Beberapa Minggu sebelumnya,"Kamu kayaknya lagi seneng deh, Put?" tanya Mamanya saat Putra baru saja pulang dari kafe Naimah. Putra mengurungkan niatnya untuk berjalan ke kamar lalu menghampiri mamanya. "Seneng dong. Coba Mama tebak alasannya?" tanya Putra sambil menatap wajah mamanya dengan seksama. Mamanya tersenyum lebar. "Pasti karena cewek. Ya kan?"Mata Putra mendelik. "Kok Mama bisa tahu sih?""Ya karena Mama pernah muda, Put. Tapi kamu saja yang belum pernah tua."Putra tersenyum. "Ya, bisa saja kan mama nebaknya karena omset toko kita naik?""Hm, nggak tuh. Kan feeling mama bilang kalau kamu bahagia karena perempuan. Jadi siapa dia? Coba bawa kesini," ucap sang mama membuat Putra tersipu malu. "Tapi, dia janda anak 1, Ma.""Lha, kenapa memangnya kalau janda. Asal bisa menjaga kehormatan diri, maju aja terus."Mata Putra berbinar. "Sungguh, Ma?""Tentu saja. Mama tidak pernah bercanda untuk hal seperti ini.""Jadi, mama setuju.""Tentu saja. Coba kenalin ke mama. Dan kamu
Larsono membuka mata dan terkejut saat salah seorang anggota tahanan di selnya menusuk perut Larsono dengan ujung sikat gigi yang sudah ditajamkan. Darah segar mengucur dari lukanya itu.Larsono berteriak lagi. Tapi dua orang tahanan yang berada di satu sel dengannya hanya melihat perut Larsono ditusuk berulangkali oleh napi lainnya. Darah segar sudah mengalir kemana-mana membuat lantai penjara penuh dengan noda darah. Tepat saat Larsono lemas, datang sipir penjara dan langsung menegur mereka. Napi yang menusuk Larsono segera menyembunyikan sikat gigi itu di balik bajunya."Heh, apa yang sebenarnya sedang kalian lakukan? Tidak bisa ditinggal sebentar saja!" gerutunya sambil menyalakan lampu dalam sel. Dan seketika petugas itu terkejut melihat kondisi Larsono yang bersimbah darah. "Astaga, siapa yang melakukan hal ini?" tanya petugas polisi itu. Ketiga tahanan terdiam dan hanya menatap Larsono yang sudah pingsan karena kesaktian dan kekurangan darah. Polisi itu langsung memanggil
Titin baru saja menidurkan Febi saat terdengar ponsel nya berdering nyaring. Titin menghela nafas panjang dengan cepat meraih ponselnya yang berdering diatas kasur. Khawatir Febi akan terbangun. Perempuan beranak satu itu berdecak kesal saat melihat siapa yang menelepon nya. Titin segera keluar dari kamarnya untuk menerima telepon dari Dimas."Heh, ada apa lagi kamu, Dim? Kamu jangan harap bisa pulang sebelum kamu bekerja!" seru Titin dengan kesal. "Selamat pagi, Bu. Kami dari pihak kepolisian. Kami mengabarkan bahwa pak Dimas, suami ibu ditangkap oleh polisi karena menabrak seorang gelandangan hingga tewas. Untuk proses penyelidikan, pak Dimas bisa didampingi oleh pengacara. Dan sampai persidangan, pak Dimas akan ditahan terlebih dahulu.Kami menelepon ibu karena pak Dimas tertangkap dalam kondisi mabuk dan sekarang tidak sadarkan diri. Saat kami periksa, kontak nama ibu ada di dalam panggilan masuk ke ponsel pak Dimas beberapa kali.""Oh, Dimas ditahan ya? Tahan saja pak polisi!
"Naimah? Ka-kamu sudah pulang?" tanya mertuaku kaget."Iya Bu. Saya kangen dengan Mas Larsono. Kemana dia sekarang?"Ibu mertuaku tampak menatapku lama. "Kamu duduk dulu. Ibu buatin teh dulu ya."Aku melebarkan pandangan mata ke arah rumah. "Wah rumah ini semakin bagus ya. Alhamdulillah, ternyata uang dari saya ada gunanya.""Itu kamar mas Larsono kan? Nggak banyak berubah ya?" tanyaku seraya menunjuk ke sebuah kamar yang dekat dengan ruang tengah.Aku berdiri dari ruang tamu dan melangkah menuju kamarku dan Mas Larsono yang telah kutinggalkan selama lima tahun."Jangan! Mau apa kamu kesana?" tanya mertuaku kaget sambil menarik lengan ku. "Lho, Bu. Rumah ini kan rumahku?! Walaupun sudah kutinggal selama 5 tahun, tapi rumah ini tetap rumahku kan? Masa aku nggak boleh ke kamar tidurku sendiri?""Nanti. Kamu nunggu Larsono saja!" ketus mertuaku.Aku mengerutkan dahi. "Kenapa? Apa ada yang kalian sembunyikan?!" "Eng-gak ada. Nanti nunggu Larsono pulang dulu!"Aku menghela nafas kesal.
"Sayang, kamu pilih ikut bapak dengan tante dan nenek, atau kamu tetap tinggal di sini dengan ibu kamu?"Aku mendelik. Seenaknya saja mas Larsono akan merebut Danang setelah apa yang dia lakukan padaku."Apa-apaan kamu, Mas? Tentu saja anak yang belum dewasa ikut ibunya. Lagipula aku tidak mau anakku ikut kalian yang tak punya hati!"Mas Larsono tertawa lebar. "Oh, ya. Tunggu sebentar."Mas Larsono berbisik ke arah Titin. Titin mengangguk lalu membuka kopernya, mengambil beberapa berkas dalam lipatan dalam kopernya lalu menunjukkannya padaku. Aku mendelik dan jantungku nyaris terlepas dari rongganya. Berkas yang ditunjukkan oleh Titin berisi fotokopi akta cerai, fotokopi surat nikah dan KK terbaru milik mas Larsono. Kartu keluarga milik mas Larsono yang tertulis dengan jelas nama anggota mas Larsono dengan Titin, Danang, dan Febi. Bayi mereka. "Kamu sudah merencanakan ini semua, Mas? Kamu sengaja usir aku ke luar negeri demi nikah dengan adikku?" tanyaku tak percaya. "Awalnya tida
Aku berdiri dan menuju ke arah kardus yang tadi juga kubawa pulang bersama koper. Para tetangga kulihat berbinar saat aku mengeluarkan isinya. "Bu, saya ada beberapa oleh-oleh kue dan aksesoris khas Taiwan. Jadi ini dibagi yang rata ya.""Terima kasih mbak Nai. Semoga urusan mbak Nai dilancarkan Allah. Dan Larsono serta Titin mendapat hukuman yang layak," ujar ibu-ibu tetangga setelah aku membagi oleh-oleh pada mereka. "Nai, kamu yang kuat ya, kalau butuh bantuan atau informasi apapun, kamu tanya saja sama saya."Aku mengangguk dan tak lupa mengucapkan terimakasih saat Bu Joko dan para tetangga lainnya pamit pulang. *"Enak makanannya?" tanyaku mengelus rambut Danang. Aku baru saja memesan aneka makanan online. Ada kebab, hottang, corndog dan es lumut. "Hm, enak banget, Buk."Aku menatap Danang yang sedang asyik menikmati makanannya."Apa kamu juga sering makan seperti ini saat ibu tidak ada?" tanyaku lagi. Danang seketika menggeleng. Matanya menatapku lama. "Waktu itu nenek dan
Mata Danang masih menyiratkan kebingungan. "Nanti kalau sudah gede, kamu akan tahu, Nak."Danang hanya mengangguk dan tidak mengajukan pertanyaan lagi. Suasana hening sejenak. Hanya ponselku yang bergetar berulang kali. Pasti banyak notifikasi masuk. Kuacuhkan saja ponselku hingga kendaraan yang kami naiki sampai di depan toko emas. "Ayo masuk, Nak."Aku menggandeng tangan Danang dan masuk ke toko emas itu dengan percaya diri. "Nai!""Hai Nikita!"Nikita, perempuan berwajah oriental pemilik toko emas itu menyambutku. "Kapan kamu pulang ke Indonesia?" tanya Nikita sambil menjabat tanganku dengan erat. "Hhh, baru saja."Nikita menatapku iba. "Aku sudah melihat semuanya. Apa yang kamu posting itu benar?"Aku mengangguk. "Iya. Suamiku telah menceraikanku dan menikah dengan adik kandungku."Nikita mendelik. "Kurang aj*r! Kamu harus balas dendam. Minimal kamu harus sukses untuk melihat mereka menyesal telah jahat padamu!" Suara Nikita terdengar berapi-api. "Tentu saja. Karena itu aku
Aku menyeringai. "Oh, ya. Kalau begitu akan kuadukan kamu juga. Manipulasi perceraian kita. Dengan sangat jelas selama lima tahun aku masih memberikan hasil keringatku padamu. Dan kamu tahu pasti aku kerja di negara mana. Tiap dua Minggu, aku sempatkan telepon, tapi kamu justru mengajukan cerai ghaib."Terlihat raut wajah mas Larsono yang terkejut. "Kamu kira aku bo doh dan akan menangis saja melihat kamu mempermainkanku, Mas? Jangan ngarep. Sori Mas. Dulu memang aku berpendapat kalau mematuhi suami itu merupakan kunci syurga sang istri dan aku pun setuju saat kamu menyuruhku ke luar negeri. Tapi sekarang, enggak akan lagi. Nggak sudi aku jadi sapi perahmu, Mas!""Oh, jadi kamu nggak akan menghapus dan nggak akan klarifikasi soal Titin dan aku?" tanya mas Larsono geram. "Ya. Kenapa? Mau protes?""Kalau begitu siap-siap saja kamu kalau aku bawa pengacara dan mempolisikan kamu, Nai!""Polisi? Siapa yang akan ditangkap polisi, Buk?" tanya Danang takut. Lihatlah mantan suamiku ini, tel