"Naimah? Ka-kamu sudah pulang?" tanya mertuaku kaget.
"Iya Bu. Saya kangen dengan Mas Larsono. Kemana dia sekarang?"Ibu mertuaku tampak menatapku lama. "Kamu duduk dulu. Ibu buatin teh dulu ya."Aku melebarkan pandangan mata ke arah rumah. "Wah rumah ini semakin bagus ya. Alhamdulillah, ternyata uang dari saya ada gunanya.""Itu kamar mas Larsono kan? Nggak banyak berubah ya?" tanyaku seraya menunjuk ke sebuah kamar yang dekat dengan ruang tengah.Aku berdiri dari ruang tamu dan melangkah menuju kamarku dan Mas Larsono yang telah kutinggalkan selama lima tahun."Jangan! Mau apa kamu kesana?" tanya mertuaku kaget sambil menarik lengan ku."Lho, Bu. Rumah ini kan rumahku?! Walaupun sudah kutinggal selama 5 tahun, tapi rumah ini tetap rumahku kan? Masa aku nggak boleh ke kamar tidurku sendiri?""Nanti. Kamu nunggu Larsono saja!" ketus mertuaku.Aku mengerutkan dahi."Kenapa? Apa ada yang kalian sembunyikan?!""Eng-gak ada. Nanti nunggu Larsono pulang dulu!"Aku menghela nafas kesal. "Bu, saya itu capek lho. Datang dari luar negeri dan langsung ke rumah untuk ketemu dengan mas Larsono tapi kok malah seperti ini sambutan nya?"Belum sempat ibu mertuaku menyahut, aku langsung berlari menuju ke kamarku."Naimah!""Astaghfirullah, apa ini? Siapa tinggal disini?" tanyaku bingung.Niatku memberikan surprise tapi ternyata aku yang terkejut melihat aneka baju, bedong, dan popok bayi teronggok di kasur."Ini punya siapa, Buk? Nggak mungkin kalau punya Danang kan? Danang pasti sudah berusia 7 tahun!" teriakku membuat mertuaku terkejut."Tunggu, Nai. Jangan marah-marah dulu. Kita nunggu kedatangan Larsono ya?""Kalau benar mas Larsono nikah lagi saat saya di luar negeri, saya akan mengusir kalian semua!"Wajah mertuaku memucat. Dan sebelum sempat menanggapinya, terdengar suara dari arah depan."Danang pulang, Nek!"Danang dan aku terdiam sekian detik. Lalu bibir kecilnya menyuarakan namaku."Ibuk?!""Iya sayang. Ini Ibuk."Aku berlutut menyamai tinggi Danang. Bocah itu terlihat ragu saat menghampiriku."Ini Ibu, Nang. Kan kita sering video call!"Aku memeluk nya lebih dulu. Dan Danang balas memelukku erat."Ibuk, Danang kangen!""Ibuk juga, Sayang. Mana bapakmu?""Mungkin sedang mengajak adek bayi jalan-jalan.""Adek bayi?""Iya. Lucu sekali adeknya. Cantik!"Sebelum aku sempat menanggapi, terdengar suara dari arah pintu. Suara mas Larsono."Assalamualaikum. Lho, Nai .. mah?"Aku pun juga kaget karena bayi yang digendong mas Larsono."Mas! Anak siapa yang kamu gendong itu?!" seruku marah.Dan aku lebih marah lagi saat melihat seorang perempuan di belakang mas Larsono."Dia anakku dengan mas Larsono, Mbak," sahut Titin, adik kandungku.Aku segera maju dan mendekat ke arah mas Larsono lalu menampar pipinya.Plakkk!Dan menghantam organ intimnya!Hakdesh!"Aawww!" jerit mas Larsono memegang organ intimnya dengan kanan. Tangan kirinya yang memegang bayi oleng."Abang!"Titin menangkap tubuh mas Larsono sedangkan mertuaku menangkap bayi Titin. Mertuaku segera menjauh dengan bayi dalam gendongannya.Ada yang meremas hati saat melihat persatuan mereka. Aku yang sengaja memberi kejutan dengan pulang beberapa bulan lebih cepat dari waktu kujanjikan, ternyata aku yang terkejut dengan perbuatan mas Larsono. Jadi seperti ini rasanya dikhianati. Dimanfaatkan dan ditusuk dari belakang. Sakit. Ya Tuhan! Sungguh sakit.Aku maju dan mengangkat tanganku hendak menampar pipi mas Larsono yang sedang duduk kesakitan menutup area intimnya.Tapi dengan kasar, Mas Larsono menepis tanganku dengan satu tangan."Kenapa nggak mau ditampar lagi, ha?Sakit kah rasanya?! Asal kamu tahu, sakit nya tamparan pipi dan bu rung kamu gak separah sakit hatiku!" teriakku kencang."Mbak! Yang sopan ngomong sama mas Larsono!" seru Titin.Plaakk!Plakkkk!"Aduh!"Segera kulayangkan tamparan pula kedua pipi adikku. Dia meringis menahan sakit."Hentikan! Jangan kasar kamu sama adik kamu!" Mas Larsono memeluk Titin di depanku."Astaga! Kalian semua gi la atau nggak punya hati? Aku siang malam capek cari uang, kalian malah kawin?? Ceraikan aku sekarang dan pergi dari rumah ku!""Kita memang sudah resmi berpisah, Nai."Aku mendelik. "Kapan?! Jangan-jangan kamu ..!""Ya, aku mengurus cerai ghaib di pengadilan agama melalui bantuan temanku yang pengacara. Kalau tidak percaya, aku punya akta cerai kita." Mas Larsono menyeringai lebar."Iya Mbak. Kita sudah menikah secara sah.""Kamu pergi terlalu lama, Nai. Aku butuh nafkah batin, dan kamu tidak bisa memberikannya!""Heh, jaga mulut kamu, Mas. Kamu yang dulu menyuruh aku jadi TKW. Dan kamu akan setia menungguku pulang dengan merawat Danang, kenapa sekarang kamu nyalahin aku?!?Kalau aku tahu kamu bakal kawin sama adikku, mending kamu aja dulu yang kerja keluar negeri!""Kenapa harus aku yang kerja di luar negeri? Lebih baik aku di rumah dan nunggu duit dari kamu untuk bangun warung sembako. Buat apa punya istri tangguh kalau nggak dikirim kerja ke luar negeri?" tanya mas Larsono penuh kemenangan."Kamu!"Aku menjambak rambutnya sekuat tenaga dengan gerakan cepat kuarahkan kepalanya ke arah lututku.Buaakkh!Mas Larsono terhuyung sejenak. Namun kemudian, mas Larsono segera menangkap pergelangan tanganku dan menghempaskan tubuhku ke lantai. Matanya melotot."Hentikan! Kamu istri yang bar-bar dan tidak berpendidikan. Beda sekali dengan Titin. Lihat Danang, dia sampai ketakutan!"Dadaku sesak. Mataku memanas. Kutahan agar tak tumpah sekuat mungkin. Aku beringsut memeluk Danang. Menenangkannya yang terlihat bingung."Aku bar-bar katamu? Nggak berpendidikan katamu? Lihatlah, istri yang tidak berpendidikan ini yang bekerja keras menghidupi kalian. Kalian makan dari hasil kerja kerasku. Pergi kalian dari sini!"Mas Larsono tersenyum aneh. "Kita memang akan segera pergi. Tapi asal kamu ingat, Nai, kamu sudah memberikan banyak uang untuk kami.Aku bisa membuat toko sembako kecil dan beli mobil walaupun masih nyicil dengan uang yang kamu berikan padaku. Hahaha, terimakasih ya!"Lelaki itu kemudian menatap ke arah Titin dan mertuanya. Sedangkan aku terdiam mematung.Titin dan mantan mertuaku segera menuju ke kamar masing-masing untuk berkemas meninggalkan rumah.Aku melepas pelukanku dari Danang dan menuju ke arah mas Larsono. Aku menatap matanya lekat dan berbisik lirih."Asyu kamu, Mas. Sekarang kamu mungkin saja merasa menang. Tapi itu takkan lama, aku nggak rela kalau hasil kerja kerasku dinikmati oleh kalian. Aku akan mendapatkan hasil kerja kerasku. Kamu lihat saja nanti, Mas!"Mas Larsono terlihat terkejut, tapi tak lama kemudian dia tersenyum."Jangan hanya besar omongan dan menggertakku, Nai. Kamu kira aku takut dengan ancaman kamu?""Kita lihat saja nanti, Mas! Aku tidak akan minta pada Tuhan untuk memberikan karma padamu. Tapi aku lah yang akan membuat karma datang padamu!""Bang, kami sudah siap." Terdengar suara Titin mendayu seraya menyeret kopernya. Dan mantan mertuaku yang juga keluar dari kamarnya."Apa baju Danang juga sudah dikemas?" tanya mas Larsono pada Titin."Jangan ngimpi kalau Danang akan ikut kamu. Danang akan ikut aku!""Oh ya? Jangan terlalu percaya diri, Nai."Mas Larsono mendekat ke arah Danang yang terdiam dan kebingungan."Sayang, kamu pilih ikut bapak dengan tante dan nenek, atau kamu tetap tinggal di sini dengan ibu kamu?"Next?"Sayang, kamu pilih ikut bapak dengan tante dan nenek, atau kamu tetap tinggal di sini dengan ibu kamu?"Aku mendelik. Seenaknya saja mas Larsono akan merebut Danang setelah apa yang dia lakukan padaku."Apa-apaan kamu, Mas? Tentu saja anak yang belum dewasa ikut ibunya. Lagipula aku tidak mau anakku ikut kalian yang tak punya hati!"Mas Larsono tertawa lebar. "Oh, ya. Tunggu sebentar."Mas Larsono berbisik ke arah Titin. Titin mengangguk lalu membuka kopernya, mengambil beberapa berkas dalam lipatan dalam kopernya lalu menunjukkannya padaku. Aku mendelik dan jantungku nyaris terlepas dari rongganya. Berkas yang ditunjukkan oleh Titin berisi fotokopi akta cerai, fotokopi surat nikah dan KK terbaru milik mas Larsono. Kartu keluarga milik mas Larsono yang tertulis dengan jelas nama anggota mas Larsono dengan Titin, Danang, dan Febi. Bayi mereka. "Kamu sudah merencanakan ini semua, Mas? Kamu sengaja usir aku ke luar negeri demi nikah dengan adikku?" tanyaku tak percaya. "Awalnya tida
Aku berdiri dan menuju ke arah kardus yang tadi juga kubawa pulang bersama koper. Para tetangga kulihat berbinar saat aku mengeluarkan isinya. "Bu, saya ada beberapa oleh-oleh kue dan aksesoris khas Taiwan. Jadi ini dibagi yang rata ya.""Terima kasih mbak Nai. Semoga urusan mbak Nai dilancarkan Allah. Dan Larsono serta Titin mendapat hukuman yang layak," ujar ibu-ibu tetangga setelah aku membagi oleh-oleh pada mereka. "Nai, kamu yang kuat ya, kalau butuh bantuan atau informasi apapun, kamu tanya saja sama saya."Aku mengangguk dan tak lupa mengucapkan terimakasih saat Bu Joko dan para tetangga lainnya pamit pulang. *"Enak makanannya?" tanyaku mengelus rambut Danang. Aku baru saja memesan aneka makanan online. Ada kebab, hottang, corndog dan es lumut. "Hm, enak banget, Buk."Aku menatap Danang yang sedang asyik menikmati makanannya."Apa kamu juga sering makan seperti ini saat ibu tidak ada?" tanyaku lagi. Danang seketika menggeleng. Matanya menatapku lama. "Waktu itu nenek dan
Mata Danang masih menyiratkan kebingungan. "Nanti kalau sudah gede, kamu akan tahu, Nak."Danang hanya mengangguk dan tidak mengajukan pertanyaan lagi. Suasana hening sejenak. Hanya ponselku yang bergetar berulang kali. Pasti banyak notifikasi masuk. Kuacuhkan saja ponselku hingga kendaraan yang kami naiki sampai di depan toko emas. "Ayo masuk, Nak."Aku menggandeng tangan Danang dan masuk ke toko emas itu dengan percaya diri. "Nai!""Hai Nikita!"Nikita, perempuan berwajah oriental pemilik toko emas itu menyambutku. "Kapan kamu pulang ke Indonesia?" tanya Nikita sambil menjabat tanganku dengan erat. "Hhh, baru saja."Nikita menatapku iba. "Aku sudah melihat semuanya. Apa yang kamu posting itu benar?"Aku mengangguk. "Iya. Suamiku telah menceraikanku dan menikah dengan adik kandungku."Nikita mendelik. "Kurang aj*r! Kamu harus balas dendam. Minimal kamu harus sukses untuk melihat mereka menyesal telah jahat padamu!" Suara Nikita terdengar berapi-api. "Tentu saja. Karena itu aku
Aku menyeringai. "Oh, ya. Kalau begitu akan kuadukan kamu juga. Manipulasi perceraian kita. Dengan sangat jelas selama lima tahun aku masih memberikan hasil keringatku padamu. Dan kamu tahu pasti aku kerja di negara mana. Tiap dua Minggu, aku sempatkan telepon, tapi kamu justru mengajukan cerai ghaib."Terlihat raut wajah mas Larsono yang terkejut. "Kamu kira aku bo doh dan akan menangis saja melihat kamu mempermainkanku, Mas? Jangan ngarep. Sori Mas. Dulu memang aku berpendapat kalau mematuhi suami itu merupakan kunci syurga sang istri dan aku pun setuju saat kamu menyuruhku ke luar negeri. Tapi sekarang, enggak akan lagi. Nggak sudi aku jadi sapi perahmu, Mas!""Oh, jadi kamu nggak akan menghapus dan nggak akan klarifikasi soal Titin dan aku?" tanya mas Larsono geram. "Ya. Kenapa? Mau protes?""Kalau begitu siap-siap saja kamu kalau aku bawa pengacara dan mempolisikan kamu, Nai!""Polisi? Siapa yang akan ditangkap polisi, Buk?" tanya Danang takut. Lihatlah mantan suamiku ini, tel
Flash back on.Hujan menderas yang membuat suasana menjelang Maghrib semakin terasa muram. Aku melihat jam dinding yang menempel di tembok seraya menenangkan Danang yang baru saja disapih."Duh, kok belum pulang sih mas Larsono. Sudah hampir maghrib. Biasanya jam setengah lima sudah pulang," gumamku sambil menggendong Danang. Mendadak ponsel ku berdering. Dengan cepat aku meraih ponsel di saku daster. "Halo.""Halo, Bu. Ini dari kepolisian. Apa ibu adalah keluarga bapak Larsono?""Iya, Pak. Saya istrinya." Hatiku mulai berdebar tidak karuan."Jadi begini, Bu. Suami ibu mengalami kecelakaan tunggal dan sekarang di rumah sakit Harapan Sehat. Diharap ibu segera kemari."Aku terdiam. Tercengang selama beberapa detik. "Halo, Bu. Bu. Ini dengan Bu Naimah bukan?" "Astaghfirullah, iya Pak. Apa suami saya baik-baik saja?""Suami ibu sepertinya mengebut dan ban motornya selip karena melewati aspal yang berlubang dan terdapat air. Lalu terpental jauh menimpa trotoar. Menurut dokternya haru
Flash back on"Alhamdulillah, kamu sudah bisa jalan pelan-pelan, Mas." Aku menyuguhkan teh dan sepiring pisang goreng di sore hari setelah seminggu mas Larsono pulang dari rumah sakit. Mas Larsono tersenyum kecut. "Aku bingung bagaimana kita akan melanjutkan hidup setelah ini."Aku menghela nafas panjang. Bingung juga. "Apa kamu tahu, Nai, kakiku terasa ngilu bila menapak terlalu lama. Aku tidak bisa berdiri dan berjalan terlalu lama. Rasanya terlalu ngilu," keluh mas Larsono. Aku terdiam. Memikirkan jalan keluar untuk masalah ini. Sementara kami harus menebus sertifikat tanah milik Titin juga memberikan makan pada lima perut. Huft, berat. **Dua bulan berlalu setelah mas Larsono keluar dari rumah sakit. Kakinya masih terasa ngilu untuk berdiri dan berjalan terlalu lama. Dia pernah mencoba melakoni berbagai pekerjaan. Tapi tidak ada yang bisa bertahan lama. Pernah menjadi kuli angkut pasar, tapi kakinya terasa sakit. Pernah menjadi penjaga di toko milik sepupu tapi kakinya juga
Flash back onPov LarsonoAku merindukan Naimah. Jujur aku masih normal. Dan ingin merasakan sentuhannya lagi. Akhirnya aku terpaksa melakukannya sendiri. Biarlah, daripada aku harus mengkhianati istriku yang selalu mengirimi uang tiap bulannya. Uang yang dikirimkan oleh Naimah bisa kumanfaatkan sebaik-baiknya. Ada warung bakso di teras rumah milik Titin. Yang kudesain lesehan agar tidak banyak biaya.Lalu sertifikat tanah milik Titin yang sudah berhasil kuambil lagi. Bahkan sekarang aku bisa membangun sebuah toko sembako kecil yang lumayan lengkap dengan aneka kebutuhan dapur, aneka snack dan es lumut yang dikelola ibu. Aku dan Titin juga semakin akrab. Dia memang sudah kuanggap sebagai adik sendiri. Bahkan uang hasil toko, dia juga tahu. Aku sering mengantarkannya ke pasar untuk menggiling daging bakso. Tak kuhiraukan pandangan tetangga padaku dan Titin, karena aku juga tidak pernah berpikir yang aneh-aneh tentang Titin yang sudah punya pacar. Sementara kondisi kakiku semakin la
[Dasar pelakor nggak tahu malu.][Mbak pelakor yang terhormat, kenapa kamu tega sekali dengan kakak kandungmu.][Mbak pelakor jahan*m! Jangan harap kakak ipar yang menjadi suami kamu sekarang rejeki selancar kemarin. Mna ada rejekinya maling yang berkah?!][Situ emang nggak laku ya?! Sampai mau sama suami kakak sendiri? Duda sama bujang banyak kan?]Titin mendengkus kesal membaca inbok yang menyerbu akun media sosial nya. Buru-buru dia menutup akunnya. "Astaga, kenapa sih orang-orang ini mengurusi hidupku? Ini gara-gara mbak Naimah!" gerutu Titin yang saat itu sedang menggoreng ayam. "Titin! Titin! Kamu dimana?"Mendadak terdengar suara Larsono yang memanggil-manggil namanya.Titin yang terkejut segera mengecilkan kompornya."Aku di dapur, Bang. Ada apa?" tanya Titin gugup. Dia segera mencuci tangan dan bergegas mencari Larsono. "Katakan yang sebenarnya, siapa bapak dari Febi?" tanya Larsono begitu Titin ada di depannya. Titin tercengang. Dia memandang wajah Febi yang sedang berada