Berhentilah sejenak. Putar tubuhmu dan pandangi aku seperti yang pernah kau lakukan dulu. Kau tahu, aku merasa takut sekarang. Melihat tanganmu yang masih ragu membalas uluran tanganku membuatku tenggelam lebih dalam dari apa yang pernah aku bayangkan. Sangat sulit. Bahkan hanya dengan memperkirakan semua ini akan segera terjadi.
Berhentilah berjalan. Untuk beberapa saat berikan aku senyum menawan itu. Senyum yang tersungging rapi di garis bibirmu. Bibir ranum yang selalu teroles lipstik berwarna cerah itu. Ya, lampirkan senyum memabukkan itu. Sekali lagi. Maka aku akan benar-benar kehilangan kendali untuk mencintai. Karena kau begitu sempurna.
Jadi, apakah kau masih berpikir bahwa aku adalah kesalahan terbaik? Yang datang ke hidupmu tanpa diminta dan menghancurkannya tanpa perasaan. Kurasa tidak. Karena sampai detik kepergianmu ke Bali, aku masih percaya bahwa kau tak pernah jatuh ke dalam dekapan yang salah. Atau jatuh cinta dengan pria yang salah.
Karena aku tak pernah mau mengoyakkan hati lembut itu jika kau tak membuatku jenuh menunggu.
Sekarang tunggulah aku. Di bandar udara yang ramai dan bising itu, menantilah untukku. Karena aku mencintaimu.
Tunggulah aku.
Meski kau tak tahu tentang hati ini, tapi kau bisa memahaminya dari jauh. Aku pun berada dalam lubang yang sama, merindukanmu yang tak pernah berada seujung jari pun dari lirikan mataku. Aku menulis surat-surat ini untuk kemudian mengulumnya menjadi sampah. Melipat setiap potongan katanya untuk kemudian menjadi burung kertas yang terbang di udara, tanpa arah.
Aku kehilangan manik matamu yang teduh itu. Lebih dari itu, mungkin aku telah kehilangan puluhan sajak yang melambung saat kau membacanya. Aku kehilangan hampir semuanya? Benar, tapi di detik-detik yang terasa lambat ini biarkan aku berharap bisa menemukan kepingan kenangan yang tertinggal. Serpihan atau bahkan remah-remah memori yang berjalan ketika aku tahu kau berada di sini, satu kota denganku, menghirup udara dan semerbak cinta yang meluap, sama denganku. Kau berada di sini, di Jakarta. Izinkan aku berpikir kau akan berada di sana, menungguku sebelum pesawat yang akan membawamu pergi lepas landas.
Untuk menerbangkanmu lebih jauh dari sebelumnya.
***
“Sam, gue lihat Sella di Bandara Soekarno Hatta. Pagi ini gue nganter nyokap berangkat ke Australia. Seriusan! Gue bertaruh itu Sella, cewek yang lo suka.”
Pesan mengejutkan dari sahabatnya Arthur masuk di tengah sesi sarapan keluarga Ariston. Beberapa jam lalu ia masih duduk dengan wajah tertekuk di depan meja makan yang menghamparkan lusinan makanan mewah. Bagi orang tuanya, hari ini akan mencetak sejarah paling membanggakan dalam silsilah keluarga besar Ariston. Pertemuan keluarganya dengan keluarga pebisnis terkemuka akan berlangsung malam nanti. Sialnya ia baru diberitahu pagi ini bahwa acara pertemuan itu akan berakhir rencana pertunangan antara dirinya dengan anak perempuan tunggal dari rekan bisnis ayahnya.
Samuel Ariston ingin menolak keras, tapi ia tak mampu karena karier bermusiknya terancam kandas di tangan orang tuanya.
Samuel Ariston, hanya dua kata itu yang tertera di plakat nama pria berkebangsaan Indonesia-Amerika yang kini tengah melangkahkan kakinya lebar-lebar, berlari semburat. Acara keluarga besar Ariston belum usai tapi Samuel memilih meninggalkan semua kemegahan dan tawa di dalam pesta itu. Menyeruak kepingan kenangan yang muncul di hadapannya setelah ia mendengar kabar kedatangan Sella di Jakarta, yang parahnya akan segera meninggalkan kota besar ini menuju Bali beberapa menit lagi.
Samuel terus merutuki dirinya saat kedua kakinya lemas dan terjatuh di atas jalan yang padat dengan kerumunan orang. Belum sesuap makanan pun yang masuk ke perutnya sejak pagi. Jadi wajar jika saat ini tubuhnya tak bisa diajak bekerja sama dengan baik. Tapi demi melihat arolji yang menunjukkan bahwa keberangkatan pesawat yang akan membawa Sella semakin dekat, Samuel rela menyeret paksa tubuhnya. Berlari dengan butiran keringat yang berhamburan dan nafas tersengal-sengal yang hampir memecahkan jantungnya saat itu juga. Taksi atau bus tidak akan menjadi pilihannya saat ini. Jalanan Kota Jakarta yang terlampau padat membuat seluruh mobil yang berkutat di jalan besar itu berhenti. Alhasil laju mobilnya sempat tersendat hampir satu jam untuk sampai di sini. Berlari dengan sisa tenaga adalah pilihan terbaik saat ini.
Meski jauh di dalam hati kecilnya Samuel yakin wanita itu tak akan mau menoleh dan tersenyum kecil padanya, sekali pun ia datang dengan tubuh penuh keringat. Kendati begitu, senyum terakhir Kim Sella yang selalu membekas di otaknya membuatnya tetap berlari. Menembus kemustahilan dan kepahitan yang akan segera terjadi.
“Jangan dekati Sella lagi! Perbuatan jahat ayahmu membuatnya menderita sampai trauma tinggal di Jakarta!”
Samuel tersentak. Memorinya terlempar pada masa pesta kelulusan SMA saat dirinya menerima telepon tanpa nama. Orang asing itu mengancamnya untuk tidak mendekati Sella lagi. Samuel masih ingat betapa syok dirinya waktu itu. Pertengkarannya dengan sang ayah di tengah makan malam keluarga Ariston meninggalkan bekas luka yang begitu besar. Samuel ingin melupakan kejadian yang menimpa Sella. Tapi sialnya tiba-tiba ada orang asing yang mengetahui kejadian itu dan kembali mengingatkannya. Batin Samuel terluka.
Tapi hari ini, Samuel bertekad tak akan ada seorang pun yang mampu menghalangi atau bahkan menghentikan langkahnya. Ia sangat menggebu-gebu berlari dari area parkir bandara. Rasa cinta yang meluap dan kumpulan sajak cinta yang tergenang di bibirnya hampir saja meletup hari ini. Di tengah nafas memburunya yang hampir habis itu, ia masih bisa menembus kerumunan orang di sekitar bandara yang padat. Di punggungnya, laki-laki berparas tampan dengan seringai nakal di wajahnya itu merasakan ada bayangan seseorang yang mendorong dirinya untuk berlari lebih cepat.
Dan orang itu adalah Sella Lorinia.
“Jangan! Jangan sekarang!” Pria berkemeja putih dengan lengan tergulung itu mendengus kesal saat netranya melihat sebuah pesawat yang melintas ribuan kilometer di atas kepalanya.
Otak Samuel yang terlampau rancu itu segera menyimpulkan sebuah kenyataan pahit bahwa pesawat itu adalah pesawat yang membawa Sella pulang ke Bali. Tapi Samuel masih bisa menepis pikiran buruk itu dan berlari menerobos belasan mobil yang melintas di jalan. Ia hampir saja tertabrak oleh salah satu mobil itu sampai akhirnya ia bisa berhenti sejenak. Membungkuk dengan kedua tangan yang memegang lutut saat dirinya sudah berada di depan pintu masuk bandara.
“Apa aku terlambat?” batinya sesal.
Samuel merasa seluruh tulang yang melekat di tubuhnya akan remuk sekarang. Tapi sekali lagi, bayangan Sella membuatnya kembali berjalan memasuki bandara. Dengan sedikit terhuyung karena kepalanya berkunang-kunang, kedua kakinya yang terbalut celana jins itu berlari kecil. Matanya dengan tajam dan gesit berputar di sekeliling bandara, mencari sosok mungil yang selalu dirindukannya.
“Apa penerbangan dari Jakarta menuju Bali sudah berangkat?”
Hati kecilnya berdegup kencang. Dengan hati-hati dan diserbu rasa khawatir, Samuel memberanikan diri menanyakan soal keberangkatan pesawat Sella.
Petugas bandara di depannya terdiam cukup lama. Matanya masih fokus berkutat pada layar komputer di depannya. Lalu akhirnya petugas itu mengangkat kepala, melontarkan kalimat demi kalimat yang menulikan telinga Samuel saat itu juga.
“Ya, sudah berangkat lima belas menit yang lalu.”
***
Samuel menyesap kopi panasnya. Membiarkan kehangatan yang ditimbulkan oleh secangkir minuman itu meresap dan membakar hatinya. Sepasang mata menawannya yang mendadak gelap itu memandang pantulan dirinya di kaca kedai. Seorang pria menyedihkan berambut pirang yang termangu tanpa alasan. Ya, tanpa alasan. Karena setinggi apa pun rindu menerbangkan hasrat cintanya yang kian meninggi. Sekejam apa pun takdir merampasnya tanpa pamit. Sella akan tetap berjalan pergi, meninggalkan remah kenangan dan luka. Sama seperti sebelumnya. Padahal Samuel jelas tahu, tak ada alasan baginya untuk datang dengan segaris senyum di wajah. Atau dengan puluhan sajak yang terlepas dari bibirnya. Karena Sella akan tetap pergi. Dengan takdir yang tak akan mempersatukan kembali. “Ingin memesan varian kopi t
“Akh! Aduh! Sial banget gue hari ini!” Samuel tidak tahu benda keras apa yang menghantam lengannya hingga membuat keseimbangan tubuhnya goyah. Kini ia berakhir tersungkur di aspal setelah menjerit kesakitan. Seingatnya, lima menit yang lalu otaknya mengepul seperti sedang mengeluarkan asap tebal. Jadi karena tak tahan, ia berlari keluar restoran tanpa menghiraukan keadaan sekitar yang tengah ramai dan padat oleh kendaraan. Lalu beginilah akhirnya. “Hei, lo nggak apa-apa? Waduh, gawat!” Samuel mengangkat kepalanya. Mengabaikan rasa nyeri di pergelangan kakinya saat suara asing dari pria berjaket gombrong itu menyapa. Bobby berjalan ketar-ketir mengelilingi Samuel yang terduduk lemas di te
“Bob, gue nabrak anak konglomerat! Gue nabrak anak konglomerat, Bob! Yang gue tabrak anak pemilik firma hukum terkenal! Bob, gue nabrak anak konglomerat!” Celotehan panik Dipta memenuhi telinga Bobby sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Bobby merasa ingin muntah saat Dipta berteriak untuk yang kesekian kali bahwa ia baru saja menabrak anak konglomerat. Nahasnya nyanyian putus asa Dipta adalah fakta. Fakta yang menjerumuskan mereka ke dalam masalah besar. Catat! Masalah besar, bukan masalah biasa. “Gi-gimana nih, Bob?” tanya Dipta gemetar. Mobilnya sedang mengantre di depan pintu masuk rumah sakit. Bobby melirik Samuel yang setengah terlelap di jok tengah. Penampilan laki-laki itu sangat mewah, bertolak belakang
Misi bunuh diri berkedok perlarian sementara itu tak berjalan mulus. Koridor RSU Jakarta yang cukup tenang pagi ini mendadak gaduh. Bobby lari pontang-panting mencari tempat persembunyian. Di belakangnya, Dipta—yang cukup payah dalam berlari—mulai sesak napas karena mengimbangi langkah Bobby. Tubuh Bobby yang ringan dan gerakan gesitnya sulit diikuti oleh Dipta yang sejak kecil sering mimisan. “Ta, cepetan dikit! Ayo!” Bobby berseru gemas sembari menarik-narik tangan Dipta yang tiba-tiba tergolek lemah di lantai. “Istirahat sebentar, Bob. Gue bisa mati kehabisan napas sebelum ketemu tuan dan nyonya Ariston,” jawab Dipta terengah-engah. Dipta berjalan setengah bungkuk didampingi Bobby. Bobby yang sudah bercuc
Apa yang harus ia pilih di saat-saat genting ini? Dipta merenung dikelilingi tatapan penasaran teman-temannya. Kepalanya menunduk seakan tak sanggup melihat wajah mereka. Mengakui Sella sebagai tunangannya secara sepihak saja sudah terdengar seperti mimpi buruk. Ditambah Dipta harus berbohong di depan tuan dan nyonya Ariston, bahkan di hadapan Samuel sendiri. Tanpa sadar hembusan napas berat lolos dari mulutnya. Mendadak Dipta jadi teringat Sella. Perempuan itu hanya terlihat lemah karena penyakit mentalnya. Sebenarnya Sella jauh lebih tenang dan bijak dari dirinya saat menghadapi masalah. Dipta berpikir apa yang akan dilakukan Sella jika diperhadapkan dalam situasi seperti ini. “Ta, lo harus coba rencana ini.” Seruan Juna membuyarkan lamun
Dipta ditimpuki rasa penyesalan saat ia menjabat tangan Samuel dan mengesahkan kesepakatan maut berkedok misi penyelamatan itu. Bobby, Juna, dan Roni yang berdiri di belakangnya kehabisan kata-kata. Saat ini Dipta juga nyaris tak bisa membuka mulut tanpa menelan sesal. Mamanya selalu memberinya banyak nasihat, satu yang paling diingat Dipta adalah nasihat untuk selalu berpikir panjang saat ingin mengambil sebuah pilihan. Akan tetapi, pagi ini Dipta melanggar nasihat kesukaannya itu. Dipta baru saja mengambil pilihan yang bagai dua sisi koin, bisa berujung baik atau justru berakhir buruk. “Ta, lo serius mau bawa Samuel kabur dari sini?” tanya Roni sembari cengar-cengir tak percaya. Dipta yang Roni kenal tak pernah gegabah sepert ini.  
Seumur hidup Dipta, ia tak pernah menyetir mobil secepat ini. Dipta tumbuh dengan label anak baik dan julukan siswa teladan. Ia tak pernah menyentuh rokok atau terlibat tawuran pelajar. Bahkan jumlah presensinya yang kosong hanya bisa dihitung jari. Dipta selalu jadi bahan pujian kepala sekolah saat pidato upacara bendera karena tak pernah bolos kelas. Kesimpulannya hidup Dipta Mahendra adalah irisan kesempurnaan. Tapi hari ini Dipta sedang bersiap melepas status “anak baik” saat ia mendapati kecepatan mobilnya kian melambung tinggi. Sebenarnya Dipta menjerit-jerit sepanjang perjalanan melarikan diri ini. Ia tak mau tertangkap pengawasan mobil patroli polisi sedang menyetir ugal-ugalan. Tapi desakan dari arah belakang membuatnya terpaksa menginjak pedal gas lebih dalam. Tersangka u
Tak pernah terduga dalam benak Dipta, Jakarta yang selalu bergerak dengan layar besar tanpa henti itu akan terguyur hujan. Aktivitas di dalamnya memang tak berhenti. Deru klakson yang bersahutan dan ketukan tumit sepatu para pekerja saling mengisi ruang kosong di jalanan yang kadang tergenang air. Derit ban sepeda motor anak-anak sekolah yang bergesekan dengan aspal yang licin. Juga ketenangan di dalam mobil Dipta. Sebenarnya keadaan saat ini tak tepat jika dibilang ketenangan yang menghanyutkan jiwa. Terlihat jelas dari raut wajah Dipta yang tegang saat membaca pesan Whatsapp di ponselnya. Hanya melihat ekspresi Dipta saja Bobby dapat menebak dengan akurat seperti apa nasib Roni dan Juna. “Kita bisa kabur sampai sejauh ini pasti karena Juna dan Roni, kan?”
Samuel berdiri lesu di ruang ganti pakaian. Di luar terdengar gegap gempita suara dari tamu undangan dan keluarganya. Hari pertunangan akhirnya tiba dan Samuel terpaksa patuh pada kehendak keluarganya. Keluarga Ariston dan Keluarga Redington melepaskan Dipta, tidak membawa kasus tabrak lari ini ke jalur hukum. Namun, sebagai hukuman, Dipta harus angkat kaki dari panggung dunia hiburan. “Band Young Bee sudah tidak tampil selama lima bulan ini,” kata pengawalnya saat Samuel meminta pria itu masuk untuk menemaninya yang hampa. “Mereka juga tidak aktif mengeluarkan lagu lagi. Tentu saja ini karena mereka kehilangan vokalis.” “Sella bagaimana?” tanya Samuel gamang, dia tidak pernah berani menelepon Sella lagi, bahkan mengangkat telepon Sella atau membalas pesannya. “Masih kuliah di Bali dan bekerja di kafe Luke, tapi tidak mau bicara dengan saya.” Percakapan mereka terpotong karena ketukan pintu. Pengawal membuka pintu dengan cepat
“Saya pelakunya. Saya tidak sengaja menabrak Samuel yang keluar dari dalam kafe bandara,” aku Dipta, tubuhnya gemetar dan suaranya parau. “Saat itu, Samuel lari dan tidak melihat ke sekitarnya. Saya juga sedang tidak fokus. Lalu kecelakaan itu terjadi.” Dipta mempertaruhkan karier bandnya dan mengakui semuanya. Di belakangnya, ada Samuel yang berdiri kaku, menatap tak percaya pada Dipta yang memilih berkorban. Samuel yakin Dipta tahu bahwa sampai saat ini hanya ia yang Sella cintai. Sementara Dipta selalu berakhir menjadai sahabat Sella, tak lebih dari itu. Axel Redington sangat berang. Ia menatap Dipta lekat-lekat, begitu pula dengan Hans Ariston. Di sisi lain, Serina mendadak merasa kacau karena telah menangkap Yose. Seketika Serina merasa kalut, ia merutuki Samuel yang semestinya mengaku dan meluruskan masalah ini agar ia bisa bertunangan. Tapi calon tunangannya yang bodoh dan kikuk malah gagal mengendalikan pria aneh itu, Dipta. “Jad
Salah satu kamar VIP di Resort Marina kedatangan banyak tamu hari ini. Awalnya Serina menyewa kamar itu untuk bulan madunya bersama Samuel. Namun, tragedi tabrak lari dan sekelumit kisah menyedihkan yang melibatkan Samuel dengan Sella membuat impian bulan madunya yang indah berakhir gagal. Dan kini Serina harus bersusah payah menghadapi sikap pemberontakan Yose, tawanannya. “Lepasin gue! Dasar anak orang kaya yang kotor!” teriak Yose berang. Serina semakin geram karena Yose yang tengah diikat dengan tali tambang di kursi besi itu tak berhenti bergerak beringas. “Cih! Berani banget bilang gue orang kotor!” bentak Serina. Yose melirik perempuan bertampang arogan yang tengah berkacak pinggang di depan wajahnya. Ia mendongak dan menyaksikan Serina Redington tengah melayangkan tatapan penuh kebencian. Para pengawal Keluarga Redington berdiri di belakang perempuan kaya itu, berpakaian setelan jas hitam. Di sisi kiri dan kanannya pu
Akhirnya Dipta dapat berdiri di atas panggung lagi bersama Young Bee, band yang ia perjuangkan mati-matian sejak masih belajar di sekolah menengah. Kini di tengah masa-masa kuliah yang padat, Dipta berhasil membawa Young Bee menuju puncak popularitas. Bobby yang berdiri di belakangnya, memegang dua stik drum, tampak terharu. Bahkan Roni sudah menangis sembari memeriksa suara gitarnya. Di sisi kirinya, Juna yang memegang gitar bass sukses besar mengacaukan riasan yang dibuat penata rias sewaan ibunya gara-gara menangis. Mereka belum tampil, tirai hitam yang disiapkan panitia belum disingkap. Keempat sahabat itu sudah bersiap di balik tirai, lengkap dengan berurai air mata. Salah satu penyebab tangisan haru itu ada kehadiran Sella di tengah-tengah penonton. Di kesempatan tampil kali ini, sangat berbeda dengan panggung Jakarta Dream Concert, Sella dapat hadir menonton Dipta dan Young Bee sebagai seorang sahabat. “Ta, gue rasa inilah titik balik Young Bee
Beberapa jam lagi GWK Music Festival akan dimulai dan Yose harus berlapang dada membiarkan Sella bertemu laki-laki itu, Dipta. Bahkan, Yose dikabari oleh adiknya, Feliz Abinaya kalau Samuel juga akan mengisi acara. Sialnya, nama dan foto Samuel terpampang besar di spanduk festival sebagai bintang utama. Yose merasakan hatinya memar seperti baru dihujam pukulan kuat. Ia tahu persis apa penyebabnya, tentu saja video curahan hati Serina Redington yang viral itu dan berhasil mengarahkan semua hujatan kepada dirinya. Berkali-kali tangan Yose bergerak gelisah, menarik tudung jaket hoodienya agar lebih rapat menutupi sebagian wajahnya. Di sudut terpencil kafe yang terletak di dekat area wisata Garuda Wisnu Kencana ini, Yose merasa dirinya sudah mirip buronan. Tak seperti biasanya, Yose harus menghabiskan waktu kencannya sambil mengikuti perkembangan kasusnya yang diviralkan Serina Redington, berusaha menutupi wajahnya dengan tudung hoodie dan topi, bahkan terus mengawasi
“Hello, guys! Wah, udah lama gue nggak lihat kalian, The Redington Club kumpul lagi kayak gini. Pardon me, please. Seperti yang kalian tau, akhir-akhir ini gue sibuk sama pertunangan gue. Tapi gue malah nggak ngasih kabar apa-apa padahal gue tau kalian pasti excited banget. But, finally im here! Gue mau ngasih kabar ke kalian, kabar pahit yang bikin gue yakin harus minta dukungan dan bantuan kalian.” Mata Samuel hampir tak berkedip saat menatap layar laptopnya dan menyaksikan video itu. Video yang diunggah kanal YouTube calon tunangannya, Serina Redington dan kini sudah naik ke puncak trending. Samuel merasakan debaran yang menalu dadanya akan bertambah keras karena ini hatinya mulai terasa sakit. “Rumor soal pertunangan gue yang diundur itu bener, guys. Itu kenyataan! Kalian tau siapa yang bertanggung jawab sama masalah ini? Bukan Samuel atau keluarga dia. Dan bukan juga keluarga gue. Ini masalah yang disebabkan sama orang asing. Samuel luka-luka kare
Dari yang diamatinya saat ini, belum ada yang aneh pada sosok berjaket biru pudar itu. Perilaku Yose tidak menunjukkan tanda-tanda keterlibatan dengan Samuel dan Keluarga Ariston yang bermasalah. Yose masih tersenyum lebar, menggengam tangannya lembut, dan berbicara dengan nada rendah yang teduh. Hanya satu hal yang membuat Sella terus-terusan menyelidiki laki-laki itu di tengah momen makan malam mereka. Janji Samuel kepadanya tadi pagi. “Yose, hubungan kamu sama orang-orang di sekitar kamu baik-baik aja, kan?” Tiba-tiba Sella tergerak untuk menanyakan pertanyaan bodoh itu. Tentu saja, Yose yang dikenalnya berhati emas itu langsung mengernyitkan dahi dan menggeleng bingung. “Kayak nggak kenal aku aja.” Yose membalas dengan nada ejekan sambil tertawa. Suara genjrengan gitar akustik dan dentum drum yang membentuk harmoni merdu di sisi lain kafe mendadak terdengar senyap di telinga Sella. Kata-kata Samuel terngiang-ngia
Kedatangan calon tunangannya ke Bali bagaikan kotak pandora, sangat tak terduga. Kini Samuel tak bisa berhenti memutar ulang video yang terputar di layar laptopnya. Video itu merekam segalanya, raut wajah Yose yang beringas, mukanya yang pucat, aksi kekerasan, keributan para pengunjung restoran, sampai kedatangan Luke untuk membubarkan insiden panas yang melukainya.“Mau bantah pakai alasan apa lagi? Jelas banget cowok sinting itu yang nabrak kamu sampai luka-luka dan bikin pertunangan kita diundur.”Samuel mendelik, pandangannya menyorot sosok ramping yang tengah bersandar di kaca kamarnya sembari menyesap segelas wine. Tubuh rampingnya terbalut jubah mandi berwarna putih seperti kulitnya. Bercak-bercak air tersebar di seluruh lantai, menetes dari rambutnya yang tergulung handuk dan belum kering. Samuel merasa risih. Sejak bertemu di pantai tadi malam, Serina memaksa ingin menginap di kamar hotelnya dan tanpa persetujuan darinya, perempuan cerewet itu lang
Sudah tak terhitung lagi berapa kali Samuel mengulang janjinya pada Sella di dalam hati. Mungkin ratusan kali, sebab matahari sudah tenggelam di lautan saat ia menyibak tirai dan memandang jauh ke luar. Sudah berapa jam sejak ia meninggalkan taman dan Sella yang memandangnya dalam kehampaan? Samuel kehilangan kepekaan terhadap waktu ketika segalanya menjadi pudar. Tidak ada yang mengganggu dirinya, termasuk Luke yang ia pikir akan datang lagi dan menggedor-gedor pintu kamar hotelnya. Samuel pikir suasana di sekitarnya telah cukup tenang untuk membantunya mencari makanan di restoran hotel. Pesan singkat dari Sella yang menyuruhnya makan karena tubuhnya tampak kurus masih melintas dalam benaknya dan itu berubah menjadi dorongan kuat bagi tubuhnya. Samuel memaksa dirinya keluar dari kamar dan duduk di salah satu meja restoran hotel yang dekat dengan bibir pan