4.

"Hentikan Dwiana! Kau mempermalukan mendiang dengan cara begitu, Nak, sabar dulu ...." Ibu mertua berusaha membujuk menantu pertamannya untuk tetap tenang.

Aku yang sudah panik langsung mengambil putriku dan memeluknya, menyeka darah yang keluar dari dahinya dengan bagian depan gamisku yang panjang. Hatiku sangat hancur, perasaanku terluka dan luka yang sudah ada itu semakin seolah ditambahkan cuka. Putriku ingin segera kubawa ke rumah sakit tapi mbak Dwiana yang sudah menggila menghadang langkahku.

"Ibu ingin aku sabar? Bagaimana caranya ketika tiba-tiba seorang wanita membawa anak dan mengakui status mereka dihadapan jenazah suamiku Apa yang harus kulakukan?!" Kini wanita itu juga ikut menangis. "Coba berdiri di Posisiku sekali saja ibu, musibah kematian nya saja sudah begitu membuat diri ini tumbang kini ditambah lagi dengan kenyataan baru bahwa dia telah menduakanku dan diam-diam memiliki anak dengan wanita lain, sungguh itu adalah perbuatan yang tidak adil bagi kesetiaan ini!"

"Ibu paham, Nak, tapi menghajar seorang wanita di depan anaknya juga bukanlah tindakan yang terpuji harusnya kau lebih bisa menahan dirimu dan sebagai istri pertama kau harusnya lebih bermartabat Dwiana."

Wanita yang terus menangis itu akhirnya tertawa sinis sementara air matanya tetap berderai.

"Martabat? Siapa yang peduli tentang martabat ketika wanita ini tiba-tiba datang persemayaman Mas Haryadi, Dia mempermalukan ku di hadapan para tamu dan para pelayat yang lain. Kenyataan yang benar-benar memukul adalah Aku sama sekali tidak pernah tahu apa yang dilakukan Mas Har selama ini!" Wanita itu meradang, emosinya meledak-ledak, dia berteriak sambil menjatuhkan dirinya tepat di tanah kubur Mas Haryadi.

"Tenang Dwiana... Ibu juga tidak tahu kenapa bisa jadi begini, bagaimana pun kabar ini membuat kita semua syok," ucap Ibu sambil membujuk menantunya.

"Katakan padaku wahai Jalang, kenapa kau merebut suamiku dan Pandai sekali kau sembunyikan skandal ini selama bertahun-tahun! Apa yang kau inginkan?"

" Saya tidak ingin apa apa," jawabku menyeka air mata, "pernikahan kami murni karena saling mencintai.

"Apa kau menggoda suamiku dan memaksakan dirimu padanya hingga kau hamil? Apa kau menjeratnya karena kau tahu dia kaya dan punya jabatan?"

"Tidak sama sekali, justru, kami hidup pas-pasan dari uang belanja yang diberikan Mas Har, itupun bukan dari gaji utama, melainkan dari bisnis dan beberapa hal yang dia lakukan untuk membantu temannya!"

Memang suamiku sering membantu memperbaiki atau memodifikasi mobil temannya. Dia ahli di bidang mesin karena memang punya hobi dan passion di bidang otomotif. Belum lagi, ketika teman-teman yang lain meminta jasanya untuk mengajarkan bermain tenis dan golf. Tentu dari uang itulah kami menyambung hidup rumah tangga kami.

"Dasar pelacur, kalau kau memang wanita yang baik dan ingin diakui sebagai istri yang sah, mengapa kau tidak datang padaku dan minta dinikahkan dengan baik-baik?"

"Bukannya saya tidak mau tapi mas Har sendiri yang tidak ingin mengungkap semua itu, dia bilang belum saatnya, dia bilang dia tak mau melihatmu bersedih," jawabku.

"Tapi kedatangan dirimu sudah memukulku seperti pukulan tsunami mempermalukanku dihadapan atasan dan rekan Mas Har. Kau benar benar iblis yang seharusnya tidak boleh bertemu suamiku! dan ya .... gara-gara pulang dari rumahmu lah dia tabrakan dan harus meregang nyawa, meninggalkan kami keluarga yang sangat mencintainya."

Ucapan Wanita itu sangat arogan, dia begitu sombong dan menghardik diri ini dengan teriakan keras tanpa memikirkan perasaan orang lain dia hanya mementingkan harga dirinya sendiri tanpa menimbang bahwa aku juga bertahun tahun punya pengorbananku sendiri. Aku seperti wanita bayangan yang tidak diinginkan semua orang.

"Tante ... jangan marahi Bunda, itu bukan salah Bunda," ucap Alisa menangkupkan tangan, memohon pada wanita bengis itu.

"Jangan jadikan anakmu sebagai tameng, dasar pela***! Kau gila harta bukan, kau ingin diakui sebagai orang yang akan menjadi ahli waris dan penerima hak gaji?! Jangan munafik

"Astaghfirullah._" karena merasa sangat direndahkan olehnya aku menjadi sangat murka. Beda aku merasa panas lutut dan kedua tanganku kucenggkeram kuat karena merasa gemetar mendengar hinaannya. Rasanya harga diri ini tercoreng, hanya karena menjadi istri kedua yang tidak diungkap.

"Dengar Mbak Dwi ana yang terhormat, kalau aku gila harta maka akan ku rebut ia darimu Dan akan kupastikan dia menceraikanmu, akan kupastikan juga suamiku menikahi diri ini secara sah dan aku berada tepat di bawah namanya dalam satu kartu keluarga. Aku menahan diriku, menyembunyikan perasaan dan menahan kebutuhanku demi kehormatan dan cinta kepada Mas Har! Aku sama sekali bukan tipe-tipe wanita yang kau sebutkan tadi!"

"Kalau kau memang punya hati kau tidak akan menyakiti wanita lain dengan merebut suaminya. Kau juga perasaan yang sama kan? Kau tolol atau apa?"

Tiba-tiba anaknya Dirga datang dan melerai amukan sang ibu, dia menarik tubuh Mbak Dwi dan mengajaknya pergi.

"Ayo, Ma. Kita pergi, biarkan dia," ucap Dirga.

"Gak bisa dong, di saat papa telah mati, justru dia baru timbul menunjukkan diri. Kenapa tidak berani jujur selama ini?!" Kini Salwa anak gadis Mas Har juga marah padaku, "memang kalo mental pelakor selalu rendahan," desisnya.

Aku tidak hendak menjawab kata-kata dari Putri suamiku, aku sudah cukup paham bahwa dia sangat menderita dan siap atas kehilangan ayahnya aku tidak ingin menambahkan luka yang ada pada dirinya.

"Aku yakin wanita itu hamil diluar nikah, lalu dia menisbatkan anaknya pada Papa. Asal kamu tahu ya ... anak harammu itu tetaplah anak haram di mata kami, dia tidak akan pernah mendapatkan hak warisan atau perwalian dari Dirga, selamanya!"

"Hei, tutup mulutmu, masih muda saja kau pandai menghakimi orang. Hubunganku dan Ayahmu tidak akan pernah pernah terjalin jika satu diantara kami menolak yang lain. Kami menikah karena kami saling mencintai. Dan ya, kau bilang aku gila hartamu? maaf ya, aku tidak pernah memimpikan semua itu, aku hanya datang ke pemakaman suamiku karena di momen itulah aku hanya bisa melihat wajahnya untuk terakhir kali!"

"Kau tidak berhak!"

"Secara agama aku istrinya dan pernikahan kami sah! Kalau mbak menantangku untuk mendatangkan saksi maka akan kudatangkan, tapi untuk apa juga, aku bersusah payah demi orang yang pada akhirnya akan menghinaku! Kini Mas Har sudah meninggal ... dan hari ini aku tunjukan diri sebagai orang yang dicintainya, sebagai istri keduanya dan anakku ... meski kalian menghinanya anak haram sekalipun, darah yang mengalir di tubuh Alisa tetaplah adalah darah Mas Haryadi!"

Seakan mendengar petir mereka semua terpana dan menatap tajam kepada diri ini yang sudah kehilangan kendali. Fakir marah dan tersakiti nya diri ini aku sampai lupa di mana terakhir kali Mas Dwiana menarik jilbabku dan di mana dia membuangnya.