sedang dibawa ke klinik sama anak buahku. Sebentar lagi
Satu minggu setelah permintaan maafku pada Rifat hari itu, aku pikir dia akan lebih sering menghubungiku. Tapi nyatanya dugaanku salah. Dia justru sama sekali tidak pernah muncul lagi. Bahkan dalam obrolan mas Hanif sekalipun, namanya tak pernah dia sebut. Lelaki itu seperti menghilang di telan bumi. Sementara itu, mau tak mau aku masih harus tetap mengikuti perkembangan kasus mas Bram karena bagaimanapun aku adalah salah satu yang terlibat dalam beberapa kasus yang dituntutkan kepadanya. Dua minggu berikutnya, saat aku dipanggil pihak kepolisian sebagai saksi korban kasus KDRT yang dilakukan oleh mantan suamiku itu, aku pun tetap tak melihat sosok lelaki itu di kantornya. Entahlah, namun tiba-tiba seperti ada yang hilang dari hidupku saat ini tanpa melihat kehadirannya lagi. Dan seperti siang ini, usai memenuhi panggilan guna memberikan saksi untuk kedua kalinya, aku berjalan dengan malas keluar dari lobby kantor Rifat. Meski langkahku sangat tak bersemangat, namun mataku mendad
"Din, ayook! Kok belum siap siap sih?" Kepala mbak Santi menyembul dari balik pintu kamarku malam itu, membuatku yang sedang rebahan dengan putri semata wayangku kaget. "Siap-siap? Kemana, Mbak?" tanyaku keheranan. "Lhoh, gimana sih. Rifat emang nggak cerita?" "Mas Rifat? Cerita apa?" Aku pun segera bangkit dari posisi rebahanku mendengarnya menyebut nama lelaki itu. "Lhoh, gimana sih?" Mbak Santi mengacak rambutnya. Lalu bukannya menjawab pertanyaanku, mbak Santi malah berbalik badan memanggil-manggil suamimya "Mas! Mas Hanif! Gimana sih ...." Lalu suaranya tak terdengar lagi. Hanya samar dia seperti berbicara dengan mas Hanif di ruangan lain. Tapi entah apa. Aku dan Icha yang kebingungan, hanya saling pandang dan sama-sama mengedikkan bahu. Lalu kembali berbaring melanjutkan kesibukan kami menonton film kartun di HP yang sempat tergganggu dengan kehadiran mba Santi tadi. "Din, kok belum siap juga?" Tak berapa lama mbak Santi kembali ke kamarku lagi. Dengan malas aku pun m
Hari berganti dan aku jadi sulit memejamkan mata setiap malam memikirkan lamaran Rifat waktu itu. Bukan karena aku tak menyimpan perasaan apapun padanya, melainkan rasa trauma yang masih membekas tentang hubunganku dengan mas Bram. Bagaimanapun juga, masih ada sedikit rasa ketakutan yang membayang. Bagaimana jika kehidupan rumah tangga keduaku nanti berakhir sama dengan yang sebelumnya? "Belum juga bisa kamu putuskan?" Mbak Santi tiba-tiba sudah duduk di sebelahku malam itu. Sejak Icha tertidur satu jam yang lalu, aku memang menghabiskan waktu sendirian di serambi rumah memandangi bintang-bintang yang banyak bertaburan di langit malam itu. "Belum, Mbak. Aku masih bingung." "Ini sudah berminggu-minggu lho, Din. Kasihan Rifat menunggu tanpa kepastian." Mbak Santi menatapku dengan serius. "Tapi bagiku ini tidak semudah itu, Mbak. Aku seperti masih punya ketakutan kejadian yang sama akan terulang lagi." Kudengar helaan nafas cukup berat dari wanita yang duduk di sampingku itu. "
Usai melangsungkan pernikahan kami tiga bulan setelah aku menerima lamaran lelaki itu, Rifat langsung memboyongku dan Icha ke rumahnya. Sebuah rumah pribadi yang tidak besar namun terkesan sangat bersih dan terawat. Sebelum akhirnya kami menikah, aku dan Icha memang telah beberapa kali diajak ke rumahnya ini. Namun tetap saja, tinggal bersamanya tentu sangat berbeda. Tiga bulan saling mendalami sifat masing-masing rasanya juga belum cukup untuk mengenal semua kebiasaan-kebiasaan suami keduaku ini. "Aku bahagia akhirnya bisa membawamu ke sini, Dinda," ucapnya malam itu setelah aku selesai menemani Icha tidur di kamar barunya. "Aku juga," jawabku malu-malu. "Tapi, Mas, kenapa sepertinya ada yang aneh ya dengan rumah ini?" Mataku bergerak ke sekeliling mencoba mencari tahu apa yang sejak tadi kurasakan tidak biasa di rumah suamiku ini. "Oya? Apa itu?" Rifat justru merasa penasaran dengan pernyataanku. Dia sedang mengamatiku dengan serius saat akhirnya aku berhasil menemukan apa y
Lima tahun kemudian ...Hari itu di rumah keluarga Hanif, suasana nampak sangat meriah. Sudah lima tahun sejak diangkatnya Hanif menjadi kepala cabang perusahaan cargo milik Pak Arno, rumah bu Ranti yang dulunya sangat sederhana, kini telah berubah menjadi lebih mewah. Hanif sebenarnya bukan orang yang suka menghamburkan harta untuk sesuatu yang tidak terlalu penting. Namun demi kebahagiaan istri serta ibu mertuanya, Hanif berusaha memberikan hunian yang lebih nyaman untuk keluarganya itu. Selain merenovasi rumah, Hanif pun kini telah memiliki sebuah mobil pribadi dan seorang asisten rumah tangga yang bertugas membantu Santi untuk menjaga ketiga buah hati mereka, Rani, Rino, dan si kecil Afika.Bu Ranti, semakin hari justru terlihat semakin segar. Raut tua dan lelahnya kini tak begitu nampak lagi. Santi bahagia melihat ibunya lebih bahagia di masa tuanya. Di halaman rumah yang kini terlihat asri oleh taman dan arena bermain itu sejak siang telah dihiasi dengan balon-balon dan perna
"Jadi kamu berpikir Dinda dan Rifat sedang ada masalah?"Hanif sepertinya tak percaya saat istrinya membicarakan tentang Dinda malam harinya. Namun anggukan Santi tak ayal membuat Hanif menautkan kedua alisnya juga."Tapi apa?" tanya Hanif tak mengerti. Sejak Dinda resign dari kantor tempat mereka bekerja, Hanif memang sudah jarang berkomunikasi dengan adik iparnya lagi. Walau sesekali dia masih bertemu dengan Rifat untuk sekedar menikmati secangkir kopi di kafe. "Rifat kelihatannya baik-baik saja selama ini lho, Dek," lanjutnya kemudian."Ya kan itu Rifat, Mas. Dinda kan belum tentu.""Lha trus apa? Dinda cerita apa sama kamu?""Dinda sih
Di tengah kegundahannya dengan kondisi Pak Arno, pagi itu Hanif mengadakan rapat mendadak di kantornya. Dia mengumumkan kondisi terkini sang pakdhe sekaligus untuk meminta doa para bawahannya demi kesembuhan direktur utama sekaligus pemilik perusahaan tempat mereka berkerja itu.Usai memimpin rapat, Hanif bermaksud untuk menemui kliennya seperti yang dijanjikannya pada sang sekretaris pribadi dini hari itu."Pak, saya jadi ikut bapak ya?" Melanie segera mengejar saat melihat Hanif berlalu dari ruangan rapat."Ya, boleh," sahut Hanif sambil lalu, menghampiri meja resepsionis kantornya."Saya keluar bertemu klien. Kalau ada yang mencari tolong katakan sekitar dua jam lagi saya kembali," pesanny