Dinda menginjakkan kaki di halaman rumah dan sedikit kaget karena melihat mobil suaminya ternyata sudah terparkir di garasi rumah. Hari ini dia memang pulang agak terlambat karena dari rumah Ema tadi Icha merengek mengajak mampir ke minimarket langganan mereka untuk membeli mainan dan makanan kesukaannya. Melihat sang ayah yang sedang berdiri di ambang pintu rumah, Icha bermaksud untuk menghambur ke arahnya. Namun karena melihat raut muka Bram yang tak enak dipandang mata, Dinda segera saja memegangi tangan kecil anaknya itu lebih erat membuat gadis cilik itu menoleh tak mengerti ke arah ibunya. "Jam segini terus ya kamu pulangnya?" tanya Bram nampak tak suka. Beberapa menit yang lalu, lelaki itu baru menerima laporan dari ibu dan adiknya tentang Dinda yang ternyata bekerja di kantor yang sama dengan Dira. Apa lagi tentunya kalau bukan adiknya itu menjelek-jelekkan kakak iparnya di depan suaminya. Sudah bukan hal yang aneh bagi Dinda. "Ada apa sih, Mas, baru datang kok diomelin?
"Kenapa sih, Din? Dari tadi kayak gak tenang gitu?" Mas Hanif menghentikan langkahku saat kami berdua sedang menaiki tangga menuju ruang meeting di lantai atas. Aku yang memang dari tadi merasa tidak tenang dan curiga dengan ulah adik iparku, Dira, berhenti dan menatapnya ragu. Ngomong nggak ya? batinku. "Ada apa?" tanya mas Hanif lagi. "Enggak, Mas. Aku kok lagi agak heran aja ya sama si Dira. Dari kemarin dia kayaknya ngikutin aja kemana kita pergi." "Dira? Ngikutin kita?" "Iyaa, nggak tau juga sih, Mas. Mungkin perasaanku aja kali ya?" Aku mengedikkan bahu. "Dah ah yuuk, buruan, meeting bentar lagi," kataku kemudian, mengajak mas Hanif segera melanjutkan langkah. "Memangnya ada masalah apa lagi sih kalian?" Sambil berjalan, mas Hanif rupanya belum puas dengan penjelasanku. "Nggak ada, Mas. Ya biasalah, di rumah dia ngadu ke ibunya, ke mas Bram. Trus mereka ngomelin aku. Gitu aja sih kayak biasanya." "Trus ngapain dia ngikutin kita?" "Ih mas Hanif nih. Kan aku juga ngga
(BEBERAPA JAM SEBELUMNYA DI KANTOR POLISI) "Lagi dimana, Bro?" Sebuah panggilan telepon dari Bram siang itu menyela pertemuan Rifat dengan beberapa anak buahnya. Mereka sedang membahas suatu kasus di sebuah ruang meeting di kantornya. "Aku di kantor, ada apa?" "Ibu sama adikku ada di kantormu. Tolong ya, aku nggak bisa nemenin soalnya," kata Bram. "Adikmu? Dira? Yang berkasus sama si Denny itu?" "Bukan. Si Lina. Ibu maksa pengen ketemu sama Denny hari ini. Katanya udah nggak sabar. Aku masih ada meeting di kantorku, jadi nggak bisa nemenin mereka." "Oh, kenapa bukan Dira aja yang ke sini? Kan bisa sekalian diminta keterangan." "Dia kerja, Bro. Mungkin dia nunggu surat penggilan aja biar bisa sekalian buat ijin ke kantornya." "Ya juga sih. Oke, oke, aku akan temui ibu dan adikmu kalau gitu. Kamu tenang aja, biar kuurus." "Oke, thanks ya, Bro." "Santai aja," ucap Rifat sebelum Bram mengakhiri panggilannya. Usai sambungan telepon di tutup, Rifat pun segera berpamitan pada a
"Dinda belum pulang, Bu?" tanya Bram saat sampai di ruang tengah. Dilihatnya ibu dan kedua adiknya tengah duduk dengan tegang di sofa masing-masing tanpa bicara. "Belum," jawab bu Lis singkat. "Ada apa sih?" Bram mulai mencurigai ada sesuatu yang sedang terjadi di rumah itu. "Ibu tadi jadi pergi ke kantor polisi kan?" tanyanya lagi sambil ikut mendudukkan diri di sofa untuk melepas alas kakinya. "Jadi, Bram. Dan ibu sudah ketemu sama laki-laki nggak tahu diri itu. Untung tadi ada teman kamu si Rifat. Kalau tidak, habis itu si Denny ibu pukulin," kata wanita tua itu antusias. "Hmmm, trus?" Bram menanggapi cerita ibunya setengah hati karena masih sibuk dengan sepatunya. "Yaa gitu. Kata Rifat, nanti Dira akan dipanggil juga sebagai saksi korban." "Iyaa, itu dia sudah bilang juga ke aku." Lalu sejenak suasana hening. Bram yang sekali lagi menyadari ada keanehan di sekitarnya, mulai mengerutkan dahi. "Ini ada apa sih? Tumben pada anteng?" tanyanya keheranan. Lalu terlihat ibu
Bukan pukulan mas Bram yang membuatku sangat kesakitan kali ini. Namun hatiku lebih sakit dengan tuduhan bahwa aku telah menyeleweng di belakangnya. Apalagi orang yang dituduhkannya padaku itu adalah mas Hanif, kakak iparku sendiri. Rasanya cukup sudah semua ini. Sampai di sini aku memutuskan untuk tidak akan lagi mau bertahan. Walaupun sebenarnya aku tak tahu menahu apa yang sebenarnya telah terjadi hingga mas Bram begitu tega menuduhku berselingkuh dengan mas Hanif, tapi tanpa perlu bertanya aku sangat yakin jika semua ini pastilah ulah adik iparku, Dira. Berarti kecurigaanku di kantor dari kemarin itu memang benar adanya, Dira sedang merencanakan sesuatu yang jahat padaku. Sepeninggal Rifat, nyatanya bukannya mendekatiku dan meminta maaf, mas Bram justru masuk begitu saja ke dalam rumah, diikuti oleh keluarganya yang lain. Lina dan ibu mertuaku sempat beberapa kali membujuk Icha untuk ikut masuk bersama mereka, namun anakku sepertinya masih terlihat trauma dengan perlakuan ayahn
(SIANG HARINYA DI RUMAH IBUNDA DINDA) "Pakeeet!" teriakan seseorang dari luar mengagetkan ibu Ranti, ibunda Dinda, yang sedang duduk-duduk santai menunggui dua cucu kembarnya bermain di teras rumah. Bergegas wanita itu menghampiri kurir paket yang telah berjalan mendekat ke arah teras. "Ada paket untuk ibu Santi," kata si kurir. "Oh iya, itu anak saya." "Baik, Bu. Silahkan," kata kurir itu menyerahkan sebuah amplop tanggung berwarna coklat yang dibawanya. Bu Ranti segera menerima amplop tersebut dan berjalan masuk ke dalam rumah saat sang kurir telah meninggalkan depan rumahnya. "San, ada paket nih untuk kamu," kata wanita tua itu pada anak sulungnya yang sedang menyiapkan makan siang untuk mereka di dapur. "Paket? Paket apa, Bu? Santi nggak beli apa-apa tuh," sahut wanita berusia tiga puluh tahunan itu sambil mengelapkan tangannya yang kotor ke apron. "Ibu nggak tau, nggak ada tulisan namanya. Ini." Bu Ranti mengulurkan amplop saat dilihatnya tangan anaknya sudah bers
"Ya Allah, Diiiin, apa yang terjadi? Kenapa jam segini bawa Icha keluar rumah?" Ema kaget saat salah satu asisten rumah tangganya membangunkannya dini hari itu karena kedatangan Dinda. Lalu diamatinya wanita di depannya dengan seksama, wajah lebam di beberapa bagian, lalu mata sembab. Sungguh memprihatinkan keadaan sahabatnya itu saat ini. "Ini ulah suamimu kan?" Ema segera bisa menebak apa yang terjadi. Dinda menggangguk. Lalu tak menunggu lama, Ema pun meminta asisten rumah tangganya untuk membawa Icha ke kamar agar bisa istirahat. Ema memeluk Dinda dengan erat. Hatinya begitu miris dengan keadaan sahabatnya. "Aku dari rumah ibuku, Em ...." Tiba-tiba terdengar suara Dinda yang serak dan wanita itu kembali menangis. Melihat sahabatnya meneteskan air mata, Ema melepaskan pelukannya. Sepertinya ada yang lebih membuat Dinda sedih daripada masalahnya dengan suaminya. "Kenapa dengan ibumu?" tanya Ema penasaran. "Kakak dan ibuku tidak mau menerimaku. Mereka marah padaku, Em."
Di rumahnya yang bergaya modern minimalis, Rifat nampak sudah siap dengan seragam dinasnya. Hari ini tak seperti biasanya, dia merasa enggan untuk sarapan. Biasanya dia selalu bangun pagi dan menyiapkan sarapannya sendiri. Menikmatinya dengan secangkir kopi sambil membaca berita pagi di situs-situs favoritnya. Namun entahlah pagi ini, rasanya seperti ada beban. Dia bahkan hampir tidak tidur semalaman. Ada semacam kegelisahan sejak dia pulang dari rumah Bram semalam. Dini hari sekitar jam 3 pagi, Rifat baru bisa memejamkan mata dan terbangun saat suara adzan subuh terdengar dari mushola kompleks dia tinggal. Dengan pekerjaan yang kadang membutuhkannya kapan saja tak kenal waktu, Rifat memang bukan orang yang punya waktu tidur teratur. Namun selama ini sebisa mungkin dia selalu menggunakan waktu istirahatnya dengan maksimal. Rasanya sudah sangat lama dia tidak mengalami kegelisahan seperti semalam. Kegelisahan yang membuatnya merasa sangat aneh. Bukan karena memikirkan sesuatu ten