Flash back on.
Hujan menderas yang membuat suasana menjelang Maghrib semakin terasa muram.Aku melihat jam dinding yang menempel di tembok seraya menenangkan Danang yang baru saja disapih."Duh, kok belum pulang sih mas Larsono. Sudah hampir maghrib. Biasanya jam setengah lima sudah pulang," gumamku sambil menggendong Danang.Mendadak ponsel ku berdering. Dengan cepat aku meraih ponsel di saku daster."Halo.""Halo, Bu. Ini dari kepolisian. Apa ibu adalah keluarga bapak Larsono?""Iya, Pak. Saya istrinya." Hatiku mulai berdebar tidak karuan."Jadi begini, Bu. Suami ibu mengalami kecelakaan tunggal dan sekarang di rumah sakit Harapan Sehat. Diharap ibu segera kemari."Aku terdiam. Tercengang selama beberapa detik."Halo, Bu. Bu. Ini dengan Bu Naimah bukan?""Astaghfirullah, iya Pak. Apa suami saya baik-baik saja?""Suami ibu sepertinya mengebut dan ban motornya selip karena melewati aspal yang berlubang dan terdapat air. Lalu terpental jauh menimpa trotoar.Menurut dokternya harus dioperasi. Kami menemukan ponsel pak Larsono. Dan nomor ibu ada di daftar paling atas. Jadi diharap ibu segera datang kemari untuk menandatangani surat persetujuan operasi.**Aku menghela nafas panjang di depan ruang operasi. Masih teringat ucapan dokter padaku tadi."Suami ibu mengalami beberapa cidera tulang. Ada perdarahan organ dalam juga. Untung saja kepala dan tulang belakangnya tidak aman, tidak terkena benturan.Tapi tulang kaki dan tulamh rusuk yang patah harus segera dioperasi dan dipasang pen. Biayanya sekitar 25 juta sampai keluar rumah sakit.""Astaghfirullah, dapat darimana uang sebanyak itu? Sedangkan aku tidak punya BPJS."Mendadak ponselku bergetar. Aku meraih dan membacanya yang seketika membuatku semakin linglung membaca pesan w******p dari Titin.[Mbak, kata Bu guru, aku harus melunasi SPP satu semester dan membayar ujian Nasional sebagai syarat ikut ujian. Ini ada biaya perpisahan juga.]Sebuah foto dikirim ke padaku berisi catatan biaya sekolah menjelang kelulusan sebanyak tiga juta. Astaghfirullah, apa yang harus kulakukan sekarang?**Aku hanya bisa menelan ludah saat mendengar keterangan dari pak Usman, teman mas Larsono sekaligus pemilik peternakan ayam negeri tempat suamiku bekerja.Awalnya aku ingin meminjam uang padanya yang akan dibayar mas Larsono dengan cara potong gaji."Ayam di tempatku mengalami virus flu burung dan mati semua. Jadi kami ingin menghentikan usaha ini entah sampai kapan karena kami rugi jutaan rupiah. Jadi aku terpaksa menutup usaha dan memberhentikan para karyawan.Maaf Mbak Naimah, saya tidak bisa menolong meminjam kan uang. Tapi uang gaji setengah bulan ini sudah ku transfer ke semua karyawan termasuk mas Larsono."Aku tercekat. Gaji suamiku perbulan di peternakan ayam sebanyak 2,5 juta. Kalau setengah bulan yang ditransfer, berarti hanya 1,7 juta. Kemana hendak kucari biaya operasi dan syarat kelulusan Titin?*Aku menatap wajah Titin penuh harap. "Mbak mohon ya, Tin. Mbak nggak punya pilihan lain selain menggadaikan sertifikat tanah warisanmu."Titin menghela nafas. Sepertinya dia juga bingung."Tin, kasihan mas Larsono. Dia butuh uang banyak untuk operasi. Kamu juga butuh biaya kelulusan kan?" tanyaku lagi.Titin terdiam sejenak. "Iya sih. Selama ini aku berhutang budi pada mas Larsono dan juga mbak Nai. Kalian yang membiayai sekolahku. Tapi apa mbak sudah memutuskan mau digadai berapa tanahnya dan bagaimana cara bayar perbulannya?""Nanti setelah mas Larsono sembuh, kita pikirkan lagi bagaimana cara mengambil tanah mu lagi.""Baiklah. Kalau begitu terserah mbak saja. Tapi aku berharap, tanah yang sudah menjadi bagian warisanku bisa kembali padaku.""Tentu Tin. Mbak akan lakukan apapun untuk mengambil kembali sertifikat tanah itu. Yang penting mas Larsono bisa operasi dan kamu bisa lulus SMA," sahutku mencoba meyakinkan Titin meskipun aku juga ragu.**Aku menatap uang di dalam amplop dengan pandangan nanar. Setelah mencoba ke bank maupun ke pagadaian dengan membawa sertifikat tanah milik Titin, mereka mengatakan perlu meninjau dahulu dan uang akan ditransfer seminggu kemudian setelah pengajuan. Padahal operasi mas Larsono sudah selesai dan lusa boleh pulang.Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku mengajukan sertifikat tanah seluas 200 meter pada pak Dani, pemilik bank keliling.Dengan cepat pak Dani meninjau tanah milik Titin dan menghargainya 35 juta untuk tanah Titin yang harus kulunasi selama dua tahun.Tanpa berpikir panjang, akupun bersedia dan uang 35 juta langsung kuterima cash di rumah Dani. Dan akhirnya aku bisa membayar operasi mas Larsono dan uang sekolah Titin.**Flash back off :"Mbak, mbak Nai!" Lisa mengibaskan tangan di depan mukaku. Aku terkejut dan menatapnya."Astaghfirullah, ada apa?""Mbak melamun ya?"Aku hanya mengangguk."Aku tahu apa yang mbak pikirkan sekarang. Semoga mbak diberi kesabaran dan keikhlasan.""Aaminn. Oh, ya Mbak Lisa tadi mau bilang apa?"Mbak Lisa menatap warung pecel didepan sekolah."Mbak Nai, sudah sarapan?""Sudah."Mbak Lisa tampak berpikir sebentar. "Kalau begitu, kita ngeteh aja di sana. Sekalian makan peyek. Boleh juga makan lagi. Karena apa yang akan saya sampaikan ini penting sekali."Aku mengerutkan dahi. Bingung menerka apa yang akan dibicarakan mbak Lisa sampai ekspresi nya seserius ini."Baiklah."Aku mengikuti langkah mbak Lisa yang berjalan cepat ke warung depan sekolah. Tak kuhiraukan beberapa pasang mata wali murid lainnya yang menatap kepergian kami penuh tanda tanya."Jadi ada apa, mbak?" tanyaku sambil mengaduk teh hangat di meja dengan sedotan."Ehem. Hm ... Gimana ya mulainya ngomong ..,"Bukannya langsung menjawab, mbak Lisa justru tampak bingung.Aku tersenyum. "Apa yang Mbak ketahui tentang bayi Titin?" pancingku."Hm, dulu Titin pernah diperkenalkan pada kami oleh Dimas, adikku. Mereka teman satu sekolah saat SMA.""Ya lalu?""Saat itu Dimas baru saja bekerja di perusahaan pecah belah bagian staf yang ada di kecamatan sebelah. Sedangkan Titin jualan bakso di depan rumahnya.""Lalu?""Papa menolak keinginan Dimas. Dengan alasan menginginkan menantu yang bekerja di kantoran dan sarjana."Aku menelan ludah. Karena keterbatasan biaya, memang Titin harus menghentikan mimpinya kuliah dan berjualan sebisanya."Lalu suatu malam, saat saya hendak ke kamar mandi saya mendengar Dimas menelepon seseorang. Dan sangat jelas sekali ucapan Dimas terdengar oleh saya waktu itu, 'Tin, aku tidak bisa melawan papa. Bagaimana kalau bayi itu digugurkan saja. Uangnya aku transfer sekarang!"Aku mendelik mendengar ucapan Mbak Lisa. Jadi Febi .... bukan anak mas Larsono?!Flash back on"Alhamdulillah, kamu sudah bisa jalan pelan-pelan, Mas." Aku menyuguhkan teh dan sepiring pisang goreng di sore hari setelah seminggu mas Larsono pulang dari rumah sakit. Mas Larsono tersenyum kecut. "Aku bingung bagaimana kita akan melanjutkan hidup setelah ini."Aku menghela nafas panjang. Bingung juga. "Apa kamu tahu, Nai, kakiku terasa ngilu bila menapak terlalu lama. Aku tidak bisa berdiri dan berjalan terlalu lama. Rasanya terlalu ngilu," keluh mas Larsono. Aku terdiam. Memikirkan jalan keluar untuk masalah ini. Sementara kami harus menebus sertifikat tanah milik Titin juga memberikan makan pada lima perut. Huft, berat. **Dua bulan berlalu setelah mas Larsono keluar dari rumah sakit. Kakinya masih terasa ngilu untuk berdiri dan berjalan terlalu lama. Dia pernah mencoba melakoni berbagai pekerjaan. Tapi tidak ada yang bisa bertahan lama. Pernah menjadi kuli angkut pasar, tapi kakinya terasa sakit. Pernah menjadi penjaga di toko milik sepupu tapi kakinya juga
Flash back onPov LarsonoAku merindukan Naimah. Jujur aku masih normal. Dan ingin merasakan sentuhannya lagi. Akhirnya aku terpaksa melakukannya sendiri. Biarlah, daripada aku harus mengkhianati istriku yang selalu mengirimi uang tiap bulannya. Uang yang dikirimkan oleh Naimah bisa kumanfaatkan sebaik-baiknya. Ada warung bakso di teras rumah milik Titin. Yang kudesain lesehan agar tidak banyak biaya.Lalu sertifikat tanah milik Titin yang sudah berhasil kuambil lagi. Bahkan sekarang aku bisa membangun sebuah toko sembako kecil yang lumayan lengkap dengan aneka kebutuhan dapur, aneka snack dan es lumut yang dikelola ibu. Aku dan Titin juga semakin akrab. Dia memang sudah kuanggap sebagai adik sendiri. Bahkan uang hasil toko, dia juga tahu. Aku sering mengantarkannya ke pasar untuk menggiling daging bakso. Tak kuhiraukan pandangan tetangga padaku dan Titin, karena aku juga tidak pernah berpikir yang aneh-aneh tentang Titin yang sudah punya pacar. Sementara kondisi kakiku semakin la
[Dasar pelakor nggak tahu malu.][Mbak pelakor yang terhormat, kenapa kamu tega sekali dengan kakak kandungmu.][Mbak pelakor jahan*m! Jangan harap kakak ipar yang menjadi suami kamu sekarang rejeki selancar kemarin. Mna ada rejekinya maling yang berkah?!][Situ emang nggak laku ya?! Sampai mau sama suami kakak sendiri? Duda sama bujang banyak kan?]Titin mendengkus kesal membaca inbok yang menyerbu akun media sosial nya. Buru-buru dia menutup akunnya. "Astaga, kenapa sih orang-orang ini mengurusi hidupku? Ini gara-gara mbak Naimah!" gerutu Titin yang saat itu sedang menggoreng ayam. "Titin! Titin! Kamu dimana?"Mendadak terdengar suara Larsono yang memanggil-manggil namanya.Titin yang terkejut segera mengecilkan kompornya."Aku di dapur, Bang. Ada apa?" tanya Titin gugup. Dia segera mencuci tangan dan bergegas mencari Larsono. "Katakan yang sebenarnya, siapa bapak dari Febi?" tanya Larsono begitu Titin ada di depannya. Titin tercengang. Dia memandang wajah Febi yang sedang berada
"Mas, aku bisa jelasin.""Mau jelasin apalagi? Semua yang tertulis di kertas itu sudah bisa menjelaskan segalanya!""Tes DNA itu pasti salah!"Larsono mendelik. "Jadi, kamu sekarang justru menyalahkan orang lain?"Titin terdiam."Aku minta maaf, Mas. Aku memang salah. Aku khilaf. Tapi bukankah kita sudah saling memanfaatkan?Kamu memanfaatkan hasil bekerja kakakku, kamu memanfaatkan aku untuk memuaskanmu, apa salahnya jika aku menginginkan ayah dari bayimu?!" tanya Titin nyaris berteriak. "Siapa ayah dari bayi kamu?!" tanya Larsono dingin."Di-Dimas.""Sudah kuduga. Dia tidak mau menikahimu sehingga kamu membutuhkan kambing hitam untuk menjadi bapaknya.""Kambing hitam apanya? Kan kamu juga bisa mendirikan toko seperti ini diatas tanahku, Mas? Apa kamu pikir aku diam saja dan tidak berguna selama ini? Kalau kamu menceraikanku, aku minta uang dari tanahku, SEKARANG!" teriak Titin. Larsono terdiam. "Kenapa kamu diam saja, Mas? Kamu nggak ada uang kan? Nggak ada uang untuk bayar tanah
Flash back on."Jadi anaknya Titin itu adalah anaknya Dimas?" tanya Naimah kaget. "Saya mendengar nya sih seperti itu. Tapi ada kemungkinan kalau bukan sih.""Maksudnya?" "Ya mungkin saja Dimas memang sudah memberikan uang itu pada Titin. Dan mungkin juga Titin sudah menggugurkan kandungannya. Sehingga bayi dalam kandungannya itu benar anaknya mas Larsono."Naimah menghela nafas. "Kenapa mbak Lisa mengatakan hal ini pada saya? Sebenarnya urusan mantan suami saya, bukan urusan saya lagi.""Saya hanya berempati padamu, Mbak Nai. Saya juga membenci pelakor. Saya tidak suka dengan para pelakor yang seenaknya merebut suami orang. Karena itu saya dukung mbak Naimah untuk mencari keadilan. Dan pertama-tama yang bisa dilakukan adalah menghancurkan hati mantan suami dengan mengatakan anaknya bukan anak kandungnya.""Lalu merebut segala aset?" tanya Naimah tertawa. Lisa ikut tertawa. "Seperti nya kita banyak menonton film ikan terbang, Mbak. Tapi terima kasih sekali atas informasi dan sara
"Buk! Mam pus. Kiamat ini!" seru Larsono sambil mengusap keringatnya yang mulai berjatuhan sebesar biji jagung. "Kenapa? Semua baik-baik saja kan?" tanya ibunya khawatir. "Temanku tidak mau mengurusi masalah ini." Larsono menatap lemah ke arah ibunya. "Ada apa?" tanya Titin mendekat. Larsono hanya terdiam tapi dia memberikan surat dari pengadilan yang dibawanya. "Apa? Tidak mungkin! Mas, kita harus melawan kan?" tanya Titin. Wajahnya yang penuh make up, pias."Ya. Tentu saja kita harus melawan. Tapi bagaimana caranya kalau pengacaraku saja tidak mau membantu?"Titin terdiam sejenak. "Kalau begitu biar aku yang ke rumah Mbak Naimah nanti!" cetus Titin mantap. "Emang kamu mau ngapain di rumah kakak kamu?""Mas lihat saja nanti. Yang jelas, sekarang kita harus melanjutkan rencana pernikahan ini.""Ya dong. Ini kan kita sedang menunggu tamu yang diundang dan kedatangan penghulunya.""Tapi kenapa mereka nggak datang-datang sih, Mas? Apa mereka tidak mau datang di acara ini?" tanya T
"Apa-apaan ini, Mas?" tanya Naimah yang baru saja datang ke kantor polisi. Matanya galak menyapu Titin dan mantan suaminya. "Kamu yang apa-apaan? Kenapa aku nggak boleh ketemuan sama anak sendiri?" tanya Larsono ikut nyolot. "Lha, siapa yang ngelarang? Aku nggak pernah melarang kamu untuk bertemu dengan Danang?""Tapi kamu memaksa membawa Danang, padahal hak asuh anak kan jatuh padaku?"Naimah mendelik. Jika tidak ingat ada di kantor polisi, dia sudah mencakar Larsono yang tidak tahu malu. "Kamu gi la, Mas? Kamu telah menipuku, kamu telah mengurus cerai ghaib diam-diam dan dengan semena-mena mengurus KK baru.Aku yakin kamu hendak membawa Danang karena kamu berharap aku akan menghentikan niatku untuk membawa kasus harta gono-gini kita ke pengadilan agama kan?" "Heh, apa katamu? Sembarangan kalau bicara!" "Ehem! Tunggu! Sepertinya masalah ini adalah masalah keluarga. Kalau bisa selesaikan lah dengan damai. Secara kekeluargaan," ucap salah satu polisi berbadan kekar yang duduk di
Larsono mendelik. "Apa? Ini nggak adil, pak hakim! Memang modalnya milik mantan istri saya! Tapi kan saya yang berusaha dan mengoperasikannya?" tanya Larsono bersikeras. Dia berdiri dan berkacak pinggang di depan para hakim.Tapi hakim di hadapannya sudah memberikan tanda pada Larsono untuk segera keluar ruangan. "Jangan membuat kerusuhan di sini. Silakan keluar karena persidangan kasus bapak sudah selesai," tandas hakim di hadapan Larsono tegas. Larsono menggebrak meja sebelum akhirnya berdiri dan bersungut-sungut keluar ruangan. "Aku tidak terima! Kamu pasti sudah menyuap hakim kan?" tanya Larsono mendekat ke arah Naimah. Naimah mendelik. Namun saat dia hendak menanggapi ucapan Larsono, pengacara nya menatap tajam ke arah Larsono."Hati-hati kalau bicara. Sembarangan bicara bisa terkena pasal pencemaran nama baik. Apalagi bapak tidak mempunyai bukti untuk menuduh klien saya. Kalau bapak keberatan dengan keputusan ini, bapak bisa mengajukan banding ke pengadilan negeri." Suara pe