"Bu Dinda, Icha tadi kan sudah dijemput sama ayahnya."
Seorang wanita tergopoh-gopoh menghampiri Dinda yang tengah berjalan memasuki gerbang sekolah. Dinda memang terlambat setengah jam dari jadwal putri pertamanya itu pulang akibat terjadi insiden kecil dengan putra keduanya, Dio, saat masih di rumah tadi.
"Mas Rifat?" Walau sedikit tak percaya, namun Dinda mengira bahwa Rifat lah yang telah menjemput putrinya sebelum dia datang. Barangkali tadi Icha meminta tolong ibu gurunya untuk menelponkan ayahnya.
"Mmm, bukan bu. Tapi pak Bram," ucap wanita itu dengan nada sedikit bersalah menyadari bahwa Dinda sepertinya tak tahu menahu soal penjemputan Icha oleh ayah kandungnya.
Dinda seketika panik
Dinda sangat kacau dan akhirnya tak bisa tidur malam itu. Sementara El jadi ikut rewel. Mungkin karena ibunya yang sedang dalam masalah, kondisi psikis anak itu pun kena imbas.Rifat sendiri yang sedari pulang sudah nampak sangat kelelahan, berulang kali terbangun karena tangisan El. Dan itu berlangsung hingga pagi tiba.Mungkin karena suasana hatinya yang sedang tak nyaman, Rifat jadi tak banyak bicara pagi itu saat menghabiskan sarapannya yang seperti biasa sudah disiapkan oleh sang istri. Bahkan kali ini dia berangkat lebih pagi dari biasanya.Melihat kekacauan di wajah sang suami, Dinda pun enggan mengajaknya bicara. Bahkan untuk berpesan tentang Icha pun Dinda tak berani..
Seperti dugaan Dinda, Rifat sepertinya biasa saja saat malam itu Dinda mengabari bahwa Icha datang diantar oleh Bram untuk mengambil barang-barangnya.Dinda terlihat sangat kecewa dengan sikap Rifat itu. Meskioun pada akhirnya dia tak bisa berkata apa-apa....Keesokan harinya Dinda sengaja membawa Dio dan El ke rumah Ema. Selain ingin berbincang dengan sahabatnya itu, Dinda pun sepertinya memiliki rencana lain untuk mengatasi masalah rumah tangganya."Ya ampun Din, perasaan baru berapa mimggu deh kita nggak ketemu. Kok kamu tambah kurus lagi? Apa aku yang salah lihat ya?" Ema yang memang senang ceplas ceplos langsung memberond
"Selamat siang, Pak Hanif," sapa wanita berumur sekitar 35 tahun itu dengan penuh percaya diri saat melangkahkan kaki jenjangnya ke dalam ruangan Hanif. Dinda yang memang diminta Hanif untuk menemaninya di ruangan itu tertegun sejenak dengan penampilan si wanita. Cantik, berkelas, dan terlihat sangat metropolis."Selamat siang. Anda ibu Delisha?" tanya Hanif sedikit ragu. Sepertinya dia pernah mendengar nama itu tapi Hanif lupa entah dimana. "Silahkan duduk, Bu," lanjut Hanif setelah wanita itu mengangguk mengiyakan. Dalam hati Hanif sedikit bertanya-tanya, karena sama sekali tak nampak keraguan atau kecanggungan sedikitpun dalam sikap tamunya tersebut."Terima kasih, pak Hanif. Saya rasa Anda belum kenal saya kan, Pak?" tanya wanita itu santai. Sangat serasi dengan cara duduknya yang juga seperti telah terlatih.
"Aku mau bicara, Mas."Malam itu usai menidurkan Dio dan El, Dinda menghampiri suaminya yang tengah duduk-duduk di serambi rumah mereka. Sepuntung rokok yang belum habis dihisapnya, segera diletakkan Rifat di asbak sisi meja kala melihat raut serius sang istri.Kemudian dia menggeser duduknya agar istrinya bisa menempatkan diri di sebelahnya."Ada apa?" tanyanya."Tadi siang aku ke kantor mas Hanif, Mas.""Ada apa lagi?" Rifat langsung berubah sedikit kesal mendengar cerita sang istri yang menemui kakak iparnya."Aku mau kerja lagi," jawab Dinda singkat.
Hanif baru saja sampai di ruang kerjanya saat dilihatnya Delisha ternyata sudah menduduki kursinya."Anda sedikit terlambat, pak Hanif," ujar wanita itu dari kursi kebesaran Hanif.Hanif melirik arloji di pergelangan tangannya. Lebih lima menit dari jadwal para karyawannya seharusnya tiba."Maaf bu Delisha. Mungkin Anda yang datang kepagian," sanggah Hanif."Saya ingin mulai hari ini semuanya aturan kedisiplinan lebih diperketat lagi, pak Hanif. Perusahaan ini bisa merugi banyak jika semua karyawan datang telat seperti ini."Hanif sedikit mencelos mendengar gaya Delisha bicara Delisha.
Siang itu Bram sudah bersiap untuk menjemput Icha di sekolah saat bu Lis menghadang di depan motornya."Ada apa, Bu?""Kamu mau kemana, Bram.""Jemput Icha lah. Kemana lagi?"Nampak orangtua itu menghembuskan nafas berat."Kenapa sih, Bu?""Ibu kok kangen ya Bram sama Dira. Bisa nggak habis ini kamu anterin ibu ke rumah Dira?""Ke Surabaya? Ya nggak bisa lah, Bu. Ibu kan tahu sekarang aku ada tanggungan ngurus Icha. Ibu pergi sendiri aja deh naik bis. Nanti Bram antar ibu ke terminal atau agen bisn
Meski telah berusaha menjelaskan pada Bram tentang kondisi rumah tangganya dengan sang suami yang telah membaik, nyatanya malam itu Dinda tetap gagal membawa Icha pulang.Padahal sesuai janjinya, Rifat telah mencarikan seorang asisten rumah tangga untuk membantu pekerjaan sang istri. Dinda juga telah berjanji untuk menjadi ibu yang lebih baik lagi. Namun rupanya Icha telah terlanjur nyaman dengan kehidupan barunya bersama sang ayah.Tangis kesedihan tak terbendung lagi saat perjalanan mereka pulang ke rumah. Rifat yang bisa merasakan kesedihan Dinda pun hanya bisa membiarkan wanitanya itu larut dalam tangisan. Tak sedikit pun lelaki itu berniat untuk menghentikan tangisan Dinda. Hanya sebelah tangannya yang sesekali mengusap punggung untuk sekedar menenangkan hati istrinya.
Tiga minggu setelah kehadiran Delisha di kantor cabang itu, para karyawan akhirnya sudah menjadi semakin terbiasa dengan kehadirannya. Wanita yang sering berkeliling dan menegur para karyawan yang sedang ngobrol atau bersantai sejenak di sela-sela aktifitas pekerjaan mereka itu bagai momok yang selalu dihindari setiap karyawan di perusahaan cargo milik pak Arno. Meski begitu, tetap saja, ada beberapa orang yang senang sekali mencari muka pada atasan baru yang terkenal sangat sadis dan sok disiplin itu.Hanif sendiri semakin ke sini semakin merasa tak nyaman. Bukan hanya karena kepemimpinannya yang seolah jadi bercabang dengan adanya wanita itu. Namun juga karena sikap Delisha yang terkadang sangat menganggu privasinya.Sebagai lelaki normal, Hanif merasa tak akan sanggup jika terus-terusan mendapat godaan dari putri angka