Gemericik air terjun menenggelamkan pemikiran Ajiseka di dalam meditasi, begitu khusyuk, sekalipun suhu dingin yang dirasakan sampai menusuk tulang. Namun, seiring berjalannya waktu Ajiseka mulai terbiasa dan mampu menguasai keadaan, hingga akhirnya ia benar-benar menyelami telaga yang dimaksud oleh roh Nogoweling. Sungguh penyelaman panjang yang mendebarkan, tak terukur seberapa dalam telaga yang ia Selami, pasalnya Ajiseka sendiri merasakan adanya perubahan suhu di kedalaman telaga itu.Hingga akhirnya, kepala Ajiseka menyembul ke permukaan air, ia pun bergegas menepi. Perjalanan itu membuat nafas Ajiseka tersengal-sengal. Tidak seperti dahulu saat ia bertarung dengan Surodono si siluman buaya buntung yang ia kalahkan.“Sekali dayung dua pulau terlewati bukan?”Ajiseka menoleh, mencari sumber suara yang terdengar lirih di telinganya. Tidak ada siapa-siapa di tempat itu, tetapi suara pelan yang ia dengar cukup jelas di Indera pendengarannya. Ajiseka lantas berjalan dan menelisik seke
“Anak manusia! Ingatlah pesanku dahulu ketika kau datang dan mengambil mustika bening dari cangkangnya.” tiba-tiba Tirta Wani menimpali perbincangan Ajiseka dan Kumbolo. Putri Raja Tirta Dunya yang memiliki watak keras, tetapi memiliki misi yang sama seperti Ajiseka. Bahkan, Tirta Wani pernah berjanji akan memburu Ajiseka jika pemuda itu lalai.“Sampai saat ini aku masih mengingatnya, Mbakyu... Tenanglah...” jawab Ajiseka.“Pergilah dan jangan harap tugasmu berakhir. Bahkan, sampai akhir hayatmu tugas itu masih harus kau pikul.” ujar Tirta Wani lagi.Ajiseka mengangguk, lalu pergi meninggalkan istana Raja Tirta Dunya dan melakukan perjalanan menuju gunung berapi di wilayah Selatan. Suhu yang dingin tidak lagi berarti untuknya, terlebih lagi Kumbolo sudah membersamainya. Ya! Tidak seperti sewaktu berangkat yang mengandalkan dirinya sendiri, sebab Kumbolo sudah menunggu di Istananya.Kecipak air menandai munculnya Ajiseka di danau kecil atau telaga tempat asal roh Nogoweling. Rupanya di
Gemericik air mengalir tepat di tempat bertemunya dua jalur anak sungai di wilayah keraton Setyaloka. Antara gaib dan kehidupan nyata yang jauh sebelum terjadinya Punden. Di tempat itulah Ajiseka mengenal dirinya sendiri dan memahami makna kehidupan yang sebenarnya.Hal lainnya, semakin dalam ia tenggelam di dalam meditasi, yang ia dapat adalah welas asih. Rasa terhadap sesama makhluk, baik alam nyata maupun gaib. Dan tentunya ada takaran tersendiri untuk makhluk gaib, sebab ada tipu daya yang harus diperhitungkan manakala berhadapan dengannya.Semakin dalam ia terlarut dan bayangan orang-orang yang tewas tanpa usaha menyadarkan terlebih dahulu membuat Ajiseka menitikkan air matanya. Sesal karna khilaf dan hawa nafsu yang di barengi dengan sikap jemawanya telah merenggut orang yang kebanyakan menjadi tulang punggung keluarganya. Tetapi semua itu sudah terjadi, dan yang bisa Ajiseka lakukan hanya melangitkan doa untuk mereka.“Sudahi air matamu, Nak? Semua itu sudah di gariskan. Tidak
Senja di Wono wetan, mengantarkan bahagia untuk keluarga Danuseka. Kini keluarga itu telah utuh seperti sepuluh tahun yang lalu. Namun, Ajiseka tidak serta Merta berdiam diri di rumahnya.Bahkan, sehari setelah berkumpul dengan keluarganya Ajiseka sudah bersiap pergi ke danau tepi barat. Tempat keturunan silang siluman ikan dan manusia bersemayam. Danau berkabut, tempat yang sangat mengerikan untuk orang-orang yang memiliki linuwih, sebab dengan adanya kabut yang tidak wajar itu menandakan jika tempat itu dihuni oleh makhluk yang memiliki kekuatan besar.Ajiseka berdiri di atas tebing, memantau aktivitas di wilayah danau. Sayang, pandangannya tidak mampu menembus pekatnya kabut yang menyelimuti permukaan air. Hal itu membuat rasa penasaran Ajiseka memuncak, yang akhirnya ia memutuskan untuk menelisik lebih jauh lewat jalur air, artinya Ajiseka akan melakukan penyelaman di dalam air danau berkabut itu.“Ajiseka, jika kau berhasil masuk ambillah lempengan kuning yang berbentuk ikan. Rom
Riuh cicit yang lebih mirip suara kelelawar terdengar nyaring dari mulut puluhan siluman ikan yang seluruhnya berkumpul di permukaan air danau. Mengambang dan menatap aneh kepada Ajiseka, raut beringas dan seolah tidak sabar ingin merajam tubuh manusia di depannya. Bahkan, saat mereka menyeringai dan memamerkan gigi yang lebih mirip mata gergaji, lelehan liur kental turut membanjiri bibirnya.Binatang air berbentuk panjang, dengan tubuhnya yang pipih, dan berkepala manusia itu sama Persis dengan induknya, Duripati. Berbeda dengan pemuda tampan yang memimpinnya, tubuhnya hampir sempurna seperti layaknya manusia. Yang membedakan hanya bagian dada yang sedikit pipih dan cuping telinga yang meruncing, jika ia mengenakan pakaian kemungkinan besar perbedaan itu akan tersamarkan.Sedangkan kabut tebal di wilayah danau tepi barat mulai memudar seiring keluarnya pemuda tampan itu dari kedalaman air. Namun, hal lain terjadi, air bergolak memutar tepat di bawahnya. Sehingga tercipta pemandangan
Tebing yang berdiri megah membentengi danau tepi barat luluh lantak akibat pertarungan sengit yang terjadi antara Ajiseka dan titisan iblis yang bernaung di tubuh pemuda siluman danau. Beruntung seluruh kekuatan Ajiseka yang sebelum menjalani perjalanan di Setyaloka masih samar, kini sudah sepenuhnya ia kuasai. Bahkan, gaya bertarungnya pun sudah jauh berbeda, rupanya apa yang dimiliki Ajiseka lebih cenderung ke jalur kebatinan.Sangat jauh berbeda dari sebelumnya yang mengandalkan kekuatan tubuhnya. Sekarang ia tidak banyak bergerak untuk mengunci atau menyerang lawannya. Sayang, lawan yang di hadapi bukanlah siluman yang biasa.Kekuatan iblis lebih mendominasi di tubuh pemuda tampan itu. Tidak heran jika lokasi pertarungan menjadi kacau akibat hempasan energi besar yang di keluarkan oleh keduanya. Bahkan, Ajiseka sudah meminta Gaharu untuk pergi menjauh dari wilayah danau tepi barat.Bukan tanpa sebab Ajiseka meminta siluman elang itu pergi. Pasalnya, di samping ia terluka akibat te
Hari mulai senja, tetapi pertarungan masih saja belum berakhir. Bahkan, Ajiseka dan siluman air kini menghilang di kedalaman Danau. Akibatnya air bergolak hebat, dan bangkai siluman air yang siang tadi tewas berhamburan keluar dari dasar Danau.Jasad siluman itu tidak seperti Duripati yang menjadi lempengan kuning dan bisa ditempati oleh ilmu yang dimilikinya semasa hidup. Sebab selain pemuda tampan titisan iblis, anak-anak Duripati belum memiliki kekuatan yang mumpuni. Mereka masih layaknya binatang biasa tetapi memiliki bentuk aneh dan tabiat yang berbeda saja.Danau yang semula bergolak pada akhirnya berputar kencang dan membentuk pusaran yang menganga lebar. Bahkan, saking lebarnya lubang yang tercipta, orang-orang dapat melihat keadaan di dasar danau. Tulang belulang terlihat jelas, sungguh kondisi yang sangat memprihatinkan, sebab jumlah yang terlihat begitu banyak.Danuseka terhenyak, ia tidak menduga jika danau tepi barat menjadi lokasi yang sedemikian mengerikan. Dan sayangny
Raja Tirta Dunya membisiki Ajiseka agar keluar dari pusaran air Danau, hal itu di lakukan karena tidak adanya pengawasan dari pihak lain. Sedangkan pemuda siluman ikan titisan iblis itu bukanlah lawan yang tepat untuk Ajiseka. Tentu raja Tirta Dunya sudah mempertimbangkan dan menelisik seberapa kuat kekuatan iblis yang berada ditubuh pemuda siluman itu.Sesaat setelah mendapat bisikan, Ajiseka langsung melesat ke daratan. Seketika pusaran air itu pudar dan beradu, akibatnya gelombang air yang cukup tinggi menyembur hampir setinggi tebing. Tidak lama setelah aktivitas air mereda pemuda siluman pun turut melesat ke atas menusuk Ajiseka.“Banyu Panguripan, ijinkan ibu melengkapi kekuatan yang ada di tubuhmu,” ujar Dewi Panguripan kepada Ajiseka.“Maksud Kanjeng Ibu?” jawab Ajiseka. Dirinya merasa kebingungan dengan maksud melengkapi yang di lontarkan oleh Ibu angkatnya.“Ibu harus merasuk dan melengkapi kekuatan yang kamu miliki. Sebentar lagi gelap dan Ibu yakin iblis itu akan mengumpul