Share

bab 4. Beli Motor Baru

Mata Danang masih menyiratkan kebingungan.

"Nanti kalau sudah gede, kamu akan tahu, Nak."

Danang hanya mengangguk dan tidak mengajukan pertanyaan lagi. Suasana hening sejenak. Hanya ponselku yang bergetar berulang kali. Pasti banyak notifikasi masuk. Kuacuhkan saja ponselku hingga kendaraan yang kami naiki sampai di depan toko emas.

"Ayo masuk, Nak."

Aku menggandeng tangan Danang dan masuk ke toko emas itu dengan percaya diri.

"Nai!"

"Hai Nikita!"

Nikita, perempuan berwajah oriental pemilik toko emas itu menyambutku.

"Kapan kamu pulang ke Indonesia?" tanya Nikita sambil menjabat tanganku dengan erat.

"Hhh, baru saja."

Nikita menatapku iba. "Aku sudah melihat semuanya. Apa yang kamu posting itu benar?"

Aku mengangguk. "Iya. Suamiku telah menceraikanku dan menikah dengan adik kandungku."

Nikita mendelik. "Kurang aj*r! Kamu harus balas dendam. Minimal kamu harus sukses untuk melihat mereka menyesal telah jahat padamu!" Suara Nikita terdengar berapi-api.

"Tentu saja. Karena itu aku menemuimu."

"Apa yang bisa kulakukan?"

"Aku ingin mengambil simpanan emasku. Sekaligus menjualnya."

"Oke. Ayo ikut. Kita lihat dulu catatan tabungan emas kamu di tokoku."

Aku mengikuti langkah temanku itu dan masuk ke dalam rumahnya. Nikita mempunyai ruko. Toko emas di bagian depan dan rumahnya di belakangnya.

"Tunggu sebentar, aku ambil dulu bukumu."

Aku mengangguk lalu duduk dengan Danang di sofa ruang tamu.

Gajiku selama menjadi pengasuh nenek di Taiwan sebanyak 7,5 juta. Makan dan tempat tinggal gratis ikut dengan anak si nenek. Nenek yang kurawat mengalami stroke dan tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Dia mandi, makan, dan berjalan-jalan dengan bantuanku. Nenek sangat baik dan menganggapku anak sendiri. Anaknya pun begitu. Mereka tak segan mengajakku jalan-jalan gratis saat liburan dengan nenek.

Sebelum pulang ke Indonesia, saat berpamitan, nenek menangis dan memintaku untuk tetap di sana. Tapi rasa rinduku pada keluarga membuatku memilih untuk pulang. Dan nenek memberikan sebuah kalung emas sebagai kenang-kenangan, dan sekarang hendak kujual.

Dari 7,5 juta adalah gaji pokok. Lima juta kukirimkan untuk mas Larsono, sedangkan sisanya kutransfer pada Nikita sebagai tabungan emas dan untuk peganganku sendiri.

Perbulannya aku menabung kadang satu gram, kadang dua gram. Kadang pula keluarga nenek memberikan bonus uang saat akhir tahun sehingga kutabungkan juga.

Tentu saja aku tidak mengatakan apapun pada suamiku. Rencananya, aku akan kursus dan beli mobil begitu sampai di Indonesia. Tapi ternyata, harus mengutamakan beli motor dulu.

"Ini totalnya sekitar 72 gram selama lima tahun ini, kamu nabung emas di toko aku. Apa mau kamu ambil semua sekarang?" tanya Nikita mengangsurkan buku tipis padaku.

Aku menatap buku tabungan ku lama lama lalu menghela nafas.

"Aku mau ambil 15 juta untuk beli motor."

Nikita mengangguk. "Oke. Aku ambilkan sekarang. Kamu tunggu ya. Sekalian aku ada teman di dealer jarak lima toko dari sini. Nanti aku telepon temanku. Kalau kamu ke dealer teman aku, kamu bilang saja sahabat Nikita. Oke?"

Aku mengangguk. Kugenggam tangan Nikita erat. "Makasih ya. Untung aku masih punya teman-teman yang pengertian saat ini," ujarku tersenyum.

Nikita mengangguk dan menepuk pundakku sebelum dia berlalu mengambil tabungan yang kupinta.

Seraya menunggu Nikita, aku mengeluarkan ponsel. Dan terlihat beberapa panggilan tak terjawab dari mas Larsono.

Aku menyeringai. Dia pasti sudah diteror netizen. Bodo amat.

**

Aku mengendarai motor matic baruku dengan bahagia. Kuajak Danang berkeliling kota dan mampir ke mall. Membeli beberapa baju dan mainan.

Untung masih ada beberapa juta di dalam ATM yang bisa kugunakan untuk menyenangkan hati kami. Setelah puas berbelanja dan bermain bersama Danang, aku memutuskan untuk pulang.

Dan sesampainya di depan rumah, kulihat mobil mas Larsono terparkir di depan rumah. Sedang sang empunya tampak duduk di teras dengan wajah memerah menahan marah.

Aku tertawa lebar menyambutnya. Dia berjalan mendekati ku yang baru turun dari motor. Terlihat sekilas rasa terkejut di matanya saat melihat motor baruku.

"Ada yang ingin kukatakan. Ayo masuk ke rumah kamu!"

Aku mengangkat sebelah alis. "Sayang sekali. Rumah ku sudah nggak sudi kamu masuki!"

Ekspresi wajah mas Larsono mengeras. Gerahamnya mengatup rapat.

"Aku perlu bicara! Buka pintu rumah kamu!"

"Kalau aku nggak mau?" tantangku. Lelaki di depanku mencengkeram lenganku. Sakit sekali.

Segera kuinjak saja kakinya.

"Aduh!"

"Rasain! Siapa suruh kamu meremas lenganku!"

"Kamu ..!"

Mas Larsono mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

Alih-alih merasa takut dan memejamkan mata, aku justru melotot dan menantangnya.

"Apa yang akan kamu lakukan, Mas!?"

"Ibu!" Danang memelukku dari arah belakang. Aku mengelus kepalanya.

Beberapa tetangga mulai keluar dari rumahnya dan melihat kami. Mas Larsono sontak menurunkan tangannya.

"Apa apa lagi ini?" tanya Bu Joko mendekat ke arah kami.

"Ini urusan keluarga pribadi saya, Bu. Jangan ikut campur."

Bu Joko mendelik mendengar kata-kata mas Larsono.

"Dulu kami memang tidak tahu dengan apa yang terjadi padamu dan keluargamu. Alasan kenapa kamu bisa memfitnah dan menceraikan Naimah dan justru menikahi Titin, kami juga tidak tahu.

Tapi itu memang urusan kamu dengan dua bersaudara. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, kalau kamu tadi nyaris melakukan KDRT di lingkungan ini dan aku tidak akan membiarkannya."

Mas Larsono menghela nafas panjang lalu menatapku.

"Mas ingin ngomong sesuatu. Kita bisa kan ngomong di dalam rumah kan?" tanya mas Larsono memelas.

Aku menahan tawa melihat seperti itu. Padahal tadi pagi dia masih membentak-bentak aku.

"Enggak. Kita ngomong di sini saja. Tuh ada tempat duduk." Aku menunjuk dua kursi di teras dengan satu meja bulat.

Mata mas Larsono tampak keberatan.

"Apa tidak bisa kita ngomong di dalam rumah?"

"Nggak!"

Bu Joko menghela nafas dan seolah tahu jika dia harus pergi.

"Kalau begitu saya pamit dlu. Kalau terjadi kekerasan, mbak Nai langsung teriak saja. Tuman orang seperti ini jika dibiarkan berlarut-larut."

Aku mengangguk dan Bu Joko pun ngeloyor pergi.

Mas Larsono menyerah. Akhirnya dia memilih duduk di kursi kayu di teras mengikutiku.

Danang menatap bapaknya. Sementara mas Larsono menghindari tatapan anaknya. Laki-laki brengs*k memang. Suasana hening sejenak.

"Kapan bapak pulang ke rumah?" Mendadak Danang memecah keheningan.

Aku dan mas Larsono terhenyak dengan pertanyaan Danang.

"Bapak ... belum tahu."

Suasana hening kembali. Aku menghela nafas panjang dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas.

"Heh, hapus postinganmu di medsos. Kamu ini mempermalukan keluarga kita!" serunya galak saat melihat ponsel di genggaman tanganku.

"UPS, astaga. Emang keluarga kita masih punya malu ya?" sindiriku membuat lelaki di depan ku ini terlihat semakin marah.

"Kubilang hapus, Nai! Titin sampai menangis diteror banyak orang!"

Aku melengos. "Kamu khawatir tentang Titin yang menangis. Lalu perasaanku gimana, Mas?!" seruku tertahan, mengingat masih ada Danang diantara kami.

Wajah mas Larsono mulai bingung. "Awas saja kalau kamu tidak menghapus postingan kamu, Nai!"

"Kalau tidak kuhapus, memangnya kenapa?" tantangku.

Mas Larsono menatap ku tajam. "Akan kuadukan kamu ke polisi karena melanggar UU ITE!" ancamnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status