Usai melangsungkan pernikahan kami tiga bulan setelah aku menerima lamaran lelaki itu, Rifat langsung memboyongku dan Icha ke rumahnya. Sebuah rumah pribadi yang tidak besar namun terkesan sangat bersih dan terawat. Sebelum akhirnya kami menikah, aku dan Icha memang telah beberapa kali diajak ke rumahnya ini. Namun tetap saja, tinggal bersamanya tentu sangat berbeda. Tiga bulan saling mendalami sifat masing-masing rasanya juga belum cukup untuk mengenal semua kebiasaan-kebiasaan suami keduaku ini. "Aku bahagia akhirnya bisa membawamu ke sini, Dinda," ucapnya malam itu setelah aku selesai menemani Icha tidur di kamar barunya. "Aku juga," jawabku malu-malu. "Tapi, Mas, kenapa sepertinya ada yang aneh ya dengan rumah ini?" Mataku bergerak ke sekeliling mencoba mencari tahu apa yang sejak tadi kurasakan tidak biasa di rumah suamiku ini. "Oya? Apa itu?" Rifat justru merasa penasaran dengan pernyataanku. Dia sedang mengamatiku dengan serius saat akhirnya aku berhasil menemukan apa y
Lima tahun kemudian ...Hari itu di rumah keluarga Hanif, suasana nampak sangat meriah. Sudah lima tahun sejak diangkatnya Hanif menjadi kepala cabang perusahaan cargo milik Pak Arno, rumah bu Ranti yang dulunya sangat sederhana, kini telah berubah menjadi lebih mewah. Hanif sebenarnya bukan orang yang suka menghamburkan harta untuk sesuatu yang tidak terlalu penting. Namun demi kebahagiaan istri serta ibu mertuanya, Hanif berusaha memberikan hunian yang lebih nyaman untuk keluarganya itu. Selain merenovasi rumah, Hanif pun kini telah memiliki sebuah mobil pribadi dan seorang asisten rumah tangga yang bertugas membantu Santi untuk menjaga ketiga buah hati mereka, Rani, Rino, dan si kecil Afika.Bu Ranti, semakin hari justru terlihat semakin segar. Raut tua dan lelahnya kini tak begitu nampak lagi. Santi bahagia melihat ibunya lebih bahagia di masa tuanya. Di halaman rumah yang kini terlihat asri oleh taman dan arena bermain itu sejak siang telah dihiasi dengan balon-balon dan perna
"Jadi kamu berpikir Dinda dan Rifat sedang ada masalah?"Hanif sepertinya tak percaya saat istrinya membicarakan tentang Dinda malam harinya. Namun anggukan Santi tak ayal membuat Hanif menautkan kedua alisnya juga."Tapi apa?" tanya Hanif tak mengerti. Sejak Dinda resign dari kantor tempat mereka bekerja, Hanif memang sudah jarang berkomunikasi dengan adik iparnya lagi. Walau sesekali dia masih bertemu dengan Rifat untuk sekedar menikmati secangkir kopi di kafe. "Rifat kelihatannya baik-baik saja selama ini lho, Dek," lanjutnya kemudian."Ya kan itu Rifat, Mas. Dinda kan belum tentu.""Lha trus apa? Dinda cerita apa sama kamu?""Dinda sih
Di tengah kegundahannya dengan kondisi Pak Arno, pagi itu Hanif mengadakan rapat mendadak di kantornya. Dia mengumumkan kondisi terkini sang pakdhe sekaligus untuk meminta doa para bawahannya demi kesembuhan direktur utama sekaligus pemilik perusahaan tempat mereka berkerja itu.Usai memimpin rapat, Hanif bermaksud untuk menemui kliennya seperti yang dijanjikannya pada sang sekretaris pribadi dini hari itu."Pak, saya jadi ikut bapak ya?" Melanie segera mengejar saat melihat Hanif berlalu dari ruangan rapat."Ya, boleh," sahut Hanif sambil lalu, menghampiri meja resepsionis kantornya."Saya keluar bertemu klien. Kalau ada yang mencari tolong katakan sekitar dua jam lagi saya kembali," pesanny
"Gimana, jadi ketemu Dinda hari ini, Dek?" tanya Hanif malam itu usai menyelesaikan makan malamnya bersama keluarga tercinta."Udah mas. Dan sepertinya dugaanku benar deh.""Kok dugaan? Memangnya Dinda masih belum mau cerita?""Cerita apa? Apa yang terjadi dengan Dinda, San, Nif?" Bu Ranti tiba-tiba sudah ada di dekat mereka membuat Santi dan Hanif mendadak salah tingkah dan bingung untuk menjawab apa."Eng-enggak kok, Bu. Nggak ada apa-apa sama Dinda," tukas Santi cepat.Bu Ranti nempak menarik nafas panjang sebelum akhirnya mendudukkan diri diantara anak dan menantunya."Sudaah,
"Bu Dinda, Icha tadi kan sudah dijemput sama ayahnya."Seorang wanita tergopoh-gopoh menghampiri Dinda yang tengah berjalan memasuki gerbang sekolah. Dinda memang terlambat setengah jam dari jadwal putri pertamanya itu pulang akibat terjadi insiden kecil dengan putra keduanya, Dio, saat masih di rumah tadi."Mas Rifat?" Walau sedikit tak percaya, namun Dinda mengira bahwa Rifat lah yang telah menjemput putrinya sebelum dia datang. Barangkali tadi Icha meminta tolong ibu gurunya untuk menelponkan ayahnya."Mmm, bukan bu. Tapi pak Bram," ucap wanita itu dengan nada sedikit bersalah menyadari bahwa Dinda sepertinya tak tahu menahu soal penjemputan Icha oleh ayah kandungnya.Dinda seketika panik
Dinda sangat kacau dan akhirnya tak bisa tidur malam itu. Sementara El jadi ikut rewel. Mungkin karena ibunya yang sedang dalam masalah, kondisi psikis anak itu pun kena imbas.Rifat sendiri yang sedari pulang sudah nampak sangat kelelahan, berulang kali terbangun karena tangisan El. Dan itu berlangsung hingga pagi tiba.Mungkin karena suasana hatinya yang sedang tak nyaman, Rifat jadi tak banyak bicara pagi itu saat menghabiskan sarapannya yang seperti biasa sudah disiapkan oleh sang istri. Bahkan kali ini dia berangkat lebih pagi dari biasanya.Melihat kekacauan di wajah sang suami, Dinda pun enggan mengajaknya bicara. Bahkan untuk berpesan tentang Icha pun Dinda tak berani..
Seperti dugaan Dinda, Rifat sepertinya biasa saja saat malam itu Dinda mengabari bahwa Icha datang diantar oleh Bram untuk mengambil barang-barangnya.Dinda terlihat sangat kecewa dengan sikap Rifat itu. Meskioun pada akhirnya dia tak bisa berkata apa-apa....Keesokan harinya Dinda sengaja membawa Dio dan El ke rumah Ema. Selain ingin berbincang dengan sahabatnya itu, Dinda pun sepertinya memiliki rencana lain untuk mengatasi masalah rumah tangganya."Ya ampun Din, perasaan baru berapa mimggu deh kita nggak ketemu. Kok kamu tambah kurus lagi? Apa aku yang salah lihat ya?" Ema yang memang senang ceplas ceplos langsung memberond