Tumpukan-tumpukan kayu itu sekilas hanya terlihat semacam tumpukan kayu dalam jumlah banyak, ditambah papan tripleks yang dibiarkan bersandar di tengah-tengahnya, tetapi siapa sangka, jika papan tripleks yang digunakan sebagai pintu itu digeser, kau akan menemukan ruangan kecil yang sengaja disulap menjadi ruang kerja. Terdapat satu set komputer dan beberapa jenis perangkat keras yang tertata rapi di atas meja. Satu buah kursi tunggal, serta sofa panjang berwarna biru yang ditambal dengan kain di beberapa bagiannya. Ruangan kecil yang cukup nyaman dan bersih dibanding keadaan di luarnya. Aland, Joo, Kate, Ken, dengan Jane sempat panik saat mengetahui ada orang lain selain mereka di sini.
“Benar, aku memang adik dari Kak Mikhaela yang dikabarkan hilang itu,” jawab Aland ketika laki-laki yang keluar dari tumpukan-tumpukan bangku itu bertanya kepadanya. Aland sudah berpikir macam-macam bahwa rahasianya dalam membentuk kelompok rahasia untuk mencari kakaknya akan terbongkar. Namun, persepsinya salah. Karena laki-laki yang mengaku dirinya sebagai Romeo itu malah menawarkan kerjasama dengan kelompok rahasia Aland.
Di sinilah mereka berada sekarang, di sebuah ruang rahasia Romeo yang berdinding tumpukan bangku-bangku serta kursi-kursi dari kayu yang tak terpakai. Meski terlihat kecil, ruangan rahasia itu ternyata bervolume besar sehingga cukup untuk lima orang yang kini berdiri di sekitar Romeo—yang tengah mengutak-atik sesuatu di komputernya. Ternyata, Romeo sudah lama menyelidiki orang-orang bertopeng hitam misterius yang berkeliaran sekitar kampus sebelum mahasiswi bernama Mikhaela dikabarkan menghilang. Dia menunjukkan sebuah artikel tentang Geng Topeng Hitam yang ditulisnya sendiri.
“Geng Topeng Hitam?” Kate mengerutkan kening saat membaca sebaris judul halaman artikel di komputer Romeo.
“Benar. Mereka menyebut diri mereka sebagai Geng Topeng Hitam yang baru-baru ini mengirim teror di asrama kampus,” ungkap Romeo dengan tatapan yang tertuju pada layar komputer.
“Jadi ... orang-orang yang kulihat itu benar, Rome?” tanya Jane yang sudah mengenal Romeo—meski hanya sebatas nama—yang sama-sama sebagai mahasiswa penerima beasiswa yang juga tinggal di asrama.
“Iya, tapi aku tidak tahu teror apa yang dikirim oleh mereka. Aku juga tidak tahu siapa yang mereka tuju, tapi yang jelas, mereka adalah mahasiswa dari kampus kita sendiri yang memiliki tujuan untuk mencari korban sebanyak-banyaknya.”
“Lalu, dari mana kau bisa tahu, jika kau sendiri tidak tahu teror apa yang dikirimkan oleh mereka?” Joo bertanya.
“Mereka pernah meninggalkan jejak yang tak sengaja aku temukan di halaman belakang asrama.” Romeo beralih membuka laci di meja kerjanya, sebuah potongan kain kecil mirip sapu tangan ia keluarkan dari sana, dan menyerahkannya pada Aland. Namun, kain berwarna putih yang telah kusut itu kosong ketika Aland membentangkannya. Hal itu membuat Aland dan yang lain tak mengerti apa yang dimaksud oleh Romeo.
“Cari satu-satunya bagian pojok kain yang terdapat tanda dari tinta berwarna biru,” titah Romeo yang langsung dilakukan oleh Aland. Mereka membolak-balikkan sapu tangan itu dan mengecek setiap ujungnya. Ken tiba-tiba memekik saat menemukan sesuatu yang dilihatnya. “Berhenti di situ! Aku menemukannya. Coba lihat apa ini,” tunjuk Ken pada sebuah tanda kecil yang bentuk spesifiknya tidak bisa dilihat dengan jelas oleh mata mereka. Aland sampai mengangkat kain itu dan mendekatkan wajahnya agar dapat melihat lebih jelas. Sementara itu, ide jahil tiba-tiba terlintas di pikiran Joo kala melihat Aland begitu dekat dengan kain, ia mendorong kepala Aland seraya terkikik di tempatnya. “Kepalamu kurang dekat.” Yang sontak mengundang gelak tawa dari kubu para gadis-gadis yang melihatnya.
“Tapi aku belum bisa melihat apa pun, coba kau lihat sendiri,” perintah Aland pada Joo, tetapi Romeo menghentikannya karena tanda itu terlalu kecil untuk dilihat oleh mata telanjang. “Tidak perlu, pakai ini.” Romeo memberi Aland kaca pembesar dari dalam lacinya.
Melalui kaca pembesar dari Romeo, sederet huruf-huruf yang membentuk kalimat itu bisa terbaca akhirnya oleh mereka. Tulisan ‘Geng Topeng Hitam’ tertera jelas di tengah-tengah dua lingkaran dengan ukuran kecil dan besar yang mengitarinya. Di bawah tulisan itu terdapat coretan yang mirip seperti tanda tangan, yang berhasil mengundang tanda tanya besar di antara mereka.
“Apakah kalian berpikiran sama sepertiku?” tanya Romeo.
“Ini ... terlihat seperti stempel sebuah perkumpulan.” Jane tampak ragu saat mengatakannya. “Apakah ... jangan-jangan a-anggota mereka dalam jumlah besar?” tanya Jane yang membuat semua orang kini memandangnya karena pertanyaannya yang menarik perhatian.
“Jane benar. Itu adalah stempel,” ucap Romeo. “Ini mungkin agak gila, tapi Jika mereka sampai memiliki stempel resmi dalam perkumpulan mereka, artinya geng ini tidak main-main. Mereka pasti memiliki tujuan yang berbahaya,” lanjutnya.
Aland termenung karena teringat dengan kakaknya yang bahkan tidak tahu di mana keberadaannya sekarang. Apakah dia baik-baik saja. Apakah dia masih hidup ataukah sudah tiada. Kedua tangannya yang menggenggam sisi kain mengepal tanpa sadar. Aland benar-benar tak bisa membayangkan jika terjadi sesuatu terhadap kakaknya. Jika benar geng itu berhubungan dengan hilangnya kakaknya, maka Aland tak akan segan-segan menghukum pelakunya dengan caranya sendiri.
“Aku harus menemukan siapa pelaku yang telah menyebabkan kakakku menghilang.” Aland berkata tanpa sadar.
“Tenanglah, cukup berbahaya jika kita gegabah dalam bergerak. Kita harus menyusun rencana dengan matang dan bergerak diam-diam, jika kita ingin misi ini berjalan dengan lancar.” Romeo berkata yang diangguki oleh semua orang.
Kate menepuk bahu Aland, menenangkannya. “Kami semua telah berjanji untuk membantumu menemukan kakakmu, yakinlah bahwa dia akan baik-baik saja.” Aland menoleh pada Kate, lalu pada semua orang yang kini menatapnya dengan tatapan yang seolah-olah melalui tatapan itu mereka memberi semangat pada Aland. Sejak saat itu, Aland bukan hanya menemukan orang-orang yang satu misi dengannya. Namun, Aland juga menemukan teman-teman sejati yang akan berjalan bersama di sisinya.
Dua minggu usai terbentuknya ‘Kelompok Rahasia’ yang bertujuan membongkar kejahatan di dalam kampus, mereka masih tak menemukan apa-apa. Gedung tua belakang kampus ditetapkan menjadi basecamp Aland dan kelima teman barunya untuk berkumpul saat membahas masalah ini. Makin hari mereka semakin dekat hingga Aland sudah menaruh kepercayaannya kepada mereka, mereka juga sudah tak canggung lagi dalam berinteraksi satu sama lain. Ditambah tingkah laku Joo, Kate, dan Ken yang setiap hari selalu meramaikan suasana, yang selalu berhasil membuat mereka lupa pada tujuan awal mereka menjalin pertemanan hanya untuk menjalankan misi.
“Sebenarnya aku terlalu malas berjalan-jalan, tapi apa boleh buat, aku yang menyuruh kalian untuk bersama-sama menyelidiki kasus ini.” Romeo berceletuk sewaktu-waktu yang kemudian mendapat timpukan kulit kacang dari Joo, semua orang kini tahu dibalik sifat Romeo yang cerdas dan perfeksionis dalam melakukan sesuatu, ternyata dia orang yang malas berinteraksi dengan orang lain, itu sebabnya dia membangun sendiri ruang pribadinya di gedung lama tanpa diketahui oleh orang lain. Jika tidak ada yang dikerjakan, Romeo akan menghabiskan waktu dengan bermain game di ponselnya. Dia mengoleksi banyak permainan-permainan baru hingga permainan klasik.
Matahari sedang panas-panasnya siang ini. Kipas angin yang dirakit Romeo menggunakan aki tak bisa meredakan rasa gerah yang menjalar. Joo dan Kate sedang berdebat di depan radio tentang lagu apa yang harus mereka pilih untuk didengarkan. Sementara di depan meja panjang yang biasa mereka gunakan untuk rapat, Aland tengah memperhatikan Romeo yang tengah mengutak-atik sebuah jam tangan ketika Ken dan Jane baru datang dengan membawa kantong berisikan makanan dan minuman di tangan mereka.
“Kalian baru datang?” tanya Aland ketika Jane dan Ken mengeluarkan beberapa makanan ringan serta minuman ke atas meja. Ruangan yang semula hanya berisikan bangku dan kursi itu disulap menjadi tempat berkumpul yang lebih nyaman.
“Kami ada rapat dengan semua anggota club dansa ballroom, acara tahunan kampus sudah dekat, kami yang terpilih harus mempersiapkan penampilan yang terbaik. Apalagi, kami adalah penari utama pria dan wanitanya.” Kate menoleh saat mendengar Ken mengatakan itu pada Aland dan Romeo. Entah kenapa ada rasa tidak rela saat mengetahui mereka akan menari bersama sebagai pemeran utama. Pasti akan ada beberapa gerakan mesra yang akan mereka lakukan.
Joo mencolek Kate untuk bergabung dengan yang lain. Dalam sekejap, suasana hati Kate langsung berubah ketika melihat banyaknya makanan dan minuman di atas meja. Kate serta Joo berbinar melihatnya. Tanpa basa-basi mereka langsung mencomotnya lebih dulu dari yang lain.
“Apa masih belum ada perkembangan informasi dari kakaknya Aland?” tanya Jane saat semua orang kini mengambil duduk dan mulai menikmati camilan yang dibawakannya bersama Ken.
Aland menggeleng lemah. “Belum ada.”
“Apa kita perlu mengubah rencana kita?” tanya Joo yang kemudian mendapat senggolan dari Kate yang berada di sampingnya. “Mengubah rencana bagaimana?” Joo yang tak terima menyenggol balik Kate, tetapi tubuh gadis tomboy itu ternyata lebih kuat dari perkiraannya. Ia terlatih melakukan olahraga bela diri setiap hari, sehingga tubuhnya bisa sekuat itu untuk ukuran seorang perempuan.
“Maksudku, apakah kalian tidak sadar kalau kita terlalu lamban dalam bergerak? Kita tidak tahu apa saja yang bisa terjadi pada kakak Aland jika kita masih belum menemukan apa-apa seperti ini.”
Jane mengangguk, sependapat dengan pemikiran Joo. “Apa yang dikatakan Joo itu benar. Bukankah tidak sebaiknya kita turun langsung ke lapangan untuk mencari informasi, daripada tetap menunggu di sini sampai orang-orang itu muncul lagi, yang entah kapan kita tidak pernah tahu?”
“Aku setuju dengan rencana kalian, tetapi seperti yang aku katakan bahwa kita tetap harus bergerak diam-diam supaya tidak ada yang menyadari jika kita menjalankan misi ini,” ucap Romeo yang kini berhenti dari kegiatannya mengutak-atik jam tangan.
“Aku juga setuju. Aku tidak ingin sesuatu terjadi pada kakakku jika kita terlalu lama bergerak,” ucap Aland yang diangguki oleh Ken. “Aku juga setuju kalau begitu. Tetapi ... rencana apa yang kita lakukan?”
“Aku memiliki ide,” Jane bersuara. “Bagaimana jika pada hari acara tahunan nanti, kita membagi tugas untuk melakukan penyelidikan. Saat itu, semua mahasiswa dari seluruh tingkatan akan berkumpul dalam satu titik. Mahasiswa yang merupakan anggota dari Geng Topeng Hitam itu pasti ada di antara mereka, atau bahkan jika dugaanku benar, bisa saja mereka tidak akan tetap diam, bisa saja mereka akan melakukan sesuatu. Di sana pasti akan ramai sekali, dan dalam keramaian itu, kita bisa menjalankan misi kita tanpa diketahui oleh orang lain.”
“Tapi, Jane, bukankah hari acara tahunan itu masih lama? Sekitar tiga minggu lagi, apakah tidak terlalu lama menunggu acara tahunan?” Ken mengingatkan.
“Tidak apa-apa. Sebelum menunggu acara tahunan tiba, kita bisa melakukan hal lain dan menyusun rencana yang matang. Misalnya, kalian yang belum bergabung dengan club manapun, pilihlah club yang cocok dengan kalian. Berbaurlah dengan mahasiswa lain, dengan begitu kita akan cepat mendapat informasi.” Usulan Jane mengundang kerutan di dahi para laki-laki yang belum memilih club untuk tempat mereka bergabung.
Aland dan Romeo saling memandang satu sama lain. Lalu beralih menatap Jane kembali. “Apa itu usulan yang tepat?” tanya Romeo dengan malas.
“Hei, itu usulan yang bagus!” Joo tiba-tiba berdiri dengan menggebu-gebu. “Aland, kalau kau ingin kakakmu cepat ditemukan, berbaurlah dengan yang lain. Kau juga, Rome! Kalian berdua ini sama-sama malas berinteraksi atau bagaimana?”
Kate menarik Joo untuk duduk kembali dan menoyor kepalanya. “Apa kau tidak ingat, kau sendiri belum bergabung dengan club manapun.” Ken ikut-ikutan menoyotnya juga seraya tertawa. Joo mengaduh.
“Kalian jangan salah, aku berkuliah di sini salah satunya karena ingin bergabung dengan club lelucon. Namun, saat aku mendaftar ternyata tidak ada yang bergabung seorang pun selain diriku. Aku heran dengan mahasiswa-mahasiswi di sini, apakah mereka tidak memiliki selera humor sama sekali,” ungkap Joo membela dirinya. “Jadi, aku menawarkan kalian kalian berdua untuk bergabung saja dengan club lelucon bersamaku.” Joo mencoba bernegosiasi dengan Aland dan Romeo.
“Sebaiknya jangan,” timpal Jane yang membuat semangat Joo tiba-tiba hilang hingga tubuhnya merosot di punggung kursi. “Kenapa, Jane?” tanya Joo dengan lesu.
“Sebaiknya kalian bergabung dengan club yang memiliki anggota banyak. Seperti aku dengan Ken, walaupun club kami masih terbilang baru, tetapi peminatnya dari berbagi jurusan dan tingkatan yang berbeda-beda. Dengan begitu, peluang untuk menemukan anggota Geng Topeng Hitam itu lebih besar.”
“Jane benar. Untuk kalian yang belum bergabung dengan club manapun, pikirkan ini baik-baik,” tutup Kate.
Senja telah membumi. Lampu-lampu telah dinyalakan di koridor juga beberapa sudut penting kampus. pada hari di mana kejadian Aland dicekik oleh korban teror Geng Topeng Hitam di atap gedung fakultas film, Romeo mengajak Jane diam-diam menyelinap ke dalam ke ruang club biologi usai kelas berakhir. Ponsel Tor yang Romeo temukan di belakang pintu ruang kesehatan tempat Aland berbaring kini berada di tangannya. Bermodalkan kemampuan dan peralatan seadanya, Romeo berhasil melacak password dan membuka pintu ruangan. Ruangan ini lebih kecil dari laboratorium biologi, tentu saja. Terdapat sebuah meja berbentuk persegi panjang yang di kelilingi banyak kursi tunggal di ruangan ini, karena ruangan ini hanya dikhususkan untuk para mahasiswa dari jurusan mana pun yang memiliki ketertarikan belajar biologi.Romeo dan Jane berhenti di depan sebuah lemari kaca yang terdapat gelas-gelas berisikan cairan kimia berwarna ungu di dalamnya. Jane masih tak mengerti maksud Romeo mengajaknya ke
“Romeo di-skors.” Satu hal yang terlintas di kepala Aland ketika Jane mengatakan hal itu kepada ia dan yang lain, saat mereka berkumpul tanpa Romeo—Aland langsung menuju asrama laki-laki, meminta petugas penjaga untuk mengantarnya ke kamar Romeo, tetapi lelaki berkacamata itu tidak ditemukan di kamarnya. Aland justru menemukan Romeo di balkon atap asrama—duduk di sebuah bangku reot dan diam termenung. Merasa mengenali punggungnya, Aland melompati dinding pembatas setinggi paha orang dewasa, menghampiri laki-laki yang tengah menyendiri itu. “Mengapa tidak bilang padaku, kalau kau mendapat skorsing?” Pandangan Romeo yang semula tertuju pada pemandangan pemukiman di bawah sana, kini mengikuti arah langkah kaki Aland yang berhenti pada dinding pembatas. Wajah yang ditimpa sinar mentari itu ikut menikmati keindahan pemandangan di depannya. “Tidak ada hubungannya denganmu,” balas Romeo singkat. Suasana hatinya sedang tidak baik kala mengingat bagaim
“F—Fluke?”Dahi Fluke mengernyit kala mendengar suara seseorang yang sepertinya dia kenal. Lampu ponsel yang menyorot wajahnya mati seketika tanpa diduga. Gadis itu kemudian mengecek ponselnya yang tak kunjung menyala. Sialnya, kini baterai ponselnya habis.Sebelah alis Fluke terangkat ketika dengan jelas ia dapat melihat wajah seorang gadis dengan rambut yang tergerai lurus di hadapannya, meski dalam kegelapan. Salah satu sudut bibir Flukr terangkat kemudian, rupanya dia adalah gadis yang bersama dengan saingannya di ruang biologi beberapa hari lalu.“Mengapa aku selalu menemukanmu dalam kegelapan?”Pertanyaan Fluke mengundang Jane yang semula mengecek ponselnya, kini mendongak menatapnya. Hal pertama yang Jane temukan adalah wajah Fluke yang tengah tersenyum miring dengan tatapan yang tersorot padanya.Jane berusaha bersikap tidak gentar meski status Fluke adalah keponakan rektor. Terkadang, ia merasa gerah saat oran
“Ini adalah ruang club biologi.” Romeo melingkari sebuah objek gedung dengan pena merahnya. “Beberapa di antara kita nanti akan bergabung dengan club ini. Tujuan kita di sini adalah mencuri sampel cairan kimia yang pernah melibatkan peneroran Tor. Aku tidak akan ikut bergabung dengan club ini, karena pasti Fluke akan dengan mudah curiga padaku jika kedua kalinya aku masuk ke club biologi. Aku akan memandu kalian dari jauh. Karena rencana ini cukup berisiko untuk dijalani. Jadi, aku ingin para pria saja yang bergabung dengan club ini nanti, kecuali aku.” Mendengar penjelasan rencana Romeo, Kate meledek Joo karena tahu laki-laki itu tak suka berkecimpung dengan club yang terlalu serius seperti club biologi. Joo memasang muka masam karena ledekan Kate. Begitu mengarahkan pandangannya pada Kate dan Ken, Romeo mengernyitkan dahinya karena menyadari sesuatu. “Tidak-tidak. Sepertinya, Kate
Gedung fakultas Komunikasi menjadi tujuan Joo, Kate, Ken, dan Jane untuk menjalankan rencana mereka menemukan mantan kekasih Mikhaela. Namun, tanpa diduga, para senior tingkat akhir di sana berkumpul di koridor yang ternyata sedang mengadakan sebuah acara perayaan. Berbagai mahasiswa dari tingkat pertama juga ada di sana, para junior disambut oleh mereka dan disediakan tempat untuk bergabung dengan mereka. Empat anggota Kelompok Rahasia yang ditugaskan oleh Romeo itu, terkejut dengan acara yang tidak pernah mereka sangka sebelumnya. Mereka hanya berdiri di kejauhan ketika mendapati peristiwa di depannya. Jane menekan earphone nirkabel yang tertutup rambut hitam panjangnya di telinga—yang telah dihubungkan Romeo pada ponsel milik laki-laki itu. Jane melakukan panggilan. Romeo dan Aland yang bersembunyi di koridor gedung lain yang sepi, menerima panggilan itu. “Rome, Aland, mereka sedang mengadakan acara penyambutan untuk junior mereka. Bagaimana dengan re
Joo, Jane, Kate, dan Ken mengikuti beberapa permainan yang telah dipersiapkan oleh senior. Permainan-permainan itu adalah permainan yang dilakukan di depan halaman koridor, seperti menempelkan bola kecil di pipi secara berpasangan untuk ditempatkan di keranjang. Menggigit sendok yang berisi kelereng. Hingga yang terakhir edukasi kelas tali-temali di alam. Usai permainan yang dilakukan di lapangan selesai. Jane dan Ken masuk ke dalam kelas tempat lomba pentas seni, Jane dan Ken terdaftar akan menampilkan dansa ballroom. Sementara Joo meminta Kate untuk meninggalkan mereka di depan kelas. Ada banyak orang di sana, cukup mudah untuk menyamar dan berbaur dengan yang lain. “Kau tidak apa-apa, ‘kan, kutinggal?” Sebagai sseeorang yang gemar menggoda sahabatnya, Joo bertanya demikian pada Kate. Laki-laki itu masih bisa bersikap jenaka padahal Kate sejak tadi tak bisa tenang gara-gara memikirkan rencana mereka. “Memangnya aku anak-anak yang tidak bisa ditingg
“Halo, Kate, kau bisa dengar aku?” Joo masih mencoba menghubungi Kate melalui ponsel miliknya yang sudah disambungkan oleh Romeo dengan earphone yang diberikannya pada Kate beberapa saat lalu. “Bagaimana?” tanya Aland. Joo menggeleng, tidak tahu mengapa Kate tidak bisa dihubungi melalui earphone yang diberikan oleh Joo padanya. “Aku tidak tahu mengapa dia tak kunjung menjawab panggilanku.” Joo terheran memandangi ponsel milik Romeo di tangannya. “Teman-teman, lihat ini!” Tiba-tiba Romeo yang masih fokus mengamati area kampus melalui ponsel yang terhubung dengan drone, memekik terkejut. Aland dan Joo langsung mendekat padanya untuk melihat apa yang terjadi. Mereka sedang bersembunyi di balik pohon di halaman gedung fakultas komunikasi. Layar ponsel menampilkan seorang pemuda yang tengah berdiri di koridor halaman, seorang diri, karena di sana suasana sedang sepi. Hal yang membuat kerutan di dahi Aland tercetak
Fluke keluar dari ruangan diadakannya pentas seni saat mendengar suara yang berasal dari earphone mahasiswi yang menabraknya tadi. Fluke berhenti di lorong halaman depan gedung fakultas komunikasi. Dahinya mengernyit ketika mendengar percakapan demi percakapan yang ia dengar di telinganya. Ada sekitar tiga orang sepertinya. Fluke merasa mengenal salah satu suaranya. Setelah mendengarnya dengan seksama. Fluke baru ingat kalau itu adalah suara Romeo—mahasiswa yang satu kelas dan satu jurusan dengannya. “Cepat hubungi Jane dan Ken, suruh mereka pergi dari sana sekarang juga!” “Joo, cepat putuskan sambunganmu dengan earphone Kate!” Sambungan terputus. Fluke tak bisa mendengar percakapan apa pun lagi. Sunyi mengiringinya beberapa saat, sebelum satu sudut bibir laki-laki itu terangkat. Semua percakapan itu terekam jelas di kepalanya. “Apa yang dilakukan si serangga Romeo dengan orang-orang ini?” Jane dan Ken, bukankah nama-n
Fluke menyusup ke ruang belakang panggung. Ia melihat seorang pria yang bertugas mengatur lighting serta pergantian background layar sesuai berjalannya penampilan. Fluke diam-diam mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya. Dan membungkam mulut petugas itu dengan sapu tangan yang sudah dilumurinya dengan obat bius. Petugas yang terkejut karena tiba-tiba seseorang membekap mulutnya, sempat merona. Namun, tak butuh waktu lama, keadaannya menjadi lemas dan akhirnya tak sadarkan diri. Dua orang kemudian datang menghampir Fluke, dan seolah sudah mengerti atas perintah Fluke, mereka membawa petugas itu ke tempat yang aman.Fluke kemudian menggantikan petugas itu dengan duduk dan memakai topi dan masker untuk menyamar sebagai petugas di belakang panggung. Ia yang kemudian menatap layar yang menampilkan tampilan drama dansa yang sudah direkam oleh kamera di depan panggung. Sehingga ia dapat melihat jalannya penampilan.Ken sudah memasuki area panggung, sesuai alu
Romeo membawa laptopnya ke balkon gedung tua yang lebarnya hanya satu x satu meter itu. Ia menunggu sinyal Aland yang tak kunjung muncul, di satu sisi saat malam hari seperti ini jaringan internet di gedung lama itu cukup lambat mengakibatkan pekerjaannya jadi terhambat. Padahal ia juga harus melacak digit nomor peneror Tor, karena sejak hari masih sore pun ia belum berhasil melakukannya.“Bagaimana ini, posisi Aland bisa berbahaya jika aku tidak kunjung menyelesaikan pekerjaanku.”Meski tak mengerti betul maksud Aland menyuruhnya melakukan pekerjaan ini karena Aland bercerita apa pun padanya, tetapi Romeo yakin semua pekerjaan yang diserahkan padanya saling berhubungan dengan keselamatan Aland di sana. Maka dari itu ia mengerahkan semua kemampuannya, ia tak ingin pengorbanan temannya itu berakhir sia-sia begitu saja. Usai berpikir berulang kali, akhirnya Romeo memutuskan untuk pergi dari gedung tua itu untuk menyusup ke dalam gedung utama kampus. Tempat pe
“Jane? Bukankah itu kau?” seorang gadis yang merupakan anggota club dansa itu menghampiri Jane dengan tatapan tak percayanya. Jane yang kebingungan dan merasa begitu terkejut dengan apa yang terjadi tak tahu harus berbuat apa.“Aku tidak menyangka sekali Jane kau berbuat seperti itu. Kau face of campus Jane.” Tambah yang lain.Jane merasa semakin bingung dan tertekan kala suara penonton mulai membicarakannya yang tidak-tidak, menyorakinya dengan hal-hal buruk pada hal yang tidak sama sekali ia lakukan. Jane menoleh kembali pada layar besar di belakangnya, berharap mimpi buruk tentang fotonya yang dipertontonkan kepada semua orang itu tidak pernah erjadi. Namun, Jane melihat dengan jelas foto yang menampilkan dirinya itu.Jane menutup telinganya dan memejamkan mata. Merasa frustasi dengan kejadian yang tak pernah diduganya ini. jelas-jelas itu adalah foto Fluke, tetapi wajah laki-laki itu buram. Jane semakin frustasi memikirkan dan m
Orang itu dibuka dan ternyata dia Willy. Willy dirawat di rumah sakit Karen luka parah. The protagonist selebrasi secara diam-diam atas kemengangan mereka, mereka menganggap penderitaan sudah berakhir. Mereka bertemu Jane tetapi tidak ada yang mengajaknya bicara.Tapi ternyata salah, terror masih terjadi di mana-mana dan semakin menjadi di kampus.Poster buronan para protagonist diganti dengan poster gambar Jane yang sangat besar. Makian dan bulyyan terhadap jane dan Ken, usai foto mesra mereka beredar. Mereka diminta untuk turun dari jabata mereka sebagai face of campus. King dan queen kampus.Di kondominiumnya, Jane berdiri di atap dan ingin mengakhiri hidupnya. Fluke datang tepat waktu dan meminta maaf padanya. Menjelaskan bahwa semua yang dia lakukan bukanlah rencananya.tetapi karrena ia di terror oleh GTH untuk menghancurkan persahabatan mereka sampai tak berkumpul lagi..Fluke lalu menemui teman-te
Aland, Joo dan Romeo sudah sampai di bawah untuk melihat siapa sebenarnya pemimpin geng topeng hitam itu. Joo melirik ke sekelilingnya untuk memastikan bahwa tidak ada penjaga yang mengejar mereka. Romeo dan Aland duduk di dekat orang yang diduga kaisar itu. Aland melirik Romeo sesaat, laki-laki itu mengangguk serta mengerti maksud Aland. Aland meraih topeng hitam-puih dan membukanya.Mereka bertiga terkejut melihat wajah sebenarnya pemimpin geng topeng hitam itu.“Willy?” ucap Joo terkejut dan ikut duduk dengan kedua temannya. Mereka benar-benar tak percaya bahwa Will-lah yang sebenarnya selama ini menciptakan kerusuhan secara misterius di dalam kampus.“Dasar munafik.” Umpat Joo tepat saat melihat wajah Willy yang kini bersimpah darah di dahinya. “Dia bersikap sebagai mahasiswa teladan di kampus tetapi dia memiliki hati yang sangat busuk.”Romeo dan Aland kompak melirik Joo ketika laki-laki itu mengatakan itu. Mereka
“Aku juga tidak menyangka.” Joo tersenyum geli membayangkan kedua temannya yang memeiliki sifat unik jika mereka bersama akan seperti apa? Pasti lucu sekali. “Aku tidak bisa membayangkan ghadis tomboy itu rupanya menyukai laki-laki kemayu seperti Ken.”Romeo merasa geli melihat wajah Joo ang sedang membayangkan sesuatu. “Apa yang kau pikirkan? Berhenti berhayal.”Joo mendengus pada Romeo. “Kau tidak pernah tahu rasanya senang melihat temanmu jatuh cinta. Lebih baik cari pasangan sana, supaya kau tahu rasanya jatuh cinta!” ejek Joo pada Romeo.Romeo mendelik pada Joo karena laki-laki itu tiba-tiba menyinggung tentang pasangan. “Apa yang kau maksud? Bercermin dulu sebelum mengolok orang lain. Kau sendiri belum memiliki kekasih.”Joo langsung terdiam mendengarnya. Sementara Aland yang tengah duduk di antara mereka berdua melirik Romeo dan Joo dengan heran. “teman-teman, pertunjukkannya sudah a
"Bagaimana kinerjamu itu, Irene? Sebagai pemimpin club-mu kau mendapatkan tanggung jawab untuk mengatur kostum kami, tapi apa yang terjadi? Bukankah anggotamu sudah banyak? Ini kostum pemeran utama padahal."Jane menarik tangan Ken, mengingatkan laki-laki itu untuk tidak menyuarai Irene seperti itu melalui tatapan matanya. Jane merasa tidak enak sendiri melihat Irene yang mendapat omelan dari Ken, ia merasa Irene tidak sengaja melupakan kostumnya karena begitu banyak pekerjaan yang dia lakukan."Maafkan aku, aku benar-benar menyesal. Ayo, kemarilah. Duduklah dulu di sini. Aku akan akan kembali lagi membawa kostumnya untukmu."Irene buru-buru pergi mencari kostum pemeran utama wanita. Sementara Jane dan Ken mau tak mau menunggunya di sana. Ken melirik jam di pergelangan tangannya, acara tinggal sepuluh menit lagi."Jangan berbicara seperti itu padanya, mungkin saja dia tidak sengaja melupakan kostumku karena terlalu banyak pekerjaan yang ia kerjakan." Jane
"Bagaimana kinerjamu itu, Irene? Sebagai pemimpin club-mu kau mendapatkan tanggung jawab untuk mengatur kostum kami, tapi apa yang terjadi? Bukankah anggotamu sudah banyak? Ini kostum pemeran utama padahal."Jane menarik tangan Ken, mengingatkan laki-laki itu untuk tidak menyuarai Irene seperti itu melalui tatapan matanya. Jane merasa tidak enak sendiri melihat Irene yang mendapat omelan dari Ken, ia merasa Irene tidak sengaja melupakan kostumnya karena begitu banyak pekerjaan yang dia lakukan."Maafkan aku, aku benar-benar menyesal. Ayo, kemarilah. Duduklah dulu di sini. Aku akan akan kembali lagi membawa kostumnya untukmu."Irene buru-buru pergi mencari kostum pemeran utama wanita. Sementara Jane dan Ken mau tak mau menunggunya di sana. Ken melirik jam di pergelangan tangannya, acara tinggal sepuluh menit lagi."Jangan berbicara seperti itu padanya, mungkin saja dia tidak sengaja melupakan kostumku karena terlalu banyak pekerjaan yang ia kerjakan." Jane
“Terserah kau saja!” Jane yang mulanya berteriak karena kekesalannya pada Fluke, terkejut karena reaksi Fluke. “terserah apa yang ingin kau katakan. Karena jika aku menceritakannya pun, kau juga tidak akan memahami mengapa aku melakukan hal ini! Aku sudah tidak peduli apa pun yang kau nilai tentang diriku lagi!” Jane terkejut dengan pernyataan Fluke yang didengarnya. “Apa maksudmu?” tanya Jane dengan heran. Namun, Fluke tampak tak ingin menjawab pertanyaan gadis itu. Laki-laki itu membalikkan badannya dan memerintahkan Jane untuk pergi dari hadapannya. “Pergi dari sini.” “Apa? Kau mengusirku?” tanya Jane tak percaya. “Pergi, Jane. Atau akan menyesal seumur hidup jika kau masih tetap di sini.” Jane yang hendak membalas langsung terdiam dengan perkataan laki-laki itu. Mau tak mau dengan ancaman itu, Jane meninggalkan ruangan Fluke dengan amarah dan pertanyaan yang kini bersarang di kepalanya. Hari perayaan kampus telah tiba. Semua