Share

2. ingin memeluk suamiku

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2025-01-22 09:15:25

Melihat putriku menangis tentu keluarga Mas Haryadi heran bercampur tidak suka, aku pun panas dingin dibuatnya. Mereka menatap putriku seperti anak gila yang salah alamat, menangisi orang yang tidak dikenalnya sementara mereka juga tidak tahu bahwa darah yang mengalir dalam tubuh anakku juga darah Mas Haryadi.

"Siapa kamu!" tanya Mbak Dwiana dengan mata mendelik, dirinya yang cantik dengan bola mata besar nampak menakutkan dengan ekspresi demikian. Dia melotot pada anakku dengan kasar. Mungkin karena pengaruh kesedihan wanita itu tidak bisa mengendalikan dirinya.

"Ini ayahku Tante, ayah Alisa," jawab anakku sesenggukan. Dibelainya wajah pucat Mas Haryadi dengan penuh kasih.

"Mana mungkin! Mana ibu kamu?!" tanya seorang wanita, yang kuasumsikan sebagai adik suamiku. Dia nampak syok juga penasaran sekali

"Dia ada, di situ," ucap anakku sambil menunjuk diri ini dengan polosnya.

Kini semua orang tertuju padaku, menatap diri ini dari atas ke bawah dengan roman penuh pertanyaan, mereka memicingkan mata dan memasang wajah tak percaya.

"Sungguhkah?" tanya seorang wanita di sampingku. Dia menyenggol lenganku karena aku tidak kunjung memberikan jawaban. Aku yang gamang, bingung dan galau, antara malu dan takut tak tahu harus menjawab apa. Jika tidak mengaku Alisa akan menangis, tapi jika aku mengaku, aku tak tahu apa yang akan terjadi pada kami.

"Se-sebenarnya anak saya hanya terbawa suasana," jawabku berdusta, aku hendak bangkit dan mengambilnya dari depan jasad ayahnya tapi sayangnya, putriku segera menjawab.

"Enggak kok, Ibu aku emang istri ayah, tadi ayah dari rumah, terus janji mau ngajak Alisa main ke taman hiburan dan beli gelang," jawab anakku yang segera menyanggah pernyataanku sendiri. Aku tak kuasa lagi menahan kejujuran putriku yang cerdas, dia benar benar mewarisi sifat ayahnya yang berani dan kritis.

"Inilah gelang yang kau maksud?" tanya Mbak Dwiana sambil mengeluarkan beberapa buah gelang kaca warna warni dari kantong yang terlihat seperti dibungkus plastik property korban dari instalasi forensik.

"Iya, itu gelangku, ayah janji mau beli gelang seperti itu, tolong berikan Tante," jawab Alisa sambil bergerak mendekat, mencoba menjangkau gelang itu.

"Tunggu! apa kau sungguh anak Haryadi?" tanya Mbak Dwiana sambil mendelik pada putriku, " ... Jangan-jangan Kau hanya orang suruhan yang memanfaatkan kematian suamiku untuk mengambil keuntungan!" tudingnya dengan kasar. Ia angkat gelang kaca itu menjauh dari jangkauan Alisa. Dia sengaja melakukan itu di depan semua orang yang sedang berkabung untuk mempermalukan anakku. Sungguh kasihan diri ini melihat ekspresi Alisa yang terlihat sangat kecewa namun ingin sekali menjangkau gelang yang berada di tangan istri pertama suamiku.

"Kami akan pergi, tolong maafkan kami," ucapku sambil menarik Alisa dari kerumunan itu. Aku berencana untuk segera menjauh, kabur dari tempat itu sebelum suasananya menjadi lebih kacau.

"Tidak, jangan pergi! tunggu," ucap ibu Mas Haryadi. Dia menahan langkahku dan aku pun tidak berani untuk membantahnya,

" ... anaknya memang mirip seperti putraku, dia memang anak Haryadi, aku bisa merasakannya," ujar Ibu mertua sambil menggeser diri, mendekat pada Alisa.

Tentu bergolak raut wajah Mbak Dwiana melihat ibu mertua menarik tangan Alisa dan membelainya.

"Ibu, apa ibu yakin?" tanyanya dengan nafas memburu.

"Tolong kendalikan dirimu, kita bisa lakukan tes setelah ini, jangan buat keributan," tugas ibu mertua yang terlihat cukup berwibawa di usianya yang sudah senja. Mungkin karena istri tentara juga jadi beliau juga punya jiwa ketegasan yang kuat.

Sebenarnya ibu mertua mencoba menghalau keributan, tapi terlambat, karena kini pembicaraan sudah mulai menjalar, orang-orang berbisik dan mulai riuh. Mereka memandangku dan anakku. Kami terlihat seperti dua orang yang tidak diinginkan dan harusnya sudah seperti sampah yang dibuang.

"Jadi kau seorang pelakor? jadi kau wanita simpanan? dan dari hubungan gelap kalian kau dan dia telah menghasilkan anak yang aku yakin tidak punya akta kelahiran, betul kan?"

"Maaf sebelumnya hanya ingin meluruskan, Mbak, kami sudah menikah secara agama menggunakan wali dari keluarga saya juga saksi 4 orang pria yang menyatakan bahwa kami menikah dengan sah!"

"Tetap saja kau pelakor yang hanya berani di belakang layar, kau tidak berani tampil selain datang menunjukkan dirimu di hari kematian suamiku! Kau sungguh menjijikkan!" desis wanita itu.

Putriku mulai menangis melihat rona kemarahan istri pertama Mas Haryadi. Aku bisa bayangkan anak kecil berumur 6 tahun tiba-tiba harus menghadapi kemarahan seorang wanita dewasa dengan wajah garang yang siap menerkam. Tentu putriku sangat syok, dia memelukku dengan erat.

"Bunda, Aku cuma mau peluk ayah dan ambil gelangku. Ambil bunda, ambil, itu punya Alisa,_ rengek anakku tersedu.

"Mau ambil? Nih, ambil!"

Prang

Cring!

Mbak Dwiana melempar gelang itu ke lantai hingga benda perhiasan yang terbuat dari kaca itu pecah berkeping-keping di lantai marmer. Para pelayat terhenyak melihat perlakuan Mbak Dwiana terlebih dia melakukan itu di depan jenazah, tanpa menghormati derajat dan kehormatan mendiang.

Anak kandung Mas Haryadi yang laki laki mulai bangkit dan berusaha menghalau ibunya yang murka .

Sementara anakku, melihat gelang yang didambakannya hancur berkeping-keping tentu Alisa menjadi semakin bersedih dan meraung, dia menangis dan segera memelukku menangisi ayahnya yang pergi juga gelang yang tak akan bisa dipakai lagi.

"Mami, jangan dong, Malu ...." Dirga anak pertama Mas Haryadi segera memegang tangan Mbak Dwiana.

"Dia yang harusnya malu, sudah jadi benalu dan merusak rumah tanggaku! Pantas saja suamiku sudah tidak perhatian lagi beberapa tahun terakhir, rupanya benalu ini yang merusak segalanya," teriak wanita itu menunjukku.

"Pergi kamu dari sini," ucap Dirga memandangku dengan penuh kebencian.

"Baik saya akan pergi tapi izinkan saya mencium tangan suamiku!"

"Aku tidak sudi dan tidak akan pernah mengizinkan kau menyentuh Haryadi. Kau hanya najis yang sudah dipelihara olehnya, aku tidak mau kesucian rumah ini dan suamiku ternodai olehmu lagi, enyah kau!" Ucap Mbak Dwiana yang seakan kesurupan. Situasi rumah itu menjadi riuh dan orang-orang pun ikut penasaran melongok ke dalam rumah. Mereka ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, sungguh malu dan menyesal sekali diri ini sudah datang melayat.

Tapi jika tidak datang maka aku akan menyesal karena tidak bisa menyaksikan wajah orang yang kucintai untuk terakhir kalinya. Sungguh dilema yang telah membawakan ku sebuah petaka.

"Ayo pergi dari sini!" Dua orang wanita mendekat dan masing-masing memegang lengan kanan dan kiri ku berusaha mendorongku dan menarik diri ini keluar dari rumah itu.

"Iya saya akan pergi Tapi tolong jangan usir saya begini, saya istrinya dan anak itu adalah anak kandungnya!"

Anakku yang sudah tidak kuasa menahan kesedihannya, hanya berjalan mendekat ke arah jenazah ayahnya dan memunguti gelang-gelang kaca yang pecah di lantai itu. Anakku menangis sesenggukan sambil memasukkan setiap kepingan yang dia tadahkan ke atas jilbabnya. Ya, gamis yang dikenakan Alissa tidak memiliki kantong jadi untuk menampung semua itu dia menggunakan ujung jilbabnya. Orang-orang menjadi iba dan sedih melihat Alisa tapi mereka tidak berani menolongnya karena segan pada istri pertama suamiku.

Sebelum kami keluar dari rumah itu Alisa sempat mendekat dan mencium kedua pipi Haryadi sambil berkata,

"Ayah, kalau Ayah pergi duluan nggak apa-apa, kata guru agama Alissa orang yang meninggal itu akan pergi ke surga. Jadi Alisa nggak akan sedih lagi karena Ayah sudah bahagia. Cium sayang ya," ujarnya sambil mendaratkan kecupan kecil di kening Mas Haryadi.

Orang-orang yang melihat anak kecil menangisi jenazah ayahnya juga ikut menangis, mereka benar-benar kehilangan kata-kata dan tidak bisa memihak satu diantara kami. Setelah memberikan ciuman terakhir kami lalu diseret pergi dan diusir dari rumah mewah itu. Aku diseret seperti anjing yang tidak pantas berada di sana untuk memberikan penghormatan terakhir pada suamiku. Kami diusir sampai benar-benar jauh dari pekarangan rumah itu.

Hari itu aku dan putriku bertangis tangisan di trotoar yang tidak jauh dari rumah duka. Tak perlu digambarkan betapa hancurnya hati kami, Tak ada yang bisa diucapkan selain air mata yang berderai.

"Maafkan aku ya Mas, aku tidak bisa memelukmu untuk terakhir kalinya." Hanya itu yang aku ucapkan sambil menatap sedih pada rumah Mbak Dwiana.

Related chapters

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   3.

    Sampai jenazah di berangkatkan kami tidak diizinkan untuk mendekat, jangankan bisa memeluk peti jenasah yang telah dikarang bunga, menatap dari kejauhan saja tidak bisa. Kami hanya boleh berdiri di radius seratus meter dari rumah mewah itu. Terlihat peti jenazah di naikkan ke mobil besar berwarna putih, lalu sirine mobil tersebut mulai menggaung memecah suara keramaian tempat itu. Tak banyak yang bisa kulakukan selain hanya menyaksikan mobil itu melewati kami."Mari Mbak, saya antar ke pemakaman," ujar Jaka yang tetap setia dan baik kepada kami."Baik, ayo kita pergi," ajakku pada anakku yang telah lemas karena terus menangis. Patahan gelang gelang kaca itu tetap dirangkum ditangannya dan enggan ia lepaskan."Taruh diplastik aja ya," ujar Jaka yang merasa iba pada anakku. Pria itu membuka dashboard mobilnya dan mengeluarkan sebuah kantong plastik lalu menyerahkan kepada Alisa.Diletakkannya kepingan gelang yang sudah pecah itu ke dalamnya lalu anakku memegangnya erat-erat."Makasih O

    Last Updated : 2025-01-22
  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   4.

    "Hentikan Dwiana! Kau mempermalukan mendiang dengan cara begitu, Nak, sabar dulu ...." Ibu mertua berusaha membujuk menantu pertamannya untuk tetap tenang.Aku yang sudah panik langsung mengambil putriku dan memeluknya, menyeka darah yang keluar dari dahinya dengan bagian depan gamisku yang panjang. Hatiku sangat hancur, perasaanku terluka dan luka yang sudah ada itu semakin seolah ditambahkan cuka. Putriku ingin segera kubawa ke rumah sakit tapi mbak Dwiana yang sudah menggila menghadang langkahku."Ibu ingin aku sabar? Bagaimana caranya ketika tiba-tiba seorang wanita membawa anak dan mengakui status mereka dihadapan jenazah suamiku Apa yang harus kulakukan?!" Kini wanita itu juga ikut menangis. "Coba berdiri di Posisiku sekali saja ibu, musibah kematian nya saja sudah begitu membuat diri ini tumbang kini ditambah lagi dengan kenyataan baru bahwa dia telah menduakanku dan diam-diam memiliki anak dengan wanita lain, sungguh itu adalah perbuatan yang tidak adil bagi kesetiaan ini!""

    Last Updated : 2025-01-22
  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   5

    "Aku tahu, posisiku sebagai yang kedua selalu akan membuat diri ini dinilai sebagai perebut yang tidak tahu adab dan norma...""Nah kau tahu diri, Lon**!" teriak Mbak Dwi."... aku tahu sebutan pelakor itu amat menjijikkan! tapi aku dan suamiku ... kami bersepakat tidak ada aturan baku atau hukum manapun yang akan memenjarakan luasnya cinta dan perasaan kami." Mereka yang mendengar, Mbak Dwi, anak anak, juga ibu mertua dan Adik perempuan Mas Har terdiam." .... buku nikah hanya dokumen yang bisa dimanipulasi siapa saja, bahkan aku bisa mencetaknya jadi lima! Tapi aku tak mau seperti itu. Kuputuskan jalani hidup ini apa adanya, hanya sebagai istri dan cinta Mas Har. Jadi, andai tak punya buku nikah pun, kenyataannya aku adalah istri Mas Haryadi!""Dasar jalang bermulut rendahan!" desis Mbak Dwi, " ... aku heran mengapa Mas Har sampai berselera pada wanita yang sama sekali tak berkelas ini," ujarnya sambil merendahkan cara dia menatapku. Dia mendelik sambil tersenyum sinis, amat amat

    Last Updated : 2025-01-22
  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   6

    Kubawa anakku ke rumah sakit, dia langsung ditangani petugas medis di ruang rawat darurat, lukanya dibersihkan dan diberi jahitan sementara putriku masih merintih menahan sakitnya."Ah, Tuhan, ini baru permulaan petaka, berikutnya aku tahu bahwa keluarga Mas Haryadi tak akan membuatku hidup tenang. Mungkin mereka akan mempersulit putriku juga. Ah, Tuhan, aku mohon bantuanmu," gumamku sambil menahan air mataku.Memang mengatas namakan cinta untuk jadi istri kedua tidaklah baik dan bukan alasan yang tepat di mata masyarakat dan orang orang di lingkungan kita. Bagi mereka yang kedua tetaplah perusak dan benalu yang menghancurkan kebahagiaan orang lain.Aku bukannya cari pembenaran dengan mengatakan bahwa selama Mas Har menikah denganku dia sama sekali tak pernah bermasalah dengan istrinya karena begitu rapatnya kami menyembunyikan rahasia, tapi, aku benar benar melihat bahwa tak ada satu hukum dunia pun yang bisa membatasi cintaku pada Mas Har. Ya, hanya dia dan satu satunya dia orang ya

    Last Updated : 2025-01-25
  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   7

    Apalagi yang mereka inginkan dengan datang kemari dengan wajah sombong dan muka garang. Apa tidak puas mereka mengusikku pagi tadi, menghajarmu di kuburan Mas Haryadi. Tidak bisakah kami semua yang sedang berduka tidak saling mengusik.Tok tok ....Sudah kuduga, ketukan itu akan terdengar cepat. Kuhampiri bufet, kutatap penampilanku di pantulan kaca. Wajahku pucat, mataku sembab dan ada bekas cakaran di pelipis dan pipi kiri. "Aku harap tidak ada teriakan lagi, putriku yang sakit sedang tertidur," gumamku sambil melangkah dengan berat hati menuju ke pintu.Kubuka pintu dan ku temui ketiga orang yang masih menatapku dengan penuh dendam dan kebencian, di belakang mereka ada Jaka yang terlihat menunjukkan wajah tidak enak padaku namun dia sendiri tidak berdaya."Jadi ini rumah tempat kamu dan Hariyadi menyembunyikan hubungan rahasia kalian?" Tanya Mbak Mbak dwiana, masuk merangsek sambil mendorongku, anaknya pun ikut masuk ke dalam dan mengedarkan pandangan mereka."Kumuh sekali tempat

    Last Updated : 2025-01-25
  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   8. kurang apa

    "Kurang puas atau seperti apa lagi kau ingin menyebut diri ini? Kalian sudah menghinaku sedemikian rupa, lalu apa lagi yang kalian inginkan? jika kalian cari harta dan uang maka aku tidak memilikinya.""Iya, karena kau rendahan dan bodoh," jawab Mbak Dwi sambil tertawa sinis dan mengajak anaknya pergi. Iya, mereka pergi begitu saja setelah merundung dan mengundang emosiku. Mungkin aku harusnya paham, bahwa dengan cara demikianlah Mbak Dwi bisa mengungkapkan perasaan marahnya padaku. Mungkin dengan cara itu dia bisa lega dari kesedihan dan kekecewaan yang mengejutkan. Aku tidak berusaha mencari pembenaran versi diriku atau pembelaan orang lain. Posisi istri kedua yang dinikahi siri membuat statusku tidak terhormat dan pernikahanku seolah pernikahan yang dilakukan untuk menghalalkan zina saja. Padahal tidaklah demikian.Sekarang aku tahu bahwa langkah yang kuambil seperti telah mencoreng arang di wajahku sendiri. Aku tidak bisa menyalahkan perasaan cinta yang saat itu menggebu dan mem

    Last Updated : 2025-01-26
  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   9

    Karena sudah tidak punya suami yang akan membekali hidupku dengan nafkah dan kasih sayang, juga dukungan secara mental kuputuskan untuk bangkit dan mencoba berdiri diatas kaki sendiri seperti yang pernah kulakukan di masa lalu ketika aku masih belum menikah dan membiayai kehidupan keluargaku.Mulai hari ini aku putuskan untuk menggelar dagangan karena aku harus melanjutkan hidup dan meneruskan biaya pendidikan Alisa, dia akan masuk SD dan tentu saja kebutuhannya akan sangat banyak. Setelah usai mandi dan membersihkan rumah, kukemas makanan dan minuman yang akan kujual di lapak nanti. Kuletakkan tumpukan bermacam-macam kue yang sudah dibungkus plastik mika di dalam sebuah box segi empat. Lalu menutupnya dengan rapat. "Alisa, mau ikut Bunda jualan tidak?" tawarku."Enggak Bund, aku sama Samar saja," jawabnya menyebut nama anak tetanggaku, Mbak Yuli."Tapi, apa itu tidak akan merepotkan ibunya Samar?""Enggak.kok, saya gak repot, malah saya senang jika bisa membantu menjaga Alisa." Ti

    Last Updated : 2025-01-27
  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   1. hari berduka

    "Bu, itu Bu .... Alisa mau cium wajah Ayah, mau peluk Bu, nanti Ayah dibungkus dan dibawa pergi.""Nanti ya Sayang, sebentar." Kubisikkan kalimat itu untuk menenangkan Alisa putriku tapi dia berontak."Alisa juga anak Ayah, Ayah sayang sama Alisa, Ayah janji gak akan pergi lebih cepat seperti ini." Pecah tangis anakku yang sungguh merasakan bahwa ayahnya adalah tumpuan dan cinta pertamanya.Buliran bening itu mengalir dari netra Alisa, bibirnya bergetar, ingin maju tapi dia ragu, aku tahu apa yang dirasakannya dalam suasana mendung dan sendu itu. Putriku hanya ingin memeluk ayahnya sementara aku tak berdaya di depan istri dan keluarga utama Mas Haryadi. Diri ini tak berani tampil untuk bersimpuh terakhir kalinya di hadapan pria yang telah kucintai selama tujuh tahun terakhir, karena, aku hanya istri simpanannya.***Senin 17 januari Aku tak mengira bahwa itu adalah hari terakhir perjumpaan kami dengannya. Hari itu Mas Haryadi menginap, menghabiskan malam panjang dengan bermain ber

    Last Updated : 2025-01-22

Latest chapter

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   9

    Karena sudah tidak punya suami yang akan membekali hidupku dengan nafkah dan kasih sayang, juga dukungan secara mental kuputuskan untuk bangkit dan mencoba berdiri diatas kaki sendiri seperti yang pernah kulakukan di masa lalu ketika aku masih belum menikah dan membiayai kehidupan keluargaku.Mulai hari ini aku putuskan untuk menggelar dagangan karena aku harus melanjutkan hidup dan meneruskan biaya pendidikan Alisa, dia akan masuk SD dan tentu saja kebutuhannya akan sangat banyak. Setelah usai mandi dan membersihkan rumah, kukemas makanan dan minuman yang akan kujual di lapak nanti. Kuletakkan tumpukan bermacam-macam kue yang sudah dibungkus plastik mika di dalam sebuah box segi empat. Lalu menutupnya dengan rapat. "Alisa, mau ikut Bunda jualan tidak?" tawarku."Enggak Bund, aku sama Samar saja," jawabnya menyebut nama anak tetanggaku, Mbak Yuli."Tapi, apa itu tidak akan merepotkan ibunya Samar?""Enggak.kok, saya gak repot, malah saya senang jika bisa membantu menjaga Alisa." Ti

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   8. kurang apa

    "Kurang puas atau seperti apa lagi kau ingin menyebut diri ini? Kalian sudah menghinaku sedemikian rupa, lalu apa lagi yang kalian inginkan? jika kalian cari harta dan uang maka aku tidak memilikinya.""Iya, karena kau rendahan dan bodoh," jawab Mbak Dwi sambil tertawa sinis dan mengajak anaknya pergi. Iya, mereka pergi begitu saja setelah merundung dan mengundang emosiku. Mungkin aku harusnya paham, bahwa dengan cara demikianlah Mbak Dwi bisa mengungkapkan perasaan marahnya padaku. Mungkin dengan cara itu dia bisa lega dari kesedihan dan kekecewaan yang mengejutkan. Aku tidak berusaha mencari pembenaran versi diriku atau pembelaan orang lain. Posisi istri kedua yang dinikahi siri membuat statusku tidak terhormat dan pernikahanku seolah pernikahan yang dilakukan untuk menghalalkan zina saja. Padahal tidaklah demikian.Sekarang aku tahu bahwa langkah yang kuambil seperti telah mencoreng arang di wajahku sendiri. Aku tidak bisa menyalahkan perasaan cinta yang saat itu menggebu dan mem

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   7

    Apalagi yang mereka inginkan dengan datang kemari dengan wajah sombong dan muka garang. Apa tidak puas mereka mengusikku pagi tadi, menghajarmu di kuburan Mas Haryadi. Tidak bisakah kami semua yang sedang berduka tidak saling mengusik.Tok tok ....Sudah kuduga, ketukan itu akan terdengar cepat. Kuhampiri bufet, kutatap penampilanku di pantulan kaca. Wajahku pucat, mataku sembab dan ada bekas cakaran di pelipis dan pipi kiri. "Aku harap tidak ada teriakan lagi, putriku yang sakit sedang tertidur," gumamku sambil melangkah dengan berat hati menuju ke pintu.Kubuka pintu dan ku temui ketiga orang yang masih menatapku dengan penuh dendam dan kebencian, di belakang mereka ada Jaka yang terlihat menunjukkan wajah tidak enak padaku namun dia sendiri tidak berdaya."Jadi ini rumah tempat kamu dan Hariyadi menyembunyikan hubungan rahasia kalian?" Tanya Mbak Mbak dwiana, masuk merangsek sambil mendorongku, anaknya pun ikut masuk ke dalam dan mengedarkan pandangan mereka."Kumuh sekali tempat

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   6

    Kubawa anakku ke rumah sakit, dia langsung ditangani petugas medis di ruang rawat darurat, lukanya dibersihkan dan diberi jahitan sementara putriku masih merintih menahan sakitnya."Ah, Tuhan, ini baru permulaan petaka, berikutnya aku tahu bahwa keluarga Mas Haryadi tak akan membuatku hidup tenang. Mungkin mereka akan mempersulit putriku juga. Ah, Tuhan, aku mohon bantuanmu," gumamku sambil menahan air mataku.Memang mengatas namakan cinta untuk jadi istri kedua tidaklah baik dan bukan alasan yang tepat di mata masyarakat dan orang orang di lingkungan kita. Bagi mereka yang kedua tetaplah perusak dan benalu yang menghancurkan kebahagiaan orang lain.Aku bukannya cari pembenaran dengan mengatakan bahwa selama Mas Har menikah denganku dia sama sekali tak pernah bermasalah dengan istrinya karena begitu rapatnya kami menyembunyikan rahasia, tapi, aku benar benar melihat bahwa tak ada satu hukum dunia pun yang bisa membatasi cintaku pada Mas Har. Ya, hanya dia dan satu satunya dia orang ya

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   5

    "Aku tahu, posisiku sebagai yang kedua selalu akan membuat diri ini dinilai sebagai perebut yang tidak tahu adab dan norma...""Nah kau tahu diri, Lon**!" teriak Mbak Dwi."... aku tahu sebutan pelakor itu amat menjijikkan! tapi aku dan suamiku ... kami bersepakat tidak ada aturan baku atau hukum manapun yang akan memenjarakan luasnya cinta dan perasaan kami." Mereka yang mendengar, Mbak Dwi, anak anak, juga ibu mertua dan Adik perempuan Mas Har terdiam." .... buku nikah hanya dokumen yang bisa dimanipulasi siapa saja, bahkan aku bisa mencetaknya jadi lima! Tapi aku tak mau seperti itu. Kuputuskan jalani hidup ini apa adanya, hanya sebagai istri dan cinta Mas Har. Jadi, andai tak punya buku nikah pun, kenyataannya aku adalah istri Mas Haryadi!""Dasar jalang bermulut rendahan!" desis Mbak Dwi, " ... aku heran mengapa Mas Har sampai berselera pada wanita yang sama sekali tak berkelas ini," ujarnya sambil merendahkan cara dia menatapku. Dia mendelik sambil tersenyum sinis, amat amat

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   4.

    "Hentikan Dwiana! Kau mempermalukan mendiang dengan cara begitu, Nak, sabar dulu ...." Ibu mertua berusaha membujuk menantu pertamannya untuk tetap tenang.Aku yang sudah panik langsung mengambil putriku dan memeluknya, menyeka darah yang keluar dari dahinya dengan bagian depan gamisku yang panjang. Hatiku sangat hancur, perasaanku terluka dan luka yang sudah ada itu semakin seolah ditambahkan cuka. Putriku ingin segera kubawa ke rumah sakit tapi mbak Dwiana yang sudah menggila menghadang langkahku."Ibu ingin aku sabar? Bagaimana caranya ketika tiba-tiba seorang wanita membawa anak dan mengakui status mereka dihadapan jenazah suamiku Apa yang harus kulakukan?!" Kini wanita itu juga ikut menangis. "Coba berdiri di Posisiku sekali saja ibu, musibah kematian nya saja sudah begitu membuat diri ini tumbang kini ditambah lagi dengan kenyataan baru bahwa dia telah menduakanku dan diam-diam memiliki anak dengan wanita lain, sungguh itu adalah perbuatan yang tidak adil bagi kesetiaan ini!""

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   3.

    Sampai jenazah di berangkatkan kami tidak diizinkan untuk mendekat, jangankan bisa memeluk peti jenasah yang telah dikarang bunga, menatap dari kejauhan saja tidak bisa. Kami hanya boleh berdiri di radius seratus meter dari rumah mewah itu. Terlihat peti jenazah di naikkan ke mobil besar berwarna putih, lalu sirine mobil tersebut mulai menggaung memecah suara keramaian tempat itu. Tak banyak yang bisa kulakukan selain hanya menyaksikan mobil itu melewati kami."Mari Mbak, saya antar ke pemakaman," ujar Jaka yang tetap setia dan baik kepada kami."Baik, ayo kita pergi," ajakku pada anakku yang telah lemas karena terus menangis. Patahan gelang gelang kaca itu tetap dirangkum ditangannya dan enggan ia lepaskan."Taruh diplastik aja ya," ujar Jaka yang merasa iba pada anakku. Pria itu membuka dashboard mobilnya dan mengeluarkan sebuah kantong plastik lalu menyerahkan kepada Alisa.Diletakkannya kepingan gelang yang sudah pecah itu ke dalamnya lalu anakku memegangnya erat-erat."Makasih O

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   2. ingin memeluk suamiku

    Melihat putriku menangis tentu keluarga Mas Haryadi heran bercampur tidak suka, aku pun panas dingin dibuatnya. Mereka menatap putriku seperti anak gila yang salah alamat, menangisi orang yang tidak dikenalnya sementara mereka juga tidak tahu bahwa darah yang mengalir dalam tubuh anakku juga darah Mas Haryadi."Siapa kamu!" tanya Mbak Dwiana dengan mata mendelik, dirinya yang cantik dengan bola mata besar nampak menakutkan dengan ekspresi demikian. Dia melotot pada anakku dengan kasar. Mungkin karena pengaruh kesedihan wanita itu tidak bisa mengendalikan dirinya."Ini ayahku Tante, ayah Alisa," jawab anakku sesenggukan. Dibelainya wajah pucat Mas Haryadi dengan penuh kasih."Mana mungkin! Mana ibu kamu?!" tanya seorang wanita, yang kuasumsikan sebagai adik suamiku. Dia nampak syok juga penasaran sekali "Dia ada, di situ," ucap anakku sambil menunjuk diri ini dengan polosnya. Kini semua orang tertuju padaku, menatap diri ini dari atas ke bawah dengan roman penuh pertanyaan, mereka m

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   1. hari berduka

    "Bu, itu Bu .... Alisa mau cium wajah Ayah, mau peluk Bu, nanti Ayah dibungkus dan dibawa pergi.""Nanti ya Sayang, sebentar." Kubisikkan kalimat itu untuk menenangkan Alisa putriku tapi dia berontak."Alisa juga anak Ayah, Ayah sayang sama Alisa, Ayah janji gak akan pergi lebih cepat seperti ini." Pecah tangis anakku yang sungguh merasakan bahwa ayahnya adalah tumpuan dan cinta pertamanya.Buliran bening itu mengalir dari netra Alisa, bibirnya bergetar, ingin maju tapi dia ragu, aku tahu apa yang dirasakannya dalam suasana mendung dan sendu itu. Putriku hanya ingin memeluk ayahnya sementara aku tak berdaya di depan istri dan keluarga utama Mas Haryadi. Diri ini tak berani tampil untuk bersimpuh terakhir kalinya di hadapan pria yang telah kucintai selama tujuh tahun terakhir, karena, aku hanya istri simpanannya.***Senin 17 januari Aku tak mengira bahwa itu adalah hari terakhir perjumpaan kami dengannya. Hari itu Mas Haryadi menginap, menghabiskan malam panjang dengan bermain ber

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status