"Aku mau cerai, Mas!" Wanita itu mendudukkan dirinya di kursi makan dengan kasar. Hanif tertegun, melepaskan sendok yang sejak tadi dipegangnya hingga terdengar bunyi berisik dari piringnya. Bu Ranti yang sedang berada di dapur dan tak sengaja mendengar perkataan anak sulungnya itu segera menghentikan aktifitasnya. Lalu perlahan beranjak menuju ruang makan. "San, istirahatlah di kamar. Kamu capek, Nak," kata wanita tua itu prihatin. "Enggak, Bu. Aku baik-baik saja. Seharian aku sudah tidur. Aku nggak capek kok," kata wanita itu sekilas menatap ibunya. Lalu beralih ke arah suaminya yang masih terdiam di kursinya dan sedang balik menatapnya dengan sorot tak percaya. "Kamu kenapa, Dek?" Hanif mencoba berlembut kata pada sang istri. Mungkin saja yang diucapkan ibu mertuanya tadi benar, bahwa istrinya saat ini sedang kecapekan hingga bicaranya jadi ngelantur seperti itu. "Aku mau kita cerai, Mas. Aku dan kamu," ulang Santi, menegaskan ucapannya. "Iyaa, tapi kenapa? Masalah foto-f
Ema mengalihkan perhatian dari ponselnya saat dilihatnya mobil sport hitam memasuki halaman restoran tempatnya melakukan janji bertemu dengan Rifat. Tak berapa lama, lelaki itu pun terlihat berjalan masuk dan menghampirinya. Tubuh gagah lelaki itu langsung mengingatkan Ema betapa sangat beruntungnya sahabatnya. Belum juga lepas dari suaminya, Bram, lelaki seganteng Rifat sudah mengantri untuk mendapatkan perhatiannya. "Hai, Ema. Sudah lama? Maaf ya, tadi mendadak ada tamu penting di kantor. Jadi nggak bisa cepat-cepat keluar," ucap lelaki itu dengan nada penyesalan saat mencapai meja yang sudah dipesan Ema sebelumnya. "It's okay. Aku belum lama kok. Silakan duduk, Pak. Mau pesan sesuatu?" tanya Ema. "Rifat saja. Tidak perlu pakai 'Pak'," kata lelaki itu sambil tertawa kecil. "Baiklah, Rifat. Mau pesan sendiri atau ...?" "Kopi saja. Aku sudah makan tadi di kantor." "Ooh okay, baiklah." Lalu Ema pun melambaikan tangannya pada seorang pelayan yang kebetulan sedang berdiri tak
"Diraaaaaa!" teriakan khas Bertha mengejutkan semua orang yang berada di pantry. Dira yang baru saja masuk ke ruangan berlari tergopoh-gopoh menghampiri kepala OB itu. "Ya, Bu," jawabnya sambil menunduk takut-takut. "Kamu liat nggak ini jam berapa? Sudah berapa kali aku bilang sama kalian kemarin kalau hari ini nggak boleh ada yang telat. Ngerti nggak sih kamuuu?" ucap Bertha dengan nafas naik turun. "Tapi ini cuma terlambat 5 menit, Bu," protes Dira. "Lima menit itu namanya juga terlambat. Pengen dipecat kamu? Hah?" "Enggak Bu, enggak." Dira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu tau nggak sih kalau hari ini ada acara penting di kantor ini, Dir? Bisa-bisanya ya kamu malah dateng telat?" "Maaf saya nggak tau, Bu. Acara apa ya?" tanya Dira yang sontak membuat Bertha semakin naik pitam. "Ya ampun, Diraaaaa! Kamu itu bener-bener ya. Udah telat, nggak tahu lagi kalau mau ada acara di kantor," dengus Bertha kesal. "Dah, ayo semua cepet! Yang kemarin sudah ditunjuk untuk ke ruan
Tak berapa lama kemudian, acara pelantikan pun berlangsung. Pak Arno Renggo Atmojo akhirnya mengumumkan Hanif sebagai pimpinan untuk kantor terbarunya dan Dinda sebagai wakil kepala cabang. Semua staf, karyawan, bahkan security menyambut baik berita gembira itu. Hanya ada satu orang saja yang terlihat sangat tidak bahagia di dalam ruangan yang mulai riuh rendah dengan senyum dan tepuk tangan meriah pagi itu, dialah Dira. Sejak MC membuka acara hingga akhirnya menutupnya dengan doa bersama, gadis itu terlihat pucat dan hanya tertunduk dengan pikiran tak karuan. Jika dia sampai kehilangan pekerjaannya sekarang, itu artinya dia bukan hanya akan menjadi gadis pengangguran lagi, namun dia juga akan berhadapan dengan sang kakak, Bram, yang pasti akan sangat marah besar padanya. Lalu bagaimana cara dia membayar hutang jika dia kehilangan pekerjaaannya? Setelah acara ditutup, satu per satu yang hadir segera mengikuti sang direktur utama perusahaan itu untuk meninggalkan ruangan. Senyum p
"Bu, mba Dira kenapa sih?" Lina bergegas lari menuju bu Lis dan Bram yang baru saja keluar dari mobil malam itu. Bu Lis dan Bram saling berpandangan. Seingat wanita tua itu, tadi sebelum dia meminta Bram untuk mengantarnya belanja ke supermarket, Dira belum pulang dari kantornya. "Memangnya kenapa kakakmu?" tanya Bu Lis. "Nggak tau. Pulang kerja tiba-tiba ngamuk-ngamuk di kamar trus nangis," jelas Lina, sang anak bungsu. Karena khawatir, bu Lis pun segera masuk ke dalam rumah di ikuti Bram dan Lina di belakangnya. Saat sampai di kamar sang anak gadis, betapa kagetnya orang tua itu karena kamar Dira sudah berantakan sekali. Sementara itu Dira sendiri terduduk di lantai menangis terisak sambil membantingi benda apa saja yang ada di dekatnya. "Diraaa, kamu kenapa?" bu Lis segera menghambur memeluk anaknya. "Kenapa kamu, Nak?" Melihat kondisi anaknya yang memprihatinkan, wanita tua itu pun ikut meneteskan air mata. Dira yang baru menyadari ibunya datang, buru-buru mengusap
Suara nada panggilan ponsel mengagetkanku saat keluar dari kamar mandi di rumah Ema. Kulirik sejenak layarnya sambil mengusapkan handuk kecil di rambutku yang masih basah. Mba Santi? Mataku membulat lebar. Lalu buru-buru kuraih ponsel dan kujawab panggilan telepon itu. "Assalamu'alaikum ..." sapaku dengan suara sedikit bergetar. Entah sudah berapa lama tak kudengar suara kakakku itu sejak dia mengusirku dari rumah ibu. "Din ....' Suara lembut yang memanggilku dari seberang sana membuat hatiku bagai disiram sejuknya air es. "Ya, Mbak?" sahutku dengan hati berdebar menunggu apa yang akan dikatakannya. "Kamu sehat kan? Mbak mau ke situ jemput kamu." Lalu terdengar isakan lembut dari sana. Mbak Santi menangis. "Alhamdulillah sehat. Mbak Santi mau ke sini?" tanyaku dengan suara ceria, hanya agar kakakku di sana tahu bahwa aku sedang baik-baik saja sekarang dan senang dia menghubungi. "Iya, Din. Maafin mbak ya? Mbak egois. Mbak mau kamu tinggal di sini. Ini mbak sama mas Hanif sud
"Mas! Mas Bram! Mau kemana, Mas? Tunggu, Mas!" Aku terus mengejar langkah cepatnya yang seperti orang kesetanan mencari-cari dan memanggil nama Icha. Beberapa kali aku berhasil meraih lengan kokohnya, tapi dia menghempaskanku dengan mudahnya. Hingga akhirnya dia pun menemukan Icha di salah satu ruang bermain bersama beberapa anak yang masih terjaga dan pengasuhnya. Melihat Icha, wajah Mas Bram nampak melembut dan berhias senyum. Aku segera tahu apa maksudnya. Dia ingin Icha berlari ke arahnya tanpa rasa takut, karena biasanya dulu Icha tak akan pernah mau mendekat saat mas Bram dalam keadaan marah. Sadar apa yang akan dilakukannya aku segera berlari menuju Icha. Namun terlambat, mas Bram ternyata lebih cepat dariku. Sebelum aku mencapai Icha, Mas Bram lebih dulu menggendong anak itu dan berlalu pergi dari ruangan. Icha pun kulihat tak memberontak dalam gendongan sang ayahnya. Dia justru beberapa kali menengok ke belakang dan tersenyum melihatku mengejar keduanya, seolah dia sedang
Beberapa jam yang lalu Rifat menerima telepon dari Ema yang menceritakan kejadian yang menimpa sahabatnya. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Ema waktu itu, Rifat memang tak lagi berusaha menemui Dinda. Namun permintaan Ema untuk membantu mengurus laporan Dinda untuk kekerasan suaminya ke pihak berwajib sudah langsung menjadi prioritasnya. Rifat pun sudah meluangkan waktu untuk sidang perceraian Dinda dan Bram berikutnya. Rifat ingin lebih bijak bersikap. Meskipun dia merasa sudah tertarik dengan wanita bernama Dinda itu, namun dia tidak ingin mempengaruhi proses perceraian antara Dinda dengan suaminya. Dia sudah bertekad untuk bersabar menungu sampai keputusan sidang cerai diantara mereka. Bahkan nomer kontak Dinda yang sudah tersimpan cukup lama di ponselnya pun tak pernah dia lihat, apalagi bermaksud untuk menghubunginya. Namun ternyata cerita Ema tentang Dinda hari ini begitu mengganggunya. Dari sehabis sholat isya, lelaki yang sudah pulang dari kantornya sejak sore hari itu