Gemericik air mengalir tepat di tempat bertemunya dua jalur anak sungai di wilayah keraton Setyaloka. Antara gaib dan kehidupan nyata yang jauh sebelum terjadinya Punden. Di tempat itulah Ajiseka mengenal dirinya sendiri dan memahami makna kehidupan yang sebenarnya.Hal lainnya, semakin dalam ia tenggelam di dalam meditasi, yang ia dapat adalah welas asih. Rasa terhadap sesama makhluk, baik alam nyata maupun gaib. Dan tentunya ada takaran tersendiri untuk makhluk gaib, sebab ada tipu daya yang harus diperhitungkan manakala berhadapan dengannya.Semakin dalam ia terlarut dan bayangan orang-orang yang tewas tanpa usaha menyadarkan terlebih dahulu membuat Ajiseka menitikkan air matanya. Sesal karna khilaf dan hawa nafsu yang di barengi dengan sikap jemawanya telah merenggut orang yang kebanyakan menjadi tulang punggung keluarganya. Tetapi semua itu sudah terjadi, dan yang bisa Ajiseka lakukan hanya melangitkan doa untuk mereka.“Sudahi air matamu, Nak? Semua itu sudah di gariskan. Tidak
Senja di Wono wetan, mengantarkan bahagia untuk keluarga Danuseka. Kini keluarga itu telah utuh seperti sepuluh tahun yang lalu. Namun, Ajiseka tidak serta Merta berdiam diri di rumahnya.Bahkan, sehari setelah berkumpul dengan keluarganya Ajiseka sudah bersiap pergi ke danau tepi barat. Tempat keturunan silang siluman ikan dan manusia bersemayam. Danau berkabut, tempat yang sangat mengerikan untuk orang-orang yang memiliki linuwih, sebab dengan adanya kabut yang tidak wajar itu menandakan jika tempat itu dihuni oleh makhluk yang memiliki kekuatan besar.Ajiseka berdiri di atas tebing, memantau aktivitas di wilayah danau. Sayang, pandangannya tidak mampu menembus pekatnya kabut yang menyelimuti permukaan air. Hal itu membuat rasa penasaran Ajiseka memuncak, yang akhirnya ia memutuskan untuk menelisik lebih jauh lewat jalur air, artinya Ajiseka akan melakukan penyelaman di dalam air danau berkabut itu.“Ajiseka, jika kau berhasil masuk ambillah lempengan kuning yang berbentuk ikan. Rom
Riuh cicit yang lebih mirip suara kelelawar terdengar nyaring dari mulut puluhan siluman ikan yang seluruhnya berkumpul di permukaan air danau. Mengambang dan menatap aneh kepada Ajiseka, raut beringas dan seolah tidak sabar ingin merajam tubuh manusia di depannya. Bahkan, saat mereka menyeringai dan memamerkan gigi yang lebih mirip mata gergaji, lelehan liur kental turut membanjiri bibirnya.Binatang air berbentuk panjang, dengan tubuhnya yang pipih, dan berkepala manusia itu sama Persis dengan induknya, Duripati. Berbeda dengan pemuda tampan yang memimpinnya, tubuhnya hampir sempurna seperti layaknya manusia. Yang membedakan hanya bagian dada yang sedikit pipih dan cuping telinga yang meruncing, jika ia mengenakan pakaian kemungkinan besar perbedaan itu akan tersamarkan.Sedangkan kabut tebal di wilayah danau tepi barat mulai memudar seiring keluarnya pemuda tampan itu dari kedalaman air. Namun, hal lain terjadi, air bergolak memutar tepat di bawahnya. Sehingga tercipta pemandangan
Tebing yang berdiri megah membentengi danau tepi barat luluh lantak akibat pertarungan sengit yang terjadi antara Ajiseka dan titisan iblis yang bernaung di tubuh pemuda siluman danau. Beruntung seluruh kekuatan Ajiseka yang sebelum menjalani perjalanan di Setyaloka masih samar, kini sudah sepenuhnya ia kuasai. Bahkan, gaya bertarungnya pun sudah jauh berbeda, rupanya apa yang dimiliki Ajiseka lebih cenderung ke jalur kebatinan.Sangat jauh berbeda dari sebelumnya yang mengandalkan kekuatan tubuhnya. Sekarang ia tidak banyak bergerak untuk mengunci atau menyerang lawannya. Sayang, lawan yang di hadapi bukanlah siluman yang biasa.Kekuatan iblis lebih mendominasi di tubuh pemuda tampan itu. Tidak heran jika lokasi pertarungan menjadi kacau akibat hempasan energi besar yang di keluarkan oleh keduanya. Bahkan, Ajiseka sudah meminta Gaharu untuk pergi menjauh dari wilayah danau tepi barat.Bukan tanpa sebab Ajiseka meminta siluman elang itu pergi. Pasalnya, di samping ia terluka akibat te
Hari mulai senja, tetapi pertarungan masih saja belum berakhir. Bahkan, Ajiseka dan siluman air kini menghilang di kedalaman Danau. Akibatnya air bergolak hebat, dan bangkai siluman air yang siang tadi tewas berhamburan keluar dari dasar Danau.Jasad siluman itu tidak seperti Duripati yang menjadi lempengan kuning dan bisa ditempati oleh ilmu yang dimilikinya semasa hidup. Sebab selain pemuda tampan titisan iblis, anak-anak Duripati belum memiliki kekuatan yang mumpuni. Mereka masih layaknya binatang biasa tetapi memiliki bentuk aneh dan tabiat yang berbeda saja.Danau yang semula bergolak pada akhirnya berputar kencang dan membentuk pusaran yang menganga lebar. Bahkan, saking lebarnya lubang yang tercipta, orang-orang dapat melihat keadaan di dasar danau. Tulang belulang terlihat jelas, sungguh kondisi yang sangat memprihatinkan, sebab jumlah yang terlihat begitu banyak.Danuseka terhenyak, ia tidak menduga jika danau tepi barat menjadi lokasi yang sedemikian mengerikan. Dan sayangny
Raja Tirta Dunya membisiki Ajiseka agar keluar dari pusaran air Danau, hal itu di lakukan karena tidak adanya pengawasan dari pihak lain. Sedangkan pemuda siluman ikan titisan iblis itu bukanlah lawan yang tepat untuk Ajiseka. Tentu raja Tirta Dunya sudah mempertimbangkan dan menelisik seberapa kuat kekuatan iblis yang berada ditubuh pemuda siluman itu.Sesaat setelah mendapat bisikan, Ajiseka langsung melesat ke daratan. Seketika pusaran air itu pudar dan beradu, akibatnya gelombang air yang cukup tinggi menyembur hampir setinggi tebing. Tidak lama setelah aktivitas air mereda pemuda siluman pun turut melesat ke atas menusuk Ajiseka.“Banyu Panguripan, ijinkan ibu melengkapi kekuatan yang ada di tubuhmu,” ujar Dewi Panguripan kepada Ajiseka.“Maksud Kanjeng Ibu?” jawab Ajiseka. Dirinya merasa kebingungan dengan maksud melengkapi yang di lontarkan oleh Ibu angkatnya.“Ibu harus merasuk dan melengkapi kekuatan yang kamu miliki. Sebentar lagi gelap dan Ibu yakin iblis itu akan mengumpul
Hampir tengah malam Danuseka dan dua rekannya masih berjibaku melawan hampir seratus mayat hidup yang di bangkitkan oleh pemuda titisan iblis. Bukan perkara mudah mengalahkan makhluk-makhluk itu, pasalnya mereka benar-benar kembali hidup, tetapi berbeda dengan layaknya manusia. Sebab perangai orang-orang itu lebih menyerupai makhluk kegelapan, datar dan hanya fokus menyerang saja.Keberadaan mayat hidup yang berwujud Roro Palupi, Danuseka langsung memikirkan sesuatu. Pasalnya, pimpinan padepokan itu tidak mungkin secara kebetulan menjadi korban untuk siluman danau tepi barat. Dan pada akhirnya pemikiran Danuseka berhenti pada satu sosok yang di anggap cukup memungkinkan menjadi tersangka.Sariti, wanita jelmaan itu menjadi satu-satunya orang yang memungkinkan menjadi pelaku. Pemikiran Danuseka tidak hanya berhenti di situ saja, ia menggabungkan rentetan peristiwa yang di ceritakan rekannya di wilayah selatan. Lelaki itu menggeleng pelan manakala semua rentetan kejadian itu masuk akal,
Sorot penuh amarah terlihat jelas di tatapan mata Danuseka, sebab sosok arwah yang ada di depannya tidak lain adalah Sekar Sari atau Sariti. Dahulu semasa hidup dan di jaman terbentuknya keraton Setyaloka, Sekar Sari merupakan salah satu anak pemilik keraton dari istri kedua yang bernama Ajeng Ratri. Wanita yang memiliki ilmu hitam dan menguasai kekuatan ilusi, atau lebih dikenal dengan penguasa alam mimpi.Artinya, Sekar Sari atau Sariti juga salah satu leluhur Danuseka. Namun, karena sifat serakah dari Ajeng Ratri yang ingin menguasai keraton Setyaloka membuat ia harus terusir. Ia ditempatkan di sisi selatan bagian luar Setyaloka yang sekarang menjadi Punden.Bahkan, keberadaan arwah yang kini diselimuti oleh aura buruk dari alam kegelapan tidak luput dari sumpah serapah Sekar Sari sendiri yang juga di Amini oleh ibunya, Ajeng Ratri. Tidak heran, sebab kematiannya pun diwarnai dengan kekejian. Dan tidak disangka, sosok yang lebih dikenal dengan sebutan Sariti itu masih ingin menguas