Sampai jenazah di berangkatkan kami tidak diizinkan untuk mendekat, jangankan bisa memeluk peti jenasah yang telah dikarang bunga, menatap dari kejauhan saja tidak bisa. Kami hanya boleh berdiri di radius seratus meter dari rumah mewah itu.
Terlihat peti jenazah di naikkan ke mobil besar berwarna putih, lalu sirine mobil tersebut mulai menggaung memecah suara keramaian tempat itu. Tak banyak yang bisa kulakukan selain hanya menyaksikan mobil itu melewati kami. "Mari Mbak, saya antar ke pemakaman," ujar Jaka yang tetap setia dan baik kepada kami. "Baik, ayo kita pergi," ajakku pada anakku yang telah lemas karena terus menangis. Patahan gelang gelang kaca itu tetap dirangkum ditangannya dan enggan ia lepaskan. "Taruh diplastik aja ya," ujar Jaka yang merasa iba pada anakku. Pria itu membuka dashboard mobilnya dan mengeluarkan sebuah kantong plastik lalu menyerahkan kepada Alisa. Diletakkannya kepingan gelang yang sudah pecah itu ke dalamnya lalu anakku memegangnya erat-erat. "Makasih Om," bibir mungilnya hanya mengatakan itu di sela mendung yang bergelayut di mata putriku. Sesampainya di tempat pemakaman umum kami pun juga tidak diizinkan untuk mendekat ke area tenda dimana suamiku akan disemayamkan di peristirahatan terakhirnya. Kami hanya bisa melihat dari kejauhan, ada ada orang yang berceramah dan membacakan kata hati dan ungkapan maaf atas nama keluarga. Sampai peti mati diturunkan, kami hanya mampu memandang dengan hati penuh keperihan. Melih jasad suamiku di turunkan dan kumandang azan mendayu dari putra pertamanya membuat hati ini makin teriris kesedihan yang tak bertepi. Kugali kembali memory indah tentangnya yang penuh kesan mendalam. Bukan uang yang kukejar selama bersedia hidup dengannya tapi rasa tentram, perlindungan yang layak sebagai lelaki sejati pada wanita yang miskin yang sering dilecehkan. Dia memberiku sebuah tempat baru yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Bagaimana aku tak mencintainya, jika kebijaksanaan dan perhatiannya sangat meluluhkan, bahkan selama tujuh tahun, aku sama sekali tak pernah mengeluh kekurangan makanan. Mas Haryadi selalu mengisi gentong beras ketika melihat isinya sangat menipis, pun uang belanja yang Alhamdulillah selalu tercukupkan. Meski tak sebanyak istri pertama tapi pria itu tak pernah absen menafkahi uang bulananku. Dia memang jujur tak mampu memberiku status dan tunjangan atau masuk sebagai ahli waris resmi dalam daftar gaji. Tapi dia selalu punya kegiatan sampingan dan dari kegiatan itulah dia berikan uangnya untukku. Ketika azan usai dikumandangkan, orang orang mulai bersiap menurunkan tanah, aku berdiri, ingin mendekat untuk menyaksikan wajah tenang suamiku dalam balutan kain kafan, tapi, sekali lagi Jaka memberiku isyarat agar tidak usah datang. Jangan tanya betapa pedih tangisan Alisa, aku sampai pegal mencegah dan membujuknya. Kukatakan padanya bahwa sikap demikian akan mempermalukan ayah. "Jangan nangis begitu, Nak, kasihan ayah yang akan pergi ke surga, ayah jadi malu pada pelayat yang datang kalau adik terus menangis dengan keras begini," bujukku. "Mana ada anak yang dilarang memeluk Bapaknya," jawab putriku yang cerdas itu. "... aku ingin lihat Ayah, Bund, lihat ayah ...." Anakku menangis dan memukul-mukul bahu ini sementara aku yang tak berdaya hanya bisa memelukmu dengan perasaan hancur. Usai penguburan acara dilanjutkan dengan doa bersama, lalu perlahan, satu persatu pelayat meninggalkan pemakaman. Kami masih di sisi paling sudut tempat pemakaman yang didominasi warna hijau dari rumput yang terawat rapi. Kini tertinggal keluarga suamiku yang masih mengelilingi makam dan membaca surah Yasin. Dari jauh, dari lubuk hatiku, aku pun ikut melantunkan doa yang sama. "Semoga Allah menerimanya, semoga Allah mengampuni dosa dan memaafkan kekhilafan suamiku, aku ikhlas sudah ya Allah." Aku membatin sambil menyeka air mata. Meski bibir dan perasaan mencoba melepaskan jujur saja, ada sedikit hal yang benar benar belum sepenuhnya kuterima, aku nyaris merasa ini seperti mimpi. Baru pagi tadi di memelukku, bahkan aroma parfum kesukaannya masih melekat di tubuhku. Secepat itu dia pergi meninggalkan diri ini yang masih membutuhkan bimbingan dan arah darinya. Pun anakku amat mencintai Mas Haryadi, gadis kecilku amat tak bisa lepas dari suamiku. Satu per satu orang berangsur pergi, tinggallah keluarga mertua dan istri pertama Mas Haryadi yang masih duduk bersimpuh di depan pusara suamiku. Kubur Mas Haryadi berada di bawah pohon yang teduh sehingga keluarga yang berada di sana mungkin berasa betah berlama lama. Terlebih, yang bersemayam adalah yang mereka cintai, pasti ada rasa belum ingin meninggalkan. "Ayo ke sana, Bun," ujar Alisa. "Masih ada orang Nak?" "Kapan mereka pergi?" "Gak tahu," jawabku menggeleng pelan. Mereka yang akhirnya kami tunggu pun pergi, setelah memastikan keadaan sudah sepi aku Alisa dan jaga orang kepercayaan suamiku perlahan mendekat ke pusara yang sudah ditaburi aneka macam bunga, tanahnya masih lembab dan merah. Di pusara tertulis nama dan nama orang tua suamiku, juga tanggal lahir dan wafatnya. Sungguh tak kuasa diri ini menyaksikan semua itu, aku terjatuh hingga lututku menyentuh sisi pembaringannya. Tak kuasa kutahan tangisan yang sejak tadi kubendung di dasar hati. Kata orang tak baik menangisi apalagi meraung, tapi jujur, perasaan di dada sudah bergejolak dan aku tak kuasa menahan. "Mas Har, ya Allah, kamu sudah pergi Mas ... kamu tinggalkan aku dan Alisa seperti ini," ujarku sambil menjatuhkan kepala ke dekat pusarannya. Kucengkeram tanah kubur yang masih gembur, kugenggam seakan menggenggam jemari suamiku. "Bisakah aku hidup tanpamu, Mas? Bisakah aku menjaga anak dan membesarkan dia hingga sukses? Bisakah aku Mas?" Aku menangis hingga suara di tenggorokan ini habis, tercekat dan kering sudah. Mataku perih karena terus mengalirkan buliran panas, anakku juga menangis, kami saling berpelukan dan saling iba pada diri sendiri, sementara Jaka hanya berdiri, menatap tanpa mengatakan apa apa. Aku tahu dia prihatin hanya saja, ah, sudahlah. "Ayo berdoa untuk Ayah, semoga ayah bisa tenang dan pergi ke surga dengan bahagia," bisikku yang pada akhirnya berusaha menegarkan diri di depan anak. "Ayah gak akan kembali ya Bund, ya Allah, ayah ... Alisa Rindu ...." Air mata putriku masih berderai, ungkapan sedihnya amat melubangi dadaku, hingga kembali kami bertangisan. Selagi sibuk melerai tangis dan membalut luka, juga merangkum hati yang patah, tiba tiba Mbak Dwiana datang, dia mendekat bersama kedua anaknya dan seorang pria yang mungkin supir kepercayaan suaminya. "Ngapain nangis di sini, dasar pelakor jahannam!" Wanita itu berteriak. Tanpa ampun lagi dia mendekat, menarik jilbab dan menjambak rambutku, aku di diseret dengan kasar hingga anakku panik melihatnya. "Bunda ....!" "Hentikan, tolong, Mbak!" Aku yang diseret langsung ditendang dan dipukuli, dicakar hingga mata dan wajahku mengeluarkan darah, aku dipukuli bersama dengan anak perempuanny yang ikut murka. Jaka dan supirnya berusaha memisahkan kami, tapi istri pertama Mas Haryadi yang terlanjur sakot hati malah makin meradang melukaiku. "Dwiana, stop! apa yang kamu lakukan!" tiba tiba teriakan ibu mertua menghentikan Mbak Dwi. "Wanita jalang ini harus kuberi pelajaran!" ungkapnya sambil menunjuk, anakku menangis dan coba melerai tapi Mbak Dwi dengan kejamnya mendorong putriku hingga terjerembab dan jatuh, kepalanya terbentur mengenai ubin makam seseorang hingga membuat dahi putriku langsung berdarah. Aku panik dan langsung marah melihatnya. "Ah ... Bunda sakit ...." Anakku sontak menangis sementara aku langsung gelap mata."Hentikan Dwiana! Kau mempermalukan mendiang dengan cara begitu, Nak, sabar dulu ...." Ibu mertua berusaha membujuk menantu pertamannya untuk tetap tenang.Aku yang sudah panik langsung mengambil putriku dan memeluknya, menyeka darah yang keluar dari dahinya dengan bagian depan gamisku yang panjang. Hatiku sangat hancur, perasaanku terluka dan luka yang sudah ada itu semakin seolah ditambahkan cuka. Putriku ingin segera kubawa ke rumah sakit tapi mbak Dwiana yang sudah menggila menghadang langkahku."Ibu ingin aku sabar? Bagaimana caranya ketika tiba-tiba seorang wanita membawa anak dan mengakui status mereka dihadapan jenazah suamiku Apa yang harus kulakukan?!" Kini wanita itu juga ikut menangis. "Coba berdiri di Posisiku sekali saja ibu, musibah kematian nya saja sudah begitu membuat diri ini tumbang kini ditambah lagi dengan kenyataan baru bahwa dia telah menduakanku dan diam-diam memiliki anak dengan wanita lain, sungguh itu adalah perbuatan yang tidak adil bagi kesetiaan ini!""
"Aku tahu, posisiku sebagai yang kedua selalu akan membuat diri ini dinilai sebagai perebut yang tidak tahu adab dan norma...""Nah kau tahu diri, Lon**!" teriak Mbak Dwi."... aku tahu sebutan pelakor itu amat menjijikkan! tapi aku dan suamiku ... kami bersepakat tidak ada aturan baku atau hukum manapun yang akan memenjarakan luasnya cinta dan perasaan kami." Mereka yang mendengar, Mbak Dwi, anak anak, juga ibu mertua dan Adik perempuan Mas Har terdiam." .... buku nikah hanya dokumen yang bisa dimanipulasi siapa saja, bahkan aku bisa mencetaknya jadi lima! Tapi aku tak mau seperti itu. Kuputuskan jalani hidup ini apa adanya, hanya sebagai istri dan cinta Mas Har. Jadi, andai tak punya buku nikah pun, kenyataannya aku adalah istri Mas Haryadi!""Dasar jalang bermulut rendahan!" desis Mbak Dwi, " ... aku heran mengapa Mas Har sampai berselera pada wanita yang sama sekali tak berkelas ini," ujarnya sambil merendahkan cara dia menatapku. Dia mendelik sambil tersenyum sinis, amat amat
Kubawa anakku ke rumah sakit, dia langsung ditangani petugas medis di ruang rawat darurat, lukanya dibersihkan dan diberi jahitan sementara putriku masih merintih menahan sakitnya."Ah, Tuhan, ini baru permulaan petaka, berikutnya aku tahu bahwa keluarga Mas Haryadi tak akan membuatku hidup tenang. Mungkin mereka akan mempersulit putriku juga. Ah, Tuhan, aku mohon bantuanmu," gumamku sambil menahan air mataku.Memang mengatas namakan cinta untuk jadi istri kedua tidaklah baik dan bukan alasan yang tepat di mata masyarakat dan orang orang di lingkungan kita. Bagi mereka yang kedua tetaplah perusak dan benalu yang menghancurkan kebahagiaan orang lain.Aku bukannya cari pembenaran dengan mengatakan bahwa selama Mas Har menikah denganku dia sama sekali tak pernah bermasalah dengan istrinya karena begitu rapatnya kami menyembunyikan rahasia, tapi, aku benar benar melihat bahwa tak ada satu hukum dunia pun yang bisa membatasi cintaku pada Mas Har. Ya, hanya dia dan satu satunya dia orang ya
Apalagi yang mereka inginkan dengan datang kemari dengan wajah sombong dan muka garang. Apa tidak puas mereka mengusikku pagi tadi, menghajarmu di kuburan Mas Haryadi. Tidak bisakah kami semua yang sedang berduka tidak saling mengusik.Tok tok ....Sudah kuduga, ketukan itu akan terdengar cepat. Kuhampiri bufet, kutatap penampilanku di pantulan kaca. Wajahku pucat, mataku sembab dan ada bekas cakaran di pelipis dan pipi kiri. "Aku harap tidak ada teriakan lagi, putriku yang sakit sedang tertidur," gumamku sambil melangkah dengan berat hati menuju ke pintu.Kubuka pintu dan ku temui ketiga orang yang masih menatapku dengan penuh dendam dan kebencian, di belakang mereka ada Jaka yang terlihat menunjukkan wajah tidak enak padaku namun dia sendiri tidak berdaya."Jadi ini rumah tempat kamu dan Hariyadi menyembunyikan hubungan rahasia kalian?" Tanya Mbak Mbak dwiana, masuk merangsek sambil mendorongku, anaknya pun ikut masuk ke dalam dan mengedarkan pandangan mereka."Kumuh sekali tempat
"Kurang puas atau seperti apa lagi kau ingin menyebut diri ini? Kalian sudah menghinaku sedemikian rupa, lalu apa lagi yang kalian inginkan? jika kalian cari harta dan uang maka aku tidak memilikinya.""Iya, karena kau rendahan dan bodoh," jawab Mbak Dwi sambil tertawa sinis dan mengajak anaknya pergi. Iya, mereka pergi begitu saja setelah merundung dan mengundang emosiku. Mungkin aku harusnya paham, bahwa dengan cara demikianlah Mbak Dwi bisa mengungkapkan perasaan marahnya padaku. Mungkin dengan cara itu dia bisa lega dari kesedihan dan kekecewaan yang mengejutkan. Aku tidak berusaha mencari pembenaran versi diriku atau pembelaan orang lain. Posisi istri kedua yang dinikahi siri membuat statusku tidak terhormat dan pernikahanku seolah pernikahan yang dilakukan untuk menghalalkan zina saja. Padahal tidaklah demikian.Sekarang aku tahu bahwa langkah yang kuambil seperti telah mencoreng arang di wajahku sendiri. Aku tidak bisa menyalahkan perasaan cinta yang saat itu menggebu dan mem
Karena sudah tidak punya suami yang akan membekali hidupku dengan nafkah dan kasih sayang, juga dukungan secara mental kuputuskan untuk bangkit dan mencoba berdiri diatas kaki sendiri seperti yang pernah kulakukan di masa lalu ketika aku masih belum menikah dan membiayai kehidupan keluargaku.Mulai hari ini aku putuskan untuk menggelar dagangan karena aku harus melanjutkan hidup dan meneruskan biaya pendidikan Alisa, dia akan masuk SD dan tentu saja kebutuhannya akan sangat banyak. Setelah usai mandi dan membersihkan rumah, kukemas makanan dan minuman yang akan kujual di lapak nanti. Kuletakkan tumpukan bermacam-macam kue yang sudah dibungkus plastik mika di dalam sebuah box segi empat. Lalu menutupnya dengan rapat. "Alisa, mau ikut Bunda jualan tidak?" tawarku."Enggak Bund, aku sama Samar saja," jawabnya menyebut nama anak tetanggaku, Mbak Yuli."Tapi, apa itu tidak akan merepotkan ibunya Samar?""Enggak.kok, saya gak repot, malah saya senang jika bisa membantu menjaga Alisa." Ti
"Bu, itu Bu .... Alisa mau cium wajah Ayah, mau peluk Bu, nanti Ayah dibungkus dan dibawa pergi.""Nanti ya Sayang, sebentar." Kubisikkan kalimat itu untuk menenangkan Alisa putriku tapi dia berontak."Alisa juga anak Ayah, Ayah sayang sama Alisa, Ayah janji gak akan pergi lebih cepat seperti ini." Pecah tangis anakku yang sungguh merasakan bahwa ayahnya adalah tumpuan dan cinta pertamanya.Buliran bening itu mengalir dari netra Alisa, bibirnya bergetar, ingin maju tapi dia ragu, aku tahu apa yang dirasakannya dalam suasana mendung dan sendu itu. Putriku hanya ingin memeluk ayahnya sementara aku tak berdaya di depan istri dan keluarga utama Mas Haryadi. Diri ini tak berani tampil untuk bersimpuh terakhir kalinya di hadapan pria yang telah kucintai selama tujuh tahun terakhir, karena, aku hanya istri simpanannya.***Senin 17 januari Aku tak mengira bahwa itu adalah hari terakhir perjumpaan kami dengannya. Hari itu Mas Haryadi menginap, menghabiskan malam panjang dengan bermain ber
Melihat putriku menangis tentu keluarga Mas Haryadi heran bercampur tidak suka, aku pun panas dingin dibuatnya. Mereka menatap putriku seperti anak gila yang salah alamat, menangisi orang yang tidak dikenalnya sementara mereka juga tidak tahu bahwa darah yang mengalir dalam tubuh anakku juga darah Mas Haryadi."Siapa kamu!" tanya Mbak Dwiana dengan mata mendelik, dirinya yang cantik dengan bola mata besar nampak menakutkan dengan ekspresi demikian. Dia melotot pada anakku dengan kasar. Mungkin karena pengaruh kesedihan wanita itu tidak bisa mengendalikan dirinya."Ini ayahku Tante, ayah Alisa," jawab anakku sesenggukan. Dibelainya wajah pucat Mas Haryadi dengan penuh kasih."Mana mungkin! Mana ibu kamu?!" tanya seorang wanita, yang kuasumsikan sebagai adik suamiku. Dia nampak syok juga penasaran sekali "Dia ada, di situ," ucap anakku sambil menunjuk diri ini dengan polosnya. Kini semua orang tertuju padaku, menatap diri ini dari atas ke bawah dengan roman penuh pertanyaan, mereka m
Karena sudah tidak punya suami yang akan membekali hidupku dengan nafkah dan kasih sayang, juga dukungan secara mental kuputuskan untuk bangkit dan mencoba berdiri diatas kaki sendiri seperti yang pernah kulakukan di masa lalu ketika aku masih belum menikah dan membiayai kehidupan keluargaku.Mulai hari ini aku putuskan untuk menggelar dagangan karena aku harus melanjutkan hidup dan meneruskan biaya pendidikan Alisa, dia akan masuk SD dan tentu saja kebutuhannya akan sangat banyak. Setelah usai mandi dan membersihkan rumah, kukemas makanan dan minuman yang akan kujual di lapak nanti. Kuletakkan tumpukan bermacam-macam kue yang sudah dibungkus plastik mika di dalam sebuah box segi empat. Lalu menutupnya dengan rapat. "Alisa, mau ikut Bunda jualan tidak?" tawarku."Enggak Bund, aku sama Samar saja," jawabnya menyebut nama anak tetanggaku, Mbak Yuli."Tapi, apa itu tidak akan merepotkan ibunya Samar?""Enggak.kok, saya gak repot, malah saya senang jika bisa membantu menjaga Alisa." Ti
"Kurang puas atau seperti apa lagi kau ingin menyebut diri ini? Kalian sudah menghinaku sedemikian rupa, lalu apa lagi yang kalian inginkan? jika kalian cari harta dan uang maka aku tidak memilikinya.""Iya, karena kau rendahan dan bodoh," jawab Mbak Dwi sambil tertawa sinis dan mengajak anaknya pergi. Iya, mereka pergi begitu saja setelah merundung dan mengundang emosiku. Mungkin aku harusnya paham, bahwa dengan cara demikianlah Mbak Dwi bisa mengungkapkan perasaan marahnya padaku. Mungkin dengan cara itu dia bisa lega dari kesedihan dan kekecewaan yang mengejutkan. Aku tidak berusaha mencari pembenaran versi diriku atau pembelaan orang lain. Posisi istri kedua yang dinikahi siri membuat statusku tidak terhormat dan pernikahanku seolah pernikahan yang dilakukan untuk menghalalkan zina saja. Padahal tidaklah demikian.Sekarang aku tahu bahwa langkah yang kuambil seperti telah mencoreng arang di wajahku sendiri. Aku tidak bisa menyalahkan perasaan cinta yang saat itu menggebu dan mem
Apalagi yang mereka inginkan dengan datang kemari dengan wajah sombong dan muka garang. Apa tidak puas mereka mengusikku pagi tadi, menghajarmu di kuburan Mas Haryadi. Tidak bisakah kami semua yang sedang berduka tidak saling mengusik.Tok tok ....Sudah kuduga, ketukan itu akan terdengar cepat. Kuhampiri bufet, kutatap penampilanku di pantulan kaca. Wajahku pucat, mataku sembab dan ada bekas cakaran di pelipis dan pipi kiri. "Aku harap tidak ada teriakan lagi, putriku yang sakit sedang tertidur," gumamku sambil melangkah dengan berat hati menuju ke pintu.Kubuka pintu dan ku temui ketiga orang yang masih menatapku dengan penuh dendam dan kebencian, di belakang mereka ada Jaka yang terlihat menunjukkan wajah tidak enak padaku namun dia sendiri tidak berdaya."Jadi ini rumah tempat kamu dan Hariyadi menyembunyikan hubungan rahasia kalian?" Tanya Mbak Mbak dwiana, masuk merangsek sambil mendorongku, anaknya pun ikut masuk ke dalam dan mengedarkan pandangan mereka."Kumuh sekali tempat
Kubawa anakku ke rumah sakit, dia langsung ditangani petugas medis di ruang rawat darurat, lukanya dibersihkan dan diberi jahitan sementara putriku masih merintih menahan sakitnya."Ah, Tuhan, ini baru permulaan petaka, berikutnya aku tahu bahwa keluarga Mas Haryadi tak akan membuatku hidup tenang. Mungkin mereka akan mempersulit putriku juga. Ah, Tuhan, aku mohon bantuanmu," gumamku sambil menahan air mataku.Memang mengatas namakan cinta untuk jadi istri kedua tidaklah baik dan bukan alasan yang tepat di mata masyarakat dan orang orang di lingkungan kita. Bagi mereka yang kedua tetaplah perusak dan benalu yang menghancurkan kebahagiaan orang lain.Aku bukannya cari pembenaran dengan mengatakan bahwa selama Mas Har menikah denganku dia sama sekali tak pernah bermasalah dengan istrinya karena begitu rapatnya kami menyembunyikan rahasia, tapi, aku benar benar melihat bahwa tak ada satu hukum dunia pun yang bisa membatasi cintaku pada Mas Har. Ya, hanya dia dan satu satunya dia orang ya
"Aku tahu, posisiku sebagai yang kedua selalu akan membuat diri ini dinilai sebagai perebut yang tidak tahu adab dan norma...""Nah kau tahu diri, Lon**!" teriak Mbak Dwi."... aku tahu sebutan pelakor itu amat menjijikkan! tapi aku dan suamiku ... kami bersepakat tidak ada aturan baku atau hukum manapun yang akan memenjarakan luasnya cinta dan perasaan kami." Mereka yang mendengar, Mbak Dwi, anak anak, juga ibu mertua dan Adik perempuan Mas Har terdiam." .... buku nikah hanya dokumen yang bisa dimanipulasi siapa saja, bahkan aku bisa mencetaknya jadi lima! Tapi aku tak mau seperti itu. Kuputuskan jalani hidup ini apa adanya, hanya sebagai istri dan cinta Mas Har. Jadi, andai tak punya buku nikah pun, kenyataannya aku adalah istri Mas Haryadi!""Dasar jalang bermulut rendahan!" desis Mbak Dwi, " ... aku heran mengapa Mas Har sampai berselera pada wanita yang sama sekali tak berkelas ini," ujarnya sambil merendahkan cara dia menatapku. Dia mendelik sambil tersenyum sinis, amat amat
"Hentikan Dwiana! Kau mempermalukan mendiang dengan cara begitu, Nak, sabar dulu ...." Ibu mertua berusaha membujuk menantu pertamannya untuk tetap tenang.Aku yang sudah panik langsung mengambil putriku dan memeluknya, menyeka darah yang keluar dari dahinya dengan bagian depan gamisku yang panjang. Hatiku sangat hancur, perasaanku terluka dan luka yang sudah ada itu semakin seolah ditambahkan cuka. Putriku ingin segera kubawa ke rumah sakit tapi mbak Dwiana yang sudah menggila menghadang langkahku."Ibu ingin aku sabar? Bagaimana caranya ketika tiba-tiba seorang wanita membawa anak dan mengakui status mereka dihadapan jenazah suamiku Apa yang harus kulakukan?!" Kini wanita itu juga ikut menangis. "Coba berdiri di Posisiku sekali saja ibu, musibah kematian nya saja sudah begitu membuat diri ini tumbang kini ditambah lagi dengan kenyataan baru bahwa dia telah menduakanku dan diam-diam memiliki anak dengan wanita lain, sungguh itu adalah perbuatan yang tidak adil bagi kesetiaan ini!""
Sampai jenazah di berangkatkan kami tidak diizinkan untuk mendekat, jangankan bisa memeluk peti jenasah yang telah dikarang bunga, menatap dari kejauhan saja tidak bisa. Kami hanya boleh berdiri di radius seratus meter dari rumah mewah itu. Terlihat peti jenazah di naikkan ke mobil besar berwarna putih, lalu sirine mobil tersebut mulai menggaung memecah suara keramaian tempat itu. Tak banyak yang bisa kulakukan selain hanya menyaksikan mobil itu melewati kami."Mari Mbak, saya antar ke pemakaman," ujar Jaka yang tetap setia dan baik kepada kami."Baik, ayo kita pergi," ajakku pada anakku yang telah lemas karena terus menangis. Patahan gelang gelang kaca itu tetap dirangkum ditangannya dan enggan ia lepaskan."Taruh diplastik aja ya," ujar Jaka yang merasa iba pada anakku. Pria itu membuka dashboard mobilnya dan mengeluarkan sebuah kantong plastik lalu menyerahkan kepada Alisa.Diletakkannya kepingan gelang yang sudah pecah itu ke dalamnya lalu anakku memegangnya erat-erat."Makasih O
Melihat putriku menangis tentu keluarga Mas Haryadi heran bercampur tidak suka, aku pun panas dingin dibuatnya. Mereka menatap putriku seperti anak gila yang salah alamat, menangisi orang yang tidak dikenalnya sementara mereka juga tidak tahu bahwa darah yang mengalir dalam tubuh anakku juga darah Mas Haryadi."Siapa kamu!" tanya Mbak Dwiana dengan mata mendelik, dirinya yang cantik dengan bola mata besar nampak menakutkan dengan ekspresi demikian. Dia melotot pada anakku dengan kasar. Mungkin karena pengaruh kesedihan wanita itu tidak bisa mengendalikan dirinya."Ini ayahku Tante, ayah Alisa," jawab anakku sesenggukan. Dibelainya wajah pucat Mas Haryadi dengan penuh kasih."Mana mungkin! Mana ibu kamu?!" tanya seorang wanita, yang kuasumsikan sebagai adik suamiku. Dia nampak syok juga penasaran sekali "Dia ada, di situ," ucap anakku sambil menunjuk diri ini dengan polosnya. Kini semua orang tertuju padaku, menatap diri ini dari atas ke bawah dengan roman penuh pertanyaan, mereka m
"Bu, itu Bu .... Alisa mau cium wajah Ayah, mau peluk Bu, nanti Ayah dibungkus dan dibawa pergi.""Nanti ya Sayang, sebentar." Kubisikkan kalimat itu untuk menenangkan Alisa putriku tapi dia berontak."Alisa juga anak Ayah, Ayah sayang sama Alisa, Ayah janji gak akan pergi lebih cepat seperti ini." Pecah tangis anakku yang sungguh merasakan bahwa ayahnya adalah tumpuan dan cinta pertamanya.Buliran bening itu mengalir dari netra Alisa, bibirnya bergetar, ingin maju tapi dia ragu, aku tahu apa yang dirasakannya dalam suasana mendung dan sendu itu. Putriku hanya ingin memeluk ayahnya sementara aku tak berdaya di depan istri dan keluarga utama Mas Haryadi. Diri ini tak berani tampil untuk bersimpuh terakhir kalinya di hadapan pria yang telah kucintai selama tujuh tahun terakhir, karena, aku hanya istri simpanannya.***Senin 17 januari Aku tak mengira bahwa itu adalah hari terakhir perjumpaan kami dengannya. Hari itu Mas Haryadi menginap, menghabiskan malam panjang dengan bermain ber