"Mas, aku bisa jelasin.""Mau jelasin apalagi? Semua yang tertulis di kertas itu sudah bisa menjelaskan segalanya!""Tes DNA itu pasti salah!"Larsono mendelik. "Jadi, kamu sekarang justru menyalahkan orang lain?"Titin terdiam."Aku minta maaf, Mas. Aku memang salah. Aku khilaf. Tapi bukankah kita sudah saling memanfaatkan?Kamu memanfaatkan hasil bekerja kakakku, kamu memanfaatkan aku untuk memuaskanmu, apa salahnya jika aku menginginkan ayah dari bayimu?!" tanya Titin nyaris berteriak. "Siapa ayah dari bayi kamu?!" tanya Larsono dingin."Di-Dimas.""Sudah kuduga. Dia tidak mau menikahimu sehingga kamu membutuhkan kambing hitam untuk menjadi bapaknya.""Kambing hitam apanya? Kan kamu juga bisa mendirikan toko seperti ini diatas tanahku, Mas? Apa kamu pikir aku diam saja dan tidak berguna selama ini? Kalau kamu menceraikanku, aku minta uang dari tanahku, SEKARANG!" teriak Titin. Larsono terdiam. "Kenapa kamu diam saja, Mas? Kamu nggak ada uang kan? Nggak ada uang untuk bayar tanah
Flash back on."Jadi anaknya Titin itu adalah anaknya Dimas?" tanya Naimah kaget. "Saya mendengar nya sih seperti itu. Tapi ada kemungkinan kalau bukan sih.""Maksudnya?" "Ya mungkin saja Dimas memang sudah memberikan uang itu pada Titin. Dan mungkin juga Titin sudah menggugurkan kandungannya. Sehingga bayi dalam kandungannya itu benar anaknya mas Larsono."Naimah menghela nafas. "Kenapa mbak Lisa mengatakan hal ini pada saya? Sebenarnya urusan mantan suami saya, bukan urusan saya lagi.""Saya hanya berempati padamu, Mbak Nai. Saya juga membenci pelakor. Saya tidak suka dengan para pelakor yang seenaknya merebut suami orang. Karena itu saya dukung mbak Naimah untuk mencari keadilan. Dan pertama-tama yang bisa dilakukan adalah menghancurkan hati mantan suami dengan mengatakan anaknya bukan anak kandungnya.""Lalu merebut segala aset?" tanya Naimah tertawa. Lisa ikut tertawa. "Seperti nya kita banyak menonton film ikan terbang, Mbak. Tapi terima kasih sekali atas informasi dan sara
"Buk! Mam pus. Kiamat ini!" seru Larsono sambil mengusap keringatnya yang mulai berjatuhan sebesar biji jagung. "Kenapa? Semua baik-baik saja kan?" tanya ibunya khawatir. "Temanku tidak mau mengurusi masalah ini." Larsono menatap lemah ke arah ibunya. "Ada apa?" tanya Titin mendekat. Larsono hanya terdiam tapi dia memberikan surat dari pengadilan yang dibawanya. "Apa? Tidak mungkin! Mas, kita harus melawan kan?" tanya Titin. Wajahnya yang penuh make up, pias."Ya. Tentu saja kita harus melawan. Tapi bagaimana caranya kalau pengacaraku saja tidak mau membantu?"Titin terdiam sejenak. "Kalau begitu biar aku yang ke rumah Mbak Naimah nanti!" cetus Titin mantap. "Emang kamu mau ngapain di rumah kakak kamu?""Mas lihat saja nanti. Yang jelas, sekarang kita harus melanjutkan rencana pernikahan ini.""Ya dong. Ini kan kita sedang menunggu tamu yang diundang dan kedatangan penghulunya.""Tapi kenapa mereka nggak datang-datang sih, Mas? Apa mereka tidak mau datang di acara ini?" tanya T
"Apa-apaan ini, Mas?" tanya Naimah yang baru saja datang ke kantor polisi. Matanya galak menyapu Titin dan mantan suaminya. "Kamu yang apa-apaan? Kenapa aku nggak boleh ketemuan sama anak sendiri?" tanya Larsono ikut nyolot. "Lha, siapa yang ngelarang? Aku nggak pernah melarang kamu untuk bertemu dengan Danang?""Tapi kamu memaksa membawa Danang, padahal hak asuh anak kan jatuh padaku?"Naimah mendelik. Jika tidak ingat ada di kantor polisi, dia sudah mencakar Larsono yang tidak tahu malu. "Kamu gi la, Mas? Kamu telah menipuku, kamu telah mengurus cerai ghaib diam-diam dan dengan semena-mena mengurus KK baru.Aku yakin kamu hendak membawa Danang karena kamu berharap aku akan menghentikan niatku untuk membawa kasus harta gono-gini kita ke pengadilan agama kan?" "Heh, apa katamu? Sembarangan kalau bicara!" "Ehem! Tunggu! Sepertinya masalah ini adalah masalah keluarga. Kalau bisa selesaikan lah dengan damai. Secara kekeluargaan," ucap salah satu polisi berbadan kekar yang duduk di
Larsono mendelik. "Apa? Ini nggak adil, pak hakim! Memang modalnya milik mantan istri saya! Tapi kan saya yang berusaha dan mengoperasikannya?" tanya Larsono bersikeras. Dia berdiri dan berkacak pinggang di depan para hakim.Tapi hakim di hadapannya sudah memberikan tanda pada Larsono untuk segera keluar ruangan. "Jangan membuat kerusuhan di sini. Silakan keluar karena persidangan kasus bapak sudah selesai," tandas hakim di hadapan Larsono tegas. Larsono menggebrak meja sebelum akhirnya berdiri dan bersungut-sungut keluar ruangan. "Aku tidak terima! Kamu pasti sudah menyuap hakim kan?" tanya Larsono mendekat ke arah Naimah. Naimah mendelik. Namun saat dia hendak menanggapi ucapan Larsono, pengacara nya menatap tajam ke arah Larsono."Hati-hati kalau bicara. Sembarangan bicara bisa terkena pasal pencemaran nama baik. Apalagi bapak tidak mempunyai bukti untuk menuduh klien saya. Kalau bapak keberatan dengan keputusan ini, bapak bisa mengajukan banding ke pengadilan negeri." Suara pe
l"Berhenti! Serahkan motor, dompet dan hp kamu kalau mau selamat!"Naimah turun dari motor lalu mengangkat tangannya. "Serahkan tas, motor, dompet, dan hp!" ulang orang bermasker itu. Naimah terdiam. Tidak melawan dan tidak menurut perintah orang bertopeng itu. "Heh! Kok diam saja! Ayo serahkan!" Lelaki itu mengarahkan parang di tangannya ke arah Naimah. Naimah menelan ludah. Rasa ngeri menjalari Badan Naimah gemetar dan jantungnya berdebar kencang melihat kilat yang dipantulkan oleh parang yang terkena cahaya matahari. "Ck!"Lelaki itu berdecak. Lalu dengan kasar menarik tas selempang yang tersampir di bahu Naimah. Naimah menarik tali tasnya. Dengan mendelik, dia berteriak minta tolong. "Tolong! Tolong!"Lelaki Itu mendelik dan menatap tajam pada Naimah. "Diam kamu! Atau saya bu nuh!"Lelaki itu menarik tali tas milik Naimah. Sedangkan Naimah berusaha mempertahankannya. Dengan menahan rasa ngeri dan isak tangis, Naimah berusaha mempertahankan tasnya. "Lepas tas kamu! Atau ny
"Ya, saya calonnya. Calon pembeli toko ini sekaligus calon pengganti bapaknya Danang," sahut Putra dengan tegas membuat semua yang ada di sekitar warung itu tercengang. Mulut Titin dan Larsono bahkan sampai terbuka lebar. "Apa maksudmu ..,"Ucapan Naimah terputus karena lirikan dan senyuman Putra. Naimah menghela nafas. 'Aku memang tidak paham apa maksud dari mas Putra. Tapi lebih baik aku iyakan saja ajakan mas Putra. Hitung-hitung membuat Mas Larsono dan Titin kepo. Pasti mereka tidak menyangka aku bisa mendapat ganti calon suami secepat ini.'"Ya, kalian nanti pasti akan kami undang kalau kami menikah," cetus Naimah. Titin menatap wajah Putra yang mirip dengan oppa Korea itu dengan penuh rasa iri. "Mas siapa nama calon kamu, Mbak?""Putra. Nama saya Putra," sahut Putra dengan gaya kharismarik. "Hm, Mas Putra nggak salah milih kakak saya? Kakak saya ini mantan TKW lho. Dan janda lagi. Lebih baik milih yang gadis kan banyak."Putra mengulas senyum. "Hm, memang apa salahnya deng
"Kami dari dealer Mekarwangi. Apa bapak Larsono ada? Sudah tiga bulan beliau belum membayar cicilan mobil. Kami datangi ke alamatnya yang lama, katanya sudah pindah kemari. Kalau sampai bulan ini belum membayar cicilan, mobilnya akan kami bawa lagi!" tukas salah seorang tamu lelaki yang mendatangi rumah Titin malam itu, membuat Titin tercengang. "Mas, mas Larsono! Mas! Ini ada orang dealer!""Ck! Duh, masalah lagi!"Larsono segera keluar dari kamar lalu menuju ke ruang tamu. Memasang muka paling ramah. "Masuk dulu mas, mas."Ketiga orang dari dealer itu berpandangan lalu masuk ke dalam rumah Larsono. "Tin, bikinkan minum untuk bapak-bapak ini," ucap Larsono setelah mereka duduk di sofa ruang tamu."Tidak perlu. Kami tidak lama. Kami hanya ingin bicara sebentar.Kredit mobil Bapak Larsono macet. Saat dihubungi via telepon, tidak pernah direspon. Sudah tiga bulan ini belum membayar. Sebaiknya bapak bayar, atau mobilnya kami ambil lagi.""Wah, sabar dulu. Jangan main ambil, Mas. Saya