Flash back on
"Alhamdulillah, kamu sudah bisa jalan pelan-pelan, Mas." Aku menyuguhkan teh dan sepiring pisang goreng di sore hari setelah seminggu mas Larsono pulang dari rumah sakit.Mas Larsono tersenyum kecut. "Aku bingung bagaimana kita akan melanjutkan hidup setelah ini."Aku menghela nafas panjang. Bingung juga."Apa kamu tahu, Nai, kakiku terasa ngilu bila menapak terlalu lama. Aku tidak bisa berdiri dan berjalan terlalu lama. Rasanya terlalu ngilu," keluh mas Larsono.Aku terdiam. Memikirkan jalan keluar untuk masalah ini.Sementara kami harus menebus sertifikat tanah milik Titin juga memberikan makan pada lima perut.Huft, berat.**Dua bulan berlalu setelah mas Larsono keluar dari rumah sakit. Kakinya masih terasa ngilu untuk berdiri dan berjalan terlalu lama.Dia pernah mencoba melakoni berbagai pekerjaan. Tapi tidak ada yang bisa bertahan lama. Pernah menjadi kuli angkut pasar, tapi kakinya terasa sakit. Pernah menjadi penjaga di toko milik sepupu tapi kakinya juga ngilu saat berjalan mengambil stok barang dari gudang untuk dipajang di toko.Uang sisa dari gadai tanah sudah hampir habis, bukannya untung, kini justru hampir habis. Sementara Titin harus mengubur impiannya untuk bisa kuliah."Duh, jangan seperti ini dong Nai, lauknya! Masak tiap hari sambal kecap dengan kerupuk!" protes mertuaku. Wajahnya mengerut di ruang makan."Itu juga si Danang, kenapa cuma dikasih makanan instan dan teh di dot. Ck, beli aja susu formula. Kamu nggak punya uang ya?!"Aku menghela nafas. "Ibuk kan tahu kalau setelah mas Larsono kecelakaan, keuangan kami oleng. Tolong ibu mengerti sedikit dong," sahutku. Terasa mulai emosi dalam nada suara."Heh, kamu kok nggak sopan sih dengan mertua. Kasar banget. Ibu hanya minta lauk yang lebih enak, kok dibentak?! Contohlah adik kamu si Titin, yang lemah lembut."Ibu menunjuk Titin di depan rumah yang sedang menggendong Danang."Astaghfirullah, Buk. Jelas beda lah saya sama Titin. Saya rasa kalau Titin ada di posisi saya, dia juga akan galak."Ibu diam sejenak. "Larsono, emang kamu nggak bisa cari kerjaan lain setelah diphk?""Kakiku kalau digunakan untuk jalan dan berdiri terlalu lama jadi sakit, Bu.""Kalau begitu yang harus kerja ya Naimah dong.""Tapi Bu, Danang gimana?""Danang kan ada Titin, ada saya, ada bapaknya juga. Kamu yang harus kerja. Lagipula Danang kan sudah selesai disa pih?!"Aku menghela nafas. Bingung akan menyetujui atau menolak usulan mertuaku."Lagipula ya denger baik-baik, Nai. Dalam sebuah keluarga, Tuhan itu bisa saja menitipkan rejeki pada sang suami, bisa juga pada sang istri. Jadi kalau suami kamu belum dapat kerja, kamu dong yang harus maju. Masa ibu?""Nanti akan Naimah pikirkan," sahutku akhirnya."Yah harus segera dipikirkan lah. Kita butuh makan dan anak kamu butuh susu dan masa depan," kilah mertuaku."Tapi apa yang bisa Naimah lakukan? Kalau buka usaha, saya tidak punya modal, Buk. Kalau mencucikan baju tetangga, rata-rata mereka mencuci baju sendiri. Mereka juga tidak butuh asisten rumah tangga karena kebanyakan dari mereka adalah ibu rumah tangga atau buruh tani.""Ck, kamu ini nggak pinter banget sih. Kemarin saat ibu belanja di warung ada selebaran tentang pemberangkatan T KW.""Jadi T KW? Aku?" Aku mendelik, kaget."Iyalah kamu, masa ibuk? Masa Titin atau Larsono?" tanya mertuaku dengan gaya menyebalkan."Akan saya pikirkan nanti, Buk. Saya juga ingin melihat tumbuh kembang anak saya," sahutku membuat mertuaku mendengus."Kalau cuma lulusan SMA aja, tidak usah mimpi muluk-muluk dalam bekerja. Asal halal dan dapat uang banyak, mbok dilakoni!"*"Aku akan berangkat ke luar negeri, Mas," ucapku suatu malam. Keputusan ku membulat saat setiap hari melihat para penagih hutang datang menyantroni rumah dan membuat kami risih. Belum lagi tatapan tetangga yang menyiratkan entah rasa kasihan, entah rasa ji jik pada kami.Mas Larsono hanya menghela nafas panjang."Kalau itu keputusan kamu, aku hanya bisa berharap kamu selalu beruntung dan mendapat majikan yang baik, Nai."Aku mengangguk. "Tapi bagaimana dengan Danang dan Titin?""Kamu tidak usah khawatir. Aku akan menjaga mereka dengan baik.""Kamu jangan selingkuh saat nggak ada aku ya, Mas!"Mas Larsono tersenyum. "Aku janji nggak akan selingkuh. Kan ada sabun dan minyak goreng," tukas mas Larsono, seraya mengedipkan sebelah matanya."Ish!"Aku memukul bahu mas Larsono pelan dan kamipun tertawa bersama."Lalu bagaimana dengan uang saku kamu? Apa kita masih punya tabungan?"Aku melihat dua cincin yang melingkar di jari manis. Satu cincin adalah mas kawin. Cincin yang lainnya adalah warisan dari ibu.Mata mas Larsono berkaca-kaca. "Maafkan mas ya. Belum bisa menjadi suami yang baik untukmu dan bapak yang baik untuk Danang.""Semua ini musibah, Mas. Aku akan berusaha kuat menjalaninya asalkan kamu di sini setia."Mas Larsono mengangguk. "Percayalah padaku, Nai!"Mas Larsono pun merengkuhku dalam pelukannya.*Hari keberangkatan pun tiba. Tak hentinya aku menci um pipi gembil Danang. Hatiku sesak melihat tangisnya yang menyayat saat aku hendak pergi dengan travel yang sudah menungguku di depan rumah."Ck, nggak usah cengenglah. Kalau mau jadi ibu juga harus mau sengsara!"Aku melirik ke arah mertuaku. Rasanya kalau tidak ingat bahwa dia adalah ibu dari suamiku, aku akan menyumpalkan sendal ke mulutnya.*Pov Titin.Mbak Naimah telah bekerja selama tiga tahun di Taiwan dan uangnya ditransfer pada mas Larsono.Yang luar bisa dari mas Larsono adalah dia bisa menghemat dan bisa memutar uang yang diberikan oleh mbak Naimah menjadi toko sembako di tanah warisan bagianku.Aku juga tidak masalah dengan toko yang dibangun di atas tanah bagianku. Toh, aku juga akan ikut menikmati uang bagi hasilnya untuk uang jajan.Bukan hanya itu, sertifikat tanah bagianku kini telah kembali. Dan mas Larsono juga mengubah teras depan rumah yang dulu hanya diisi gerobak bakso menjadi warung lesehan mungil.Aku dan mas Larsono semakin akrab, kadang kami belanja untuk warung baksoku berdua. Tapi aku hanya menganggapnya hanya sebagai seorang kakak lelaki saja. Karena aku sudah punya kekasih yang tampan, Dimas. Anak kepala desa.Tapi memang yang namanya usaha, kadang mengalami pasang surut. Seperti saat ini, warung baksoku yang sepi, mas Larsono, Danang dan mertua yang sedang berada di warung sembako yang berjarak 3 kilo dari rumah membuatku merasa kesepian.Beruntung Dimas, anak kepala desa, pacarku sejak setahun yang lalu yang merupakan teman SMAku mampir ke rumah dan mengajakku ke kontrakannya.Dengan senang hati, akupun menutup warung dan ikut dalam boncengan Dimas.Dimas yang bekerja di perusahaan pecah belah dengan jarak empat puluh lima menit dari rumahnya memang memilih ngontrak dari pada bolak balik ke rumah orang tuanya. Karena dia ingin bebas daripada dikekang oleh papanya, kepala desa yang galak itu.Aku sudah sering ke kontrakannya saat banyak teman-teman satu pabriknya disana. Tapi ini sekarang hanya ada kami berdua.Awalnya aku yang hanya melihat tivi di ruang tengah, entah mengapa jadi 'ingin' melihat Dimas yang menyerangku perlahan."Aku takut hamil, Dim.""Aku akan bertanggung jawab dan menikahi mu," sahut Dimas sambil menggendong ku ke kamarnya."Tapi papamu galak.""Papa akan menurutiku, Tin. Percayalah padaku. Aku sangat mencintaimu dan aku juga tahu, kamu mencintai ku kan?"Aku hanya mengangguk dan malam itu kami melakukannya dengan penuh cinta.*Aku hamil dan Dimas membawaku pada orang tuanya. Namun, alih-alih mereka menerimaku, aku ditolak mentah-mentah oleh keluarga mereka. Hatiku sangat sakit tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.Dan bukannya melawan papanya dan mempertahankan aku, Dimas justru mentransfer uang lima juta ke rekening ku untuk biaya menyingkirkan bayiku.Lelah menangis seharian membuatku haus. Dan saat tengah malam, aku keluar dari kamar menuju dapur.Saat melewati kamar mas Larsono, aku mendengar suara aneh. Aku menajamkan pendengaranku dan aku yakin itu suara desa han.Aku mengintip dari ventilasi kamarnya dan melihatnya melakukan seperti apa yang kupikirkan.Mendadak sebuah ide melintas di kepala. Aku segera kembali ke kamar dan menelepon mas Larsono.Tut ... Tut ... TutKlik."Halo.""Halo, Mas. Aku bisa membantumu. Jangan melakukannya sendiri. Kamu mau kan kubantu?"Flash back onPov LarsonoAku merindukan Naimah. Jujur aku masih normal. Dan ingin merasakan sentuhannya lagi. Akhirnya aku terpaksa melakukannya sendiri. Biarlah, daripada aku harus mengkhianati istriku yang selalu mengirimi uang tiap bulannya. Uang yang dikirimkan oleh Naimah bisa kumanfaatkan sebaik-baiknya. Ada warung bakso di teras rumah milik Titin. Yang kudesain lesehan agar tidak banyak biaya.Lalu sertifikat tanah milik Titin yang sudah berhasil kuambil lagi. Bahkan sekarang aku bisa membangun sebuah toko sembako kecil yang lumayan lengkap dengan aneka kebutuhan dapur, aneka snack dan es lumut yang dikelola ibu. Aku dan Titin juga semakin akrab. Dia memang sudah kuanggap sebagai adik sendiri. Bahkan uang hasil toko, dia juga tahu. Aku sering mengantarkannya ke pasar untuk menggiling daging bakso. Tak kuhiraukan pandangan tetangga padaku dan Titin, karena aku juga tidak pernah berpikir yang aneh-aneh tentang Titin yang sudah punya pacar. Sementara kondisi kakiku semakin la
[Dasar pelakor nggak tahu malu.][Mbak pelakor yang terhormat, kenapa kamu tega sekali dengan kakak kandungmu.][Mbak pelakor jahan*m! Jangan harap kakak ipar yang menjadi suami kamu sekarang rejeki selancar kemarin. Mna ada rejekinya maling yang berkah?!][Situ emang nggak laku ya?! Sampai mau sama suami kakak sendiri? Duda sama bujang banyak kan?]Titin mendengkus kesal membaca inbok yang menyerbu akun media sosial nya. Buru-buru dia menutup akunnya. "Astaga, kenapa sih orang-orang ini mengurusi hidupku? Ini gara-gara mbak Naimah!" gerutu Titin yang saat itu sedang menggoreng ayam. "Titin! Titin! Kamu dimana?"Mendadak terdengar suara Larsono yang memanggil-manggil namanya.Titin yang terkejut segera mengecilkan kompornya."Aku di dapur, Bang. Ada apa?" tanya Titin gugup. Dia segera mencuci tangan dan bergegas mencari Larsono. "Katakan yang sebenarnya, siapa bapak dari Febi?" tanya Larsono begitu Titin ada di depannya. Titin tercengang. Dia memandang wajah Febi yang sedang berada
"Mas, aku bisa jelasin.""Mau jelasin apalagi? Semua yang tertulis di kertas itu sudah bisa menjelaskan segalanya!""Tes DNA itu pasti salah!"Larsono mendelik. "Jadi, kamu sekarang justru menyalahkan orang lain?"Titin terdiam."Aku minta maaf, Mas. Aku memang salah. Aku khilaf. Tapi bukankah kita sudah saling memanfaatkan?Kamu memanfaatkan hasil bekerja kakakku, kamu memanfaatkan aku untuk memuaskanmu, apa salahnya jika aku menginginkan ayah dari bayimu?!" tanya Titin nyaris berteriak. "Siapa ayah dari bayi kamu?!" tanya Larsono dingin."Di-Dimas.""Sudah kuduga. Dia tidak mau menikahimu sehingga kamu membutuhkan kambing hitam untuk menjadi bapaknya.""Kambing hitam apanya? Kan kamu juga bisa mendirikan toko seperti ini diatas tanahku, Mas? Apa kamu pikir aku diam saja dan tidak berguna selama ini? Kalau kamu menceraikanku, aku minta uang dari tanahku, SEKARANG!" teriak Titin. Larsono terdiam. "Kenapa kamu diam saja, Mas? Kamu nggak ada uang kan? Nggak ada uang untuk bayar tanah
Flash back on."Jadi anaknya Titin itu adalah anaknya Dimas?" tanya Naimah kaget. "Saya mendengar nya sih seperti itu. Tapi ada kemungkinan kalau bukan sih.""Maksudnya?" "Ya mungkin saja Dimas memang sudah memberikan uang itu pada Titin. Dan mungkin juga Titin sudah menggugurkan kandungannya. Sehingga bayi dalam kandungannya itu benar anaknya mas Larsono."Naimah menghela nafas. "Kenapa mbak Lisa mengatakan hal ini pada saya? Sebenarnya urusan mantan suami saya, bukan urusan saya lagi.""Saya hanya berempati padamu, Mbak Nai. Saya juga membenci pelakor. Saya tidak suka dengan para pelakor yang seenaknya merebut suami orang. Karena itu saya dukung mbak Naimah untuk mencari keadilan. Dan pertama-tama yang bisa dilakukan adalah menghancurkan hati mantan suami dengan mengatakan anaknya bukan anak kandungnya.""Lalu merebut segala aset?" tanya Naimah tertawa. Lisa ikut tertawa. "Seperti nya kita banyak menonton film ikan terbang, Mbak. Tapi terima kasih sekali atas informasi dan sara
"Buk! Mam pus. Kiamat ini!" seru Larsono sambil mengusap keringatnya yang mulai berjatuhan sebesar biji jagung. "Kenapa? Semua baik-baik saja kan?" tanya ibunya khawatir. "Temanku tidak mau mengurusi masalah ini." Larsono menatap lemah ke arah ibunya. "Ada apa?" tanya Titin mendekat. Larsono hanya terdiam tapi dia memberikan surat dari pengadilan yang dibawanya. "Apa? Tidak mungkin! Mas, kita harus melawan kan?" tanya Titin. Wajahnya yang penuh make up, pias."Ya. Tentu saja kita harus melawan. Tapi bagaimana caranya kalau pengacaraku saja tidak mau membantu?"Titin terdiam sejenak. "Kalau begitu biar aku yang ke rumah Mbak Naimah nanti!" cetus Titin mantap. "Emang kamu mau ngapain di rumah kakak kamu?""Mas lihat saja nanti. Yang jelas, sekarang kita harus melanjutkan rencana pernikahan ini.""Ya dong. Ini kan kita sedang menunggu tamu yang diundang dan kedatangan penghulunya.""Tapi kenapa mereka nggak datang-datang sih, Mas? Apa mereka tidak mau datang di acara ini?" tanya T
"Apa-apaan ini, Mas?" tanya Naimah yang baru saja datang ke kantor polisi. Matanya galak menyapu Titin dan mantan suaminya. "Kamu yang apa-apaan? Kenapa aku nggak boleh ketemuan sama anak sendiri?" tanya Larsono ikut nyolot. "Lha, siapa yang ngelarang? Aku nggak pernah melarang kamu untuk bertemu dengan Danang?""Tapi kamu memaksa membawa Danang, padahal hak asuh anak kan jatuh padaku?"Naimah mendelik. Jika tidak ingat ada di kantor polisi, dia sudah mencakar Larsono yang tidak tahu malu. "Kamu gi la, Mas? Kamu telah menipuku, kamu telah mengurus cerai ghaib diam-diam dan dengan semena-mena mengurus KK baru.Aku yakin kamu hendak membawa Danang karena kamu berharap aku akan menghentikan niatku untuk membawa kasus harta gono-gini kita ke pengadilan agama kan?" "Heh, apa katamu? Sembarangan kalau bicara!" "Ehem! Tunggu! Sepertinya masalah ini adalah masalah keluarga. Kalau bisa selesaikan lah dengan damai. Secara kekeluargaan," ucap salah satu polisi berbadan kekar yang duduk di
Larsono mendelik. "Apa? Ini nggak adil, pak hakim! Memang modalnya milik mantan istri saya! Tapi kan saya yang berusaha dan mengoperasikannya?" tanya Larsono bersikeras. Dia berdiri dan berkacak pinggang di depan para hakim.Tapi hakim di hadapannya sudah memberikan tanda pada Larsono untuk segera keluar ruangan. "Jangan membuat kerusuhan di sini. Silakan keluar karena persidangan kasus bapak sudah selesai," tandas hakim di hadapan Larsono tegas. Larsono menggebrak meja sebelum akhirnya berdiri dan bersungut-sungut keluar ruangan. "Aku tidak terima! Kamu pasti sudah menyuap hakim kan?" tanya Larsono mendekat ke arah Naimah. Naimah mendelik. Namun saat dia hendak menanggapi ucapan Larsono, pengacara nya menatap tajam ke arah Larsono."Hati-hati kalau bicara. Sembarangan bicara bisa terkena pasal pencemaran nama baik. Apalagi bapak tidak mempunyai bukti untuk menuduh klien saya. Kalau bapak keberatan dengan keputusan ini, bapak bisa mengajukan banding ke pengadilan negeri." Suara pe
l"Berhenti! Serahkan motor, dompet dan hp kamu kalau mau selamat!"Naimah turun dari motor lalu mengangkat tangannya. "Serahkan tas, motor, dompet, dan hp!" ulang orang bermasker itu. Naimah terdiam. Tidak melawan dan tidak menurut perintah orang bertopeng itu. "Heh! Kok diam saja! Ayo serahkan!" Lelaki itu mengarahkan parang di tangannya ke arah Naimah. Naimah menelan ludah. Rasa ngeri menjalari Badan Naimah gemetar dan jantungnya berdebar kencang melihat kilat yang dipantulkan oleh parang yang terkena cahaya matahari. "Ck!"Lelaki itu berdecak. Lalu dengan kasar menarik tas selempang yang tersampir di bahu Naimah. Naimah menarik tali tasnya. Dengan mendelik, dia berteriak minta tolong. "Tolong! Tolong!"Lelaki Itu mendelik dan menatap tajam pada Naimah. "Diam kamu! Atau saya bu nuh!"Lelaki itu menarik tali tas milik Naimah. Sedangkan Naimah berusaha mempertahankannya. Dengan menahan rasa ngeri dan isak tangis, Naimah berusaha mempertahankan tasnya. "Lepas tas kamu! Atau ny