Di tengah kegundahannya dengan kondisi Pak Arno, pagi itu Hanif mengadakan rapat mendadak di kantornya. Dia mengumumkan kondisi terkini sang pakdhe sekaligus untuk meminta doa para bawahannya demi kesembuhan direktur utama sekaligus pemilik perusahaan tempat mereka berkerja itu.
Usai memimpin rapat, Hanif bermaksud untuk menemui kliennya seperti yang dijanjikannya pada sang sekretaris pribadi dini hari itu.
"Pak, saya jadi ikut bapak ya?" Melanie segera mengejar saat melihat Hanif berlalu dari ruangan rapat.
"Ya, boleh," sahut Hanif sambil lalu, menghampiri meja resepsionis kantornya.
"Saya keluar bertemu klien. Kalau ada yang mencari tolong katakan sekitar dua jam lagi saya kembali," pesanny
"Gimana, jadi ketemu Dinda hari ini, Dek?" tanya Hanif malam itu usai menyelesaikan makan malamnya bersama keluarga tercinta."Udah mas. Dan sepertinya dugaanku benar deh.""Kok dugaan? Memangnya Dinda masih belum mau cerita?""Cerita apa? Apa yang terjadi dengan Dinda, San, Nif?" Bu Ranti tiba-tiba sudah ada di dekat mereka membuat Santi dan Hanif mendadak salah tingkah dan bingung untuk menjawab apa."Eng-enggak kok, Bu. Nggak ada apa-apa sama Dinda," tukas Santi cepat.Bu Ranti nempak menarik nafas panjang sebelum akhirnya mendudukkan diri diantara anak dan menantunya."Sudaah,
"Bu Dinda, Icha tadi kan sudah dijemput sama ayahnya."Seorang wanita tergopoh-gopoh menghampiri Dinda yang tengah berjalan memasuki gerbang sekolah. Dinda memang terlambat setengah jam dari jadwal putri pertamanya itu pulang akibat terjadi insiden kecil dengan putra keduanya, Dio, saat masih di rumah tadi."Mas Rifat?" Walau sedikit tak percaya, namun Dinda mengira bahwa Rifat lah yang telah menjemput putrinya sebelum dia datang. Barangkali tadi Icha meminta tolong ibu gurunya untuk menelponkan ayahnya."Mmm, bukan bu. Tapi pak Bram," ucap wanita itu dengan nada sedikit bersalah menyadari bahwa Dinda sepertinya tak tahu menahu soal penjemputan Icha oleh ayah kandungnya.Dinda seketika panik
Dinda sangat kacau dan akhirnya tak bisa tidur malam itu. Sementara El jadi ikut rewel. Mungkin karena ibunya yang sedang dalam masalah, kondisi psikis anak itu pun kena imbas.Rifat sendiri yang sedari pulang sudah nampak sangat kelelahan, berulang kali terbangun karena tangisan El. Dan itu berlangsung hingga pagi tiba.Mungkin karena suasana hatinya yang sedang tak nyaman, Rifat jadi tak banyak bicara pagi itu saat menghabiskan sarapannya yang seperti biasa sudah disiapkan oleh sang istri. Bahkan kali ini dia berangkat lebih pagi dari biasanya.Melihat kekacauan di wajah sang suami, Dinda pun enggan mengajaknya bicara. Bahkan untuk berpesan tentang Icha pun Dinda tak berani..
Seperti dugaan Dinda, Rifat sepertinya biasa saja saat malam itu Dinda mengabari bahwa Icha datang diantar oleh Bram untuk mengambil barang-barangnya.Dinda terlihat sangat kecewa dengan sikap Rifat itu. Meskioun pada akhirnya dia tak bisa berkata apa-apa....Keesokan harinya Dinda sengaja membawa Dio dan El ke rumah Ema. Selain ingin berbincang dengan sahabatnya itu, Dinda pun sepertinya memiliki rencana lain untuk mengatasi masalah rumah tangganya."Ya ampun Din, perasaan baru berapa mimggu deh kita nggak ketemu. Kok kamu tambah kurus lagi? Apa aku yang salah lihat ya?" Ema yang memang senang ceplas ceplos langsung memberond
"Selamat siang, Pak Hanif," sapa wanita berumur sekitar 35 tahun itu dengan penuh percaya diri saat melangkahkan kaki jenjangnya ke dalam ruangan Hanif. Dinda yang memang diminta Hanif untuk menemaninya di ruangan itu tertegun sejenak dengan penampilan si wanita. Cantik, berkelas, dan terlihat sangat metropolis."Selamat siang. Anda ibu Delisha?" tanya Hanif sedikit ragu. Sepertinya dia pernah mendengar nama itu tapi Hanif lupa entah dimana. "Silahkan duduk, Bu," lanjut Hanif setelah wanita itu mengangguk mengiyakan. Dalam hati Hanif sedikit bertanya-tanya, karena sama sekali tak nampak keraguan atau kecanggungan sedikitpun dalam sikap tamunya tersebut."Terima kasih, pak Hanif. Saya rasa Anda belum kenal saya kan, Pak?" tanya wanita itu santai. Sangat serasi dengan cara duduknya yang juga seperti telah terlatih.
"Aku mau bicara, Mas."Malam itu usai menidurkan Dio dan El, Dinda menghampiri suaminya yang tengah duduk-duduk di serambi rumah mereka. Sepuntung rokok yang belum habis dihisapnya, segera diletakkan Rifat di asbak sisi meja kala melihat raut serius sang istri.Kemudian dia menggeser duduknya agar istrinya bisa menempatkan diri di sebelahnya."Ada apa?" tanyanya."Tadi siang aku ke kantor mas Hanif, Mas.""Ada apa lagi?" Rifat langsung berubah sedikit kesal mendengar cerita sang istri yang menemui kakak iparnya."Aku mau kerja lagi," jawab Dinda singkat.
Hanif baru saja sampai di ruang kerjanya saat dilihatnya Delisha ternyata sudah menduduki kursinya."Anda sedikit terlambat, pak Hanif," ujar wanita itu dari kursi kebesaran Hanif.Hanif melirik arloji di pergelangan tangannya. Lebih lima menit dari jadwal para karyawannya seharusnya tiba."Maaf bu Delisha. Mungkin Anda yang datang kepagian," sanggah Hanif."Saya ingin mulai hari ini semuanya aturan kedisiplinan lebih diperketat lagi, pak Hanif. Perusahaan ini bisa merugi banyak jika semua karyawan datang telat seperti ini."Hanif sedikit mencelos mendengar gaya Delisha bicara Delisha.
Siang itu Bram sudah bersiap untuk menjemput Icha di sekolah saat bu Lis menghadang di depan motornya."Ada apa, Bu?""Kamu mau kemana, Bram.""Jemput Icha lah. Kemana lagi?"Nampak orangtua itu menghembuskan nafas berat."Kenapa sih, Bu?""Ibu kok kangen ya Bram sama Dira. Bisa nggak habis ini kamu anterin ibu ke rumah Dira?""Ke Surabaya? Ya nggak bisa lah, Bu. Ibu kan tahu sekarang aku ada tanggungan ngurus Icha. Ibu pergi sendiri aja deh naik bis. Nanti Bram antar ibu ke terminal atau agen bisn