Tak berapa lama kemudian, acara pelantikan pun berlangsung. Pak Arno Renggo Atmojo akhirnya mengumumkan Hanif sebagai pimpinan untuk kantor terbarunya dan Dinda sebagai wakil kepala cabang. Semua staf, karyawan, bahkan security menyambut baik berita gembira itu. Hanya ada satu orang saja yang terlihat sangat tidak bahagia di dalam ruangan yang mulai riuh rendah dengan senyum dan tepuk tangan meriah pagi itu, dialah Dira. Sejak MC membuka acara hingga akhirnya menutupnya dengan doa bersama, gadis itu terlihat pucat dan hanya tertunduk dengan pikiran tak karuan. Jika dia sampai kehilangan pekerjaannya sekarang, itu artinya dia bukan hanya akan menjadi gadis pengangguran lagi, namun dia juga akan berhadapan dengan sang kakak, Bram, yang pasti akan sangat marah besar padanya. Lalu bagaimana cara dia membayar hutang jika dia kehilangan pekerjaaannya? Setelah acara ditutup, satu per satu yang hadir segera mengikuti sang direktur utama perusahaan itu untuk meninggalkan ruangan. Senyum p
"Bu, mba Dira kenapa sih?" Lina bergegas lari menuju bu Lis dan Bram yang baru saja keluar dari mobil malam itu. Bu Lis dan Bram saling berpandangan. Seingat wanita tua itu, tadi sebelum dia meminta Bram untuk mengantarnya belanja ke supermarket, Dira belum pulang dari kantornya. "Memangnya kenapa kakakmu?" tanya Bu Lis. "Nggak tau. Pulang kerja tiba-tiba ngamuk-ngamuk di kamar trus nangis," jelas Lina, sang anak bungsu. Karena khawatir, bu Lis pun segera masuk ke dalam rumah di ikuti Bram dan Lina di belakangnya. Saat sampai di kamar sang anak gadis, betapa kagetnya orang tua itu karena kamar Dira sudah berantakan sekali. Sementara itu Dira sendiri terduduk di lantai menangis terisak sambil membantingi benda apa saja yang ada di dekatnya. "Diraaa, kamu kenapa?" bu Lis segera menghambur memeluk anaknya. "Kenapa kamu, Nak?" Melihat kondisi anaknya yang memprihatinkan, wanita tua itu pun ikut meneteskan air mata. Dira yang baru menyadari ibunya datang, buru-buru mengusap
Suara nada panggilan ponsel mengagetkanku saat keluar dari kamar mandi di rumah Ema. Kulirik sejenak layarnya sambil mengusapkan handuk kecil di rambutku yang masih basah. Mba Santi? Mataku membulat lebar. Lalu buru-buru kuraih ponsel dan kujawab panggilan telepon itu. "Assalamu'alaikum ..." sapaku dengan suara sedikit bergetar. Entah sudah berapa lama tak kudengar suara kakakku itu sejak dia mengusirku dari rumah ibu. "Din ....' Suara lembut yang memanggilku dari seberang sana membuat hatiku bagai disiram sejuknya air es. "Ya, Mbak?" sahutku dengan hati berdebar menunggu apa yang akan dikatakannya. "Kamu sehat kan? Mbak mau ke situ jemput kamu." Lalu terdengar isakan lembut dari sana. Mbak Santi menangis. "Alhamdulillah sehat. Mbak Santi mau ke sini?" tanyaku dengan suara ceria, hanya agar kakakku di sana tahu bahwa aku sedang baik-baik saja sekarang dan senang dia menghubungi. "Iya, Din. Maafin mbak ya? Mbak egois. Mbak mau kamu tinggal di sini. Ini mbak sama mas Hanif sud
"Mas! Mas Bram! Mau kemana, Mas? Tunggu, Mas!" Aku terus mengejar langkah cepatnya yang seperti orang kesetanan mencari-cari dan memanggil nama Icha. Beberapa kali aku berhasil meraih lengan kokohnya, tapi dia menghempaskanku dengan mudahnya. Hingga akhirnya dia pun menemukan Icha di salah satu ruang bermain bersama beberapa anak yang masih terjaga dan pengasuhnya. Melihat Icha, wajah Mas Bram nampak melembut dan berhias senyum. Aku segera tahu apa maksudnya. Dia ingin Icha berlari ke arahnya tanpa rasa takut, karena biasanya dulu Icha tak akan pernah mau mendekat saat mas Bram dalam keadaan marah. Sadar apa yang akan dilakukannya aku segera berlari menuju Icha. Namun terlambat, mas Bram ternyata lebih cepat dariku. Sebelum aku mencapai Icha, Mas Bram lebih dulu menggendong anak itu dan berlalu pergi dari ruangan. Icha pun kulihat tak memberontak dalam gendongan sang ayahnya. Dia justru beberapa kali menengok ke belakang dan tersenyum melihatku mengejar keduanya, seolah dia sedang
Beberapa jam yang lalu Rifat menerima telepon dari Ema yang menceritakan kejadian yang menimpa sahabatnya. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Ema waktu itu, Rifat memang tak lagi berusaha menemui Dinda. Namun permintaan Ema untuk membantu mengurus laporan Dinda untuk kekerasan suaminya ke pihak berwajib sudah langsung menjadi prioritasnya. Rifat pun sudah meluangkan waktu untuk sidang perceraian Dinda dan Bram berikutnya. Rifat ingin lebih bijak bersikap. Meskipun dia merasa sudah tertarik dengan wanita bernama Dinda itu, namun dia tidak ingin mempengaruhi proses perceraian antara Dinda dengan suaminya. Dia sudah bertekad untuk bersabar menungu sampai keputusan sidang cerai diantara mereka. Bahkan nomer kontak Dinda yang sudah tersimpan cukup lama di ponselnya pun tak pernah dia lihat, apalagi bermaksud untuk menghubunginya. Namun ternyata cerita Ema tentang Dinda hari ini begitu mengganggunya. Dari sehabis sholat isya, lelaki yang sudah pulang dari kantornya sejak sore hari itu
"Jadi kamu dipecat akhirnya?" geram Bu Lis melihat anak gadisnya pulang dengan wajah ditekuk tak karuan. "Benci aku, Bu. Dendam banget aku sama si Dinda." Gadis itu menghempaskan diri di sofa. Sementara Icha yang sedari tadi memperhatikan dan mendengar nama ibunya disebut-sebut perlahan beringsut dari tempat duduknya ke pojok sofa. Anak itu nampak ketakutan dengan wajah tantenya yang seram karena dipenuhi amarah. "Ibu bilang juga apa dari kemarin? Nggak usah lah lagi kamu kerja lagi di sana. Si Dinda hanya akan merendahkanmu saja akhirnya? Nggak dengerin ibu sih kamu," gerutu sang ibu. "Ya gimana lagi sih, Bu. Saat ini aku kan Masih punya tanggungan utang sama mas Bram. Ibu tau sendiri kan gimana mas Bram kalau marah?" "Ya sudahlah. Mendingan sekarang kamu cari kerjaan lain saja. Nanti Bram biar ibu yang beritahu. Harus hati-hati memang ngomong sama dia sekarang ini. Bram lagi banyak masalah. Semua ini gara-gara Dinda. Manusia kampungan nggak tau diri itu," sungut bu Lis. "Mem
Sampai hampir maghrib, Icha masih belum juga ditemukan. Bram, bu Lis, Dira, dan Lina sudah mulai panik. Pencarian mereka di sekitar kompleks rumah tak membuahkan hasil. Bahkan Bram juga sudah mencarinya sampai ke jalan raya tak jauh dari rumahnya, namun tak ada hasil juga. "Kita lapor polisi aja, Mas," usul Lina saat Bram menghentikan motornya di garasi. Lelaki itu menghentakkan kakinya dengan kesal ke lantai teras. Wajahnya benar-benar kacau membayangkan entah dimana anak semata wayangnya yang belum genap berusia 5 tahun itu berada saat ini. "Kalau hilangnya baru aja, lapor polisi juga percuma, Lin," timpal Dira. "Lalu gimana, Mbak? Ini udah mau malem lho. Makin susah nyarinya nanti kalau gelap." "Lina benar, Bram. Kita lapor polisi saja," kata Bu Lis. "Sekarang kalian baru bingung? Tadi waktu aku titipkan anakku di rumah kalian ngapain aja? Nggak ada yang peduli kan sama Icha?" Bram menendang kursi teras dengan kesal hingga benda itu nyaris terlempar ke halaman. Saat semua
"Kalian dimana sekarang?" Kalimat itu yang meluncur dari Rifat setelah Dinda menceritakan padanya soal Icha yang tiba-tiba hilang saat sedang berada di rumah Bram. "Aku sama mas Hanif masih berusaha mencari di sekitar tempat tinggal mas Bram," jawab Dinda masih dengan suaranya yang serak dan gemetar. "Oke, jangan panik, Din. Sekarang kamu kirim foto Icha ke aku sama ciri-cirinya ya. Setelah ini nanti aku susul kalian," ujar lelaki di seberang sana itu. "Aku kirim sekarang, Mas?" tanya Dinda. "Iya sekarang. Cepat ya, aku tunggu," sahut Rifat. "Baik. Terima kasih sebelumnya ya, Mas." "Nevermind." Sesuai perintah Rifat, Dinda segera mengirimkan beberapa foto Icha yang ada di galeri ponselnya berikut penjelasan ciri-ciri anaknya yang akan bisa membantu untuk pencarian. Malam itu benar-benar berlalu begitu lambat bagi Dinda. Hingga hampir tengah malam saat akhirnya Rifat menyusulnya dan Hanif, Icha masih belum juga ditemukan. Hanif sedang mengajak Dinda berhenti di depan sebuah
Usai ditemui bu Intan, beberapa myhari berikutnya Hanif menjadi lebih waspada. Percakapan w******p Delisha dengan seorang yang disebutnya notaris yang menyuruh Delisha mengambil berkas-berkas penting di kantornya untuk dipindahtangankan secara paksa itu membuatnya harus ekstra hati-hati. Meskipun kenyataannya, Hanif harus mentertawakan kebodohan orang-orang yang menyangka bahwa perusahaan sebonafid milik pak Arno itu dipikir akan menyimpan berkas-berkas aset penting di kantor. 'Penjahat yang sangat bodoh rupanya,' kata Hanif dalam hati. Pak Arno bukan orang amatir dalam dunia bisnis. Perusahaan yang dirintisnya bertahun-tahun dari nol itu tak mungkin mengamankan berkas-berkas aset berharganya sembarangan. Orangtua itu jelaslah sudah menyimpannya di tempat yang sangat aman. Namun kenyataannya, Delisha memang membabi buta dalam bertindak. Mengincar harta ayah angkatnya dengan caara yang kotor namun tanpa perhitungan. Hingga kemudian hari yang ditunggu Hanif pun tiba. Saat pagi itu di
Hanif baru akan menyalakan mesin mobilnya di parkiran sebuah kafe usai bertemu dengan seorang klien malam itu, saat sebuah suara menghentikannya."Pak Hanif, tunggu!" teriakan seorang wanita. Saat Hanif menoleh, ternyata bu Intan sudah ada di samping pintu mobilnya yang kacanya belum sepenuhnya tertutup."Bu Intan? Ngapain di sini?" tanya Hanif keheranan."Pak, saya ingin bicara sebentar. Ini penting, Pak. Menyangkut bu Delisha," ucap wanita itu sedikit terbata. Hanif sontak mengernyitkan dahi. Haruskan dia percaya pada wanita yang ternyata sudah berkhianat pada kepercayaan yang diberikan selama bertahun-tahun oleh pakdhenya itu? Hanif ragu.Melihat ketidakpercayaan dalam sorot mata mantan atasanny
"Baju-baju Icha mau diapakan, Yah?" Icha sedikit kaget melihat Bram sedang duduk di lantai rumah dan memasukkan baju dan barang-barang Icha ke dalam tas besar."Ke sinilah, Cha. Duduk dekat ayah," ucap Bram.Icha melangkah pelan mendekati ayahnya. Lalu duduk bersila sembari memperhatikan Bram yang hampir selesai memasukkan semua barang ke dalam tasnya."Ayah tau beberapa hari ini kamu sedang mikirin ibu. Kamu pasti kangen kan sama ibu?""Enggak kok, Yah," sahut anak itu."Dengarkan ayah dulu. Ayah ini sudah mengenalmu sejak kamu bayi, Cha. Ayah juga bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Sama kayak ibu. Hari ini tadi ayah ketemu sama
Kekacauan di rumah Hanif karena marahnya Santi dan bu Ranti rupanya terbawa oleh Hanif sampai di kantor. Penampilan sang direktur hari itu sangat kusut membuat beberapa staf berbisik-bisik usai menyambutnya."Tolong kumpulkan seluruh staf. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan," kata Hanif cepat pada salah satu karyawan sebelum dirinya masuk ke ruang kerjanya.Delisha yang rupanya telah berada di ruangannya itu sedikit kaget melihat kekacauan di wajah Hanif."Ada apa? Kenapa kacau begitu, Hanif?" tanyanya basa-basi. Padahal wanita itu sudah bisa menduga pasti telah ada sesuatu yang terjadi di rumah Hanif hingga lelaki itu nampak sangat kacau pagi itu."Bukan urusanmu!" gertak Hanif. Dia b
Kian hari Delisha makin gencar mendekati Hanif. Sementara bu Intan berada pada dilemanya dari hari ke hari. Meski pada awalnya dia tergoda dengan tawaran sang anak angkat pemilik perusahaan untuk merebut kepemimpinan dengan iming-iming sebuah mobil mewah, namun rupanya semakin ke sini hatinya tak tega juga menyaksikan niat jahat Delisha pada Hanif."Tolong hentikan, Bu. Pak Hanif itu orang baik. Ibu jangan libatkan pak Hanif dalam rencana ibu," pintanya siang itu pada Delisha saat wanita itu datang berkunjung ke ruang kerjanya."Siapa sih memangnya yang melibatkan Hanif? Aku hanya memperalatnya saja, bu Intan. Itu beda.""Itu malah lebih menyedihkan, Bu. Saya mohon hentikan saja ini. Pak Hanif itu sangat dekat dengan Pak Arno. Saya yakin jika Anda bisa baik dengannya,
Malam itu pukul 12 malam, warung kopi Bram sudah tampak sepi. Lelaki yang sudah mulai sedikit tumbuh jenggot di dagunya itu terlihat sedang membersihkan peralatan kotor sambil sesekali melirik ke anaknya yang duduk termenung di sebuah bangku pelanggan yang kosong.Malam minggu, Bram biasanya membiarkan Icha untuk menemaninya hingga larut. Walau biasanya Icha akan sudah mengantuk saat jarrum jam menunjuk angka 9. Kali ini sedikit berbeda. Anak gadis kecilnya itu berulang kali mengatakan bahwa dirinya belum mengantuk kala Bram menanyainya. Hingga kemudian saat jam menunjuk angka 12, Icha pun masih terjaga menemani sang ayah berjualan.Selesai dengan pekerjaannya, Bram pun melangkah pelan menghampiri Icha dengan dua gelas teh panas di tangannya."Belum ngantuk juga,
Tiga minggu setelah kehadiran Delisha di kantor cabang itu, para karyawan akhirnya sudah menjadi semakin terbiasa dengan kehadirannya. Wanita yang sering berkeliling dan menegur para karyawan yang sedang ngobrol atau bersantai sejenak di sela-sela aktifitas pekerjaan mereka itu bagai momok yang selalu dihindari setiap karyawan di perusahaan cargo milik pak Arno. Meski begitu, tetap saja, ada beberapa orang yang senang sekali mencari muka pada atasan baru yang terkenal sangat sadis dan sok disiplin itu.Hanif sendiri semakin ke sini semakin merasa tak nyaman. Bukan hanya karena kepemimpinannya yang seolah jadi bercabang dengan adanya wanita itu. Namun juga karena sikap Delisha yang terkadang sangat menganggu privasinya.Sebagai lelaki normal, Hanif merasa tak akan sanggup jika terus-terusan mendapat godaan dari putri angka
Meski telah berusaha menjelaskan pada Bram tentang kondisi rumah tangganya dengan sang suami yang telah membaik, nyatanya malam itu Dinda tetap gagal membawa Icha pulang.Padahal sesuai janjinya, Rifat telah mencarikan seorang asisten rumah tangga untuk membantu pekerjaan sang istri. Dinda juga telah berjanji untuk menjadi ibu yang lebih baik lagi. Namun rupanya Icha telah terlanjur nyaman dengan kehidupan barunya bersama sang ayah.Tangis kesedihan tak terbendung lagi saat perjalanan mereka pulang ke rumah. Rifat yang bisa merasakan kesedihan Dinda pun hanya bisa membiarkan wanitanya itu larut dalam tangisan. Tak sedikit pun lelaki itu berniat untuk menghentikan tangisan Dinda. Hanya sebelah tangannya yang sesekali mengusap punggung untuk sekedar menenangkan hati istrinya.
Siang itu Bram sudah bersiap untuk menjemput Icha di sekolah saat bu Lis menghadang di depan motornya."Ada apa, Bu?""Kamu mau kemana, Bram.""Jemput Icha lah. Kemana lagi?"Nampak orangtua itu menghembuskan nafas berat."Kenapa sih, Bu?""Ibu kok kangen ya Bram sama Dira. Bisa nggak habis ini kamu anterin ibu ke rumah Dira?""Ke Surabaya? Ya nggak bisa lah, Bu. Ibu kan tahu sekarang aku ada tanggungan ngurus Icha. Ibu pergi sendiri aja deh naik bis. Nanti Bram antar ibu ke terminal atau agen bisn