"Apa yang kalian lakukan di sini?" Bram mendekati ketiganya dengan tatapan tak suka. Dinda, Hanif, dan Rifat hanya saling berpandangan. "Kami lagi nyari Icha," jawab Hanif kemudian, karena baik Rifat maupun Dinda terlihat tak ada yang ingin bersuara. Apalagi Dinda, yang justru melengos malas dari suaminya. "Ayo Din, ikut aku!" kata Bram tiba-tiba sambil mengulurkan sebelah tangannya pada sang istri. Mendengar itu, Dinda baru menoleh ke arah lelaki itu. "Kemana?" tanyanya. Hatinya berharap Bram sudah menemukan keberadaan anaknya. "Ya nyari anak kita lah," sahut Bram. "Kalau cuma duduk-duduk di sini nggak bakal bisa ketemu," ketus lelaki itu. Kali ini tangannya mulai memegang pergelangan tangan Dinda. "Kami sedang istirahat sebentar, Bram. Dinda juga kelelahan," jelas Hanif. "Polisi juga sudah bergerak mencarinya, kamu tenang saja," timpal Rifat yang sedari tadi juga hanya terdiam. Teringat pertemuan terakhirnya dengan sahabatnya itu yang berlangsung saling ancam membuatnya
"Kita ke kantor polisi, Mas," kataku pada mas Bram setelah sambungan telepon dengan Rifat diputus. "Ada apa?" tanya mas Bram penasaran. "Mereka bilang Icha sudah ditemukan." "Oya? Gimana keadaannya? Anakku baik-baik saja kan?" "Aku nggak sempat nanya tadi. Ayo cepet kita ke sana," desakku. Lalu mas Bram pun segera menyelesaikan makanannya dan kami meluncur dengan roda empatnya menuju kantor Rifat. Saat mobil berhenti di pelataran parkir kantor polisi tempat Rifat bertugas, aku segera bergegas turun tanpa menunggu mas Bram. Segera kuberlari menuju ke lobby dimana kulihat dari jauh Rifat sedang berdiri di sana menyambut kami. "Dimana Icha? Dimana anakku, Mas?" cecarku padanya. "Tenang, Din. Dia di dalam sama mas Hanif." Lalu tanpa menunggu aba-aba lagi, aku pun segera berlari ke dalam. Rifat yang sedikit kaget melihatku berlari segera berjalan cepat mengikutiku. Disusul mas Bram yang juga mengikuti dibelakangnya. Dengan langkah cepat kususuri lorong sambil sesekali kulongokka
Nyatanya bukan perasaan lega yang kurasakan saat akhirnya majelis hakim memutuskan bahwa tuntutan perceraianku dikabulkan. Bukti-bukti yang memberatkan mas Bram memang sangat cukup membuat hakim sulit untuk menolak permohonanku. Namun, ketidak-hadirannya di sidang kali ini dalam kondisi perubahan sikapnya semalam justru membuatku begitu gundah. Apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan mas Bram? Rifat, yang siang itu menyempatkan untuk hadir di persidangan juga nampak tak begitu berniat mendekatiku. Mungkin dia bisa melihat wajah tak cerahku sejak persidangan dimulai dan yang langsung keluar dari ruangan usai persidangan mendahului yang lain. Sementara Ema berjalan beriringan dengannya seperti sedang mengajaknya berbincang serius mengenai sesuatu. Namun jelas kulihat dari tempat dudukku jika pendangan lelaki itu sesekali menatapku penuh tanya. "Din, pulang sekarang kan?" tanya Ema saat mereka berdua telah mencapai tempatku duduk. Aku menganggukkan kepala pelan. "Mau kuantar?" t
Kelelahan berlari mengejar mobil mas Bram membuatku akhirnya menyerah saat teringat keadaan ibu, mba Santi, dan anak-anaknya yang tadi kutinggalkan di rumah. Beberapa tetangga yang sempat melihatku, mulai mendekat untuk menanyai apa yang terjadi. Hingga akhirnya kuceritakan semua pada mereka. Lalu dengan bantuan para tetangga, aku pun membawa keempatnya ke klinik terdekat setelah putus asa karena tak kunjung berhasil membangunkan mereka. Dalam Kondisi panik karena Icha dibawa lari lagi oleh mas Bram dan kondisi keluargaku yang masih belum tersadar, hanya mas Hanif yang ada di dalam pikiranku untuk kuhubungi saat ini. "Ka-kamu tenang dulu ya, Din. Aku segera datang. Kamu jangan panik ya, tenang ya, tenang," ucapnya dengan sedikit terbata setelah menerima teleponku dan kuceritakan semua yang baru saja kualami. Tak berselang lama setelah kuputuskan sambungan telepon dengan mas Hanif, dokter memanggilku ke ruangannya. Melihat wajahku yang begitu kalut, dokter wanita itu memberikanku
Rifat menyambutku dan mas Hanif di lobby kantornya saat kami datang. Aku langsung celingukan berusaha menemukan dimana mas Bram dan anakku berada. "Bram masih dalam pemeriksaan," kata Rifat menyadari kebingunganku. "Icha mana, Mas?" tanyaku kemudian. "Icha ..." Rifat nampak terdiam sejenak menatapku. Dahiku mengernyit saat dia beralih menatap ke mas Hanif nampak sedikit kebingungan untuk berkata. "Tunggu di sini dulu aja, Din. Icha sebentar lagi datang kok," katanya kemudian. Bukannya tenang dan menuruti kata-katanya yang penuh tanda tanya, aku justru menjadi cemas. Kurasa ada yang sedang disembunyikan mereka berdua dariku saat ini. "Ada apa sih, Mas? Icha kenapa? Anakku kenapa?" Aku mulai mendekat padanya untuk meminta penjelasan. Ucapanku bahkan sepertinya terdengar sedikit kasar. "Din ... tenang." Mas Hanif seperti biasa berusaha membuatku tenang. "Icha nggak apa-apa. Tadi hanya terjatuh dan luka sedikit. Sekarang sedang dibawa ke klinik sama anak buahku. Sebentar lagi
Satu minggu setelah permintaan maafku pada Rifat hari itu, aku pikir dia akan lebih sering menghubungiku. Tapi nyatanya dugaanku salah. Dia justru sama sekali tidak pernah muncul lagi. Bahkan dalam obrolan mas Hanif sekalipun, namanya tak pernah dia sebut. Lelaki itu seperti menghilang di telan bumi. Sementara itu, mau tak mau aku masih harus tetap mengikuti perkembangan kasus mas Bram karena bagaimanapun aku adalah salah satu yang terlibat dalam beberapa kasus yang dituntutkan kepadanya. Dua minggu berikutnya, saat aku dipanggil pihak kepolisian sebagai saksi korban kasus KDRT yang dilakukan oleh mantan suamiku itu, aku pun tetap tak melihat sosok lelaki itu di kantornya. Entahlah, namun tiba-tiba seperti ada yang hilang dari hidupku saat ini tanpa melihat kehadirannya lagi. Dan seperti siang ini, usai memenuhi panggilan guna memberikan saksi untuk kedua kalinya, aku berjalan dengan malas keluar dari lobby kantor Rifat. Meski langkahku sangat tak bersemangat, namun mataku mendad
"Din, ayook! Kok belum siap siap sih?" Kepala mbak Santi menyembul dari balik pintu kamarku malam itu, membuatku yang sedang rebahan dengan putri semata wayangku kaget. "Siap-siap? Kemana, Mbak?" tanyaku keheranan. "Lhoh, gimana sih. Rifat emang nggak cerita?" "Mas Rifat? Cerita apa?" Aku pun segera bangkit dari posisi rebahanku mendengarnya menyebut nama lelaki itu. "Lhoh, gimana sih?" Mbak Santi mengacak rambutnya. Lalu bukannya menjawab pertanyaanku, mbak Santi malah berbalik badan memanggil-manggil suamimya "Mas! Mas Hanif! Gimana sih ...." Lalu suaranya tak terdengar lagi. Hanya samar dia seperti berbicara dengan mas Hanif di ruangan lain. Tapi entah apa. Aku dan Icha yang kebingungan, hanya saling pandang dan sama-sama mengedikkan bahu. Lalu kembali berbaring melanjutkan kesibukan kami menonton film kartun di HP yang sempat tergganggu dengan kehadiran mba Santi tadi. "Din, kok belum siap juga?" Tak berapa lama mbak Santi kembali ke kamarku lagi. Dengan malas aku pun m
Hari berganti dan aku jadi sulit memejamkan mata setiap malam memikirkan lamaran Rifat waktu itu. Bukan karena aku tak menyimpan perasaan apapun padanya, melainkan rasa trauma yang masih membekas tentang hubunganku dengan mas Bram. Bagaimanapun juga, masih ada sedikit rasa ketakutan yang membayang. Bagaimana jika kehidupan rumah tangga keduaku nanti berakhir sama dengan yang sebelumnya? "Belum juga bisa kamu putuskan?" Mbak Santi tiba-tiba sudah duduk di sebelahku malam itu. Sejak Icha tertidur satu jam yang lalu, aku memang menghabiskan waktu sendirian di serambi rumah memandangi bintang-bintang yang banyak bertaburan di langit malam itu. "Belum, Mbak. Aku masih bingung." "Ini sudah berminggu-minggu lho, Din. Kasihan Rifat menunggu tanpa kepastian." Mbak Santi menatapku dengan serius. "Tapi bagiku ini tidak semudah itu, Mbak. Aku seperti masih punya ketakutan kejadian yang sama akan terulang lagi." Kudengar helaan nafas cukup berat dari wanita yang duduk di sampingku itu. "