"Jadi kamu mau kerja lagi, Din?" tanya Ema saat kemudian akhirnya kami bertemu di sebuah rumah yang yang terlihat sangat bersih dengan halaman lumayan besar di tepi jalan.
Beberapa pengasuh nampak sedang sibuk dengan anak-anak di sudut sana sini. Tidak terlalu banyak jumlah anak-anak itu, tapi begitu aku mendudukkan diri di kursi teras dan mulai mengobrol dengan Ema, tak kusangka Icha segera saja berlari untuk berbaur bersama anak-anak yang rata-rata masih berusia di bawah umurnya itu.
"Iya, Em. Aku terpaksa harus bekerja lagi karena sepertinya aku tidak akan punya harapan jika terus bergantung pada mas Bram," jelasku setelah menghela nafas berat.
"Kamu lagi ada masalah ya sama suamimu?" Ema segera saja tahu apa yang terjadi. Begitulah sahabatku yang satu ini. Kami memang jarang bertemu dan berinteraksi, namun hanya dia satu-satunya sahabat dari SMA yang selalu mengerti keadaanku. Dia paling peka dengan kondisi teman-temannya.
"Kamu bener, Em. Tapi maaf ya aku belum bisa cerita sekarang." Aku menatapnya penuh rasa bersalah.
"Nggak apa-apa, Din. Kita masih punya banyak waktu kok untuk ngobrol lain kali. Jadi jam berapa kamu mau berangkat? Tinggalin saja Icha di sini. Jangan khawatir, aku sendiri yang akan menjaganya untuk kamu," ujarnya dengan senyum tulus.
"Tapi, Em, aku ..." Aku sedikit ragu untuk melanjutkan kalimatku.
"Ada apa?" Kulihat dahi Ema berkerut melihat kebimbanganku.
"Mungkin aku belum bisa membayar biaya penitipannya dalam waktu dekat. Kalau aku bayarnya nanti saat aku sudah ada uang gimana? Apa boleh?" kataku malu-malu. Lalu tiba-tiba terdengar sahabatku itu justru tertawa lebar.
"Em, aku serius ini," kataku lagi.
"Ya Allah, Din. Kamu itu kayak sama siapa aja. Dah lah tenang aja. Tinggalin aja Icha di sini, aku akan jagain dia. Kamu nggak perlu pikirin biayanya. Santai saja," ujarnya
"Tapi Em, aku benar-benar nggak enak nyusahin kamu. Aku janji aku akan bayar nanti setelah aku mendapat gaji." Aku mengacungkan jari telunjuk dan tengahku ke arah sahabatku itu.
"Iya, iyaa, Dinda. Sudah nggak usah di pikirin. Dah sana berangkat. Kalau kamu terlambat kerja nanti malah diomelin sama boss kamu. Buruan sana, serahkan Icha sama aku," katanya.
"Beneran? Ya Allah makasih banget ya, Em. Aku nggak tau mesti ngomong apa?" kataku dengan penuh haru dan segera saja kupeluk sahabatku itu untuk mengungkapkan rasa penuh syukurku.
"Syaratnya satu aja. Nanti pas gajian traktir aku ya?" katanya menggodaku. Tapi itu justru membuatku makin mewek dan mengeratkan pelukanku padanya.
"Udah lepasin, aku nggak bisa nafas nih, Din." Dia malah mendorong tubuhku menjauh sambil berpura-pura sesak nafas karena tercekik.
"Ih apaan sih, Em." Seketika aku cemberut melihat tingkahnya.
"Dah sana berangkat! Hati hati ya?"
"Iya, Em, makasih ya sekali lagi."
Setelah berpamitan dengan Icha dan para embak yang kebetulan sedang ada di sekitar teras, aku pun segera meninggalkan rumah itu dengan penuh semangat. Ya Allah, terima kasih karena ternyata segala sesuatunya engkau lancarkan sampai di sini.
.
.
.
Jam telah menunjuk pukul 10 pagi saat aku sampai di kantor Pakdhe Arno. Mas Hanif rupanya sudah sampai di kantor dan sedikit kaget melihatku datang. Dia pun langsung menghampiriku di lobby.
"Din, kamu masuk?" tanyanya keheranan. "Icha mana?" Dia terlihat celingukan.
"Aku titipin di tempat penitipan anak, Mas."
"Lhoh, kenapa dititipin di tempat seperti itu? Nggak langsung aja kamu antar ke rumah tadi? Kan ada budhenya yang bisa jagain?" Mas Hanif nampak sedikit gusar mendengar aku menitipkan Icha tidak pada mbak Santi.
"Aku nggak enak sama mbak Santi, Mas. Kasian ibu juga nanti kalau mas Bram dan keluarganya datang untuk mengambil Icha lagi," kataku dengan nada sesal.
"Jadi Bram nggak setuju kamu kerja lagi?" Mas Hanif langsung bisa menebak kemana arah kalimatku.
"Iya, Mas. Dia nggak ngijinin."
"Trus kenapa kamu nekat?" tanya mas Hanif penuh keprihatinan.
"Aku terpaksa, Mas. Nggak bisa aku terus-terusan seperti ini. Aku harus mandiri."
Terdengar mas Hanif menghela nafas berat.
"Ya udah kalau gitu. Yuk ikut aku, sebentar lagi ada briefing. Pakdhe juga datangnya agak siangan hari ini katanya. Tadi dia nelpon aku."
"Ooh gitu, ya Mas."
Aku pun segera mengikuti mas Hanif menuju ruangan untuk briefing.
.
.
.
Usai briefing pagi itu, Pak Thomas menugaskanku ke ruangan HRD. Katanya hari ini aku disuruh belajar di bagian perekrutan karyawan.
Lalu aku pun segera menuju ke ruang Bu Intan sebagai kepala HRD di kantor itu.
"Bu Dinda, Silahkan duduk," sapa wanita yang sudah berumur tapi masih terlihat sangat cantik dan elegan itu saat melihatku datang. Aku pun segera menempatkan diri di kursi di depannya.
"Ini beberapa berkas aplikan yang perlu kita pilih untuk dipanggil wawancara, Bu. Bu Dinda siap?" tanyanya.
"Siap, Bu." Aku mengangguk pasti.
"Baiklah. Kita masih perlu beberapa staf untuk masing-masing departemen. Silahkan Bu Dinda baca-baca dulu semua berkas aplikannya. Jika ada yang kira-kira menarik minat Bu Dinda bisa ajukan ke saya. Nanti kita bahas bersama soal kelayakannya."
"Baik, Bu," kataku patuh.
Setelah melihat Bu Intan kembali sibuk ke layar laptopnya, aku pun segera mengamati satu per satu tumpukan berkas yang ada di atas meja depanku. Aku sedikit takjub karena ternyata antusias pelamar juga sangat banyak untuk perusahaan cabang ini.
"Lumayan juga ya Bu yang melamar," celetukku.
"Itu belum seberapa, Bu Dinda. Berkas itu sudah saya sortir. Mereka kan melamarnya via online, jadi yang tidak layak langsung saya singkirkan, sementara yang ada di depan Bu dinda itu setidaknya pendidikannya sudah memenuhi syarat. Tinggal kita lihat saja pengalaman kerjanya," jelas wanita cantik berusia 40 tahunan itu.
"Ooh begitu, baiklah saya coba baca-baca dulu, Bu"
Bu Intan melempar senyum manisnya padaku sebelum akhirnya kami kembali ke kesibukan masing-masing.
Mungkin ada sekitar satu jam aku membaca satu per satu berkas, saat tiba-tiba pandanganku terpaku pada sebuah berkas yang membuatku membelalakkan mata.
Dira Kirana Salsabila, nama salah seorang Pelamar yang membuatku sangat kaget. Sarjana Ekonomi yang melamar staf bagian administrasi.
Dira? Dahiku berkerut parah.
"Ada apa, bu Dinda?" Bu Intan rupanya melihat perubahan raut mukaku hingga kemudian dia bertanya.
"Eee, enggak, Bu. Ini, kalau ini bagaimana?" Aku menyodorkan berkas Dira pada Bu Intan. Lalu wanita itu mengamati dan membacanya sekilas.
"Pengalamannya belum ada, tapi staf administrasi di sini tidak memerlukan qualifikasi yang rumit sih, jadi bisa dipertimbangkan. Tinggal nanti dia bisa bersaing nggak dengan yang lainnya saat wawancara. Kita bisa lihat nanti bagaimana performanya," jelas Bu Intan. Aku mengembangkan senyum mendengar itu.
Entahlah, kenapa tiba-tiba aku lega mendengar kalimat Bu Intan. Kayaknya boleh juga jika Dira dipanggil untuk wawancara di tempat ini. Ada kalanya seseorang harus diberi pelajaran untuk kesombongannya biar dia bisa belajar menghargai orang.
Bram membanting berkas di tangannya ke atas meja kerjanya dengan kesal. Laporan bulanannya ditolak oleh atasannya dengan alasan yang dia tak mengerti, padahal mati-matian dia sudah mengerjakannya beberapa hari ini dengan timnya. Kekesalannya lengkap sudah saat ditengoknya aplikasi perpesanannya banyak sekali pesan dari ibunya yang belum dia baca. Sewaktu meeting tadi Bram memang sengaja menolak panggilan wanita yang sudah melahirkannya itu berkali-kali sehingga mungkin kemudian bu Lis segera menghujaninya dengan banyak pesan. 'Pasti telah terjadi sesuatu di rumah,' batin Bram menggerutu. Masalah kantornya saja sudah membuatnya pusing hari ini. Mau ditambah apa lagi sekarang? Dihempaskannya tubuh penatnya ke kursi kerja dengan kesal tanpa berniat membaca pesan dari sang ibu. Namun baru saja dia memejamkan mata sejenak untuk menghilangkan kekesalannya, ponselnya tiba-tiba berbunyi lagi. Mata lelaki itu seketika membelalak lebar. "S*al," umpatnya kesal. Dia pikir atasannya yang
Meskipun sedikit kecewa karena ternyata Dira menolak untuk melakukan wawancara dengan perusahan tempatnya bekerja sekarang, namun entah kenapa Dinda begitu yakin bahwa Dira sebenarnya menyesal telah menolak tawaran itu. Saat jam menunjukkan pukul 4 sore, Dinda pun segera bersiap meninggalkan kantor. Hari ini begitu melelahkan baginya, namun tentu saja dia lebih senang berada di kantor ini daripada di rumah yang sudah membuatnya sangat tidak nyaman itu. Dinda juga begitu senang karena pakdhenya terlihat begitu bangga dengan bagaimana cepatnya dia belajar. Mungkin karena semangatnya yang tinggi hingga Dinda begitu rajin di hari pertamanya bekerja. Sebelum meninggalkan kantor, rupanya Dinda sudah punya rencana untuk menemui kakak iparnya. Hanif terlihat masih sibuk merapikan meja kerjanya di ruangan marketing. "Mas Hanif," sapanya sambil melongok di pintu ruangan. "Eh, Din. Udah mau pulang? Tunggu bentar ya aku selesaikan beres-beres dulu. Nanti kuantar pulang," cerocos Hanif mel
"Kalian jangan keterlaluan, aku ini kerja bukannya keluyuran seperti yang kalian tuduhkan itu," kata Dinda emosi. "Kerja apaan emangnya, Mbak? Mana ada sih orang kerja sambil bawa-bawa anak? Jangan ngibul deh," ejek Lina. "Percuma saja ngomong sama kalian. Kalian juga nggak akan ngerti," kata Dinda sambil berlalu meninggalkan tempat itu menuju ke kamar anaknya. Beruntung tadi Ema mengajaknya makan dulu sebelum mengijinkannya pulang. Jadi dia bisa langsung beristirahat menemani Icha setelah ini. Usai membersihkan diri, Dinda langsung menemani anaknya bermain sebentar sebelum akhirnya gadis kecil itu menguap tanda kelelahan dan mengantuk. Tak butuh waktu lama untuk membuat anak itu tidur dalam pelukannya. Karena sudah lama tidak bekerja di luar rumah, Dinda pun jadi ikut tertidur kecapekan di sampingnya. Rasanya baru beberapa menit dia memejamkan mata saat tiba-tiba pintu kamar anaknya diketuk dari luar. "Din, Dinda!" Suara ibu mertua dari luar. Dinda beranjak bangun lalu membuka
Siang itu Dira tiba-tiba panik luar biasa karena tiba-tiba calon suaminya, Denny, sepagian tidak bisa dihubungi. Berkali kali dia mondar-mandir gelisah berkeliling rumah, membuat Ibu dan adiknya yang kebetulan libur kuliah jadi ikut bingung dibuatnya. "Ada apa sih, Mbak?" tanya Lina menghampiri kakaknya. "Denny nih, kenapa ya kok dari pagi nggak bisa dihubungi?" jawab Dira dengan wajah bingung bercampur marah. "Masa sih? Memangnya nggak pamit gitu mau kemana?" "Makanya itu Lin, mbak bingung. Dia nggak ngomong apa-apa sebelumnya. Pesan terakhir yang mbak kirim semalem aja masih centang satu. HPnya nggak aktif sampai sekarang." "Coba hubungi nomer lainnya aja, Mbak." "Nggak ada Lin, nomer dia kan cuma satu." "Kalau gitu nomer keluarganya. Mbak Dira punya kan? Nyimpen kan?" desak sang adik. "Oh iya ya, kok mbak sampai nggak kepikiran sih." Dira menepuk dahinya sendiri karena tak bisa berpikir tenang sejak tadi. Perlahan wanita berambut lurus sebahu itu pun menghubungi satu pe
Sore itu Bram sengaja pulang cepat karena ingin mencari tahu dimana sebenarnya istrinya itu bekerja. Namun saat sampai di rumah, betapa kagetnya lelaki itu karena melihat suasana rumahnya begitu kacau. Ibunya dan adik bungsunya hanya duduk terpaku di sofa ruang tengah tanpa ada yang bicara. Sementara Dira menangis meraung-raung di samping ibunya. "Kalian ini kenapa?" tanya Bram penasaran. Tidak biasanya rumahnya seperti ini saat dia datang. Melihat Bram datang, bu Lis segera menghambur ke anak lelakinya itu dan langsung bersimpuh memeluk kaki tegapnya. "Bram, maafkan adikmu Bram, jangan kamu marahin dia. Ibu juga minta maaf. Ibu benar-benar tidak tahu menahu soal ini," cerocos wanita tua itu penuh sesal sambil mulai sesenggukan. Bram yang kaget dengan tingkah ibunya, langsung saja menarik bahu wanita tua itu untuk diajaknya berdiri. "Ibu ini kenapa sih? Ada orang baru pulang kerja dibuat bingung kayak gini? Kalian ini kenapa sebenarnya?" Mata Bram beralih menatap dua adiknya.
Dinda keheranan malam itu karena tidak biasanya Bram tidak pulang. Ditambah lagi keadaan rumah juga lebih hening. Tak ada suara musik hingar bingar dari kamar Lina, juga teriakan teriakan ibu mertua yang bagi Dinda terkadang memekakkan telinganya. Saat dia pulang sore tadi, ibu Mertua dan adik-adik iparnya itu juga tak terlihat sedang duduk-duduk bergerombol dan melontarkan kata-kata yang tak mengenakkan untuknya seperti biasa saat melihatnya. Benar-benar sangat mengherankan. Dinda bertambah bertanya-tanya saat melihat jam sudah menunjuk pukul 12 malam, tapi mobil Bram belum juga terdengar memasuki halaman rumah. Perlahan Dinda keluar dari kamar anaknya. Dilihatnya tiga pintu kamar para wanita di rumah itu sudah tertutup, kamar Lina bahkan sudah terlihat sangat gelap dari celahnya. Namun kemudian Dinda agak tergelitik saat mendengar ada suara-suara sedikit berisik dari kamar ibu mertuanya. Dengan langkah hati-hati Dinda pun menghampiri pintu yang ternyata tidak sepenuhnya tertutup
Aku baru saja kembali ke ruanganku dari ruang HRD saat mendengar ponsel di atas mejaku berbunyi. Nama mas Bram yang muncul di layar itu. Ada apa? Apa suamiku itu sudah pulang? "Assalamu'alaikum, Mas," sapaku datar. "Din, kamu dimana? Bilang!" "Lhoh aku kerja, Mas. Ada apa sih?" "Sudah bilang saja kamu kerja dimana? Aku jemput sekarang," ujarnya dengan nada memerintah. "Jemput sekarang? Memangnya mas nggak kerja?" tanyaku keheranan. "Kok malah kamu balik nanya? Tinggal bilang aja kau dimana sekarang. Cepat bilang!" "Nggak bisa, Mas. Aku masih kerja. Aku ngga bisa keluar seenaknya." "Din! Jangan bikin aku marah ya. Aku sudah banyak banget masalah sekarang. Jangan kamu nambah-nambahin lagi. Buruan ngomong kamu dimana!" "Maaf mas, aku ngga bisa." Tak menunggu lama, aku pun segera menutup sambungan telepon di ponselku. "Kenapa, Din?" Aku kaget saat tiba-tiba saja pakdhe sudah ada di belakangku saat aku sedang meletakkan kembali ponselku di meja. "Eh, maaf, sampai nggak tau kalau
Usai menjemput Icha sore itu aku mampir sebentar ke sebuah rumah makan membeli beberapa bungkus makanan untuk orang-orang di rumah. Tak apalah sekali-kali biar mereka sadar wanita seperti apa yang sering mereka anggap sampah di rumah mereka ini. Saat menginjakkan kaki di halaman rumah, masih belum kulihat juga mobil mas Bram di sana. Refleks kuambil ponsel dari dalam tasku. Pesan terakhirku padanya pun ternyata masih checklist satu. Berarti ponsel mas Bram belum aktif sampai saat ini. Kemana sebenarnya suamiku itu? "Bawa apa kamu?" tanya ibu mertua saat melihatku meletakkan plastik belanjaanku di atas meja makan. "Nasi Padang. Makan aja kalau ibu dan anak-anak ibu lapar," kataku cuek sambil berlalu meninggalkan ruang makan. "Tumben," celetuk ibu masih bisa kudengar meskipun aku sudah hampir mencapai kamar Icha. Hmmm, memang bener-bener orang yang keterlaluan, batinku. Setelah membersihkan diri, aku pun mengajak Icha keluar kamar dan langsung menuju ruang makan untuk makan malam