Hari berganti dan aku jadi sulit memejamkan mata setiap malam memikirkan lamaran Rifat waktu itu. Bukan karena aku tak menyimpan perasaan apapun padanya, melainkan rasa trauma yang masih membekas tentang hubunganku dengan mas Bram. Bagaimanapun juga, masih ada sedikit rasa ketakutan yang membayang. Bagaimana jika kehidupan rumah tangga keduaku nanti berakhir sama dengan yang sebelumnya? "Belum juga bisa kamu putuskan?" Mbak Santi tiba-tiba sudah duduk di sebelahku malam itu. Sejak Icha tertidur satu jam yang lalu, aku memang menghabiskan waktu sendirian di serambi rumah memandangi bintang-bintang yang banyak bertaburan di langit malam itu. "Belum, Mbak. Aku masih bingung." "Ini sudah berminggu-minggu lho, Din. Kasihan Rifat menunggu tanpa kepastian." Mbak Santi menatapku dengan serius. "Tapi bagiku ini tidak semudah itu, Mbak. Aku seperti masih punya ketakutan kejadian yang sama akan terulang lagi." Kudengar helaan nafas cukup berat dari wanita yang duduk di sampingku itu. "
Usai melangsungkan pernikahan kami tiga bulan setelah aku menerima lamaran lelaki itu, Rifat langsung memboyongku dan Icha ke rumahnya. Sebuah rumah pribadi yang tidak besar namun terkesan sangat bersih dan terawat. Sebelum akhirnya kami menikah, aku dan Icha memang telah beberapa kali diajak ke rumahnya ini. Namun tetap saja, tinggal bersamanya tentu sangat berbeda. Tiga bulan saling mendalami sifat masing-masing rasanya juga belum cukup untuk mengenal semua kebiasaan-kebiasaan suami keduaku ini. "Aku bahagia akhirnya bisa membawamu ke sini, Dinda," ucapnya malam itu setelah aku selesai menemani Icha tidur di kamar barunya. "Aku juga," jawabku malu-malu. "Tapi, Mas, kenapa sepertinya ada yang aneh ya dengan rumah ini?" Mataku bergerak ke sekeliling mencoba mencari tahu apa yang sejak tadi kurasakan tidak biasa di rumah suamiku ini. "Oya? Apa itu?" Rifat justru merasa penasaran dengan pernyataanku. Dia sedang mengamatiku dengan serius saat akhirnya aku berhasil menemukan apa y
Lima tahun kemudian ...Hari itu di rumah keluarga Hanif, suasana nampak sangat meriah. Sudah lima tahun sejak diangkatnya Hanif menjadi kepala cabang perusahaan cargo milik Pak Arno, rumah bu Ranti yang dulunya sangat sederhana, kini telah berubah menjadi lebih mewah. Hanif sebenarnya bukan orang yang suka menghamburkan harta untuk sesuatu yang tidak terlalu penting. Namun demi kebahagiaan istri serta ibu mertuanya, Hanif berusaha memberikan hunian yang lebih nyaman untuk keluarganya itu. Selain merenovasi rumah, Hanif pun kini telah memiliki sebuah mobil pribadi dan seorang asisten rumah tangga yang bertugas membantu Santi untuk menjaga ketiga buah hati mereka, Rani, Rino, dan si kecil Afika.Bu Ranti, semakin hari justru terlihat semakin segar. Raut tua dan lelahnya kini tak begitu nampak lagi. Santi bahagia melihat ibunya lebih bahagia di masa tuanya. Di halaman rumah yang kini terlihat asri oleh taman dan arena bermain itu sejak siang telah dihiasi dengan balon-balon dan perna
"Jadi kamu berpikir Dinda dan Rifat sedang ada masalah?"Hanif sepertinya tak percaya saat istrinya membicarakan tentang Dinda malam harinya. Namun anggukan Santi tak ayal membuat Hanif menautkan kedua alisnya juga."Tapi apa?" tanya Hanif tak mengerti. Sejak Dinda resign dari kantor tempat mereka bekerja, Hanif memang sudah jarang berkomunikasi dengan adik iparnya lagi. Walau sesekali dia masih bertemu dengan Rifat untuk sekedar menikmati secangkir kopi di kafe. "Rifat kelihatannya baik-baik saja selama ini lho, Dek," lanjutnya kemudian."Ya kan itu Rifat, Mas. Dinda kan belum tentu.""Lha trus apa? Dinda cerita apa sama kamu?""Dinda sih
Di tengah kegundahannya dengan kondisi Pak Arno, pagi itu Hanif mengadakan rapat mendadak di kantornya. Dia mengumumkan kondisi terkini sang pakdhe sekaligus untuk meminta doa para bawahannya demi kesembuhan direktur utama sekaligus pemilik perusahaan tempat mereka berkerja itu.Usai memimpin rapat, Hanif bermaksud untuk menemui kliennya seperti yang dijanjikannya pada sang sekretaris pribadi dini hari itu."Pak, saya jadi ikut bapak ya?" Melanie segera mengejar saat melihat Hanif berlalu dari ruangan rapat."Ya, boleh," sahut Hanif sambil lalu, menghampiri meja resepsionis kantornya."Saya keluar bertemu klien. Kalau ada yang mencari tolong katakan sekitar dua jam lagi saya kembali," pesanny
"Gimana, jadi ketemu Dinda hari ini, Dek?" tanya Hanif malam itu usai menyelesaikan makan malamnya bersama keluarga tercinta."Udah mas. Dan sepertinya dugaanku benar deh.""Kok dugaan? Memangnya Dinda masih belum mau cerita?""Cerita apa? Apa yang terjadi dengan Dinda, San, Nif?" Bu Ranti tiba-tiba sudah ada di dekat mereka membuat Santi dan Hanif mendadak salah tingkah dan bingung untuk menjawab apa."Eng-enggak kok, Bu. Nggak ada apa-apa sama Dinda," tukas Santi cepat.Bu Ranti nempak menarik nafas panjang sebelum akhirnya mendudukkan diri diantara anak dan menantunya."Sudaah,
"Bu Dinda, Icha tadi kan sudah dijemput sama ayahnya."Seorang wanita tergopoh-gopoh menghampiri Dinda yang tengah berjalan memasuki gerbang sekolah. Dinda memang terlambat setengah jam dari jadwal putri pertamanya itu pulang akibat terjadi insiden kecil dengan putra keduanya, Dio, saat masih di rumah tadi."Mas Rifat?" Walau sedikit tak percaya, namun Dinda mengira bahwa Rifat lah yang telah menjemput putrinya sebelum dia datang. Barangkali tadi Icha meminta tolong ibu gurunya untuk menelponkan ayahnya."Mmm, bukan bu. Tapi pak Bram," ucap wanita itu dengan nada sedikit bersalah menyadari bahwa Dinda sepertinya tak tahu menahu soal penjemputan Icha oleh ayah kandungnya.Dinda seketika panik
Dinda sangat kacau dan akhirnya tak bisa tidur malam itu. Sementara El jadi ikut rewel. Mungkin karena ibunya yang sedang dalam masalah, kondisi psikis anak itu pun kena imbas.Rifat sendiri yang sedari pulang sudah nampak sangat kelelahan, berulang kali terbangun karena tangisan El. Dan itu berlangsung hingga pagi tiba.Mungkin karena suasana hatinya yang sedang tak nyaman, Rifat jadi tak banyak bicara pagi itu saat menghabiskan sarapannya yang seperti biasa sudah disiapkan oleh sang istri. Bahkan kali ini dia berangkat lebih pagi dari biasanya.Melihat kekacauan di wajah sang suami, Dinda pun enggan mengajaknya bicara. Bahkan untuk berpesan tentang Icha pun Dinda tak berani..
Usai ditemui bu Intan, beberapa myhari berikutnya Hanif menjadi lebih waspada. Percakapan w******p Delisha dengan seorang yang disebutnya notaris yang menyuruh Delisha mengambil berkas-berkas penting di kantornya untuk dipindahtangankan secara paksa itu membuatnya harus ekstra hati-hati. Meskipun kenyataannya, Hanif harus mentertawakan kebodohan orang-orang yang menyangka bahwa perusahaan sebonafid milik pak Arno itu dipikir akan menyimpan berkas-berkas aset penting di kantor. 'Penjahat yang sangat bodoh rupanya,' kata Hanif dalam hati. Pak Arno bukan orang amatir dalam dunia bisnis. Perusahaan yang dirintisnya bertahun-tahun dari nol itu tak mungkin mengamankan berkas-berkas aset berharganya sembarangan. Orangtua itu jelaslah sudah menyimpannya di tempat yang sangat aman. Namun kenyataannya, Delisha memang membabi buta dalam bertindak. Mengincar harta ayah angkatnya dengan caara yang kotor namun tanpa perhitungan. Hingga kemudian hari yang ditunggu Hanif pun tiba. Saat pagi itu di
Hanif baru akan menyalakan mesin mobilnya di parkiran sebuah kafe usai bertemu dengan seorang klien malam itu, saat sebuah suara menghentikannya."Pak Hanif, tunggu!" teriakan seorang wanita. Saat Hanif menoleh, ternyata bu Intan sudah ada di samping pintu mobilnya yang kacanya belum sepenuhnya tertutup."Bu Intan? Ngapain di sini?" tanya Hanif keheranan."Pak, saya ingin bicara sebentar. Ini penting, Pak. Menyangkut bu Delisha," ucap wanita itu sedikit terbata. Hanif sontak mengernyitkan dahi. Haruskan dia percaya pada wanita yang ternyata sudah berkhianat pada kepercayaan yang diberikan selama bertahun-tahun oleh pakdhenya itu? Hanif ragu.Melihat ketidakpercayaan dalam sorot mata mantan atasanny
"Baju-baju Icha mau diapakan, Yah?" Icha sedikit kaget melihat Bram sedang duduk di lantai rumah dan memasukkan baju dan barang-barang Icha ke dalam tas besar."Ke sinilah, Cha. Duduk dekat ayah," ucap Bram.Icha melangkah pelan mendekati ayahnya. Lalu duduk bersila sembari memperhatikan Bram yang hampir selesai memasukkan semua barang ke dalam tasnya."Ayah tau beberapa hari ini kamu sedang mikirin ibu. Kamu pasti kangen kan sama ibu?""Enggak kok, Yah," sahut anak itu."Dengarkan ayah dulu. Ayah ini sudah mengenalmu sejak kamu bayi, Cha. Ayah juga bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Sama kayak ibu. Hari ini tadi ayah ketemu sama
Kekacauan di rumah Hanif karena marahnya Santi dan bu Ranti rupanya terbawa oleh Hanif sampai di kantor. Penampilan sang direktur hari itu sangat kusut membuat beberapa staf berbisik-bisik usai menyambutnya."Tolong kumpulkan seluruh staf. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan," kata Hanif cepat pada salah satu karyawan sebelum dirinya masuk ke ruang kerjanya.Delisha yang rupanya telah berada di ruangannya itu sedikit kaget melihat kekacauan di wajah Hanif."Ada apa? Kenapa kacau begitu, Hanif?" tanyanya basa-basi. Padahal wanita itu sudah bisa menduga pasti telah ada sesuatu yang terjadi di rumah Hanif hingga lelaki itu nampak sangat kacau pagi itu."Bukan urusanmu!" gertak Hanif. Dia b
Kian hari Delisha makin gencar mendekati Hanif. Sementara bu Intan berada pada dilemanya dari hari ke hari. Meski pada awalnya dia tergoda dengan tawaran sang anak angkat pemilik perusahaan untuk merebut kepemimpinan dengan iming-iming sebuah mobil mewah, namun rupanya semakin ke sini hatinya tak tega juga menyaksikan niat jahat Delisha pada Hanif."Tolong hentikan, Bu. Pak Hanif itu orang baik. Ibu jangan libatkan pak Hanif dalam rencana ibu," pintanya siang itu pada Delisha saat wanita itu datang berkunjung ke ruang kerjanya."Siapa sih memangnya yang melibatkan Hanif? Aku hanya memperalatnya saja, bu Intan. Itu beda.""Itu malah lebih menyedihkan, Bu. Saya mohon hentikan saja ini. Pak Hanif itu sangat dekat dengan Pak Arno. Saya yakin jika Anda bisa baik dengannya,
Malam itu pukul 12 malam, warung kopi Bram sudah tampak sepi. Lelaki yang sudah mulai sedikit tumbuh jenggot di dagunya itu terlihat sedang membersihkan peralatan kotor sambil sesekali melirik ke anaknya yang duduk termenung di sebuah bangku pelanggan yang kosong.Malam minggu, Bram biasanya membiarkan Icha untuk menemaninya hingga larut. Walau biasanya Icha akan sudah mengantuk saat jarrum jam menunjuk angka 9. Kali ini sedikit berbeda. Anak gadis kecilnya itu berulang kali mengatakan bahwa dirinya belum mengantuk kala Bram menanyainya. Hingga kemudian saat jam menunjuk angka 12, Icha pun masih terjaga menemani sang ayah berjualan.Selesai dengan pekerjaannya, Bram pun melangkah pelan menghampiri Icha dengan dua gelas teh panas di tangannya."Belum ngantuk juga,
Tiga minggu setelah kehadiran Delisha di kantor cabang itu, para karyawan akhirnya sudah menjadi semakin terbiasa dengan kehadirannya. Wanita yang sering berkeliling dan menegur para karyawan yang sedang ngobrol atau bersantai sejenak di sela-sela aktifitas pekerjaan mereka itu bagai momok yang selalu dihindari setiap karyawan di perusahaan cargo milik pak Arno. Meski begitu, tetap saja, ada beberapa orang yang senang sekali mencari muka pada atasan baru yang terkenal sangat sadis dan sok disiplin itu.Hanif sendiri semakin ke sini semakin merasa tak nyaman. Bukan hanya karena kepemimpinannya yang seolah jadi bercabang dengan adanya wanita itu. Namun juga karena sikap Delisha yang terkadang sangat menganggu privasinya.Sebagai lelaki normal, Hanif merasa tak akan sanggup jika terus-terusan mendapat godaan dari putri angka
Meski telah berusaha menjelaskan pada Bram tentang kondisi rumah tangganya dengan sang suami yang telah membaik, nyatanya malam itu Dinda tetap gagal membawa Icha pulang.Padahal sesuai janjinya, Rifat telah mencarikan seorang asisten rumah tangga untuk membantu pekerjaan sang istri. Dinda juga telah berjanji untuk menjadi ibu yang lebih baik lagi. Namun rupanya Icha telah terlanjur nyaman dengan kehidupan barunya bersama sang ayah.Tangis kesedihan tak terbendung lagi saat perjalanan mereka pulang ke rumah. Rifat yang bisa merasakan kesedihan Dinda pun hanya bisa membiarkan wanitanya itu larut dalam tangisan. Tak sedikit pun lelaki itu berniat untuk menghentikan tangisan Dinda. Hanya sebelah tangannya yang sesekali mengusap punggung untuk sekedar menenangkan hati istrinya.
Siang itu Bram sudah bersiap untuk menjemput Icha di sekolah saat bu Lis menghadang di depan motornya."Ada apa, Bu?""Kamu mau kemana, Bram.""Jemput Icha lah. Kemana lagi?"Nampak orangtua itu menghembuskan nafas berat."Kenapa sih, Bu?""Ibu kok kangen ya Bram sama Dira. Bisa nggak habis ini kamu anterin ibu ke rumah Dira?""Ke Surabaya? Ya nggak bisa lah, Bu. Ibu kan tahu sekarang aku ada tanggungan ngurus Icha. Ibu pergi sendiri aja deh naik bis. Nanti Bram antar ibu ke terminal atau agen bisn