Aku menyeringai. "Oh, ya. Kalau begitu akan kuadukan kamu juga. Manipulasi perceraian kita. Dengan sangat jelas selama lima tahun aku masih memberikan hasil keringatku padamu. Dan kamu tahu pasti aku kerja di negara mana. Tiap dua Minggu, aku sempatkan telepon, tapi kamu justru mengajukan cerai ghaib."
Terlihat raut wajah mas Larsono yang terkejut."Kamu kira aku bo doh dan akan menangis saja melihat kamu mempermainkanku, Mas? Jangan ngarep. Sori Mas. Dulu memang aku berpendapat kalau mematuhi suami itu merupakan kunci syurga sang istri dan aku pun setuju saat kamu menyuruhku ke luar negeri. Tapi sekarang, enggak akan lagi. Nggak sudi aku jadi sapi perahmu, Mas!""Oh, jadi kamu nggak akan menghapus dan nggak akan klarifikasi soal Titin dan aku?" tanya mas Larsono geram."Ya. Kenapa? Mau protes?""Kalau begitu siap-siap saja kamu kalau aku bawa pengacara dan mempolisikan kamu, Nai!""Polisi? Siapa yang akan ditangkap polisi, Buk?" tanya Danang takut.Lihatlah mantan suamiku ini, telah gelap mata rupanya dia. Sudah mengambil semua hasil kerja kerasku, sekarang mencoba membuatku dipenjara."Oke. Silakan. Aku juga akan menuntut kamu untuk mengembalikan mobil dan toko sembako yang kamu bangun dengan jerih payahku.""Kamu takkan bisa.""Itu kan menurut kamu. Emangnya kamu aja yang bisa sewa pengacara? Aku juga bisa. Bahkan aku masih menyimpan bukti transfer semua gaji aku ke kamu. Gaji yang kukirimkan dan telah kamu gunakan untuk beli mobil, dan membangun toko. Kita lihat siapa yang akan memenangkan kasus harta gono gini ini, Mas!"Mas Larsono terhenyak. Lalu sebelum dia sempat mengatakan apapun, ponselnya berbunyi. Gegas dia menerima panggilan di hadapanku dengan memanggil lawan bicaranya begitu mesra."Halo, Sayang."Mas Larsono melirikku sambil menyeringai. Pasti Titin yang meneleponnya. Dia pikir, dia bisa membuatku cemburu? Tidak! Sekarang bahkan hatiku sudah mati rasa. Dan aku tidak peduli, dia mau salto, ketawa, atau berguling-guling di depanku."Astaga, masa Yang? Ada tulisan pelakor di toko sembako kita dan kamu nyaris dikeroyok tetangga?" tanya mas Larsono panik. Matanya mendelik lalu menatap tajam padaku.Aku hanya membalas dengan melambaikan tangan dan menyeringai padanya."Pasti kamu yang telah menyuruh orang untuk meneror kami!!" seru mas Larsono setelah mengakhiri panggilan.Aku mengedikkan bahu. "Hati-hati lho kalau menuduh orang tanpa bukti, bisa terjerat pasal pencemaran nama baik. Kamu kira aku nggak pernah baca tentang masalah-masalah viral di internet? Kamu salah, Mas!"Mas Larsono terdiam sejenak. "Kalau begitu, hapus segera postingan kamu dan minta maaf pada kami!""Hm, boleh. Tapi ada syaratnya!""Katakan apa syaratnya!""Segera setelah kamu balik nama mobil dan toko dengan namaku, serta merelakan hak asuh Danang padaku, aku akan merelakan semuanya dan melakukan klarifikasi. Bagaimana, Mas?" tanyaku santai.Mas Larsono mendelik."Wah, kamu benar-benar matre ya. Kok tega sih kamu mau mengambil semua asetku?" tanya mas Larsono membuatku terbahak-bahak."Hei, ngaca Mas! Kamu atau aku yang matre? Kamu atau aku yang keterlaluan?" tanyaku balik. "Itu kan semua hasil kerja keras aku di luar negeri. Gimana sih?"Mas Larsono menyeringai. "Tapi kan tanah yang ditempati toko sembako itu tanah warisan milik Titin, bukan milik kamu? Apa itu tanah itu mau kamu rampas juga?!""Heh, Mas. Kamu ini benar-benar benalu dan gak tahu malu. Seharusnya kamu tahu diri, kalau aku yang menghidupi kalian selama ini, tapi ini balasannya? Aku meminta kembali aset itu karena untuk masa depan Danang.""Danang akan ikut aku! Jadi semua aset tetap milikku karena sudah tertulis di sertifikat nya atas namaku." Mas Larsono mengepalkan tangannya."Wow, lucu sekali. Danang ikut kamu, katamu? Coba tanya pada Ibumu, Titin atau Danang, bagaimana perlakuan mereka pada Danang saat kamu enggak ada di rumah?" tanyaku sengit.Mas Larsono terhenyak. "Apa maksud kamu?""Hm, kamu ini bo doh atau pura-pura bo doh? Nggak tahu apa pura-pura tidak tahu, hah?"Mas Larsono hanya terdiam. Astaga, sepertinya dia benar-benar tidak tahu."Heh, dengerin aku ya Mas! Danang sudah cerita padaku tadi. Kalau saat ibu mu dan Titin sedang makan ayam, mereka memberikan lauk kerupuk pada Danang."Mas Larsono tercengang. "Apa? Nggak mungkin!"Aku tertawa."Nggak mungkin kamu bilang, Mas? Tanya aja sendiri pada Danang. Melihat ibu kamu dan Titin yang seperti itu, apa kamu pikir aku akan rela melepaskan Danang untuk diasuh mereka? Jangan mimpi!"Aku menghela nafas panjang. Sementara mas Larsono masih tidak percaya pada penuturan ku."Sudahlah. Jangan baca melamun, Mas. Intinya kamu akan menyerahkan kembali hasil kerjaku nggak? Walaupun tanah untuk bikin toko itu adalah warisan bagian Titin, aku bisa kok membelinya," tukasku yakin."Sombong sekali kamu. Aku tidak akan pernah memberikan hasil kerja kerasku padamu lagi.""Oh ya, kamu lihat saja nanti. Jangan terlalu yakin sekarang. Kalau begitu, aku pun tidak akan menghapus postinganku. Kamu akan lihat berapa menyeramkannya hukuman sosial oleh netizen. Inget itu baik-baik!"Aku menatap tajam ke mata mas Larsono. Tak pernah kukira kami akan bermusuhan. Tak pernah kukira sikapnya yang dulu sangat mesra dan romantis, sekarang berbalik sadis dan menyerangku.Mas Larsono menyeringai. "Baiklah. Kita lihat saja, Nai. Aku atau kamu yang menang dalam hal ini. Kurasa aku sudah tepat mengambil keputusan untuk menceraikan kamu."Usai mengucapkan hal itu, mas Larsono pun meninggalkanku dan Danang. Danang memeluk pinggangku dan menyembunyikan wajahnya di balik punggung."Bu, apa bapak dan ibu bertengkar? Kenapa bapak dan ibu bertengkar?" tanya Danang lirih.Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya sekuat tenaga. Mensejajarkan diri dengan tinggi Danang, kutatap mata anakku erat. Terlihat ada luka dan tanya di matanya.Aku memeluk Danang erat. Nyaris menangis namun kutahan sekuat hati. Kurasa tak ada seorang pun istri di dunia ini yang ingin bekerja keluar negeri meninggalkan anaknya. Tak ada satu pun istri yang bermimpi akan bercerai dengan sang suami bila suaminya menafkahi dan mengayomi dengan baik. Tak ada satupun ibu yang bermimpi melihat anaknya terluka karena pertengkaran kedua orang tuanya.Dan air mata itu pun luruh. Jebol juga pertahananku untuk pura-pura kuat di depan Danang. Aku sesenggukan di pundak Danang. Sakit sekali jika orang-orang yang telah kupercaya telah berkhianat."Buk, jangan menangis."Danang melerai pelukan dan menghapus air mataku dengan tangan mungilnya.Aku memeluk Danang dengan erat. "Mulai sekarang, hanya ada kamu dan Ibu ya Nang. Jangan cari bapak dan Tante kamu lagi. Dan satu hal kalau mereka mau ngajak kamu pergi, kamu harus ijin dulu pada ibuk. Mengerti kan?"Danang mengangguk."Ya sudah, ayo sekarang kita masuk ke dalam rumah dulu. Ibu perlu bersih-bersih rumah dan menata barang ibu." Danang mengangguk dan mengikutiku.*Aku telah membalas satu persatu pesan yang masuk ke dalam ponselku. Luar biasa sekali antusiasme para netizen jika sudah berurusan dengan pelakor. Tak kusangka sudah ribuan orang membagikan dan berkomentar di postinganku."Buk, Danang sudah siap." Suara mungil itu membuatku memalingkan wajah dari layar Hp."Ya sudah. Ayo kita sarapan dahulu sebelum berangkat sekolah, Nak."Aku menatap Danang yang termenung lama sambil menatap makanan di hadapannya."Kamu kenapa, Nak? Ada yang sakit?" tanyaku cemas.Danang menggeleng. "Cuma kangen Bapak."Aku menelan ludah dan mengelus punggung tangannya."Maafkan Ibu yang pergi meninggalkanmu ya. Sekarang kamu makan dulu. Nanti sekolah kamu telat."Danang mengangguk lalu menyuapkan nasi goreng sosis ke mulutnya perlahan.Jalanan tampak berbeda. Tapi bukan berarti aku lupa sama sekali dengan jalanan kota tempat kelahiranku.Sekolah dasar tempat Danang bekerja merupakan tempat bersekolah ku dulu. Dan masih letaknya masih tetap. Kuajak Danang ke sekolah setelah sarapannya habis.Beberapa mata wali murid tampak menatapku dengan aneh. Satu dua ibu-ibu tampak berbisik. Tapi tak ada yang berani menyapa.Memang letak sekolah dasarnya hanya satu setengah kilometer dari rumah. Banyak anak tetangga juga bersekolah di sana. Kata Danang, kadang dia berangkat dengan Dodi, anak bungsu Bu Joko. Tapi pagi ini, biarlah aku yang mengantarnya ke sekolah.Saat aku hendak pulang, salah satu dari ibu-ibu itu mendekat."Mbak Nai, bisa kita bicara sebentar?"Aku menatap ke arah anak sulung kepala desa itu dengan heran."Ada apa, Mbak Lisa?""Ayo ikut saya sebentar, mbak Nai, ini soal anak Titin yang baru lahir.*"Aku terhenyak sejenak."Oke, Mbak."Flash back on.Hujan menderas yang membuat suasana menjelang Maghrib semakin terasa muram. Aku melihat jam dinding yang menempel di tembok seraya menenangkan Danang yang baru saja disapih."Duh, kok belum pulang sih mas Larsono. Sudah hampir maghrib. Biasanya jam setengah lima sudah pulang," gumamku sambil menggendong Danang. Mendadak ponsel ku berdering. Dengan cepat aku meraih ponsel di saku daster. "Halo.""Halo, Bu. Ini dari kepolisian. Apa ibu adalah keluarga bapak Larsono?""Iya, Pak. Saya istrinya." Hatiku mulai berdebar tidak karuan."Jadi begini, Bu. Suami ibu mengalami kecelakaan tunggal dan sekarang di rumah sakit Harapan Sehat. Diharap ibu segera kemari."Aku terdiam. Tercengang selama beberapa detik. "Halo, Bu. Bu. Ini dengan Bu Naimah bukan?" "Astaghfirullah, iya Pak. Apa suami saya baik-baik saja?""Suami ibu sepertinya mengebut dan ban motornya selip karena melewati aspal yang berlubang dan terdapat air. Lalu terpental jauh menimpa trotoar. Menurut dokternya haru
Flash back on"Alhamdulillah, kamu sudah bisa jalan pelan-pelan, Mas." Aku menyuguhkan teh dan sepiring pisang goreng di sore hari setelah seminggu mas Larsono pulang dari rumah sakit. Mas Larsono tersenyum kecut. "Aku bingung bagaimana kita akan melanjutkan hidup setelah ini."Aku menghela nafas panjang. Bingung juga. "Apa kamu tahu, Nai, kakiku terasa ngilu bila menapak terlalu lama. Aku tidak bisa berdiri dan berjalan terlalu lama. Rasanya terlalu ngilu," keluh mas Larsono. Aku terdiam. Memikirkan jalan keluar untuk masalah ini. Sementara kami harus menebus sertifikat tanah milik Titin juga memberikan makan pada lima perut. Huft, berat. **Dua bulan berlalu setelah mas Larsono keluar dari rumah sakit. Kakinya masih terasa ngilu untuk berdiri dan berjalan terlalu lama. Dia pernah mencoba melakoni berbagai pekerjaan. Tapi tidak ada yang bisa bertahan lama. Pernah menjadi kuli angkut pasar, tapi kakinya terasa sakit. Pernah menjadi penjaga di toko milik sepupu tapi kakinya juga
Flash back onPov LarsonoAku merindukan Naimah. Jujur aku masih normal. Dan ingin merasakan sentuhannya lagi. Akhirnya aku terpaksa melakukannya sendiri. Biarlah, daripada aku harus mengkhianati istriku yang selalu mengirimi uang tiap bulannya. Uang yang dikirimkan oleh Naimah bisa kumanfaatkan sebaik-baiknya. Ada warung bakso di teras rumah milik Titin. Yang kudesain lesehan agar tidak banyak biaya.Lalu sertifikat tanah milik Titin yang sudah berhasil kuambil lagi. Bahkan sekarang aku bisa membangun sebuah toko sembako kecil yang lumayan lengkap dengan aneka kebutuhan dapur, aneka snack dan es lumut yang dikelola ibu. Aku dan Titin juga semakin akrab. Dia memang sudah kuanggap sebagai adik sendiri. Bahkan uang hasil toko, dia juga tahu. Aku sering mengantarkannya ke pasar untuk menggiling daging bakso. Tak kuhiraukan pandangan tetangga padaku dan Titin, karena aku juga tidak pernah berpikir yang aneh-aneh tentang Titin yang sudah punya pacar. Sementara kondisi kakiku semakin la
[Dasar pelakor nggak tahu malu.][Mbak pelakor yang terhormat, kenapa kamu tega sekali dengan kakak kandungmu.][Mbak pelakor jahan*m! Jangan harap kakak ipar yang menjadi suami kamu sekarang rejeki selancar kemarin. Mna ada rejekinya maling yang berkah?!][Situ emang nggak laku ya?! Sampai mau sama suami kakak sendiri? Duda sama bujang banyak kan?]Titin mendengkus kesal membaca inbok yang menyerbu akun media sosial nya. Buru-buru dia menutup akunnya. "Astaga, kenapa sih orang-orang ini mengurusi hidupku? Ini gara-gara mbak Naimah!" gerutu Titin yang saat itu sedang menggoreng ayam. "Titin! Titin! Kamu dimana?"Mendadak terdengar suara Larsono yang memanggil-manggil namanya.Titin yang terkejut segera mengecilkan kompornya."Aku di dapur, Bang. Ada apa?" tanya Titin gugup. Dia segera mencuci tangan dan bergegas mencari Larsono. "Katakan yang sebenarnya, siapa bapak dari Febi?" tanya Larsono begitu Titin ada di depannya. Titin tercengang. Dia memandang wajah Febi yang sedang berada
"Mas, aku bisa jelasin.""Mau jelasin apalagi? Semua yang tertulis di kertas itu sudah bisa menjelaskan segalanya!""Tes DNA itu pasti salah!"Larsono mendelik. "Jadi, kamu sekarang justru menyalahkan orang lain?"Titin terdiam."Aku minta maaf, Mas. Aku memang salah. Aku khilaf. Tapi bukankah kita sudah saling memanfaatkan?Kamu memanfaatkan hasil bekerja kakakku, kamu memanfaatkan aku untuk memuaskanmu, apa salahnya jika aku menginginkan ayah dari bayimu?!" tanya Titin nyaris berteriak. "Siapa ayah dari bayi kamu?!" tanya Larsono dingin."Di-Dimas.""Sudah kuduga. Dia tidak mau menikahimu sehingga kamu membutuhkan kambing hitam untuk menjadi bapaknya.""Kambing hitam apanya? Kan kamu juga bisa mendirikan toko seperti ini diatas tanahku, Mas? Apa kamu pikir aku diam saja dan tidak berguna selama ini? Kalau kamu menceraikanku, aku minta uang dari tanahku, SEKARANG!" teriak Titin. Larsono terdiam. "Kenapa kamu diam saja, Mas? Kamu nggak ada uang kan? Nggak ada uang untuk bayar tanah
Flash back on."Jadi anaknya Titin itu adalah anaknya Dimas?" tanya Naimah kaget. "Saya mendengar nya sih seperti itu. Tapi ada kemungkinan kalau bukan sih.""Maksudnya?" "Ya mungkin saja Dimas memang sudah memberikan uang itu pada Titin. Dan mungkin juga Titin sudah menggugurkan kandungannya. Sehingga bayi dalam kandungannya itu benar anaknya mas Larsono."Naimah menghela nafas. "Kenapa mbak Lisa mengatakan hal ini pada saya? Sebenarnya urusan mantan suami saya, bukan urusan saya lagi.""Saya hanya berempati padamu, Mbak Nai. Saya juga membenci pelakor. Saya tidak suka dengan para pelakor yang seenaknya merebut suami orang. Karena itu saya dukung mbak Naimah untuk mencari keadilan. Dan pertama-tama yang bisa dilakukan adalah menghancurkan hati mantan suami dengan mengatakan anaknya bukan anak kandungnya.""Lalu merebut segala aset?" tanya Naimah tertawa. Lisa ikut tertawa. "Seperti nya kita banyak menonton film ikan terbang, Mbak. Tapi terima kasih sekali atas informasi dan sara
"Buk! Mam pus. Kiamat ini!" seru Larsono sambil mengusap keringatnya yang mulai berjatuhan sebesar biji jagung. "Kenapa? Semua baik-baik saja kan?" tanya ibunya khawatir. "Temanku tidak mau mengurusi masalah ini." Larsono menatap lemah ke arah ibunya. "Ada apa?" tanya Titin mendekat. Larsono hanya terdiam tapi dia memberikan surat dari pengadilan yang dibawanya. "Apa? Tidak mungkin! Mas, kita harus melawan kan?" tanya Titin. Wajahnya yang penuh make up, pias."Ya. Tentu saja kita harus melawan. Tapi bagaimana caranya kalau pengacaraku saja tidak mau membantu?"Titin terdiam sejenak. "Kalau begitu biar aku yang ke rumah Mbak Naimah nanti!" cetus Titin mantap. "Emang kamu mau ngapain di rumah kakak kamu?""Mas lihat saja nanti. Yang jelas, sekarang kita harus melanjutkan rencana pernikahan ini.""Ya dong. Ini kan kita sedang menunggu tamu yang diundang dan kedatangan penghulunya.""Tapi kenapa mereka nggak datang-datang sih, Mas? Apa mereka tidak mau datang di acara ini?" tanya T
"Apa-apaan ini, Mas?" tanya Naimah yang baru saja datang ke kantor polisi. Matanya galak menyapu Titin dan mantan suaminya. "Kamu yang apa-apaan? Kenapa aku nggak boleh ketemuan sama anak sendiri?" tanya Larsono ikut nyolot. "Lha, siapa yang ngelarang? Aku nggak pernah melarang kamu untuk bertemu dengan Danang?""Tapi kamu memaksa membawa Danang, padahal hak asuh anak kan jatuh padaku?"Naimah mendelik. Jika tidak ingat ada di kantor polisi, dia sudah mencakar Larsono yang tidak tahu malu. "Kamu gi la, Mas? Kamu telah menipuku, kamu telah mengurus cerai ghaib diam-diam dan dengan semena-mena mengurus KK baru.Aku yakin kamu hendak membawa Danang karena kamu berharap aku akan menghentikan niatku untuk membawa kasus harta gono-gini kita ke pengadilan agama kan?" "Heh, apa katamu? Sembarangan kalau bicara!" "Ehem! Tunggu! Sepertinya masalah ini adalah masalah keluarga. Kalau bisa selesaikan lah dengan damai. Secara kekeluargaan," ucap salah satu polisi berbadan kekar yang duduk di