Rifat baru saja menurunkan Dinda di depan rumah Ema saat ponselnya tiba-tiba berdering. Sambil melajukan mobilnya pelan meninggalkan jalan depan rumah Ema, Rifat memasang headset ditelinganya setelah menjawab panggilan masuk dari nomer yang belum disimpannya itu. "Ya?" sapanya. "Mas Rifat ya?" tanya suara seorang wanita dari seberang sana. "Iya, dengan siapa?" tanya Rifat sambil pikirannya refleks mencoba menebak siapa wanita yang menelponnya itu. "Ini Dira, Mas. Adiknya mas Bram. Mas Rifat lagi dimana? Aku mau minta tolong," kata Dira dengan suara parau. "Dira? Ada apa, Dir?" "Mas, aku habis kecopetan. Aku nggak bisa pulang." Lalu mulai terdengar isakan halus Dira di telepon. "Kecopetan? Kok bisa? Dimana? Kamu dimana sekarang?" "Di deket mall Melati, Mas. Aku bingung gimana caranya pulang, Mas." "Ya udah kamu di situ dulu aja. Jangan kemana-mana. Tunggu sebentar lagi aku ke situ," kata Rifat. Lalu lelaki itu pun segera mematikan sambungan teleponnya dan fokus pada kem
"Kamu yakin itu Rifat, Dir?" Bu Lis, Bram, Dira, dan Lina masih duduk di kursinya masing-masing di ruang makan saat Dira kemudian bercerita tentang kedatangan Rifat hari ini ke kantornya. "Ya yakin lah, Mas. Mata Dira juga masih awas meskipun lihatnya dari jarak yang agak jauh," jelas Dira tambah bersemangat melihat kakaknya yang begitu kaget mendengar informasi itu. "Dari kapan dia mulai datang ke kantor kamu?" tanya Bram penasaran. "Dira sih nggak tau, Mas. Dira baru lihat hari ini tadi. Kayaknya temen mas itu juga akrab banget lho sama si Hanif," jelas Dira dengan nada penuh hasutan. "Aneh ya," gumam Bram sambil menempelkam jari-jarinya ke bibir. Nampak ada sesuatu yang coba dia ingat-ingat tentang Dinda dan Rifat. "Setauku Dinda itu nggak pernah kenal sama Rifat, sebelum kejadian malam itu," kata lelaki itu seperti sedang bergumam pada diri sendiri. "Maksud kamu kejadian waktu kamu hajar si Dinda di depan rumah itu, Bram?" tanya bu Lis ikut mengingat. "Iya, Bu. Sebelumny
Persidangan pertama hari itu benar-benar membuatku tak percaya. Dengan apa yang telah menimpaku waktu itu, harusnya aku tak punya hambatan yang berarti dengan sidangku perceraian ini. Meskipun pada kenyataannya, aku dan Ema sedikit keheranan saat melihat mas Bram ternyata datang untuk hadir dalam sidang cerai kami. Namun bukan kehadiran mas Bram yang membuatku begitu shock hari ini. Bukti-bukti yang dia bawa membuatku seketika terduduk lemas di kursi persidangan. Ema yang menemani di kursi belakangku pun sempat memegangi pundakku sesaat setelah aku mendudukkan diri lemas. Mas Bram rupanya tidak main-main dengan niatnya untuk tidak membiarkan Icha jatuh ke tanganku, hingga dia nekat melakukan hal-hal di luar nalar. Selain membawa foto-foto rekayasa Dira tentang kedekatanku dan mas Hanif waktu itu, ternyata mas Bram juga telah memiliki foto-fotoku dengan Rifat. Entah bagaimana dia bisa mendapatkan semua itu. Meskipun aku tau itu semua foto omong kosong belaka, namun tak ada yang bisa
"Aku mau cerai, Mas!" Wanita itu mendudukkan dirinya di kursi makan dengan kasar. Hanif tertegun, melepaskan sendok yang sejak tadi dipegangnya hingga terdengar bunyi berisik dari piringnya. Bu Ranti yang sedang berada di dapur dan tak sengaja mendengar perkataan anak sulungnya itu segera menghentikan aktifitasnya. Lalu perlahan beranjak menuju ruang makan. "San, istirahatlah di kamar. Kamu capek, Nak," kata wanita tua itu prihatin. "Enggak, Bu. Aku baik-baik saja. Seharian aku sudah tidur. Aku nggak capek kok," kata wanita itu sekilas menatap ibunya. Lalu beralih ke arah suaminya yang masih terdiam di kursinya dan sedang balik menatapnya dengan sorot tak percaya. "Kamu kenapa, Dek?" Hanif mencoba berlembut kata pada sang istri. Mungkin saja yang diucapkan ibu mertuanya tadi benar, bahwa istrinya saat ini sedang kecapekan hingga bicaranya jadi ngelantur seperti itu. "Aku mau kita cerai, Mas. Aku dan kamu," ulang Santi, menegaskan ucapannya. "Iyaa, tapi kenapa? Masalah foto-f
Ema mengalihkan perhatian dari ponselnya saat dilihatnya mobil sport hitam memasuki halaman restoran tempatnya melakukan janji bertemu dengan Rifat. Tak berapa lama, lelaki itu pun terlihat berjalan masuk dan menghampirinya. Tubuh gagah lelaki itu langsung mengingatkan Ema betapa sangat beruntungnya sahabatnya. Belum juga lepas dari suaminya, Bram, lelaki seganteng Rifat sudah mengantri untuk mendapatkan perhatiannya. "Hai, Ema. Sudah lama? Maaf ya, tadi mendadak ada tamu penting di kantor. Jadi nggak bisa cepat-cepat keluar," ucap lelaki itu dengan nada penyesalan saat mencapai meja yang sudah dipesan Ema sebelumnya. "It's okay. Aku belum lama kok. Silakan duduk, Pak. Mau pesan sesuatu?" tanya Ema. "Rifat saja. Tidak perlu pakai 'Pak'," kata lelaki itu sambil tertawa kecil. "Baiklah, Rifat. Mau pesan sendiri atau ...?" "Kopi saja. Aku sudah makan tadi di kantor." "Ooh okay, baiklah." Lalu Ema pun melambaikan tangannya pada seorang pelayan yang kebetulan sedang berdiri tak
"Diraaaaaa!" teriakan khas Bertha mengejutkan semua orang yang berada di pantry. Dira yang baru saja masuk ke ruangan berlari tergopoh-gopoh menghampiri kepala OB itu. "Ya, Bu," jawabnya sambil menunduk takut-takut. "Kamu liat nggak ini jam berapa? Sudah berapa kali aku bilang sama kalian kemarin kalau hari ini nggak boleh ada yang telat. Ngerti nggak sih kamuuu?" ucap Bertha dengan nafas naik turun. "Tapi ini cuma terlambat 5 menit, Bu," protes Dira. "Lima menit itu namanya juga terlambat. Pengen dipecat kamu? Hah?" "Enggak Bu, enggak." Dira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu tau nggak sih kalau hari ini ada acara penting di kantor ini, Dir? Bisa-bisanya ya kamu malah dateng telat?" "Maaf saya nggak tau, Bu. Acara apa ya?" tanya Dira yang sontak membuat Bertha semakin naik pitam. "Ya ampun, Diraaaaa! Kamu itu bener-bener ya. Udah telat, nggak tahu lagi kalau mau ada acara di kantor," dengus Bertha kesal. "Dah, ayo semua cepet! Yang kemarin sudah ditunjuk untuk ke ruan
Tak berapa lama kemudian, acara pelantikan pun berlangsung. Pak Arno Renggo Atmojo akhirnya mengumumkan Hanif sebagai pimpinan untuk kantor terbarunya dan Dinda sebagai wakil kepala cabang. Semua staf, karyawan, bahkan security menyambut baik berita gembira itu. Hanya ada satu orang saja yang terlihat sangat tidak bahagia di dalam ruangan yang mulai riuh rendah dengan senyum dan tepuk tangan meriah pagi itu, dialah Dira. Sejak MC membuka acara hingga akhirnya menutupnya dengan doa bersama, gadis itu terlihat pucat dan hanya tertunduk dengan pikiran tak karuan. Jika dia sampai kehilangan pekerjaannya sekarang, itu artinya dia bukan hanya akan menjadi gadis pengangguran lagi, namun dia juga akan berhadapan dengan sang kakak, Bram, yang pasti akan sangat marah besar padanya. Lalu bagaimana cara dia membayar hutang jika dia kehilangan pekerjaaannya? Setelah acara ditutup, satu per satu yang hadir segera mengikuti sang direktur utama perusahaan itu untuk meninggalkan ruangan. Senyum p
"Bu, mba Dira kenapa sih?" Lina bergegas lari menuju bu Lis dan Bram yang baru saja keluar dari mobil malam itu. Bu Lis dan Bram saling berpandangan. Seingat wanita tua itu, tadi sebelum dia meminta Bram untuk mengantarnya belanja ke supermarket, Dira belum pulang dari kantornya. "Memangnya kenapa kakakmu?" tanya Bu Lis. "Nggak tau. Pulang kerja tiba-tiba ngamuk-ngamuk di kamar trus nangis," jelas Lina, sang anak bungsu. Karena khawatir, bu Lis pun segera masuk ke dalam rumah di ikuti Bram dan Lina di belakangnya. Saat sampai di kamar sang anak gadis, betapa kagetnya orang tua itu karena kamar Dira sudah berantakan sekali. Sementara itu Dira sendiri terduduk di lantai menangis terisak sambil membantingi benda apa saja yang ada di dekatnya. "Diraaa, kamu kenapa?" bu Lis segera menghambur memeluk anaknya. "Kenapa kamu, Nak?" Melihat kondisi anaknya yang memprihatinkan, wanita tua itu pun ikut meneteskan air mata. Dira yang baru menyadari ibunya datang, buru-buru mengusap
Usai ditemui bu Intan, beberapa myhari berikutnya Hanif menjadi lebih waspada. Percakapan w******p Delisha dengan seorang yang disebutnya notaris yang menyuruh Delisha mengambil berkas-berkas penting di kantornya untuk dipindahtangankan secara paksa itu membuatnya harus ekstra hati-hati. Meskipun kenyataannya, Hanif harus mentertawakan kebodohan orang-orang yang menyangka bahwa perusahaan sebonafid milik pak Arno itu dipikir akan menyimpan berkas-berkas aset penting di kantor. 'Penjahat yang sangat bodoh rupanya,' kata Hanif dalam hati. Pak Arno bukan orang amatir dalam dunia bisnis. Perusahaan yang dirintisnya bertahun-tahun dari nol itu tak mungkin mengamankan berkas-berkas aset berharganya sembarangan. Orangtua itu jelaslah sudah menyimpannya di tempat yang sangat aman. Namun kenyataannya, Delisha memang membabi buta dalam bertindak. Mengincar harta ayah angkatnya dengan caara yang kotor namun tanpa perhitungan. Hingga kemudian hari yang ditunggu Hanif pun tiba. Saat pagi itu di
Hanif baru akan menyalakan mesin mobilnya di parkiran sebuah kafe usai bertemu dengan seorang klien malam itu, saat sebuah suara menghentikannya."Pak Hanif, tunggu!" teriakan seorang wanita. Saat Hanif menoleh, ternyata bu Intan sudah ada di samping pintu mobilnya yang kacanya belum sepenuhnya tertutup."Bu Intan? Ngapain di sini?" tanya Hanif keheranan."Pak, saya ingin bicara sebentar. Ini penting, Pak. Menyangkut bu Delisha," ucap wanita itu sedikit terbata. Hanif sontak mengernyitkan dahi. Haruskan dia percaya pada wanita yang ternyata sudah berkhianat pada kepercayaan yang diberikan selama bertahun-tahun oleh pakdhenya itu? Hanif ragu.Melihat ketidakpercayaan dalam sorot mata mantan atasanny
"Baju-baju Icha mau diapakan, Yah?" Icha sedikit kaget melihat Bram sedang duduk di lantai rumah dan memasukkan baju dan barang-barang Icha ke dalam tas besar."Ke sinilah, Cha. Duduk dekat ayah," ucap Bram.Icha melangkah pelan mendekati ayahnya. Lalu duduk bersila sembari memperhatikan Bram yang hampir selesai memasukkan semua barang ke dalam tasnya."Ayah tau beberapa hari ini kamu sedang mikirin ibu. Kamu pasti kangen kan sama ibu?""Enggak kok, Yah," sahut anak itu."Dengarkan ayah dulu. Ayah ini sudah mengenalmu sejak kamu bayi, Cha. Ayah juga bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Sama kayak ibu. Hari ini tadi ayah ketemu sama
Kekacauan di rumah Hanif karena marahnya Santi dan bu Ranti rupanya terbawa oleh Hanif sampai di kantor. Penampilan sang direktur hari itu sangat kusut membuat beberapa staf berbisik-bisik usai menyambutnya."Tolong kumpulkan seluruh staf. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan," kata Hanif cepat pada salah satu karyawan sebelum dirinya masuk ke ruang kerjanya.Delisha yang rupanya telah berada di ruangannya itu sedikit kaget melihat kekacauan di wajah Hanif."Ada apa? Kenapa kacau begitu, Hanif?" tanyanya basa-basi. Padahal wanita itu sudah bisa menduga pasti telah ada sesuatu yang terjadi di rumah Hanif hingga lelaki itu nampak sangat kacau pagi itu."Bukan urusanmu!" gertak Hanif. Dia b
Kian hari Delisha makin gencar mendekati Hanif. Sementara bu Intan berada pada dilemanya dari hari ke hari. Meski pada awalnya dia tergoda dengan tawaran sang anak angkat pemilik perusahaan untuk merebut kepemimpinan dengan iming-iming sebuah mobil mewah, namun rupanya semakin ke sini hatinya tak tega juga menyaksikan niat jahat Delisha pada Hanif."Tolong hentikan, Bu. Pak Hanif itu orang baik. Ibu jangan libatkan pak Hanif dalam rencana ibu," pintanya siang itu pada Delisha saat wanita itu datang berkunjung ke ruang kerjanya."Siapa sih memangnya yang melibatkan Hanif? Aku hanya memperalatnya saja, bu Intan. Itu beda.""Itu malah lebih menyedihkan, Bu. Saya mohon hentikan saja ini. Pak Hanif itu sangat dekat dengan Pak Arno. Saya yakin jika Anda bisa baik dengannya,
Malam itu pukul 12 malam, warung kopi Bram sudah tampak sepi. Lelaki yang sudah mulai sedikit tumbuh jenggot di dagunya itu terlihat sedang membersihkan peralatan kotor sambil sesekali melirik ke anaknya yang duduk termenung di sebuah bangku pelanggan yang kosong.Malam minggu, Bram biasanya membiarkan Icha untuk menemaninya hingga larut. Walau biasanya Icha akan sudah mengantuk saat jarrum jam menunjuk angka 9. Kali ini sedikit berbeda. Anak gadis kecilnya itu berulang kali mengatakan bahwa dirinya belum mengantuk kala Bram menanyainya. Hingga kemudian saat jam menunjuk angka 12, Icha pun masih terjaga menemani sang ayah berjualan.Selesai dengan pekerjaannya, Bram pun melangkah pelan menghampiri Icha dengan dua gelas teh panas di tangannya."Belum ngantuk juga,
Tiga minggu setelah kehadiran Delisha di kantor cabang itu, para karyawan akhirnya sudah menjadi semakin terbiasa dengan kehadirannya. Wanita yang sering berkeliling dan menegur para karyawan yang sedang ngobrol atau bersantai sejenak di sela-sela aktifitas pekerjaan mereka itu bagai momok yang selalu dihindari setiap karyawan di perusahaan cargo milik pak Arno. Meski begitu, tetap saja, ada beberapa orang yang senang sekali mencari muka pada atasan baru yang terkenal sangat sadis dan sok disiplin itu.Hanif sendiri semakin ke sini semakin merasa tak nyaman. Bukan hanya karena kepemimpinannya yang seolah jadi bercabang dengan adanya wanita itu. Namun juga karena sikap Delisha yang terkadang sangat menganggu privasinya.Sebagai lelaki normal, Hanif merasa tak akan sanggup jika terus-terusan mendapat godaan dari putri angka
Meski telah berusaha menjelaskan pada Bram tentang kondisi rumah tangganya dengan sang suami yang telah membaik, nyatanya malam itu Dinda tetap gagal membawa Icha pulang.Padahal sesuai janjinya, Rifat telah mencarikan seorang asisten rumah tangga untuk membantu pekerjaan sang istri. Dinda juga telah berjanji untuk menjadi ibu yang lebih baik lagi. Namun rupanya Icha telah terlanjur nyaman dengan kehidupan barunya bersama sang ayah.Tangis kesedihan tak terbendung lagi saat perjalanan mereka pulang ke rumah. Rifat yang bisa merasakan kesedihan Dinda pun hanya bisa membiarkan wanitanya itu larut dalam tangisan. Tak sedikit pun lelaki itu berniat untuk menghentikan tangisan Dinda. Hanya sebelah tangannya yang sesekali mengusap punggung untuk sekedar menenangkan hati istrinya.
Siang itu Bram sudah bersiap untuk menjemput Icha di sekolah saat bu Lis menghadang di depan motornya."Ada apa, Bu?""Kamu mau kemana, Bram.""Jemput Icha lah. Kemana lagi?"Nampak orangtua itu menghembuskan nafas berat."Kenapa sih, Bu?""Ibu kok kangen ya Bram sama Dira. Bisa nggak habis ini kamu anterin ibu ke rumah Dira?""Ke Surabaya? Ya nggak bisa lah, Bu. Ibu kan tahu sekarang aku ada tanggungan ngurus Icha. Ibu pergi sendiri aja deh naik bis. Nanti Bram antar ibu ke terminal atau agen bisn