Naimah seketika mendelik dan teringat peristiwa mengerikan itu. "Jadi begal yang waktu itu suruhan mas Larsono?" desisnya lirih."Begal apa?" bisik Putra bingung. "Nanti aku ceritain.""Kenapa kita nggak langsung masuk dan menangkap basah mereka?""Tunggu dulu, Mas Putra. Aku ingin tahu jawaban mas Larsono pada lelaki itu."Dalam hati Naimah masih berharap bahwa Larsono menolak tuduhan itu. Bahwa Larsono yang menolongnya itu adalah kebetulan saja bukan disengaja ada niat khusus untuk menjebaknya entah untuk maksud apa."Tenang, pak Adi. Saya akan membayarnya. Tidak perlu marah-marah seperti itu."Naimah dan Putra masih menguping di teras rumah Larsono. "Mas, aku akan merekam video mereka dulu. Nanti aku jelaskan padamu apa yang telah dilakukan mas Larsono padaku."Putra hanya mengangguk dan melihat Naimah merekam pembicaraan Larsono dan tamunya dari ventilasi ruang tamu. "Ck, kapan tepatnya bapak bisa membayar saya? Yang jelas Pak. Yang kita lakukan itu termasuk hal kriminal lho ka
Naimah tersenyum lalu meletakkan ponselnya di dalam saku. Dia berdiri dari kursi di ruang tengah lalu mematikan televisi. Sejenak berdiri dan merenggangkan otot badannya ke kanan dan ke kiri. "Duh, Danang belum pulang ya dari rumah Bu Joko? Seneng banget mainnya di sana. Mending aku susul saja kesana."Naimah berjalan menuju rumah Bu Joko dan tampak Danang sedang bermain bersama beberapa anak lainnya di halaman rumah. "Lho, Ibu juga mau main ke sini?" tanya Danang. "Iya. Asyik bener mainnya. Main apaan sih?""Main masak-masakan."Naimah tertawa lalu berjongkok di samping lima anak yang sedang bermain di sana. "Wah, boleh juga laki-laki main masak-masakan. Banyak kan penjual nasi goreng yang laki-laki?"Danang mengangguk lalu Naimah mengelus kepala Danang. Naimah lalu mengalihkan pandangannya ke arah Doni, anak Bu Joko."Ibumu ada, Don?""Ada Bu, di dalam rumah."Naimah tersenyum lalu berdiri dan berjalan menuju ke pintu masuk rumah bu Joko. Tepat pada saat itu, sang empunya rumah k
Beberapa bulan sebelumnya,"Mas, mana uang bagian tanahku?" tanya Titin saat Larsono menghitung uang yang diperolehnya dari penjualan toko dan mobil. Larsono melirik Titin sekilas. Lalu meletakkan uangnya lagi. Ditatapnya wajah Titin. "Nggak ada."Mata Titin membulat. "Lho, kok bisa?""Ya biasalah. Naimah memergoki ku menyuruh orang untuk pura-pura menjadi begal dan merampok nya. Dan aku yang pura-pura jadi penolong nya agar dia merasa berutang budi padaku. Tapi setelah Naimah tahu, dia mengancamku untuk membagi toko dan mobil itu secara adil menjadi dua bagian tanpa tanah bagian kamu. Atau dia akan melaporkan ku ke polisi karena dia mempunyai rekaman percakapan antara aku dengan orang yang kusuruh menghadangnya.""Ck, padahal aku ingin belanja, Mas. Kalau begitu aku ingin meminta uang padamu saja. Kamu kan belum mengembalikan emas ku yang kamu jadikan jaminan pada begal palsu itu.""Duh, Tin! Kamu kok matre banget sih. Baru saja dipinjam tiga hari sudah perhitungan.""Ya iyalah. J
"Tenang saja, Dim. Aku ada ide agar semua pembeli kembali lagi ke kafe kamu.""Hah? Bagaimana caranya?"Titin membisikkan sesuatu ke telinga Dimas. "Wah, ide bagus! Tapi aku takut kalau ketahuan, gimana?" "Nggak akan ketahuan, kita akan menyuruh mereka main rapi. Misalkan ketahuan, kita suruh mereka tutup mulut. Paling tidak akan banyak orang yang ragu-ragu untuk makan disana. Bagaimana? Kamu berani nggak?"Dimas terdiam. Di wajahnya tampak keraguan yang mendalam. "Dim? Kok diam?""Aku takut kalau berurusan sama polisi.""Ck, nggak usah takut. Biar aku aja yang maju ngadepin mbak Nai. Dia tidak akan tega melaporkan ku ke polisi.""Masa sih?" "Iya. Aku kan adik kandung nya. Meskipun telah terjadi sesuatu yang membuat hubungan kami renggang, tapi aku yakin dia tetap menyayangiku dan tidak tega untuk lapor polisi."Dimas menatap wajah Titin dengan sumringah. "Baiklah. Lakukan semau kamu asal kafe ku ramai lagi."Titin mengangguk. "Baiklah. Tapi ada syaratnya." Titin mendekat ke ara
Dan lelaki itu tercekat saat melihat Titin dan Dimas masuk ke dalam salah satu kamar hotel. Larsono hanya bisa menatap dari kejauhan. Lalu sebuah ide melintas di benaknya. Dengan cepat Larsono mengeluarkan ponselnya dan merekam Titin yang masuk ke dalam kamar hotel. Larsono merasa hatinya sakit bukan main. Dengan menghela nafas dan berusaha menenangkan hatinya, lelaki itu mendekat ke arah pintu hotel. Ditempelkan telinganya ke pintu kamar hotel tersebut, berharap mendengar suara yang bisa dijadikan bukti. Tapi nihil, tidak terdengar suara apapun dari pintu yang terkunci itu. Sementara itu Titin yang sudah ada di dalam kamar dengan Dimas, segera meletakkan Febi ke ranjang kamar hotel. Lalu memeluk Dimas dengan erat. "Apa tidak ada yang curiga dengan kepergianmu kesini?" tanya Dimas. Titin menggeleng. "Nggak ada. Aku sudah minta ijin untuk ketemu sama teman SMA. Dan suamiku yang bodoh itu percaya." Titin tersenyum lalu meraih tengkuk belakang Dimas. Mendekat kan bibirnya ke bibir
"Waalaikumsalam, mbak Nai, apa aku bisa minta tolong?" "Kamu ..,""Aku Titin, Mbak! Tolong aku!"Naimah terdiam. Dia melihat jam yang menempel di dinding kamarnya. Sudah jam 1 malam. "Mbak, mbak? Kamu kok diam saja, Mbak? Aku butuh pertolongan kamu!"Naimah menghela nafas. "Kamu pikir sekarang jam berapa, Tin? Ini sudah tengah malam. Aku tidak mungkin ke kontrakan kamu. Bahaya untukku.""Tapi mbak, Febi sakit! Aku harus bagaimana?" tanya Titin panik. "Lha emang kemana suami mu?""Aku, aku sudah ditalak oleh mas Larsono, Mbak.""Kok bisa?" tanya Naimah kaget. Titin ingin menceritakan hal yang sebenarnya tapi dia takut kalau Naimah menjadi semakin benci dan tidak mau menolong nya."Ceritanya panjang, Mbak. Sekarang kumohon tolong aku! Aku sendirian di rumah. Febi panas dan muntah-muntah. Aku harus bagaimana, Mbak?" tanya Titin semakin panik. "Apa ini pertama kalinya Febi panas setelah dia lahir?""Nggak Mbak, dulu setelah Febi imunisasi, Febi selalu panas. Tapi selalu reda setelah m
Dimas menoleh ke belakang dan sangat terkejut melihat kedatangan istrinya yang sedang berkacak pinggang. "Jadi ini kelakuan kamu, Mas? Aku benar-benar kecewa. Setelah kamu menjadi penanggung jawab resto milikku, kamu malah selingkuh dengan pelacur ini?" tegur Adila, istri Dimas. Wajah Dimas memucat. Sedangkan Titin yang sedang menggendong Febi mulai berkeringat dingin."Dila, ini tidak seperti apa yang sedang kamu pikirkan. Berikan waktu padaku untuk menjelaskan hal ini ya?""Nggak! Aku ingin minta cerai! Serahkan kembali kepemilikan restoran aku!" teriak Dila. "Dil, tenang ya. Ini di rumah sakit. Anakku sedang sakit dan aku harus memeriksakannya ke dokter."Mata Dila membola sempurna. "Anak kamu? Astaga, Mas! Sejak kapan kamu mengenal jalang itu, Mas! Jawab aku! Jangan diam saja!"Titin yang mendengar dirinya disebut jalang tidak terima dan berdiri menghadap Dila."Heh, kamu! Dengar ya, sebelum kamu dan Dimas bertemu, kami lebih dulu bertemu. Kami saling mencinta dan anak ini ada
"Jangan mimpi! Dia anak kamu atau bukan, papa tidak akan pernah mau menerima nya. Dan satu hal lagi, kamu pilih nikah sama perempuan itu tapi papi coret dari KK dan tidak mendapatkan warisan sepeserpun, atau kamu tinggalkan perempuan itu dan anaknya serta kembali pada Dila?! Jawab sekarang!"'Wah, papa masih marah, lebih baik aku mengalah dulu. Daripada namaku dicoret dari ahli waris, lebih baik aku pura-pura berdamai dengan Dila agar tetap dapat duit buat Titin,' batin Dimas. "Dimas tetap mau sama Dila, Pa. Dimas janji tidak akan menemui Titin lagi.""Tunggu, Pa." Dila bangkit dan menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Dila tidak ingin bersama dengan mas Dimas lagi.""Kenapa Dil?" tanya orang tua dan mertuanya kaget. "Karena Dila tahu, Mas Dimas ingin mempertahankan pernikahan ini dengan setengah hati. Dila yakin sekali kalau mulut mas Dimas bilang ingin bersama dengan Dila, tapi nanti mas Dimas akan menemui perempuan itu lagi diam-diam. Dan Dila tidak mau dikhianati dan sa