Meskipun sedikit kecewa karena ternyata Dira menolak untuk melakukan wawancara dengan perusahan tempatnya bekerja sekarang, namun entah kenapa Dinda begitu yakin bahwa Dira sebenarnya menyesal telah menolak tawaran itu. Saat jam menunjukkan pukul 4 sore, Dinda pun segera bersiap meninggalkan kantor. Hari ini begitu melelahkan baginya, namun tentu saja dia lebih senang berada di kantor ini daripada di rumah yang sudah membuatnya sangat tidak nyaman itu. Dinda juga begitu senang karena pakdhenya terlihat begitu bangga dengan bagaimana cepatnya dia belajar. Mungkin karena semangatnya yang tinggi hingga Dinda begitu rajin di hari pertamanya bekerja. Sebelum meninggalkan kantor, rupanya Dinda sudah punya rencana untuk menemui kakak iparnya. Hanif terlihat masih sibuk merapikan meja kerjanya di ruangan marketing. "Mas Hanif," sapanya sambil melongok di pintu ruangan. "Eh, Din. Udah mau pulang? Tunggu bentar ya aku selesaikan beres-beres dulu. Nanti kuantar pulang," cerocos Hanif mel
"Kalian jangan keterlaluan, aku ini kerja bukannya keluyuran seperti yang kalian tuduhkan itu," kata Dinda emosi. "Kerja apaan emangnya, Mbak? Mana ada sih orang kerja sambil bawa-bawa anak? Jangan ngibul deh," ejek Lina. "Percuma saja ngomong sama kalian. Kalian juga nggak akan ngerti," kata Dinda sambil berlalu meninggalkan tempat itu menuju ke kamar anaknya. Beruntung tadi Ema mengajaknya makan dulu sebelum mengijinkannya pulang. Jadi dia bisa langsung beristirahat menemani Icha setelah ini. Usai membersihkan diri, Dinda langsung menemani anaknya bermain sebentar sebelum akhirnya gadis kecil itu menguap tanda kelelahan dan mengantuk. Tak butuh waktu lama untuk membuat anak itu tidur dalam pelukannya. Karena sudah lama tidak bekerja di luar rumah, Dinda pun jadi ikut tertidur kecapekan di sampingnya. Rasanya baru beberapa menit dia memejamkan mata saat tiba-tiba pintu kamar anaknya diketuk dari luar. "Din, Dinda!" Suara ibu mertua dari luar. Dinda beranjak bangun lalu membuka
Siang itu Dira tiba-tiba panik luar biasa karena tiba-tiba calon suaminya, Denny, sepagian tidak bisa dihubungi. Berkali kali dia mondar-mandir gelisah berkeliling rumah, membuat Ibu dan adiknya yang kebetulan libur kuliah jadi ikut bingung dibuatnya. "Ada apa sih, Mbak?" tanya Lina menghampiri kakaknya. "Denny nih, kenapa ya kok dari pagi nggak bisa dihubungi?" jawab Dira dengan wajah bingung bercampur marah. "Masa sih? Memangnya nggak pamit gitu mau kemana?" "Makanya itu Lin, mbak bingung. Dia nggak ngomong apa-apa sebelumnya. Pesan terakhir yang mbak kirim semalem aja masih centang satu. HPnya nggak aktif sampai sekarang." "Coba hubungi nomer lainnya aja, Mbak." "Nggak ada Lin, nomer dia kan cuma satu." "Kalau gitu nomer keluarganya. Mbak Dira punya kan? Nyimpen kan?" desak sang adik. "Oh iya ya, kok mbak sampai nggak kepikiran sih." Dira menepuk dahinya sendiri karena tak bisa berpikir tenang sejak tadi. Perlahan wanita berambut lurus sebahu itu pun menghubungi satu pe
Sore itu Bram sengaja pulang cepat karena ingin mencari tahu dimana sebenarnya istrinya itu bekerja. Namun saat sampai di rumah, betapa kagetnya lelaki itu karena melihat suasana rumahnya begitu kacau. Ibunya dan adik bungsunya hanya duduk terpaku di sofa ruang tengah tanpa ada yang bicara. Sementara Dira menangis meraung-raung di samping ibunya. "Kalian ini kenapa?" tanya Bram penasaran. Tidak biasanya rumahnya seperti ini saat dia datang. Melihat Bram datang, bu Lis segera menghambur ke anak lelakinya itu dan langsung bersimpuh memeluk kaki tegapnya. "Bram, maafkan adikmu Bram, jangan kamu marahin dia. Ibu juga minta maaf. Ibu benar-benar tidak tahu menahu soal ini," cerocos wanita tua itu penuh sesal sambil mulai sesenggukan. Bram yang kaget dengan tingkah ibunya, langsung saja menarik bahu wanita tua itu untuk diajaknya berdiri. "Ibu ini kenapa sih? Ada orang baru pulang kerja dibuat bingung kayak gini? Kalian ini kenapa sebenarnya?" Mata Bram beralih menatap dua adiknya.
Dinda keheranan malam itu karena tidak biasanya Bram tidak pulang. Ditambah lagi keadaan rumah juga lebih hening. Tak ada suara musik hingar bingar dari kamar Lina, juga teriakan teriakan ibu mertua yang bagi Dinda terkadang memekakkan telinganya. Saat dia pulang sore tadi, ibu Mertua dan adik-adik iparnya itu juga tak terlihat sedang duduk-duduk bergerombol dan melontarkan kata-kata yang tak mengenakkan untuknya seperti biasa saat melihatnya. Benar-benar sangat mengherankan. Dinda bertambah bertanya-tanya saat melihat jam sudah menunjuk pukul 12 malam, tapi mobil Bram belum juga terdengar memasuki halaman rumah. Perlahan Dinda keluar dari kamar anaknya. Dilihatnya tiga pintu kamar para wanita di rumah itu sudah tertutup, kamar Lina bahkan sudah terlihat sangat gelap dari celahnya. Namun kemudian Dinda agak tergelitik saat mendengar ada suara-suara sedikit berisik dari kamar ibu mertuanya. Dengan langkah hati-hati Dinda pun menghampiri pintu yang ternyata tidak sepenuhnya tertutup
Aku baru saja kembali ke ruanganku dari ruang HRD saat mendengar ponsel di atas mejaku berbunyi. Nama mas Bram yang muncul di layar itu. Ada apa? Apa suamiku itu sudah pulang? "Assalamu'alaikum, Mas," sapaku datar. "Din, kamu dimana? Bilang!" "Lhoh aku kerja, Mas. Ada apa sih?" "Sudah bilang saja kamu kerja dimana? Aku jemput sekarang," ujarnya dengan nada memerintah. "Jemput sekarang? Memangnya mas nggak kerja?" tanyaku keheranan. "Kok malah kamu balik nanya? Tinggal bilang aja kau dimana sekarang. Cepat bilang!" "Nggak bisa, Mas. Aku masih kerja. Aku ngga bisa keluar seenaknya." "Din! Jangan bikin aku marah ya. Aku sudah banyak banget masalah sekarang. Jangan kamu nambah-nambahin lagi. Buruan ngomong kamu dimana!" "Maaf mas, aku ngga bisa." Tak menunggu lama, aku pun segera menutup sambungan telepon di ponselku. "Kenapa, Din?" Aku kaget saat tiba-tiba saja pakdhe sudah ada di belakangku saat aku sedang meletakkan kembali ponselku di meja. "Eh, maaf, sampai nggak tau kalau
Usai menjemput Icha sore itu aku mampir sebentar ke sebuah rumah makan membeli beberapa bungkus makanan untuk orang-orang di rumah. Tak apalah sekali-kali biar mereka sadar wanita seperti apa yang sering mereka anggap sampah di rumah mereka ini. Saat menginjakkan kaki di halaman rumah, masih belum kulihat juga mobil mas Bram di sana. Refleks kuambil ponsel dari dalam tasku. Pesan terakhirku padanya pun ternyata masih checklist satu. Berarti ponsel mas Bram belum aktif sampai saat ini. Kemana sebenarnya suamiku itu? "Bawa apa kamu?" tanya ibu mertua saat melihatku meletakkan plastik belanjaanku di atas meja makan. "Nasi Padang. Makan aja kalau ibu dan anak-anak ibu lapar," kataku cuek sambil berlalu meninggalkan ruang makan. "Tumben," celetuk ibu masih bisa kudengar meskipun aku sudah hampir mencapai kamar Icha. Hmmm, memang bener-bener orang yang keterlaluan, batinku. Setelah membersihkan diri, aku pun mengajak Icha keluar kamar dan langsung menuju ruang makan untuk makan malam
Meskipun mas Bram semalam bilang dia tetap tidak setuju aku bekerja, namun entah kenapa pagi ini dia justru berangkat sangat awal. Bahkan saat aku baru membuka mata, dia terlihat sudah bersiap-siap untuk berangkat. "Kok udah siap jam segini, Mas? Mau kemana?" tanyaku penasaran. "Mau nyari orang," sahutnya cepat sambil merapatkan jaket ke tubuhnya. "Nyari orang?" Dahiku sontak berkerut. "Kamu nggak tau? Si Denny pergi gitu aja ninggalin Dira? Kurang ajar orang itu!" katanya geram. Tatapan matanya memandangku jengah seolah sedang menuduhku tak peduli dengan keluarganya. "Aku sudah tanya ke adik-adikmu apa yang terjadi, tapi mereka sepertinya nggak suka aku tanya-tanya, Mas. Malah aku dibilang kepo katanya," protesku menanggapi ketidaksukaannya dengan sikap cuekku. Lalu terdengar helaan nafas beratnya. "Nggak sarapan dulu, Mas?" tanyaku sebelum melihatnya keluar kamar. "Nggak usah," jawabnya cepat. Lalu berlalu begitu saja meninggalkanku tanpa pamit. Begitulah mas Bram. Ter