"Icha, Din. Icha dibawa pulang paksa sama Bram," katanya sambil terbata.
"Apa?"
"Bram bilang kamu harus pulang sekarang, Din. Kalau tidak katanya kamu nggak akan pernah diperbolehkan ketemu sama Icha lagi," kata mba Santi masih sesenggukan.
Tanpa pikir panjang lagi, aku pun segera berlari ke dalam rumah mengambil tas dari kamarku dan segera pergi menemui ibu di kamarnya.
Mata ibu nampak masih sembab sepertinya habis menangis tadi. Kasihan sekali, dengan kejadian ini dia pasti sudah tahu bagaimana rumah tanggaku sebenarnya.
"Bu, Dinda pamit dulu ya? Maaf nggak bisa nemenin ibu lama-lama di sini," ucapku dengan nada sesal.
"Pulanglah, Din. Tempatmu memang di samping keluargamu. Anakmu lebih membutuhkanmu dibanding ibu. Pulanglah, Nak!" kata ibu dengan matanya yang mulai bening.
Aku mengangguk, mencium tangannya, lalu segera keluar dari kamar itu karena tak ingin terlihat meneteskan air mata di depannya.
Seandainya kamu tahu, Bu, Dinda sudah sangat lelah dengan mas Bram. Dinda berencana ingin lepas dari mas Bram. Apakah ibu akan bahagia jika ibu tahu semua itu?
"Din, biar mas Hanif mengantarmu," kata mba Santi menghadangku di ruang tamu. Mas Hanif juga sudah nampak siap memberikan padaku sebuah helm yang sedang dipegangnya di tangan.
"Aku naik kendaraan umum aja, mbak. Kasian mas Hanif capek nanti," tolakku halus.
"Nggak capek, Din. Biar lebih cepat sampai di rumah. Kasian Icha nungguin kamu," kata mas Hanif sambil menyerahkan pengaman kepala itu padaku.
"Ya udah kalau gitu aku pamit ya, Mbak." Kupeluk tubuh kakakku erat. Rasanya berat sekali meninggalkan rumah ini dan harus kembali lagi ke rumah tanpa kasih sayang itu bagiku.
"Semangat ya, Din. Mbak yakin kamu bisa atasi semua ini," ucap mbak Santi sambil mengepalkan sebelah tangannya. Aku mengangguk pasti, lalu kemudian mengikuti mas Hanif yang lebih dulu berjalan ke halaman menuju motornya.
.
.
.
Hari sudah menjelang maghrib saat mas Hanif menurunkanku di depan pagar rumah ibu mertuaku. Aku sedikit kaget karena ternyata empat orang penghuninya sedang duduk di teras rumah, sepertinya sengaja menungguku, karena saat aku dan mas Hanif berjalan mendekat, mereka nampak memandangi kami dengan sorot tajam.
"Selamat sore, Bu Lis," sapa mas Hanif dengan sopan pada ibu mertuaku. Namun tak satu pun yang membalas sapaan itu.
"Ooh, jadi ini yang katanya mau jengukin ibunya yang sakit tapi nyatanya malah keyuluran nggak tau kemana? Anaknya ditinggal di rumah nggak terurus dengan orang sakit?"
Kata-kata nyinyiran tak sopan itu keluar dari mulut adik iparku, Dira. Darahku rasanya mendidih mendengarnya.
"Maksud kamu apa, Dir?" tanyaku tak terima. Namun di sampingku, mas Hanif menyentuh lenganku mengisyaratkan untuk diam. Lalu karena tidak ada satupun yang menganggapnya ada, mas Hanif pun segera berpamitan padaku untuk pulang.
Sepeninggal mas Hanif, aku bermaksud masuk ke dalam rumah mencari Icha. Namun mas Bram menahanku di pintu.
"Berani juga kamu pulang, Din? Aku sudah bilang sama kamu untuk pulang pagi-pagi dan kamu abaikan. Istri macam apa kamu?"
Aku pikir tak ada gunanya juga menjelaskan padanya apa yang kulakukan sampai aku tidak menuruti perintahnya untuk pulang tadi pagi. Percuma karena dia tidak akan mungkin mau mengerti.
"Minggir, Mas. Aku mau ketemu Icha," kataku sambil berusaha mendorong tubuh kekarnya yang menghalangi pintu.
"Ingat ya, Din. Ini terakhir kalinya kamu membangkang pada suamimu. Kalau sampai kamu lakukan lagi. Jangan harap kamu bisa ketemu sama Icha," ancamnya.
Aku membelalakkan mata mendengar ancamannya itu. Bukan karena kaget, tapi karena aku lebih merasa seharusnya aku yang menantangnya seperti itu.
"Maksud kamu apa, Mas? Kamu mau pisahin aku sama anakku? Gitu kah?"
"Iya, Icha itu anakku. Aku yang membesarkannya. Kamu nggak ada hak sama sekali untuk membawanya kemana pun," katanya dengan sangat percaya diri.
"Dasar gila kamu, Mas," ujarku sambil berjalan meninggalkannya di ambang pintu.
Di kamarnya, kulihat anakku sedang berbaring memeluk bonekanya. Matanya nampak sembab seperti habis menangis. Melihatku datang, gadis kecil itu segera bangkit dan berlari memelukku erat.
"Ibuuu," panggilnya.
"Icha lagi ngapain di kamar sendiri?" tanyaku dengan gaya khas anak kecil. Dia tak menyahut hanya mengeratkan pelukannya padaku. Lalu kugendong tubuh mungilnya dan kududukkan kembali di atas kasur.
.
.
.
Selepas maghrib aku bermaksud mengambilkan makan malam untuk Icha. Kugandeng tangan mungilnya menuju ruang makan dimana empat orang penghuni lainnya ternyata sedang asik menikmati makan malam tanpa memikirkanku dan anakku sedikit pun.
Ada beberapa plastik di atas meja, tandanya mereka baru saja memesan makanan dari aplikasi online.
"Tuh, Din, lihat! Gara-gara kamu pergi, Bram jadi boros kan, makan saja harus beli. Harusnya kalau kamu di rumah kan bisa lebih irit, masak," celetuk ibu saat melihatku dan anakku muncul di ruang makan.
Kupingku seketika panas mendengar gerutunya.
"Saya ini pergi buat nengok ibu saya, Bu, bukannya maen," timpalku tak terima.
"Nggak maen gimana? Orang tadi pas kita datang mbak Dindanya nggak ada kok. Kakaknya mbak Dinda juga bilang nggak tau mbak Dinda pergi kemana. Masa' kayak gitu nggak keluyuran namanya."
Lina yang sekarang bersuara. Anak ini masih kecil tapi mulutnya juga sudah pedes juga ternyata.
"Iya, aku memang pergi, cari kerjaan," jawabku cuek sambil berjalan menuju dapur, berharap masih ada bahan makanan yang bisa kupakai untuk membuatkan makanan untuk anakku, karena sedari tadi mereka juga tidak menawari kami untuk mengambil makanan yang mereka beli.
"Kamu mau kerja apa, Din? Jangan aneh-aneh!" teriak mas Bram dari ruang makan. Sementara aku mulai sibuk berkutat di dapur. Beruntung masih ada sedikit sayuran untuk membuatkan anakku sup hangat untuk makan malamnya kali ini.
Sedikitpun aku tak berniat menjawab omongan suamiku. Lagi-lagi aku hanya percaya bahwa semakin aku menjelaskan padanya, semakin percuma saja.
Mungkin karena tidak segera mendengar suaraku, mas Bram tiba-tiba sudah ada di dekatku.
"Kamu nyari kerja?" tanyanya singkat.
"Iya, aku nggak mau terus-terusan direndahkan miskin sama kamu, Mas," ujarku sambil terus melakukan aktifitasku tanpa menghiraukannya. Lalu terdengar tawanya menggelegar memenuhi ruangan dapur.
"Memangnya kerja apaan yang bisa bikin kamu kaya mendadak?" katanya dengan nada ejekan.
"Yang jelas bukan meminta-minta, Mas," sahutku.
"Nggak usah macam-macam deh, Din. Tugas kamu itu di rumah aja, ngurusin rumah, masak, bersih-bersih, sama ngurusin Icha."
"Kalau cuma masak sama bersih-bersih kan adik-adikmu sama ibu juga bisa, Mas. Apalagi Ibu sama Dira juga nganggur kan?" protesku.
"Dinda! Kamu makin kurang ajar aja sih sama suami?"
Mas Bram terlihat sangat murka kali ini. Tangannya bahkan sudah terangkat siap untuk memukul hingga membuatku kaget dan hampir menjatuhkan panci yang sedang kugunakan untuk memasak di atas kompor.
"Apa, Mas? Kamu mau pukul aku? Pukul saja, ayo!" tantangku. Tapi dia justru bergeming. "Kenapa diam? Biasanya juga begitu kan? Ayo pukul!" Sekali lagi kuberanikan diri untuk menantangnya. Aku bahkan sudah memejamkan mata. Hanya satu hal dalam pikiranku saat ini. Aku tidak akan diam saja saat nanti terjadi seperti sebelumnya. Kali ini semua perbuatannya akan kujadikan bukti untuk perjuanganku selanjutnya. Karena beberapa saat tak merasakan apa-apa, aku pun membuka mata dan kulihat mas Bram tetap tak bergerak di tempatnya. Namun matanya menatapku sangat tajam. Sepertinya bukan karena kasihan yang membuatnya jadi terdiam sekarang ini, mungkin lebih karena dia kaget, aku yang biasanya ketakutan menghadapinya, kini berbalik menantangnya. "Siapa yang membuatmu jadi seperti ini, hah!" tanyanya kemudian. "Kakakmu atau ibumu yang mengajarimu untuk menentang suami seperti ini? Jawaaabbb!" teriaknya. Aku sudah berniat untuk membalas teriakannya saat tiba-tiba kudengar Icha menangis keras di
"Jadi kamu mau kerja lagi, Din?" tanya Ema saat kemudian akhirnya kami bertemu di sebuah rumah yang yang terlihat sangat bersih dengan halaman lumayan besar di tepi jalan. Beberapa pengasuh nampak sedang sibuk dengan anak-anak di sudut sana sini. Tidak terlalu banyak jumlah anak-anak itu, tapi begitu aku mendudukkan diri di kursi teras dan mulai mengobrol dengan Ema, tak kusangka Icha segera saja berlari untuk berbaur bersama anak-anak yang rata-rata masih berusia di bawah umurnya itu. "Iya, Em. Aku terpaksa harus bekerja lagi karena sepertinya aku tidak akan punya harapan jika terus bergantung pada mas Bram," jelasku setelah menghela nafas berat. "Kamu lagi ada masalah ya sama suamimu?" Ema segera saja tahu apa yang terjadi. Begitulah sahabatku yang satu ini. Kami memang jarang bertemu dan berinteraksi, namun hanya dia satu-satunya sahabat dari SMA yang selalu mengerti keadaanku. Dia paling peka dengan kondisi teman-temannya. "Kamu bener, Em. Tapi maaf ya aku belum bisa cerita s
Bram membanting berkas di tangannya ke atas meja kerjanya dengan kesal. Laporan bulanannya ditolak oleh atasannya dengan alasan yang dia tak mengerti, padahal mati-matian dia sudah mengerjakannya beberapa hari ini dengan timnya. Kekesalannya lengkap sudah saat ditengoknya aplikasi perpesanannya banyak sekali pesan dari ibunya yang belum dia baca. Sewaktu meeting tadi Bram memang sengaja menolak panggilan wanita yang sudah melahirkannya itu berkali-kali sehingga mungkin kemudian bu Lis segera menghujaninya dengan banyak pesan. 'Pasti telah terjadi sesuatu di rumah,' batin Bram menggerutu. Masalah kantornya saja sudah membuatnya pusing hari ini. Mau ditambah apa lagi sekarang? Dihempaskannya tubuh penatnya ke kursi kerja dengan kesal tanpa berniat membaca pesan dari sang ibu. Namun baru saja dia memejamkan mata sejenak untuk menghilangkan kekesalannya, ponselnya tiba-tiba berbunyi lagi. Mata lelaki itu seketika membelalak lebar. "S*al," umpatnya kesal. Dia pikir atasannya yang
Meskipun sedikit kecewa karena ternyata Dira menolak untuk melakukan wawancara dengan perusahan tempatnya bekerja sekarang, namun entah kenapa Dinda begitu yakin bahwa Dira sebenarnya menyesal telah menolak tawaran itu. Saat jam menunjukkan pukul 4 sore, Dinda pun segera bersiap meninggalkan kantor. Hari ini begitu melelahkan baginya, namun tentu saja dia lebih senang berada di kantor ini daripada di rumah yang sudah membuatnya sangat tidak nyaman itu. Dinda juga begitu senang karena pakdhenya terlihat begitu bangga dengan bagaimana cepatnya dia belajar. Mungkin karena semangatnya yang tinggi hingga Dinda begitu rajin di hari pertamanya bekerja. Sebelum meninggalkan kantor, rupanya Dinda sudah punya rencana untuk menemui kakak iparnya. Hanif terlihat masih sibuk merapikan meja kerjanya di ruangan marketing. "Mas Hanif," sapanya sambil melongok di pintu ruangan. "Eh, Din. Udah mau pulang? Tunggu bentar ya aku selesaikan beres-beres dulu. Nanti kuantar pulang," cerocos Hanif mel
"Kalian jangan keterlaluan, aku ini kerja bukannya keluyuran seperti yang kalian tuduhkan itu," kata Dinda emosi. "Kerja apaan emangnya, Mbak? Mana ada sih orang kerja sambil bawa-bawa anak? Jangan ngibul deh," ejek Lina. "Percuma saja ngomong sama kalian. Kalian juga nggak akan ngerti," kata Dinda sambil berlalu meninggalkan tempat itu menuju ke kamar anaknya. Beruntung tadi Ema mengajaknya makan dulu sebelum mengijinkannya pulang. Jadi dia bisa langsung beristirahat menemani Icha setelah ini. Usai membersihkan diri, Dinda langsung menemani anaknya bermain sebentar sebelum akhirnya gadis kecil itu menguap tanda kelelahan dan mengantuk. Tak butuh waktu lama untuk membuat anak itu tidur dalam pelukannya. Karena sudah lama tidak bekerja di luar rumah, Dinda pun jadi ikut tertidur kecapekan di sampingnya. Rasanya baru beberapa menit dia memejamkan mata saat tiba-tiba pintu kamar anaknya diketuk dari luar. "Din, Dinda!" Suara ibu mertua dari luar. Dinda beranjak bangun lalu membuka
Siang itu Dira tiba-tiba panik luar biasa karena tiba-tiba calon suaminya, Denny, sepagian tidak bisa dihubungi. Berkali kali dia mondar-mandir gelisah berkeliling rumah, membuat Ibu dan adiknya yang kebetulan libur kuliah jadi ikut bingung dibuatnya. "Ada apa sih, Mbak?" tanya Lina menghampiri kakaknya. "Denny nih, kenapa ya kok dari pagi nggak bisa dihubungi?" jawab Dira dengan wajah bingung bercampur marah. "Masa sih? Memangnya nggak pamit gitu mau kemana?" "Makanya itu Lin, mbak bingung. Dia nggak ngomong apa-apa sebelumnya. Pesan terakhir yang mbak kirim semalem aja masih centang satu. HPnya nggak aktif sampai sekarang." "Coba hubungi nomer lainnya aja, Mbak." "Nggak ada Lin, nomer dia kan cuma satu." "Kalau gitu nomer keluarganya. Mbak Dira punya kan? Nyimpen kan?" desak sang adik. "Oh iya ya, kok mbak sampai nggak kepikiran sih." Dira menepuk dahinya sendiri karena tak bisa berpikir tenang sejak tadi. Perlahan wanita berambut lurus sebahu itu pun menghubungi satu pe
Sore itu Bram sengaja pulang cepat karena ingin mencari tahu dimana sebenarnya istrinya itu bekerja. Namun saat sampai di rumah, betapa kagetnya lelaki itu karena melihat suasana rumahnya begitu kacau. Ibunya dan adik bungsunya hanya duduk terpaku di sofa ruang tengah tanpa ada yang bicara. Sementara Dira menangis meraung-raung di samping ibunya. "Kalian ini kenapa?" tanya Bram penasaran. Tidak biasanya rumahnya seperti ini saat dia datang. Melihat Bram datang, bu Lis segera menghambur ke anak lelakinya itu dan langsung bersimpuh memeluk kaki tegapnya. "Bram, maafkan adikmu Bram, jangan kamu marahin dia. Ibu juga minta maaf. Ibu benar-benar tidak tahu menahu soal ini," cerocos wanita tua itu penuh sesal sambil mulai sesenggukan. Bram yang kaget dengan tingkah ibunya, langsung saja menarik bahu wanita tua itu untuk diajaknya berdiri. "Ibu ini kenapa sih? Ada orang baru pulang kerja dibuat bingung kayak gini? Kalian ini kenapa sebenarnya?" Mata Bram beralih menatap dua adiknya.
Dinda keheranan malam itu karena tidak biasanya Bram tidak pulang. Ditambah lagi keadaan rumah juga lebih hening. Tak ada suara musik hingar bingar dari kamar Lina, juga teriakan teriakan ibu mertua yang bagi Dinda terkadang memekakkan telinganya. Saat dia pulang sore tadi, ibu Mertua dan adik-adik iparnya itu juga tak terlihat sedang duduk-duduk bergerombol dan melontarkan kata-kata yang tak mengenakkan untuknya seperti biasa saat melihatnya. Benar-benar sangat mengherankan. Dinda bertambah bertanya-tanya saat melihat jam sudah menunjuk pukul 12 malam, tapi mobil Bram belum juga terdengar memasuki halaman rumah. Perlahan Dinda keluar dari kamar anaknya. Dilihatnya tiga pintu kamar para wanita di rumah itu sudah tertutup, kamar Lina bahkan sudah terlihat sangat gelap dari celahnya. Namun kemudian Dinda agak tergelitik saat mendengar ada suara-suara sedikit berisik dari kamar ibu mertuanya. Dengan langkah hati-hati Dinda pun menghampiri pintu yang ternyata tidak sepenuhnya tertutup