Mata Danang masih menyiratkan kebingungan.
"Nanti kalau sudah gede, kamu akan tahu, Nak."Danang hanya mengangguk dan tidak mengajukan pertanyaan lagi. Suasana hening sejenak. Hanya ponselku yang bergetar berulang kali. Pasti banyak notifikasi masuk. Kuacuhkan saja ponselku hingga kendaraan yang kami naiki sampai di depan toko emas."Ayo masuk, Nak."Aku menggandeng tangan Danang dan masuk ke toko emas itu dengan percaya diri."Nai!""Hai Nikita!"Nikita, perempuan berwajah oriental pemilik toko emas itu menyambutku."Kapan kamu pulang ke Indonesia?" tanya Nikita sambil menjabat tanganku dengan erat."Hhh, baru saja."Nikita menatapku iba. "Aku sudah melihat semuanya. Apa yang kamu posting itu benar?"Aku mengangguk. "Iya. Suamiku telah menceraikanku dan menikah dengan adik kandungku."Nikita mendelik. "Kurang aj*r! Kamu harus balas dendam. Minimal kamu harus sukses untuk melihat mereka menyesal telah jahat padamu!" Suara Nikita terdengar berapi-api."Tentu saja. Karena itu aku menemuimu.""Apa yang bisa kulakukan?""Aku ingin mengambil simpanan emasku. Sekaligus menjualnya.""Oke. Ayo ikut. Kita lihat dulu catatan tabungan emas kamu di tokoku."Aku mengikuti langkah temanku itu dan masuk ke dalam rumahnya. Nikita mempunyai ruko. Toko emas di bagian depan dan rumahnya di belakangnya."Tunggu sebentar, aku ambil dulu bukumu."Aku mengangguk lalu duduk dengan Danang di sofa ruang tamu.Gajiku selama menjadi pengasuh nenek di Taiwan sebanyak 7,5 juta. Makan dan tempat tinggal gratis ikut dengan anak si nenek. Nenek yang kurawat mengalami stroke dan tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.Dia mandi, makan, dan berjalan-jalan dengan bantuanku. Nenek sangat baik dan menganggapku anak sendiri. Anaknya pun begitu. Mereka tak segan mengajakku jalan-jalan gratis saat liburan dengan nenek.Sebelum pulang ke Indonesia, saat berpamitan, nenek menangis dan memintaku untuk tetap di sana. Tapi rasa rinduku pada keluarga membuatku memilih untuk pulang. Dan nenek memberikan sebuah kalung emas sebagai kenang-kenangan, dan sekarang hendak kujual.Dari 7,5 juta adalah gaji pokok. Lima juta kukirimkan untuk mas Larsono, sedangkan sisanya kutransfer pada Nikita sebagai tabungan emas dan untuk peganganku sendiri.Perbulannya aku menabung kadang satu gram, kadang dua gram. Kadang pula keluarga nenek memberikan bonus uang saat akhir tahun sehingga kutabungkan juga.Tentu saja aku tidak mengatakan apapun pada suamiku. Rencananya, aku akan kursus dan beli mobil begitu sampai di Indonesia. Tapi ternyata, harus mengutamakan beli motor dulu."Ini totalnya sekitar 72 gram selama lima tahun ini, kamu nabung emas di toko aku. Apa mau kamu ambil semua sekarang?" tanya Nikita mengangsurkan buku tipis padaku.Aku menatap buku tabungan ku lama lama lalu menghela nafas."Aku mau ambil 15 juta untuk beli motor."Nikita mengangguk. "Oke. Aku ambilkan sekarang. Kamu tunggu ya. Sekalian aku ada teman di dealer jarak lima toko dari sini. Nanti aku telepon temanku. Kalau kamu ke dealer teman aku, kamu bilang saja sahabat Nikita. Oke?"Aku mengangguk. Kugenggam tangan Nikita erat. "Makasih ya. Untung aku masih punya teman-teman yang pengertian saat ini," ujarku tersenyum.Nikita mengangguk dan menepuk pundakku sebelum dia berlalu mengambil tabungan yang kupinta.Seraya menunggu Nikita, aku mengeluarkan ponsel. Dan terlihat beberapa panggilan tak terjawab dari mas Larsono.Aku menyeringai. Dia pasti sudah diteror netizen. Bodo amat.**Aku mengendarai motor matic baruku dengan bahagia. Kuajak Danang berkeliling kota dan mampir ke mall. Membeli beberapa baju dan mainan.Untung masih ada beberapa juta di dalam ATM yang bisa kugunakan untuk menyenangkan hati kami. Setelah puas berbelanja dan bermain bersama Danang, aku memutuskan untuk pulang.Dan sesampainya di depan rumah, kulihat mobil mas Larsono terparkir di depan rumah. Sedang sang empunya tampak duduk di teras dengan wajah memerah menahan marah.Aku tertawa lebar menyambutnya. Dia berjalan mendekati ku yang baru turun dari motor. Terlihat sekilas rasa terkejut di matanya saat melihat motor baruku."Ada yang ingin kukatakan. Ayo masuk ke rumah kamu!"Aku mengangkat sebelah alis. "Sayang sekali. Rumah ku sudah nggak sudi kamu masuki!"Ekspresi wajah mas Larsono mengeras. Gerahamnya mengatup rapat."Aku perlu bicara! Buka pintu rumah kamu!""Kalau aku nggak mau?" tantangku. Lelaki di depanku mencengkeram lenganku. Sakit sekali.Segera kuinjak saja kakinya."Aduh!""Rasain! Siapa suruh kamu meremas lenganku!""Kamu ..!"Mas Larsono mengangkat tangannya tinggi-tinggi.Alih-alih merasa takut dan memejamkan mata, aku justru melotot dan menantangnya."Apa yang akan kamu lakukan, Mas!?""Ibu!" Danang memelukku dari arah belakang. Aku mengelus kepalanya.Beberapa tetangga mulai keluar dari rumahnya dan melihat kami. Mas Larsono sontak menurunkan tangannya."Apa apa lagi ini?" tanya Bu Joko mendekat ke arah kami."Ini urusan keluarga pribadi saya, Bu. Jangan ikut campur."Bu Joko mendelik mendengar kata-kata mas Larsono."Dulu kami memang tidak tahu dengan apa yang terjadi padamu dan keluargamu. Alasan kenapa kamu bisa memfitnah dan menceraikan Naimah dan justru menikahi Titin, kami juga tidak tahu.Tapi itu memang urusan kamu dengan dua bersaudara. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, kalau kamu tadi nyaris melakukan KDRT di lingkungan ini dan aku tidak akan membiarkannya."Mas Larsono menghela nafas panjang lalu menatapku."Mas ingin ngomong sesuatu. Kita bisa kan ngomong di dalam rumah kan?" tanya mas Larsono memelas.Aku menahan tawa melihat seperti itu. Padahal tadi pagi dia masih membentak-bentak aku."Enggak. Kita ngomong di sini saja. Tuh ada tempat duduk." Aku menunjuk dua kursi di teras dengan satu meja bulat.Mata mas Larsono tampak keberatan."Apa tidak bisa kita ngomong di dalam rumah?""Nggak!"Bu Joko menghela nafas dan seolah tahu jika dia harus pergi."Kalau begitu saya pamit dlu. Kalau terjadi kekerasan, mbak Nai langsung teriak saja. Tuman orang seperti ini jika dibiarkan berlarut-larut."Aku mengangguk dan Bu Joko pun ngeloyor pergi.Mas Larsono menyerah. Akhirnya dia memilih duduk di kursi kayu di teras mengikutiku.Danang menatap bapaknya. Sementara mas Larsono menghindari tatapan anaknya. Laki-laki brengs*k memang. Suasana hening sejenak."Kapan bapak pulang ke rumah?" Mendadak Danang memecah keheningan.Aku dan mas Larsono terhenyak dengan pertanyaan Danang."Bapak ... belum tahu."Suasana hening kembali. Aku menghela nafas panjang dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas."Heh, hapus postinganmu di medsos. Kamu ini mempermalukan keluarga kita!" serunya galak saat melihat ponsel di genggaman tanganku."UPS, astaga. Emang keluarga kita masih punya malu ya?" sindiriku membuat lelaki di depan ku ini terlihat semakin marah."Kubilang hapus, Nai! Titin sampai menangis diteror banyak orang!"Aku melengos. "Kamu khawatir tentang Titin yang menangis. Lalu perasaanku gimana, Mas?!" seruku tertahan, mengingat masih ada Danang diantara kami.Wajah mas Larsono mulai bingung. "Awas saja kalau kamu tidak menghapus postingan kamu, Nai!""Kalau tidak kuhapus, memangnya kenapa?" tantangku.Mas Larsono menatap ku tajam. "Akan kuadukan kamu ke polisi karena melanggar UU ITE!" ancamnya.Aku menyeringai. "Oh, ya. Kalau begitu akan kuadukan kamu juga. Manipulasi perceraian kita. Dengan sangat jelas selama lima tahun aku masih memberikan hasil keringatku padamu. Dan kamu tahu pasti aku kerja di negara mana. Tiap dua Minggu, aku sempatkan telepon, tapi kamu justru mengajukan cerai ghaib."Terlihat raut wajah mas Larsono yang terkejut. "Kamu kira aku bo doh dan akan menangis saja melihat kamu mempermainkanku, Mas? Jangan ngarep. Sori Mas. Dulu memang aku berpendapat kalau mematuhi suami itu merupakan kunci syurga sang istri dan aku pun setuju saat kamu menyuruhku ke luar negeri. Tapi sekarang, enggak akan lagi. Nggak sudi aku jadi sapi perahmu, Mas!""Oh, jadi kamu nggak akan menghapus dan nggak akan klarifikasi soal Titin dan aku?" tanya mas Larsono geram. "Ya. Kenapa? Mau protes?""Kalau begitu siap-siap saja kamu kalau aku bawa pengacara dan mempolisikan kamu, Nai!""Polisi? Siapa yang akan ditangkap polisi, Buk?" tanya Danang takut. Lihatlah mantan suamiku ini, tel
Flash back on.Hujan menderas yang membuat suasana menjelang Maghrib semakin terasa muram. Aku melihat jam dinding yang menempel di tembok seraya menenangkan Danang yang baru saja disapih."Duh, kok belum pulang sih mas Larsono. Sudah hampir maghrib. Biasanya jam setengah lima sudah pulang," gumamku sambil menggendong Danang. Mendadak ponsel ku berdering. Dengan cepat aku meraih ponsel di saku daster. "Halo.""Halo, Bu. Ini dari kepolisian. Apa ibu adalah keluarga bapak Larsono?""Iya, Pak. Saya istrinya." Hatiku mulai berdebar tidak karuan."Jadi begini, Bu. Suami ibu mengalami kecelakaan tunggal dan sekarang di rumah sakit Harapan Sehat. Diharap ibu segera kemari."Aku terdiam. Tercengang selama beberapa detik. "Halo, Bu. Bu. Ini dengan Bu Naimah bukan?" "Astaghfirullah, iya Pak. Apa suami saya baik-baik saja?""Suami ibu sepertinya mengebut dan ban motornya selip karena melewati aspal yang berlubang dan terdapat air. Lalu terpental jauh menimpa trotoar. Menurut dokternya haru
Flash back on"Alhamdulillah, kamu sudah bisa jalan pelan-pelan, Mas." Aku menyuguhkan teh dan sepiring pisang goreng di sore hari setelah seminggu mas Larsono pulang dari rumah sakit. Mas Larsono tersenyum kecut. "Aku bingung bagaimana kita akan melanjutkan hidup setelah ini."Aku menghela nafas panjang. Bingung juga. "Apa kamu tahu, Nai, kakiku terasa ngilu bila menapak terlalu lama. Aku tidak bisa berdiri dan berjalan terlalu lama. Rasanya terlalu ngilu," keluh mas Larsono. Aku terdiam. Memikirkan jalan keluar untuk masalah ini. Sementara kami harus menebus sertifikat tanah milik Titin juga memberikan makan pada lima perut. Huft, berat. **Dua bulan berlalu setelah mas Larsono keluar dari rumah sakit. Kakinya masih terasa ngilu untuk berdiri dan berjalan terlalu lama. Dia pernah mencoba melakoni berbagai pekerjaan. Tapi tidak ada yang bisa bertahan lama. Pernah menjadi kuli angkut pasar, tapi kakinya terasa sakit. Pernah menjadi penjaga di toko milik sepupu tapi kakinya juga
Flash back onPov LarsonoAku merindukan Naimah. Jujur aku masih normal. Dan ingin merasakan sentuhannya lagi. Akhirnya aku terpaksa melakukannya sendiri. Biarlah, daripada aku harus mengkhianati istriku yang selalu mengirimi uang tiap bulannya. Uang yang dikirimkan oleh Naimah bisa kumanfaatkan sebaik-baiknya. Ada warung bakso di teras rumah milik Titin. Yang kudesain lesehan agar tidak banyak biaya.Lalu sertifikat tanah milik Titin yang sudah berhasil kuambil lagi. Bahkan sekarang aku bisa membangun sebuah toko sembako kecil yang lumayan lengkap dengan aneka kebutuhan dapur, aneka snack dan es lumut yang dikelola ibu. Aku dan Titin juga semakin akrab. Dia memang sudah kuanggap sebagai adik sendiri. Bahkan uang hasil toko, dia juga tahu. Aku sering mengantarkannya ke pasar untuk menggiling daging bakso. Tak kuhiraukan pandangan tetangga padaku dan Titin, karena aku juga tidak pernah berpikir yang aneh-aneh tentang Titin yang sudah punya pacar. Sementara kondisi kakiku semakin la
[Dasar pelakor nggak tahu malu.][Mbak pelakor yang terhormat, kenapa kamu tega sekali dengan kakak kandungmu.][Mbak pelakor jahan*m! Jangan harap kakak ipar yang menjadi suami kamu sekarang rejeki selancar kemarin. Mna ada rejekinya maling yang berkah?!][Situ emang nggak laku ya?! Sampai mau sama suami kakak sendiri? Duda sama bujang banyak kan?]Titin mendengkus kesal membaca inbok yang menyerbu akun media sosial nya. Buru-buru dia menutup akunnya. "Astaga, kenapa sih orang-orang ini mengurusi hidupku? Ini gara-gara mbak Naimah!" gerutu Titin yang saat itu sedang menggoreng ayam. "Titin! Titin! Kamu dimana?"Mendadak terdengar suara Larsono yang memanggil-manggil namanya.Titin yang terkejut segera mengecilkan kompornya."Aku di dapur, Bang. Ada apa?" tanya Titin gugup. Dia segera mencuci tangan dan bergegas mencari Larsono. "Katakan yang sebenarnya, siapa bapak dari Febi?" tanya Larsono begitu Titin ada di depannya. Titin tercengang. Dia memandang wajah Febi yang sedang berada
"Mas, aku bisa jelasin.""Mau jelasin apalagi? Semua yang tertulis di kertas itu sudah bisa menjelaskan segalanya!""Tes DNA itu pasti salah!"Larsono mendelik. "Jadi, kamu sekarang justru menyalahkan orang lain?"Titin terdiam."Aku minta maaf, Mas. Aku memang salah. Aku khilaf. Tapi bukankah kita sudah saling memanfaatkan?Kamu memanfaatkan hasil bekerja kakakku, kamu memanfaatkan aku untuk memuaskanmu, apa salahnya jika aku menginginkan ayah dari bayimu?!" tanya Titin nyaris berteriak. "Siapa ayah dari bayi kamu?!" tanya Larsono dingin."Di-Dimas.""Sudah kuduga. Dia tidak mau menikahimu sehingga kamu membutuhkan kambing hitam untuk menjadi bapaknya.""Kambing hitam apanya? Kan kamu juga bisa mendirikan toko seperti ini diatas tanahku, Mas? Apa kamu pikir aku diam saja dan tidak berguna selama ini? Kalau kamu menceraikanku, aku minta uang dari tanahku, SEKARANG!" teriak Titin. Larsono terdiam. "Kenapa kamu diam saja, Mas? Kamu nggak ada uang kan? Nggak ada uang untuk bayar tanah
Flash back on."Jadi anaknya Titin itu adalah anaknya Dimas?" tanya Naimah kaget. "Saya mendengar nya sih seperti itu. Tapi ada kemungkinan kalau bukan sih.""Maksudnya?" "Ya mungkin saja Dimas memang sudah memberikan uang itu pada Titin. Dan mungkin juga Titin sudah menggugurkan kandungannya. Sehingga bayi dalam kandungannya itu benar anaknya mas Larsono."Naimah menghela nafas. "Kenapa mbak Lisa mengatakan hal ini pada saya? Sebenarnya urusan mantan suami saya, bukan urusan saya lagi.""Saya hanya berempati padamu, Mbak Nai. Saya juga membenci pelakor. Saya tidak suka dengan para pelakor yang seenaknya merebut suami orang. Karena itu saya dukung mbak Naimah untuk mencari keadilan. Dan pertama-tama yang bisa dilakukan adalah menghancurkan hati mantan suami dengan mengatakan anaknya bukan anak kandungnya.""Lalu merebut segala aset?" tanya Naimah tertawa. Lisa ikut tertawa. "Seperti nya kita banyak menonton film ikan terbang, Mbak. Tapi terima kasih sekali atas informasi dan sara
"Buk! Mam pus. Kiamat ini!" seru Larsono sambil mengusap keringatnya yang mulai berjatuhan sebesar biji jagung. "Kenapa? Semua baik-baik saja kan?" tanya ibunya khawatir. "Temanku tidak mau mengurusi masalah ini." Larsono menatap lemah ke arah ibunya. "Ada apa?" tanya Titin mendekat. Larsono hanya terdiam tapi dia memberikan surat dari pengadilan yang dibawanya. "Apa? Tidak mungkin! Mas, kita harus melawan kan?" tanya Titin. Wajahnya yang penuh make up, pias."Ya. Tentu saja kita harus melawan. Tapi bagaimana caranya kalau pengacaraku saja tidak mau membantu?"Titin terdiam sejenak. "Kalau begitu biar aku yang ke rumah Mbak Naimah nanti!" cetus Titin mantap. "Emang kamu mau ngapain di rumah kakak kamu?""Mas lihat saja nanti. Yang jelas, sekarang kita harus melanjutkan rencana pernikahan ini.""Ya dong. Ini kan kita sedang menunggu tamu yang diundang dan kedatangan penghulunya.""Tapi kenapa mereka nggak datang-datang sih, Mas? Apa mereka tidak mau datang di acara ini?" tanya T