"Dir, kamu lagi dimana? Jangan pulang dulu!" Suara ibunya seperti orang sedang berbisik-bisik di telepon. Dira yang sedang berada di taksi online menuju rumah mengernyitkan dahi. "Memangnya kenapa, Bu?" tanyanya keheranan. "Temen kamu nunggu di rumah, mau nagih utang," jelas bu Lis dengan suara takut-takut. "Vina? Dia di rumah? Aduuh gimana dong, aku udah deket rumah nih, Bu. Aku lagi di taksi." Dira mulai panik. "Dah, kamu turun aja dulu dimana gitu. Sembunyi dulu, nanti kalau orangnya udah pergi, ibu kabarin kamu. Mana ini masmu belum pulang jam segini, Lina juga belum pulang. Ibu takut sebenarnya sendirian. Dia bawa teman laki-laki dua orang lho, Dir," jelas bu Lis. "Teman laki-laki? Maksudnya, Bu?" "Ya ibu nggak tau lah, Dir. Badannya gede-gede. Ibu takut. Udah hampir satu jam lho mereka nunggu di sini. Gimana ini, Dir?" Suara bu Lis terdengar sedikit bergetar. Dira yang gerak cepat menerima saran ibunya rupanya sudah turun dari taksi yang ditumpanginya. Lalu dia berjalan
"Mau apa pulang, Mas?" ketus wanita itu. Amarahnya rupanya belum hilang sepenuhnya. Hanif sudah menduga, kemarahan Santi kali ini memang tidak main-main. Maka dia pun sudah siap dengan apa yang akan ditemuinya di rumah hari ini. "San, jangan bicara begitu. Hanif kan masih suami kamu. Nggak apa apa kan dia pulang." Bu Ranti tiba-tiba muncul dari ruang tengah sebelum Hanif sempat menanggapi perkataan istrinya. Tanpa ingin berkata-kata lagi, Santi segera pergi meninggalkan ruang tamu untuk masuk ke dalam kamarnya. Wajahnya terlihat masih begitu kesal. "Baru pulang, Nif?" tanya bu Ranti sedikit kaku. "Iya, Bu. Hanif dan Dinda sudah tahu siapa pelakunya." Terdengar helaan nafas berat bu Ranti mendengar informasi dari menantunya. "Duduklah dulu, Nif. Ibu bikinkan minum untuk kamu," kata ibu mertuanya, merasa kasihan melihat menantunya pulang tanpa sambutan baik dari sang istri. "Tidak usah, Bu. Biar nanti Hanif bikin sendiri saja," tolak Hanif halus "Nggak apa-apa. Duduklah du
"Mbak Santi sakit, Mas?" Dinda menatap kakak iparnya dengan serius. "Masuk angin mungkin, Din. Semalam muntah-muntah. Tapi tadi aku sudah minta ibu untuk jagain dia dulu. Rencananya nanti sore aku mau periksakan ke dokter kalau belum baikan," jelas Hanif. "Kamu sendiri kenapa udah masuk, Din? Lihat tuh wajah kamu masih lebam gitu," ujar Hanif. "Udah nggak sakit kok, Mas. Lagipula hari ini kan ada meeting pagi. Nggak enak kalau ijin keterusan," ucap wanita itu sambil merapikan barang-barang di atas meja kerjanya. "Iya makanya itu, aku juga nggak bisa ngantar Santi ke dokter pagi ini. Oya, kemarin sudah ditelpon sama pakdhe kan, Din?" tanya Hanif. "Sudah, Mas." "Sudah diberitahu rencana untuk bulan depan?" "Sudah juga. Makanya itu aku nggak bisa ijin terus, Mas. Takut mengecewakan pakdhe nanti kalau kerjaanku nggak beres." "Aku juga gitu, Din. Aku merasa kok ini terlalu cepat ya. Aku takut nggak bisa menjalankan kantor ini sesuai harapan pakdhe. Masih kurang yakin aku sama kema
(SUATU SORE SEBELUM JAM KANTOR USAI) Dira yang sedang duduk di kursi ruang pantry terlihat manyun sambil mengamati ponselnya. Berkali-kali dia mendesah sambil membenarkan letak duduknya. Ada satu pesan di aplikasi hijaunya untuk seseorang yang membuatnya sangat resah dari semalam. Pesan itu sudah dikirimnya lebih dari dari 20 jam, namun tak kunjung dibaca oleh pemilik akun tersebut. Padahal, Dira melihat lelaki itu berulang kali online di aplikasi perpesanannya. 'Sombong banget,' gerutu Dira kesal. Tak berapa lama kemudian, di tengah rasa gundahnya, Dira dikagetkan dengan sebuah telepon masuk ke ponselnya dari kakak lelakinya. "Ya, Mas, ada apa?" sapanya menyambut sang kakak dengan tak bersemangat. "Nanti kamu pulang jam berapa, Dir?" tanya Bram dari seberang sana. "Seperti biasa, paling sebelum maghrib udah di rumah. Kenapa, Mas?" "Oooh, ya udah. Nggak apa-apa sih. Langsung pulang saja jangan kemana-mana ya? Oya, kamu hubungi teman kamu suruh ke rumah. Mas udah dapet uangnya
Rifat baru saja menurunkan Dinda di depan rumah Ema saat ponselnya tiba-tiba berdering. Sambil melajukan mobilnya pelan meninggalkan jalan depan rumah Ema, Rifat memasang headset ditelinganya setelah menjawab panggilan masuk dari nomer yang belum disimpannya itu. "Ya?" sapanya. "Mas Rifat ya?" tanya suara seorang wanita dari seberang sana. "Iya, dengan siapa?" tanya Rifat sambil pikirannya refleks mencoba menebak siapa wanita yang menelponnya itu. "Ini Dira, Mas. Adiknya mas Bram. Mas Rifat lagi dimana? Aku mau minta tolong," kata Dira dengan suara parau. "Dira? Ada apa, Dir?" "Mas, aku habis kecopetan. Aku nggak bisa pulang." Lalu mulai terdengar isakan halus Dira di telepon. "Kecopetan? Kok bisa? Dimana? Kamu dimana sekarang?" "Di deket mall Melati, Mas. Aku bingung gimana caranya pulang, Mas." "Ya udah kamu di situ dulu aja. Jangan kemana-mana. Tunggu sebentar lagi aku ke situ," kata Rifat. Lalu lelaki itu pun segera mematikan sambungan teleponnya dan fokus pada kem
"Kamu yakin itu Rifat, Dir?" Bu Lis, Bram, Dira, dan Lina masih duduk di kursinya masing-masing di ruang makan saat Dira kemudian bercerita tentang kedatangan Rifat hari ini ke kantornya. "Ya yakin lah, Mas. Mata Dira juga masih awas meskipun lihatnya dari jarak yang agak jauh," jelas Dira tambah bersemangat melihat kakaknya yang begitu kaget mendengar informasi itu. "Dari kapan dia mulai datang ke kantor kamu?" tanya Bram penasaran. "Dira sih nggak tau, Mas. Dira baru lihat hari ini tadi. Kayaknya temen mas itu juga akrab banget lho sama si Hanif," jelas Dira dengan nada penuh hasutan. "Aneh ya," gumam Bram sambil menempelkam jari-jarinya ke bibir. Nampak ada sesuatu yang coba dia ingat-ingat tentang Dinda dan Rifat. "Setauku Dinda itu nggak pernah kenal sama Rifat, sebelum kejadian malam itu," kata lelaki itu seperti sedang bergumam pada diri sendiri. "Maksud kamu kejadian waktu kamu hajar si Dinda di depan rumah itu, Bram?" tanya bu Lis ikut mengingat. "Iya, Bu. Sebelumny
Persidangan pertama hari itu benar-benar membuatku tak percaya. Dengan apa yang telah menimpaku waktu itu, harusnya aku tak punya hambatan yang berarti dengan sidangku perceraian ini. Meskipun pada kenyataannya, aku dan Ema sedikit keheranan saat melihat mas Bram ternyata datang untuk hadir dalam sidang cerai kami. Namun bukan kehadiran mas Bram yang membuatku begitu shock hari ini. Bukti-bukti yang dia bawa membuatku seketika terduduk lemas di kursi persidangan. Ema yang menemani di kursi belakangku pun sempat memegangi pundakku sesaat setelah aku mendudukkan diri lemas. Mas Bram rupanya tidak main-main dengan niatnya untuk tidak membiarkan Icha jatuh ke tanganku, hingga dia nekat melakukan hal-hal di luar nalar. Selain membawa foto-foto rekayasa Dira tentang kedekatanku dan mas Hanif waktu itu, ternyata mas Bram juga telah memiliki foto-fotoku dengan Rifat. Entah bagaimana dia bisa mendapatkan semua itu. Meskipun aku tau itu semua foto omong kosong belaka, namun tak ada yang bisa
"Aku mau cerai, Mas!" Wanita itu mendudukkan dirinya di kursi makan dengan kasar. Hanif tertegun, melepaskan sendok yang sejak tadi dipegangnya hingga terdengar bunyi berisik dari piringnya. Bu Ranti yang sedang berada di dapur dan tak sengaja mendengar perkataan anak sulungnya itu segera menghentikan aktifitasnya. Lalu perlahan beranjak menuju ruang makan. "San, istirahatlah di kamar. Kamu capek, Nak," kata wanita tua itu prihatin. "Enggak, Bu. Aku baik-baik saja. Seharian aku sudah tidur. Aku nggak capek kok," kata wanita itu sekilas menatap ibunya. Lalu beralih ke arah suaminya yang masih terdiam di kursinya dan sedang balik menatapnya dengan sorot tak percaya. "Kamu kenapa, Dek?" Hanif mencoba berlembut kata pada sang istri. Mungkin saja yang diucapkan ibu mertuanya tadi benar, bahwa istrinya saat ini sedang kecapekan hingga bicaranya jadi ngelantur seperti itu. "Aku mau kita cerai, Mas. Aku dan kamu," ulang Santi, menegaskan ucapannya. "Iyaa, tapi kenapa? Masalah foto-f