"Dinda belum pulang, Bu?" tanya Bram saat sampai di ruang tengah. Dilihatnya ibu dan kedua adiknya tengah duduk dengan tegang di sofa masing-masing tanpa bicara. "Belum," jawab bu Lis singkat. "Ada apa sih?" Bram mulai mencurigai ada sesuatu yang sedang terjadi di rumah itu. "Ibu tadi jadi pergi ke kantor polisi kan?" tanyanya lagi sambil ikut mendudukkan diri di sofa untuk melepas alas kakinya. "Jadi, Bram. Dan ibu sudah ketemu sama laki-laki nggak tahu diri itu. Untung tadi ada teman kamu si Rifat. Kalau tidak, habis itu si Denny ibu pukulin," kata wanita tua itu antusias. "Hmmm, trus?" Bram menanggapi cerita ibunya setengah hati karena masih sibuk dengan sepatunya. "Yaa gitu. Kata Rifat, nanti Dira akan dipanggil juga sebagai saksi korban." "Iyaa, itu dia sudah bilang juga ke aku." Lalu sejenak suasana hening. Bram yang sekali lagi menyadari ada keanehan di sekitarnya, mulai mengerutkan dahi. "Ini ada apa sih? Tumben pada anteng?" tanyanya keheranan. Lalu terlihat ibu
Bukan pukulan mas Bram yang membuatku sangat kesakitan kali ini. Namun hatiku lebih sakit dengan tuduhan bahwa aku telah menyeleweng di belakangnya. Apalagi orang yang dituduhkannya padaku itu adalah mas Hanif, kakak iparku sendiri. Rasanya cukup sudah semua ini. Sampai di sini aku memutuskan untuk tidak akan lagi mau bertahan. Walaupun sebenarnya aku tak tahu menahu apa yang sebenarnya telah terjadi hingga mas Bram begitu tega menuduhku berselingkuh dengan mas Hanif, tapi tanpa perlu bertanya aku sangat yakin jika semua ini pastilah ulah adik iparku, Dira. Berarti kecurigaanku di kantor dari kemarin itu memang benar adanya, Dira sedang merencanakan sesuatu yang jahat padaku. Sepeninggal Rifat, nyatanya bukannya mendekatiku dan meminta maaf, mas Bram justru masuk begitu saja ke dalam rumah, diikuti oleh keluarganya yang lain. Lina dan ibu mertuaku sempat beberapa kali membujuk Icha untuk ikut masuk bersama mereka, namun anakku sepertinya masih terlihat trauma dengan perlakuan ayahn
(SIANG HARINYA DI RUMAH IBUNDA DINDA) "Pakeeet!" teriakan seseorang dari luar mengagetkan ibu Ranti, ibunda Dinda, yang sedang duduk-duduk santai menunggui dua cucu kembarnya bermain di teras rumah. Bergegas wanita itu menghampiri kurir paket yang telah berjalan mendekat ke arah teras. "Ada paket untuk ibu Santi," kata si kurir. "Oh iya, itu anak saya." "Baik, Bu. Silahkan," kata kurir itu menyerahkan sebuah amplop tanggung berwarna coklat yang dibawanya. Bu Ranti segera menerima amplop tersebut dan berjalan masuk ke dalam rumah saat sang kurir telah meninggalkan depan rumahnya. "San, ada paket nih untuk kamu," kata wanita tua itu pada anak sulungnya yang sedang menyiapkan makan siang untuk mereka di dapur. "Paket? Paket apa, Bu? Santi nggak beli apa-apa tuh," sahut wanita berusia tiga puluh tahunan itu sambil mengelapkan tangannya yang kotor ke apron. "Ibu nggak tau, nggak ada tulisan namanya. Ini." Bu Ranti mengulurkan amplop saat dilihatnya tangan anaknya sudah bers
"Ya Allah, Diiiin, apa yang terjadi? Kenapa jam segini bawa Icha keluar rumah?" Ema kaget saat salah satu asisten rumah tangganya membangunkannya dini hari itu karena kedatangan Dinda. Lalu diamatinya wanita di depannya dengan seksama, wajah lebam di beberapa bagian, lalu mata sembab. Sungguh memprihatinkan keadaan sahabatnya itu saat ini. "Ini ulah suamimu kan?" Ema segera bisa menebak apa yang terjadi. Dinda menggangguk. Lalu tak menunggu lama, Ema pun meminta asisten rumah tangganya untuk membawa Icha ke kamar agar bisa istirahat. Ema memeluk Dinda dengan erat. Hatinya begitu miris dengan keadaan sahabatnya. "Aku dari rumah ibuku, Em ...." Tiba-tiba terdengar suara Dinda yang serak dan wanita itu kembali menangis. Melihat sahabatnya meneteskan air mata, Ema melepaskan pelukannya. Sepertinya ada yang lebih membuat Dinda sedih daripada masalahnya dengan suaminya. "Kenapa dengan ibumu?" tanya Ema penasaran. "Kakak dan ibuku tidak mau menerimaku. Mereka marah padaku, Em."
Di rumahnya yang bergaya modern minimalis, Rifat nampak sudah siap dengan seragam dinasnya. Hari ini tak seperti biasanya, dia merasa enggan untuk sarapan. Biasanya dia selalu bangun pagi dan menyiapkan sarapannya sendiri. Menikmatinya dengan secangkir kopi sambil membaca berita pagi di situs-situs favoritnya. Namun entahlah pagi ini, rasanya seperti ada beban. Dia bahkan hampir tidak tidur semalaman. Ada semacam kegelisahan sejak dia pulang dari rumah Bram semalam. Dini hari sekitar jam 3 pagi, Rifat baru bisa memejamkan mata dan terbangun saat suara adzan subuh terdengar dari mushola kompleks dia tinggal. Dengan pekerjaan yang kadang membutuhkannya kapan saja tak kenal waktu, Rifat memang bukan orang yang punya waktu tidur teratur. Namun selama ini sebisa mungkin dia selalu menggunakan waktu istirahatnya dengan maksimal. Rasanya sudah sangat lama dia tidak mengalami kegelisahan seperti semalam. Kegelisahan yang membuatnya merasa sangat aneh. Bukan karena memikirkan sesuatu ten
Aku dan Ema akhirnya sampai di rumah menjelang sore hari. Selepas mengantarkanku berputar-putar ke sana ke mari mengurus semua kepentinganku, Ema memang sengaja mengajakku dan anakku untuk menghabiskan waktu memanjakan diri. Walaupun percuma saja sebenarnya buatku. Memanjakan diri dengan kondisi wajah dan tubuh yang masih lebam-lebam, aku juga tak bisa menikmati me-time kali ini. Tapi walau bagaimanapun, aku tetap berterima kasih pada usaha sahabatku itu untuk membuatku dan anakku bahagia. Apalagi Icha, yang terlihat sangat senang bisa menghabiskan waktu bersama dengan ibunya seharian ini. Saat mobil berhenti di depan rumah, Ema terlihat sedikit kaget melihat ada sebuah mobil lain sedang terparkir di pinggir jalan depan rumah. Sepertinya aku tidak asing dengan mobil itu, tapi milik siapa? Kucoba untuk mengingat-ingat, tapi tetap tak bisa. "Ada tamu ya, Pak?" tanya Ema saat satpam rumah menghampiri mobil yang kami tumpangi setelah selesai membukakan pintu gerbang. "Iya, Bu, baru
"Dir, kamu lagi dimana? Jangan pulang dulu!" Suara ibunya seperti orang sedang berbisik-bisik di telepon. Dira yang sedang berada di taksi online menuju rumah mengernyitkan dahi. "Memangnya kenapa, Bu?" tanyanya keheranan. "Temen kamu nunggu di rumah, mau nagih utang," jelas bu Lis dengan suara takut-takut. "Vina? Dia di rumah? Aduuh gimana dong, aku udah deket rumah nih, Bu. Aku lagi di taksi." Dira mulai panik. "Dah, kamu turun aja dulu dimana gitu. Sembunyi dulu, nanti kalau orangnya udah pergi, ibu kabarin kamu. Mana ini masmu belum pulang jam segini, Lina juga belum pulang. Ibu takut sebenarnya sendirian. Dia bawa teman laki-laki dua orang lho, Dir," jelas bu Lis. "Teman laki-laki? Maksudnya, Bu?" "Ya ibu nggak tau lah, Dir. Badannya gede-gede. Ibu takut. Udah hampir satu jam lho mereka nunggu di sini. Gimana ini, Dir?" Suara bu Lis terdengar sedikit bergetar. Dira yang gerak cepat menerima saran ibunya rupanya sudah turun dari taksi yang ditumpanginya. Lalu dia berjalan
"Mau apa pulang, Mas?" ketus wanita itu. Amarahnya rupanya belum hilang sepenuhnya. Hanif sudah menduga, kemarahan Santi kali ini memang tidak main-main. Maka dia pun sudah siap dengan apa yang akan ditemuinya di rumah hari ini. "San, jangan bicara begitu. Hanif kan masih suami kamu. Nggak apa apa kan dia pulang." Bu Ranti tiba-tiba muncul dari ruang tengah sebelum Hanif sempat menanggapi perkataan istrinya. Tanpa ingin berkata-kata lagi, Santi segera pergi meninggalkan ruang tamu untuk masuk ke dalam kamarnya. Wajahnya terlihat masih begitu kesal. "Baru pulang, Nif?" tanya bu Ranti sedikit kaku. "Iya, Bu. Hanif dan Dinda sudah tahu siapa pelakunya." Terdengar helaan nafas berat bu Ranti mendengar informasi dari menantunya. "Duduklah dulu, Nif. Ibu bikinkan minum untuk kamu," kata ibu mertuanya, merasa kasihan melihat menantunya pulang tanpa sambutan baik dari sang istri. "Tidak usah, Bu. Biar nanti Hanif bikin sendiri saja," tolak Hanif halus "Nggak apa-apa. Duduklah du