Share

AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU
AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU
Penulis: Ria Abdullah

1. hari berduka

Penulis: Ria Abdullah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-22 09:13:50

"Bu, itu Bu .... Alisa mau cium wajah Ayah, mau peluk Bu, nanti Ayah dibungkus dan dibawa pergi."

"Nanti ya Sayang, sebentar." Kubisikkan kalimat itu untuk menenangkan Alisa putriku tapi dia berontak.

"Alisa juga anak Ayah, Ayah sayang sama Alisa, Ayah janji gak akan pergi lebih cepat seperti ini." Pecah tangis anakku yang sungguh merasakan bahwa ayahnya adalah tumpuan dan cinta pertamanya.

Buliran bening itu mengalir dari netra Alisa, bibirnya bergetar, ingin maju tapi dia ragu, aku tahu apa yang dirasakannya dalam suasana mendung dan sendu itu. Putriku hanya ingin memeluk ayahnya sementara aku tak berdaya di depan istri dan keluarga utama Mas Haryadi. Diri ini tak berani tampil untuk bersimpuh terakhir kalinya di hadapan pria yang telah kucintai selama tujuh tahun terakhir, karena, aku hanya istri simpanannya.

***

Senin 17 januari

Aku tak mengira bahwa itu adalah hari terakhir perjumpaan kami dengannya. Hari itu Mas Haryadi menginap, menghabiskan malam panjang dengan bermain bersama anaknya juga bercanda denganku.

Malam mulai merangkak larut, hingga tanpa sadar kami tertidur dalam posisi saling memeluk.

Keesokan hari, Selasa 18 Januari.

"Bu, Ayah hari ini tidak pulang ke sini ya, hari ini mau pulang ke sana," ucapnya di meja makan, aku tahu bahwa pernyataannya itu mengacu pada istri pertamanya.

"Ke sana terus ... ayah kerjanya ke mana sih? kenapa selalu jarang pulang," tanya anakku yang tiba tiba menimpali percakapan kami. Mimik wajahnya yang lucu dan penuh keingintahuan itu mengundang gelak tawaku dan ayahnya.

Ah, aku hanya tertawa getir mendengar celotehnya. Putriku yang baru akan masuk SD itu masih tidak menyadari bahwa ayahnya punya dua istri. Tepatnya, Mas Haryadi punya keluarga utama yang jadi prioritasnya. Dia punya seorang istri dan dua orang anak, putra dan putri yang masing masing duduk di bangku kelas satu dan dua SMA.

Biasanya seminggu kami punya waktu dua hari untuk bertemu dan memadu kasih, juga kesempatan suamiku untuk melimpahkan kasih sayang pada anak ketiganya dari hasil pernikahan kami.

Sampai hari ini masih dalam status menikah secara agama, belum punya surat nikah karena Mas Haryadi masih belum siap mengungkap apa yang terjadi di antara kami pada keluarganya. Ya, sampai dia menghembuskan napas terakhirnya.

*

"Aku berangkat ya, Sayang." Pria itu mengecup keningku dan segera memeluk putrinya dengan penuh kasih.

"Ayah pergi dulu. Dua hari lagi Ayah pulang dan kita akan pergi ke taman hiburan."

"Nanti beli gelang kaca ya, gelang kecil warna warni," pinta Alisa.

"Siap, Sayang." Sekali lagi suamiku yang berperawakan tinggi dengan dada bidang dan wajah yang cukup tampan itu, mengecup kening anakku.

Tak lupa dia peluk diri ini dengan erat, lebih erat dari sebelumnya, dikecupnya pipiku dengan penuh tatapan cinta lalu

secepat itu juga dia segera memacu motornya meninggalkan rumah kami.

Ada firasat yang tidak kumengerti bergejolak di dalam hatiku, rasa sedih, galau dan penderitaan yang tidak bisa kugambarkan. Aku tidak mengerti mengapa aku merasakannya.

Kadang timbul kesedihan dan miris di hatiku, kadang banyak pertanyaan berputar di benak ini, mengapa takdir pernikahan dan hidupku amat berliku.

Kuputuskan untuk mengikuti kata hati, menikah dengannya dan mengarungi bahtera rumah tangga meski hanya secara agama dan diselenggarakan di rumah keluargaku, tanpa dokumentasi atau pesta.

Kuterima semua takdir harus berhubungan sembunyi-sembunyi demi perasaan cinta dan bakti yang entah kenapa hanya bisa kuberikan padanya.

Andai aku mau, aku bisa dapatkan pria yang lebih kaya, terhormat dan menikahiku secara sah. Tapi mengapa, cinta ini begitu dalam dan terjebak hanya padanya.

Mungkin kelembutan dan cara Mas Haryadi yang amat romantis berhasil membuatku bertekut lutut, kalimatnya yang selalu terucap runut dan penuh kebijaksanaan membuatku tidak banyak menuntut dan menurut saja hingga tanpa terasa rumah tangga kami telah bergulir tujuh tahun.

Kadang aku resah perihal surat menyurat, akta kelahiran dan segala hal yang menyangkut administrasi putri kami. Dia harus sekolah dan punya asuransi kesehatan, tapi bagaimana aku harus mengurusnya kalau kami saja belum punya kartu keluarga? bagaimana mau memiliki kartu keluarga kalau belum punya surat nikah? Ah, sungguh dilema carut marut yang membingungkan, aku tahu ini adalah takdir yang dibuat dan masalah yang sengaja diundang.

***

Tok ... tok ....

Siang itu pintu rumah diketuk, aku yang sedang memeluk Alisa tidur siang, langsung bergegas ke pintu depan.

Ternyata di sana ada Jaka, orang kepercayaan Mas Haryadi di tempat kerjanya. Pria itu nampak cemas, dan tidak sabar, dia gelisah sambil berkali kali meremas jemarinya.

"Monggo silakan masuk, ada apa Mas Jaka."

"Begini Yuk, maaf sebelumnya ada kabar duka," ujar Jaka dengan wajah yang makin tak nyaman dipandang.

"Kabar duka!"

Jantungku langsung berdebar sangat kencang, untuk sepersekian detik, aku tak bisa menebak siapa yang meninggal dari anggota keluargaku. Aku hanya tertegun dan kehilangan kata kata.

Mungkin karena melihat kebingunganku pria itu lantas melanjutkan ucapannya,

"Bapak tabrakan dan meninggal di tempat pagi tadi, Bu. Jenazahnya sudah dipulangkan dari rumah sakit ke rumah duka. Ke rumah Ibu Dwiana."

"Oh ...." Aku hanya mendengar runtutan kalimat jaka, tapi aku tidak memahaminya. Aku terpana dalam pikiran kosong sementara proses di syaraf otak terus menggali kesadaran dari ceruk memori.

"Siapa yang mati ... tabrakan di tempat ... Dwiana siapa ...?"

Aku nyaris pingsan andai Jaka tidak segera mengguncang bahuku.

"Bu Susi, Bapak meninggal."

Di detik itu juga aku langsung paham informasi yang dibawa Jaka. Aku langsung lemas dan terduduk di kursi teras dalam keadaan tungkai kaki yang seolah tidak bertulang. Dadaku berdegup sangat kencang, ada perasaan ingin berteriak, tanganku gemetar pun tubuh ini juga bergetar. Aku tidak percaya bahwa dia akan membawakan kabar bahwa suamiku meninggal.

"Astaghfirullah ... tidak mungkin, Jaka."

"Katakan innalillahi wa inna ilaihi rojiun, Bu...."

"Astagfirullah, tidak Jaka ...." Air mata ini mulai mengalir. Di dalam hati aku mengucapkan kalimat innalilahi ... tapi aku masih tidak percaya dengan kenyataan ini.

"Ibu mau melayat tidak, sekalian berangkat sama saya."

"Tidak Jaka, itu akan menjadi kehebohan di rumah Ibu Dwiana."

"Tapi Alisa juga berhak untuk melihat ayahnya untuk terakhir kalinya Bu, Ibu bisa mengajaknya untuk diam diam menyaksikan jasad Bapak dipersemayaman, sebelum Bapak dikuburkan."

"Astaghfirullah ya Allah ... Mas Haryadi."

Bumi seakan berhenti berputar dan matahari yang berpijar seakan pecah di atas kepalaku. Aku merasakan patah hati dan nyawa yang seolah dirampas separuhnya dengan paksa. Aku ingin bangkit tapi tubuh ini tidak bertenaga. Bahkan air mata pun tidak bisa melampiaskan segalanya.

Sepanjang perjalanan dengan mobil yang dikendarai Jaka, air mata ini terus berderai. Tak bisa kubayangkan dan tak bisa kuterima kenyataan bahwa orang yang baru saja merangkul diri ini pagi tadi sudah pergi untuk selamanya.

"Mas mengapa kau tinggalkan kami dengan keadaan seperti ini, hidupku masih bertumpu padamu dan nasib kami masih menggantung dengan posisi yang terlunta. Teganya kamu Mas ...." Aku tidak bisa menahan tangisan atau luka-luka yang kini menyayat di dalam dadaku.

"Kita mau ke mana, Bu?" tanya Alisa di dalam pangkuanku.

"Entahlah ...." Hanya jawaban itu yang bisa terucap di bibir. Aku terguncang dengan keadaan duniaku yang telah kiamat dan berakhir, aku kehilangan suamiku. Ya, cintaku.

**

Sesampainya kami di rumah Mas Haryadi, mobil Jaka ditepikan bersama jajaran mobil yang sudah mengular panjang. Posisi suamiku yang cukup penting di institusinya, membuat dia memiliki jabatan yang terhormat. Tapi Maaf aku tidak bisa menyebutkannya lebih dari ini.

Kupaksakan langkah kaki menuju rumah yang cukup mewah dan berlantai tiga itu, bagian pekarangan sudah dipasang terop dan beberapa anggota institusinya kini sedang menyiapkan upacara untuk pelepasan jenazah.

Diam diam aku dan jaka masuk, berusaha bersikap biasa saja, seperti pelayat pada umumnya.

Kududukkan diriku di sudut ruangan, kupangku putriku sementara situasi rumah itu telah kelabu.

Mbak Dwiana histeris, dia menjerit, dia terus memanggil nama suaminya. Istri pertama Mas Haryadi benar-benar terpukul rupanya. Pun anak-anaknya, yang lelaki terlihat menunduk di depan jenazah ayahnya, sementara anak perempuannya kini pingsan dan dikipasi oleh beberapa orang.

Ada mertuaku yang juga nampak sangat sedih dan tersedu-sedu di sisi kanan jenazah, dia mertua yang tidak pernah kusalami tangannya atau kuhaturkan sembah simpuh sebagai menantu. Sekali lagi aku mungkin ada wanita yang tidak diinginkan dalam keluarga itu.

"Bu, Apakah itu Ayah?" Tiba-tiba anakku berdiri kemudian bertanya padaku.

Aku tidak punya kata-kata untuk menjawab pertanyaan Alisa.

"Bu, apa Ayah meninggal?"

Hati ini semakin gamang dan gundah, jika tidak kuberitahukan yang sebenarnya maka Alisa akan merasa ditipu dan dibohongi.

"Iya, Nak, sabar ya, mari duduk dan berdoa untuk ayah dengan tenang."

"Gak mau, Bu. Gak mau ayah mati ...." Anakku yang syok mulai menangis namun suaranya masih pelan, akupun berusaha terus menenangkan dan memintanya untuk tetap diam. Tapi yang namanya anak umur 6 tahun tentu saja tidak bisa dikendalikan.

Anakku merengek dengan segala ucapan yang tidak bisa membendung kesedihanku, dia protes mengapa kami tidak boleh maju ke sana dan memeluk Mas Haryadi. Mengapa kami tidak boleh bergabung seperti layaknya anggota keluarga. Hingga tiba-tiba aku tak bisa menahannya lagi, putriku merangsek dan langsung melewati beberapa orang yang duduk. Dia menangis dan langsung menjatuhkan diri di dada ayahnya.

"A-ayah ini Alisa,Ya. Ayah kenapa nggak bangun-bangun!" Anakku mengguncang kain yang berada di bagian dada Mas Haryadi, raut wajah suamiku sudah pucat dan menguning, dia telah beristirahat dan tidak akan bisa mendengar ucapan Alisa.

Orang-orang yang tadinya berada dalam situasi sedih langsung tertegun, mereka terdiam dan menatap pada putriku dengan tatapan tajam, penuh pertanyaan.

Alisa anakku yang dilihat seperti itu semakin menangis dengan kencang dan terus meminta Mas Haryadi bangun.

"Ayah ... katanya Ayah ingin mengajakku ke taman hiburan dan beli gelang, mana janji ayah?"

Tiba-tiba Mbak Dwiana langsung datang dan mencengkeram tangan anakku, dia menghalau kehadiran anakku dan mempelototinya lalu bertanya,

"Kamu siapa?!"

Ya, Ya Tuhan hari inilah kiamatku!

Bab terkait

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   2. ingin memeluk suamiku

    Melihat putriku menangis tentu keluarga Mas Haryadi heran bercampur tidak suka, aku pun panas dingin dibuatnya. Mereka menatap putriku seperti anak gila yang salah alamat, menangisi orang yang tidak dikenalnya sementara mereka juga tidak tahu bahwa darah yang mengalir dalam tubuh anakku juga darah Mas Haryadi."Siapa kamu!" tanya Mbak Dwiana dengan mata mendelik, dirinya yang cantik dengan bola mata besar nampak menakutkan dengan ekspresi demikian. Dia melotot pada anakku dengan kasar. Mungkin karena pengaruh kesedihan wanita itu tidak bisa mengendalikan dirinya."Ini ayahku Tante, ayah Alisa," jawab anakku sesenggukan. Dibelainya wajah pucat Mas Haryadi dengan penuh kasih."Mana mungkin! Mana ibu kamu?!" tanya seorang wanita, yang kuasumsikan sebagai adik suamiku. Dia nampak syok juga penasaran sekali "Dia ada, di situ," ucap anakku sambil menunjuk diri ini dengan polosnya. Kini semua orang tertuju padaku, menatap diri ini dari atas ke bawah dengan roman penuh pertanyaan, mereka m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   3.

    Sampai jenazah di berangkatkan kami tidak diizinkan untuk mendekat, jangankan bisa memeluk peti jenasah yang telah dikarang bunga, menatap dari kejauhan saja tidak bisa. Kami hanya boleh berdiri di radius seratus meter dari rumah mewah itu. Terlihat peti jenazah di naikkan ke mobil besar berwarna putih, lalu sirine mobil tersebut mulai menggaung memecah suara keramaian tempat itu. Tak banyak yang bisa kulakukan selain hanya menyaksikan mobil itu melewati kami."Mari Mbak, saya antar ke pemakaman," ujar Jaka yang tetap setia dan baik kepada kami."Baik, ayo kita pergi," ajakku pada anakku yang telah lemas karena terus menangis. Patahan gelang gelang kaca itu tetap dirangkum ditangannya dan enggan ia lepaskan."Taruh diplastik aja ya," ujar Jaka yang merasa iba pada anakku. Pria itu membuka dashboard mobilnya dan mengeluarkan sebuah kantong plastik lalu menyerahkan kepada Alisa.Diletakkannya kepingan gelang yang sudah pecah itu ke dalamnya lalu anakku memegangnya erat-erat."Makasih O

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   4.

    "Hentikan Dwiana! Kau mempermalukan mendiang dengan cara begitu, Nak, sabar dulu ...." Ibu mertua berusaha membujuk menantu pertamannya untuk tetap tenang.Aku yang sudah panik langsung mengambil putriku dan memeluknya, menyeka darah yang keluar dari dahinya dengan bagian depan gamisku yang panjang. Hatiku sangat hancur, perasaanku terluka dan luka yang sudah ada itu semakin seolah ditambahkan cuka. Putriku ingin segera kubawa ke rumah sakit tapi mbak Dwiana yang sudah menggila menghadang langkahku."Ibu ingin aku sabar? Bagaimana caranya ketika tiba-tiba seorang wanita membawa anak dan mengakui status mereka dihadapan jenazah suamiku Apa yang harus kulakukan?!" Kini wanita itu juga ikut menangis. "Coba berdiri di Posisiku sekali saja ibu, musibah kematian nya saja sudah begitu membuat diri ini tumbang kini ditambah lagi dengan kenyataan baru bahwa dia telah menduakanku dan diam-diam memiliki anak dengan wanita lain, sungguh itu adalah perbuatan yang tidak adil bagi kesetiaan ini!""

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   5

    "Aku tahu, posisiku sebagai yang kedua selalu akan membuat diri ini dinilai sebagai perebut yang tidak tahu adab dan norma...""Nah kau tahu diri, Lon**!" teriak Mbak Dwi."... aku tahu sebutan pelakor itu amat menjijikkan! tapi aku dan suamiku ... kami bersepakat tidak ada aturan baku atau hukum manapun yang akan memenjarakan luasnya cinta dan perasaan kami." Mereka yang mendengar, Mbak Dwi, anak anak, juga ibu mertua dan Adik perempuan Mas Har terdiam." .... buku nikah hanya dokumen yang bisa dimanipulasi siapa saja, bahkan aku bisa mencetaknya jadi lima! Tapi aku tak mau seperti itu. Kuputuskan jalani hidup ini apa adanya, hanya sebagai istri dan cinta Mas Har. Jadi, andai tak punya buku nikah pun, kenyataannya aku adalah istri Mas Haryadi!""Dasar jalang bermulut rendahan!" desis Mbak Dwi, " ... aku heran mengapa Mas Har sampai berselera pada wanita yang sama sekali tak berkelas ini," ujarnya sambil merendahkan cara dia menatapku. Dia mendelik sambil tersenyum sinis, amat amat

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   6

    Kubawa anakku ke rumah sakit, dia langsung ditangani petugas medis di ruang rawat darurat, lukanya dibersihkan dan diberi jahitan sementara putriku masih merintih menahan sakitnya."Ah, Tuhan, ini baru permulaan petaka, berikutnya aku tahu bahwa keluarga Mas Haryadi tak akan membuatku hidup tenang. Mungkin mereka akan mempersulit putriku juga. Ah, Tuhan, aku mohon bantuanmu," gumamku sambil menahan air mataku.Memang mengatas namakan cinta untuk jadi istri kedua tidaklah baik dan bukan alasan yang tepat di mata masyarakat dan orang orang di lingkungan kita. Bagi mereka yang kedua tetaplah perusak dan benalu yang menghancurkan kebahagiaan orang lain.Aku bukannya cari pembenaran dengan mengatakan bahwa selama Mas Har menikah denganku dia sama sekali tak pernah bermasalah dengan istrinya karena begitu rapatnya kami menyembunyikan rahasia, tapi, aku benar benar melihat bahwa tak ada satu hukum dunia pun yang bisa membatasi cintaku pada Mas Har. Ya, hanya dia dan satu satunya dia orang ya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25
  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   7

    Apalagi yang mereka inginkan dengan datang kemari dengan wajah sombong dan muka garang. Apa tidak puas mereka mengusikku pagi tadi, menghajarmu di kuburan Mas Haryadi. Tidak bisakah kami semua yang sedang berduka tidak saling mengusik.Tok tok ....Sudah kuduga, ketukan itu akan terdengar cepat. Kuhampiri bufet, kutatap penampilanku di pantulan kaca. Wajahku pucat, mataku sembab dan ada bekas cakaran di pelipis dan pipi kiri. "Aku harap tidak ada teriakan lagi, putriku yang sakit sedang tertidur," gumamku sambil melangkah dengan berat hati menuju ke pintu.Kubuka pintu dan ku temui ketiga orang yang masih menatapku dengan penuh dendam dan kebencian, di belakang mereka ada Jaka yang terlihat menunjukkan wajah tidak enak padaku namun dia sendiri tidak berdaya."Jadi ini rumah tempat kamu dan Hariyadi menyembunyikan hubungan rahasia kalian?" Tanya Mbak Mbak dwiana, masuk merangsek sambil mendorongku, anaknya pun ikut masuk ke dalam dan mengedarkan pandangan mereka."Kumuh sekali tempat

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25
  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   8. kurang apa

    "Kurang puas atau seperti apa lagi kau ingin menyebut diri ini? Kalian sudah menghinaku sedemikian rupa, lalu apa lagi yang kalian inginkan? jika kalian cari harta dan uang maka aku tidak memilikinya.""Iya, karena kau rendahan dan bodoh," jawab Mbak Dwi sambil tertawa sinis dan mengajak anaknya pergi. Iya, mereka pergi begitu saja setelah merundung dan mengundang emosiku. Mungkin aku harusnya paham, bahwa dengan cara demikianlah Mbak Dwi bisa mengungkapkan perasaan marahnya padaku. Mungkin dengan cara itu dia bisa lega dari kesedihan dan kekecewaan yang mengejutkan. Aku tidak berusaha mencari pembenaran versi diriku atau pembelaan orang lain. Posisi istri kedua yang dinikahi siri membuat statusku tidak terhormat dan pernikahanku seolah pernikahan yang dilakukan untuk menghalalkan zina saja. Padahal tidaklah demikian.Sekarang aku tahu bahwa langkah yang kuambil seperti telah mencoreng arang di wajahku sendiri. Aku tidak bisa menyalahkan perasaan cinta yang saat itu menggebu dan mem

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26
  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   9

    Karena sudah tidak punya suami yang akan membekali hidupku dengan nafkah dan kasih sayang, juga dukungan secara mental kuputuskan untuk bangkit dan mencoba berdiri diatas kaki sendiri seperti yang pernah kulakukan di masa lalu ketika aku masih belum menikah dan membiayai kehidupan keluargaku.Mulai hari ini aku putuskan untuk menggelar dagangan karena aku harus melanjutkan hidup dan meneruskan biaya pendidikan Alisa, dia akan masuk SD dan tentu saja kebutuhannya akan sangat banyak. Setelah usai mandi dan membersihkan rumah, kukemas makanan dan minuman yang akan kujual di lapak nanti. Kuletakkan tumpukan bermacam-macam kue yang sudah dibungkus plastik mika di dalam sebuah box segi empat. Lalu menutupnya dengan rapat. "Alisa, mau ikut Bunda jualan tidak?" tawarku."Enggak Bund, aku sama Samar saja," jawabnya menyebut nama anak tetanggaku, Mbak Yuli."Tapi, apa itu tidak akan merepotkan ibunya Samar?""Enggak.kok, saya gak repot, malah saya senang jika bisa membantu menjaga Alisa." Ti

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-27

Bab terbaru

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   9

    Karena sudah tidak punya suami yang akan membekali hidupku dengan nafkah dan kasih sayang, juga dukungan secara mental kuputuskan untuk bangkit dan mencoba berdiri diatas kaki sendiri seperti yang pernah kulakukan di masa lalu ketika aku masih belum menikah dan membiayai kehidupan keluargaku.Mulai hari ini aku putuskan untuk menggelar dagangan karena aku harus melanjutkan hidup dan meneruskan biaya pendidikan Alisa, dia akan masuk SD dan tentu saja kebutuhannya akan sangat banyak. Setelah usai mandi dan membersihkan rumah, kukemas makanan dan minuman yang akan kujual di lapak nanti. Kuletakkan tumpukan bermacam-macam kue yang sudah dibungkus plastik mika di dalam sebuah box segi empat. Lalu menutupnya dengan rapat. "Alisa, mau ikut Bunda jualan tidak?" tawarku."Enggak Bund, aku sama Samar saja," jawabnya menyebut nama anak tetanggaku, Mbak Yuli."Tapi, apa itu tidak akan merepotkan ibunya Samar?""Enggak.kok, saya gak repot, malah saya senang jika bisa membantu menjaga Alisa." Ti

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   8. kurang apa

    "Kurang puas atau seperti apa lagi kau ingin menyebut diri ini? Kalian sudah menghinaku sedemikian rupa, lalu apa lagi yang kalian inginkan? jika kalian cari harta dan uang maka aku tidak memilikinya.""Iya, karena kau rendahan dan bodoh," jawab Mbak Dwi sambil tertawa sinis dan mengajak anaknya pergi. Iya, mereka pergi begitu saja setelah merundung dan mengundang emosiku. Mungkin aku harusnya paham, bahwa dengan cara demikianlah Mbak Dwi bisa mengungkapkan perasaan marahnya padaku. Mungkin dengan cara itu dia bisa lega dari kesedihan dan kekecewaan yang mengejutkan. Aku tidak berusaha mencari pembenaran versi diriku atau pembelaan orang lain. Posisi istri kedua yang dinikahi siri membuat statusku tidak terhormat dan pernikahanku seolah pernikahan yang dilakukan untuk menghalalkan zina saja. Padahal tidaklah demikian.Sekarang aku tahu bahwa langkah yang kuambil seperti telah mencoreng arang di wajahku sendiri. Aku tidak bisa menyalahkan perasaan cinta yang saat itu menggebu dan mem

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   7

    Apalagi yang mereka inginkan dengan datang kemari dengan wajah sombong dan muka garang. Apa tidak puas mereka mengusikku pagi tadi, menghajarmu di kuburan Mas Haryadi. Tidak bisakah kami semua yang sedang berduka tidak saling mengusik.Tok tok ....Sudah kuduga, ketukan itu akan terdengar cepat. Kuhampiri bufet, kutatap penampilanku di pantulan kaca. Wajahku pucat, mataku sembab dan ada bekas cakaran di pelipis dan pipi kiri. "Aku harap tidak ada teriakan lagi, putriku yang sakit sedang tertidur," gumamku sambil melangkah dengan berat hati menuju ke pintu.Kubuka pintu dan ku temui ketiga orang yang masih menatapku dengan penuh dendam dan kebencian, di belakang mereka ada Jaka yang terlihat menunjukkan wajah tidak enak padaku namun dia sendiri tidak berdaya."Jadi ini rumah tempat kamu dan Hariyadi menyembunyikan hubungan rahasia kalian?" Tanya Mbak Mbak dwiana, masuk merangsek sambil mendorongku, anaknya pun ikut masuk ke dalam dan mengedarkan pandangan mereka."Kumuh sekali tempat

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   6

    Kubawa anakku ke rumah sakit, dia langsung ditangani petugas medis di ruang rawat darurat, lukanya dibersihkan dan diberi jahitan sementara putriku masih merintih menahan sakitnya."Ah, Tuhan, ini baru permulaan petaka, berikutnya aku tahu bahwa keluarga Mas Haryadi tak akan membuatku hidup tenang. Mungkin mereka akan mempersulit putriku juga. Ah, Tuhan, aku mohon bantuanmu," gumamku sambil menahan air mataku.Memang mengatas namakan cinta untuk jadi istri kedua tidaklah baik dan bukan alasan yang tepat di mata masyarakat dan orang orang di lingkungan kita. Bagi mereka yang kedua tetaplah perusak dan benalu yang menghancurkan kebahagiaan orang lain.Aku bukannya cari pembenaran dengan mengatakan bahwa selama Mas Har menikah denganku dia sama sekali tak pernah bermasalah dengan istrinya karena begitu rapatnya kami menyembunyikan rahasia, tapi, aku benar benar melihat bahwa tak ada satu hukum dunia pun yang bisa membatasi cintaku pada Mas Har. Ya, hanya dia dan satu satunya dia orang ya

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   5

    "Aku tahu, posisiku sebagai yang kedua selalu akan membuat diri ini dinilai sebagai perebut yang tidak tahu adab dan norma...""Nah kau tahu diri, Lon**!" teriak Mbak Dwi."... aku tahu sebutan pelakor itu amat menjijikkan! tapi aku dan suamiku ... kami bersepakat tidak ada aturan baku atau hukum manapun yang akan memenjarakan luasnya cinta dan perasaan kami." Mereka yang mendengar, Mbak Dwi, anak anak, juga ibu mertua dan Adik perempuan Mas Har terdiam." .... buku nikah hanya dokumen yang bisa dimanipulasi siapa saja, bahkan aku bisa mencetaknya jadi lima! Tapi aku tak mau seperti itu. Kuputuskan jalani hidup ini apa adanya, hanya sebagai istri dan cinta Mas Har. Jadi, andai tak punya buku nikah pun, kenyataannya aku adalah istri Mas Haryadi!""Dasar jalang bermulut rendahan!" desis Mbak Dwi, " ... aku heran mengapa Mas Har sampai berselera pada wanita yang sama sekali tak berkelas ini," ujarnya sambil merendahkan cara dia menatapku. Dia mendelik sambil tersenyum sinis, amat amat

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   4.

    "Hentikan Dwiana! Kau mempermalukan mendiang dengan cara begitu, Nak, sabar dulu ...." Ibu mertua berusaha membujuk menantu pertamannya untuk tetap tenang.Aku yang sudah panik langsung mengambil putriku dan memeluknya, menyeka darah yang keluar dari dahinya dengan bagian depan gamisku yang panjang. Hatiku sangat hancur, perasaanku terluka dan luka yang sudah ada itu semakin seolah ditambahkan cuka. Putriku ingin segera kubawa ke rumah sakit tapi mbak Dwiana yang sudah menggila menghadang langkahku."Ibu ingin aku sabar? Bagaimana caranya ketika tiba-tiba seorang wanita membawa anak dan mengakui status mereka dihadapan jenazah suamiku Apa yang harus kulakukan?!" Kini wanita itu juga ikut menangis. "Coba berdiri di Posisiku sekali saja ibu, musibah kematian nya saja sudah begitu membuat diri ini tumbang kini ditambah lagi dengan kenyataan baru bahwa dia telah menduakanku dan diam-diam memiliki anak dengan wanita lain, sungguh itu adalah perbuatan yang tidak adil bagi kesetiaan ini!""

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   3.

    Sampai jenazah di berangkatkan kami tidak diizinkan untuk mendekat, jangankan bisa memeluk peti jenasah yang telah dikarang bunga, menatap dari kejauhan saja tidak bisa. Kami hanya boleh berdiri di radius seratus meter dari rumah mewah itu. Terlihat peti jenazah di naikkan ke mobil besar berwarna putih, lalu sirine mobil tersebut mulai menggaung memecah suara keramaian tempat itu. Tak banyak yang bisa kulakukan selain hanya menyaksikan mobil itu melewati kami."Mari Mbak, saya antar ke pemakaman," ujar Jaka yang tetap setia dan baik kepada kami."Baik, ayo kita pergi," ajakku pada anakku yang telah lemas karena terus menangis. Patahan gelang gelang kaca itu tetap dirangkum ditangannya dan enggan ia lepaskan."Taruh diplastik aja ya," ujar Jaka yang merasa iba pada anakku. Pria itu membuka dashboard mobilnya dan mengeluarkan sebuah kantong plastik lalu menyerahkan kepada Alisa.Diletakkannya kepingan gelang yang sudah pecah itu ke dalamnya lalu anakku memegangnya erat-erat."Makasih O

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   2. ingin memeluk suamiku

    Melihat putriku menangis tentu keluarga Mas Haryadi heran bercampur tidak suka, aku pun panas dingin dibuatnya. Mereka menatap putriku seperti anak gila yang salah alamat, menangisi orang yang tidak dikenalnya sementara mereka juga tidak tahu bahwa darah yang mengalir dalam tubuh anakku juga darah Mas Haryadi."Siapa kamu!" tanya Mbak Dwiana dengan mata mendelik, dirinya yang cantik dengan bola mata besar nampak menakutkan dengan ekspresi demikian. Dia melotot pada anakku dengan kasar. Mungkin karena pengaruh kesedihan wanita itu tidak bisa mengendalikan dirinya."Ini ayahku Tante, ayah Alisa," jawab anakku sesenggukan. Dibelainya wajah pucat Mas Haryadi dengan penuh kasih."Mana mungkin! Mana ibu kamu?!" tanya seorang wanita, yang kuasumsikan sebagai adik suamiku. Dia nampak syok juga penasaran sekali "Dia ada, di situ," ucap anakku sambil menunjuk diri ini dengan polosnya. Kini semua orang tertuju padaku, menatap diri ini dari atas ke bawah dengan roman penuh pertanyaan, mereka m

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   1. hari berduka

    "Bu, itu Bu .... Alisa mau cium wajah Ayah, mau peluk Bu, nanti Ayah dibungkus dan dibawa pergi.""Nanti ya Sayang, sebentar." Kubisikkan kalimat itu untuk menenangkan Alisa putriku tapi dia berontak."Alisa juga anak Ayah, Ayah sayang sama Alisa, Ayah janji gak akan pergi lebih cepat seperti ini." Pecah tangis anakku yang sungguh merasakan bahwa ayahnya adalah tumpuan dan cinta pertamanya.Buliran bening itu mengalir dari netra Alisa, bibirnya bergetar, ingin maju tapi dia ragu, aku tahu apa yang dirasakannya dalam suasana mendung dan sendu itu. Putriku hanya ingin memeluk ayahnya sementara aku tak berdaya di depan istri dan keluarga utama Mas Haryadi. Diri ini tak berani tampil untuk bersimpuh terakhir kalinya di hadapan pria yang telah kucintai selama tujuh tahun terakhir, karena, aku hanya istri simpanannya.***Senin 17 januari Aku tak mengira bahwa itu adalah hari terakhir perjumpaan kami dengannya. Hari itu Mas Haryadi menginap, menghabiskan malam panjang dengan bermain ber

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status