Aku dan Ema akhirnya sampai di rumah menjelang sore hari. Selepas mengantarkanku berputar-putar ke sana ke mari mengurus semua kepentinganku, Ema memang sengaja mengajakku dan anakku untuk menghabiskan waktu memanjakan diri. Walaupun percuma saja sebenarnya buatku. Memanjakan diri dengan kondisi wajah dan tubuh yang masih lebam-lebam, aku juga tak bisa menikmati me-time kali ini. Tapi walau bagaimanapun, aku tetap berterima kasih pada usaha sahabatku itu untuk membuatku dan anakku bahagia. Apalagi Icha, yang terlihat sangat senang bisa menghabiskan waktu bersama dengan ibunya seharian ini. Saat mobil berhenti di depan rumah, Ema terlihat sedikit kaget melihat ada sebuah mobil lain sedang terparkir di pinggir jalan depan rumah. Sepertinya aku tidak asing dengan mobil itu, tapi milik siapa? Kucoba untuk mengingat-ingat, tapi tetap tak bisa. "Ada tamu ya, Pak?" tanya Ema saat satpam rumah menghampiri mobil yang kami tumpangi setelah selesai membukakan pintu gerbang. "Iya, Bu, baru
"Dir, kamu lagi dimana? Jangan pulang dulu!" Suara ibunya seperti orang sedang berbisik-bisik di telepon. Dira yang sedang berada di taksi online menuju rumah mengernyitkan dahi. "Memangnya kenapa, Bu?" tanyanya keheranan. "Temen kamu nunggu di rumah, mau nagih utang," jelas bu Lis dengan suara takut-takut. "Vina? Dia di rumah? Aduuh gimana dong, aku udah deket rumah nih, Bu. Aku lagi di taksi." Dira mulai panik. "Dah, kamu turun aja dulu dimana gitu. Sembunyi dulu, nanti kalau orangnya udah pergi, ibu kabarin kamu. Mana ini masmu belum pulang jam segini, Lina juga belum pulang. Ibu takut sebenarnya sendirian. Dia bawa teman laki-laki dua orang lho, Dir," jelas bu Lis. "Teman laki-laki? Maksudnya, Bu?" "Ya ibu nggak tau lah, Dir. Badannya gede-gede. Ibu takut. Udah hampir satu jam lho mereka nunggu di sini. Gimana ini, Dir?" Suara bu Lis terdengar sedikit bergetar. Dira yang gerak cepat menerima saran ibunya rupanya sudah turun dari taksi yang ditumpanginya. Lalu dia berjalan
"Mau apa pulang, Mas?" ketus wanita itu. Amarahnya rupanya belum hilang sepenuhnya. Hanif sudah menduga, kemarahan Santi kali ini memang tidak main-main. Maka dia pun sudah siap dengan apa yang akan ditemuinya di rumah hari ini. "San, jangan bicara begitu. Hanif kan masih suami kamu. Nggak apa apa kan dia pulang." Bu Ranti tiba-tiba muncul dari ruang tengah sebelum Hanif sempat menanggapi perkataan istrinya. Tanpa ingin berkata-kata lagi, Santi segera pergi meninggalkan ruang tamu untuk masuk ke dalam kamarnya. Wajahnya terlihat masih begitu kesal. "Baru pulang, Nif?" tanya bu Ranti sedikit kaku. "Iya, Bu. Hanif dan Dinda sudah tahu siapa pelakunya." Terdengar helaan nafas berat bu Ranti mendengar informasi dari menantunya. "Duduklah dulu, Nif. Ibu bikinkan minum untuk kamu," kata ibu mertuanya, merasa kasihan melihat menantunya pulang tanpa sambutan baik dari sang istri. "Tidak usah, Bu. Biar nanti Hanif bikin sendiri saja," tolak Hanif halus "Nggak apa-apa. Duduklah du
"Mbak Santi sakit, Mas?" Dinda menatap kakak iparnya dengan serius. "Masuk angin mungkin, Din. Semalam muntah-muntah. Tapi tadi aku sudah minta ibu untuk jagain dia dulu. Rencananya nanti sore aku mau periksakan ke dokter kalau belum baikan," jelas Hanif. "Kamu sendiri kenapa udah masuk, Din? Lihat tuh wajah kamu masih lebam gitu," ujar Hanif. "Udah nggak sakit kok, Mas. Lagipula hari ini kan ada meeting pagi. Nggak enak kalau ijin keterusan," ucap wanita itu sambil merapikan barang-barang di atas meja kerjanya. "Iya makanya itu, aku juga nggak bisa ngantar Santi ke dokter pagi ini. Oya, kemarin sudah ditelpon sama pakdhe kan, Din?" tanya Hanif. "Sudah, Mas." "Sudah diberitahu rencana untuk bulan depan?" "Sudah juga. Makanya itu aku nggak bisa ijin terus, Mas. Takut mengecewakan pakdhe nanti kalau kerjaanku nggak beres." "Aku juga gitu, Din. Aku merasa kok ini terlalu cepat ya. Aku takut nggak bisa menjalankan kantor ini sesuai harapan pakdhe. Masih kurang yakin aku sama kema
(SUATU SORE SEBELUM JAM KANTOR USAI) Dira yang sedang duduk di kursi ruang pantry terlihat manyun sambil mengamati ponselnya. Berkali-kali dia mendesah sambil membenarkan letak duduknya. Ada satu pesan di aplikasi hijaunya untuk seseorang yang membuatnya sangat resah dari semalam. Pesan itu sudah dikirimnya lebih dari dari 20 jam, namun tak kunjung dibaca oleh pemilik akun tersebut. Padahal, Dira melihat lelaki itu berulang kali online di aplikasi perpesanannya. 'Sombong banget,' gerutu Dira kesal. Tak berapa lama kemudian, di tengah rasa gundahnya, Dira dikagetkan dengan sebuah telepon masuk ke ponselnya dari kakak lelakinya. "Ya, Mas, ada apa?" sapanya menyambut sang kakak dengan tak bersemangat. "Nanti kamu pulang jam berapa, Dir?" tanya Bram dari seberang sana. "Seperti biasa, paling sebelum maghrib udah di rumah. Kenapa, Mas?" "Oooh, ya udah. Nggak apa-apa sih. Langsung pulang saja jangan kemana-mana ya? Oya, kamu hubungi teman kamu suruh ke rumah. Mas udah dapet uangnya
Rifat baru saja menurunkan Dinda di depan rumah Ema saat ponselnya tiba-tiba berdering. Sambil melajukan mobilnya pelan meninggalkan jalan depan rumah Ema, Rifat memasang headset ditelinganya setelah menjawab panggilan masuk dari nomer yang belum disimpannya itu. "Ya?" sapanya. "Mas Rifat ya?" tanya suara seorang wanita dari seberang sana. "Iya, dengan siapa?" tanya Rifat sambil pikirannya refleks mencoba menebak siapa wanita yang menelponnya itu. "Ini Dira, Mas. Adiknya mas Bram. Mas Rifat lagi dimana? Aku mau minta tolong," kata Dira dengan suara parau. "Dira? Ada apa, Dir?" "Mas, aku habis kecopetan. Aku nggak bisa pulang." Lalu mulai terdengar isakan halus Dira di telepon. "Kecopetan? Kok bisa? Dimana? Kamu dimana sekarang?" "Di deket mall Melati, Mas. Aku bingung gimana caranya pulang, Mas." "Ya udah kamu di situ dulu aja. Jangan kemana-mana. Tunggu sebentar lagi aku ke situ," kata Rifat. Lalu lelaki itu pun segera mematikan sambungan teleponnya dan fokus pada kem
"Kamu yakin itu Rifat, Dir?" Bu Lis, Bram, Dira, dan Lina masih duduk di kursinya masing-masing di ruang makan saat Dira kemudian bercerita tentang kedatangan Rifat hari ini ke kantornya. "Ya yakin lah, Mas. Mata Dira juga masih awas meskipun lihatnya dari jarak yang agak jauh," jelas Dira tambah bersemangat melihat kakaknya yang begitu kaget mendengar informasi itu. "Dari kapan dia mulai datang ke kantor kamu?" tanya Bram penasaran. "Dira sih nggak tau, Mas. Dira baru lihat hari ini tadi. Kayaknya temen mas itu juga akrab banget lho sama si Hanif," jelas Dira dengan nada penuh hasutan. "Aneh ya," gumam Bram sambil menempelkam jari-jarinya ke bibir. Nampak ada sesuatu yang coba dia ingat-ingat tentang Dinda dan Rifat. "Setauku Dinda itu nggak pernah kenal sama Rifat, sebelum kejadian malam itu," kata lelaki itu seperti sedang bergumam pada diri sendiri. "Maksud kamu kejadian waktu kamu hajar si Dinda di depan rumah itu, Bram?" tanya bu Lis ikut mengingat. "Iya, Bu. Sebelumny
Persidangan pertama hari itu benar-benar membuatku tak percaya. Dengan apa yang telah menimpaku waktu itu, harusnya aku tak punya hambatan yang berarti dengan sidangku perceraian ini. Meskipun pada kenyataannya, aku dan Ema sedikit keheranan saat melihat mas Bram ternyata datang untuk hadir dalam sidang cerai kami. Namun bukan kehadiran mas Bram yang membuatku begitu shock hari ini. Bukti-bukti yang dia bawa membuatku seketika terduduk lemas di kursi persidangan. Ema yang menemani di kursi belakangku pun sempat memegangi pundakku sesaat setelah aku mendudukkan diri lemas. Mas Bram rupanya tidak main-main dengan niatnya untuk tidak membiarkan Icha jatuh ke tanganku, hingga dia nekat melakukan hal-hal di luar nalar. Selain membawa foto-foto rekayasa Dira tentang kedekatanku dan mas Hanif waktu itu, ternyata mas Bram juga telah memiliki foto-fotoku dengan Rifat. Entah bagaimana dia bisa mendapatkan semua itu. Meskipun aku tau itu semua foto omong kosong belaka, namun tak ada yang bisa
Usai ditemui bu Intan, beberapa myhari berikutnya Hanif menjadi lebih waspada. Percakapan w******p Delisha dengan seorang yang disebutnya notaris yang menyuruh Delisha mengambil berkas-berkas penting di kantornya untuk dipindahtangankan secara paksa itu membuatnya harus ekstra hati-hati. Meskipun kenyataannya, Hanif harus mentertawakan kebodohan orang-orang yang menyangka bahwa perusahaan sebonafid milik pak Arno itu dipikir akan menyimpan berkas-berkas aset penting di kantor. 'Penjahat yang sangat bodoh rupanya,' kata Hanif dalam hati. Pak Arno bukan orang amatir dalam dunia bisnis. Perusahaan yang dirintisnya bertahun-tahun dari nol itu tak mungkin mengamankan berkas-berkas aset berharganya sembarangan. Orangtua itu jelaslah sudah menyimpannya di tempat yang sangat aman. Namun kenyataannya, Delisha memang membabi buta dalam bertindak. Mengincar harta ayah angkatnya dengan caara yang kotor namun tanpa perhitungan. Hingga kemudian hari yang ditunggu Hanif pun tiba. Saat pagi itu di
Hanif baru akan menyalakan mesin mobilnya di parkiran sebuah kafe usai bertemu dengan seorang klien malam itu, saat sebuah suara menghentikannya."Pak Hanif, tunggu!" teriakan seorang wanita. Saat Hanif menoleh, ternyata bu Intan sudah ada di samping pintu mobilnya yang kacanya belum sepenuhnya tertutup."Bu Intan? Ngapain di sini?" tanya Hanif keheranan."Pak, saya ingin bicara sebentar. Ini penting, Pak. Menyangkut bu Delisha," ucap wanita itu sedikit terbata. Hanif sontak mengernyitkan dahi. Haruskan dia percaya pada wanita yang ternyata sudah berkhianat pada kepercayaan yang diberikan selama bertahun-tahun oleh pakdhenya itu? Hanif ragu.Melihat ketidakpercayaan dalam sorot mata mantan atasanny
"Baju-baju Icha mau diapakan, Yah?" Icha sedikit kaget melihat Bram sedang duduk di lantai rumah dan memasukkan baju dan barang-barang Icha ke dalam tas besar."Ke sinilah, Cha. Duduk dekat ayah," ucap Bram.Icha melangkah pelan mendekati ayahnya. Lalu duduk bersila sembari memperhatikan Bram yang hampir selesai memasukkan semua barang ke dalam tasnya."Ayah tau beberapa hari ini kamu sedang mikirin ibu. Kamu pasti kangen kan sama ibu?""Enggak kok, Yah," sahut anak itu."Dengarkan ayah dulu. Ayah ini sudah mengenalmu sejak kamu bayi, Cha. Ayah juga bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Sama kayak ibu. Hari ini tadi ayah ketemu sama
Kekacauan di rumah Hanif karena marahnya Santi dan bu Ranti rupanya terbawa oleh Hanif sampai di kantor. Penampilan sang direktur hari itu sangat kusut membuat beberapa staf berbisik-bisik usai menyambutnya."Tolong kumpulkan seluruh staf. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan," kata Hanif cepat pada salah satu karyawan sebelum dirinya masuk ke ruang kerjanya.Delisha yang rupanya telah berada di ruangannya itu sedikit kaget melihat kekacauan di wajah Hanif."Ada apa? Kenapa kacau begitu, Hanif?" tanyanya basa-basi. Padahal wanita itu sudah bisa menduga pasti telah ada sesuatu yang terjadi di rumah Hanif hingga lelaki itu nampak sangat kacau pagi itu."Bukan urusanmu!" gertak Hanif. Dia b
Kian hari Delisha makin gencar mendekati Hanif. Sementara bu Intan berada pada dilemanya dari hari ke hari. Meski pada awalnya dia tergoda dengan tawaran sang anak angkat pemilik perusahaan untuk merebut kepemimpinan dengan iming-iming sebuah mobil mewah, namun rupanya semakin ke sini hatinya tak tega juga menyaksikan niat jahat Delisha pada Hanif."Tolong hentikan, Bu. Pak Hanif itu orang baik. Ibu jangan libatkan pak Hanif dalam rencana ibu," pintanya siang itu pada Delisha saat wanita itu datang berkunjung ke ruang kerjanya."Siapa sih memangnya yang melibatkan Hanif? Aku hanya memperalatnya saja, bu Intan. Itu beda.""Itu malah lebih menyedihkan, Bu. Saya mohon hentikan saja ini. Pak Hanif itu sangat dekat dengan Pak Arno. Saya yakin jika Anda bisa baik dengannya,
Malam itu pukul 12 malam, warung kopi Bram sudah tampak sepi. Lelaki yang sudah mulai sedikit tumbuh jenggot di dagunya itu terlihat sedang membersihkan peralatan kotor sambil sesekali melirik ke anaknya yang duduk termenung di sebuah bangku pelanggan yang kosong.Malam minggu, Bram biasanya membiarkan Icha untuk menemaninya hingga larut. Walau biasanya Icha akan sudah mengantuk saat jarrum jam menunjuk angka 9. Kali ini sedikit berbeda. Anak gadis kecilnya itu berulang kali mengatakan bahwa dirinya belum mengantuk kala Bram menanyainya. Hingga kemudian saat jam menunjuk angka 12, Icha pun masih terjaga menemani sang ayah berjualan.Selesai dengan pekerjaannya, Bram pun melangkah pelan menghampiri Icha dengan dua gelas teh panas di tangannya."Belum ngantuk juga,
Tiga minggu setelah kehadiran Delisha di kantor cabang itu, para karyawan akhirnya sudah menjadi semakin terbiasa dengan kehadirannya. Wanita yang sering berkeliling dan menegur para karyawan yang sedang ngobrol atau bersantai sejenak di sela-sela aktifitas pekerjaan mereka itu bagai momok yang selalu dihindari setiap karyawan di perusahaan cargo milik pak Arno. Meski begitu, tetap saja, ada beberapa orang yang senang sekali mencari muka pada atasan baru yang terkenal sangat sadis dan sok disiplin itu.Hanif sendiri semakin ke sini semakin merasa tak nyaman. Bukan hanya karena kepemimpinannya yang seolah jadi bercabang dengan adanya wanita itu. Namun juga karena sikap Delisha yang terkadang sangat menganggu privasinya.Sebagai lelaki normal, Hanif merasa tak akan sanggup jika terus-terusan mendapat godaan dari putri angka
Meski telah berusaha menjelaskan pada Bram tentang kondisi rumah tangganya dengan sang suami yang telah membaik, nyatanya malam itu Dinda tetap gagal membawa Icha pulang.Padahal sesuai janjinya, Rifat telah mencarikan seorang asisten rumah tangga untuk membantu pekerjaan sang istri. Dinda juga telah berjanji untuk menjadi ibu yang lebih baik lagi. Namun rupanya Icha telah terlanjur nyaman dengan kehidupan barunya bersama sang ayah.Tangis kesedihan tak terbendung lagi saat perjalanan mereka pulang ke rumah. Rifat yang bisa merasakan kesedihan Dinda pun hanya bisa membiarkan wanitanya itu larut dalam tangisan. Tak sedikit pun lelaki itu berniat untuk menghentikan tangisan Dinda. Hanya sebelah tangannya yang sesekali mengusap punggung untuk sekedar menenangkan hati istrinya.
Siang itu Bram sudah bersiap untuk menjemput Icha di sekolah saat bu Lis menghadang di depan motornya."Ada apa, Bu?""Kamu mau kemana, Bram.""Jemput Icha lah. Kemana lagi?"Nampak orangtua itu menghembuskan nafas berat."Kenapa sih, Bu?""Ibu kok kangen ya Bram sama Dira. Bisa nggak habis ini kamu anterin ibu ke rumah Dira?""Ke Surabaya? Ya nggak bisa lah, Bu. Ibu kan tahu sekarang aku ada tanggungan ngurus Icha. Ibu pergi sendiri aja deh naik bis. Nanti Bram antar ibu ke terminal atau agen bisn